Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

BAYI ATAU ANAK DENGAN GANGGUAN ATRESIA ANI

Di susun Oleh :
Cherlina Ika Firana Puteri
NIM: 14401.18.19005

PRODI D3 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAFSHAWATY

PESANTREN ZAINUL HASAN

PROBOLINGGO

2021

LAPORAN PENDAHULUAN

1
1. Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa
Yunani yaitu ‘a' yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti
“makanan atau nutrisi”. Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti
suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan abnormal.
Atresia ani memiliki nama lain yaitu “anus imperforata”.
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak
mempunyai lubang keluar. (Walley, 1996)
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya
perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm
mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus
tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rektum. (Purwanto, 2001)
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik
pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi,
2001)
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai
anus imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2002)
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak
adanya lubang atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2003)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau
anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis
rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat
muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial,
Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan
bawaan (kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang
tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit
cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa
kehamilan.

2
2. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1) Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom
genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
4) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya
adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa
risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan
kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan
dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian
juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien
dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda
dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia
ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan
dengan malformasi anorektal adalah
1) Kelainan kardiovaskuler.

3
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani.
Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal
defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of
fallot dan vebtrikular septal defect.
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal
(10%), obstruksi duodenum (1%-2%).
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah
kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis,
butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan
spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele,
meningocele, dan teratoma intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak
ditemukan pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan
insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi
antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15%
sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun
muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,
Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal,
Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).

3. Klasifikasi
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu
rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran
kencing atau saluran genital.

4
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga
jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1
cm.

4. Manifestasi Klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi
wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila
bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang
rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada bayi laki-
laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung
kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan
timbul:
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)

5. Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara
lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
a) Eversi mukosa anus

5
b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet
training
e) Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f) Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g) Fistula kambuhan

6. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum
urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau
pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum
berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian
belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal
genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena
adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena
tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10
minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga
karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra
dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui
anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga
intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas
dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal
pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya
obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi
abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan
diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses
mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan
organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina

6
(rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat
(rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah
fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Preventif
penatalaksanaan preventif yaitu: (a) diberikan nasihat
pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk berhati-hati
atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan
alkohol karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan
lubang dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan
sebagai diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai
tiga hari diketahui bayi menderita ani atresia ani, jiwa bayi dapat
terancam karena feses yang tertimbun dapat mendesak paru-paru
bayi dan organ yang lain.
2. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap
kelainan tipe I dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami
kesulitan mengeluarkan tinja tidak membutuhkan penanganan
apapun. Sementara pada stenosis yang berat perlu dilakukan
dilatasi setiap hari dengan karakter uretra, dilatasi Hegar, atau
speculum hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat
melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi
dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan
sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai
keadaan normal. Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan
diet yang baik dan pemberian laktulose. Bentuk operasi yang
diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula, adalah
anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada
anus slama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan

7
dilator Hegar selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang
tua penderita dapat memakai jari tangan di rumah sampai tepi
anus lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak
antara ujung rektum uang buntu ke lekukan anus kurang dari 1,5
cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui
anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III
biasanya perlu dilakukan pembedahan definitif pada usia 12-15
bulan. Kolostomi bermanfaat untuk:
a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif
dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi dapat dilakukan pada
kolon transversum atau kolon sigmoideum. Beberapa metode
pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan adalah operasi
abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun, anorektoplasti sagital
posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode
Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa
dilakukan 10 hari setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh
orang tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking kemudian dengan
jari telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan definitif. Sedangkan
pada penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian
dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through seperti kasus pada
megakolon congenital.
Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk
mencegah infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk
daya tahan tubuh.

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

8
1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum
yang buntu setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan,
bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit,
sendi panggul bayi dalam keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat
foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda
diletakkan pada daerah lekukan anus.
2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan
kejelasan keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi
organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya
faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran
urinaria.

9
9. Pathways

Kelainan kogenital

· Gangguan Pertumbuhan
· Fusi
· Pembentukan anus dari
tonjolan embrionik

ATRESIA ANI

Feses Tidak Keluar Vistel Rektovaginal

Feses Menumpuk Feses Masuk Ke Uretra

Mikroorganisme masuk
Reabsorbsi sisa Peningkatan Tekanan ke saluran kemih
metabolisme Intraabdominal

Dysuria
Keracunan Operasi Anoplasti

Gang. Rasa nyaman


Mual, muntah
Ansietas Perubahan Defekasi:
Pengeluaran Tak Gang. Eliminasi Urine
Ketidakseimbangan Nyeri
Terkontrol
Nutrisi < Kebutuhan
Iritasi Mukosa
Tubuh

Resiko kerusakan kulit Abnormalitas spingter Trauma jaringan


rektal

Nyeri Inkontinensia Defekasi 10 adekuat


Perawatan tidak
Gang. Rasa Nyaman

Resiko Infeksi
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Klien
b. Identitas Penanggung Jawab

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama:
Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar,
meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu:
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran
d. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan:
Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi kejadian atresia ani

3. Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan

11
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena
masih bayi
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan
baik pada orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang
lain secara mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah

4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien lemah

12
a. Tanda-tanda vital
· Nadi :
· Tekanan darah :
· Suhu :
· Pernafasan :
· BB :
· PB :
b. Data sistematik
1) Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah normal
Denyut nadi normal (120 – 140 kali per menit )
2) Sistem respirasi dan pernafasan
Klien tidak mengalami gangguan pernapasan
3) Sistem gastrointestinal
Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit
4) Sistem musculosceletal
Klien tidak mengalami gangguan sistem muskuloskeletal
5) Sistem integumen
Klien tidak mengalami gangguan sistem integumen
6) Sistem perkemihan
Terdapat mekonium di dalam urin.

2. Diagnosa Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Ditemukan Masalah Masalah Selesai


Tgl. Paraf Tgl. Paraf
1. Ketidakseimbangan nutrisi <
dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan mencerna
makanan (mual, muntah)
2. Gangguan eliminasi urine b.d.

13
obstruksi anatomik (atresia ani),
dysuria
3. Kecemasan orangtua b.d.
kurangnya pengetahuan terkait
penyakit anak
4. Kerusakan integritas kulit b.d.
pemasangan kolostomi

5. Nyeri akut b.d trauma jaringan


pasca operasi
6. Inkontinensia defekasi b.d
abnormalitas sfingter rektal
7. Resiko infeksi b.d trauma
jaringan pasca operasi,
perawatan tidak adekuat

14
DAFTAR PUSTAKA

https://www.cincinnatichildrens.org/health/i/imperforate-anus (diakses pada 09


November 2016)
Huda, Nuraruf Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta. Mediaction
Irfandi, Febri. 2012. Askep Atresia Ani. Jombang.
http://chocolateperfect.blogspot.co.id
Lynn, Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta.
EGC
Marlaim. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta. Fakultas
Kedokteran UI
Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus.
Jakarta. Trans Info Media
Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta.
Trans Info Media

15
16

Anda mungkin juga menyukai