Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA BAYIDENGAN MASALAH ATRESIA ANI DI RUANG


ASTER RSD DR SOEBANDI JEMBER

oleh :
Sindi Arika Putri, S.Kep
NIM 222311101145

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2023
a. Pengertian
Atresia ani atau dikenal sebagai malformasi anorektal (MAR) adalah suatu
kelainan kongenital pada bayi baru lahir dimana tidak terbentuknya lubang
dubur atau anus atau ada anus tetapi lokasinya tidak abnormal (Singh dan
Mehra, 2020). Misalnya anus cekung ke dalam, anus tampak rata, dan anus
ada namun tidak terhubung langsung dengan rektum. Atresia ani disebabkan
oleh ketidaksempurnaan proses perkembangan kolon pada minggu ke 8-12
saat kehamilan (Singh dan Mehra, 2020).
Sekitar setengah dari semua bayi yang lahir dengan atresia ani akan
memiliki kelainan tambahan. Beberapa kelainan tambahan tersebut yaitu
kelainan tulang belakang, kelainan ginjal dan saluran kemih, kelainan
tenggorokan/trakea, kelainan esophagus, kelainan pada lengan dan kaki,
kelainan jantung, down syndrome, dan penyakit hirschprung (Singh dan
Mehra, 2020).

b. Etiologi
Atresia ani merupakan kelainan kongenital dalam perkembangan lahir.
Sampai saat ini penyebab pastinya masih belum diketahui. Diperkiraan bahwa
kelainan ini terjadi pada 1:5000 kelahiran hidup dan sering ditemukan pada
bayi laki-laki. Dalam beberapa kasus, atresia ani disebabkan karena faktor
genetik dan faktor lingkungan (seperti penggunaan obat-obatan dan konsumsi
alkohol selama masa kehamilan) namun hal tersebut masih belum jelas.
Kelainan genetik atau bawaan (autosomal) anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada minggu
kelima sampai ketujuh pada usia kehamilan, terjadi gangguan pemisahan
kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital, biasanya karena gangguan
perkembangan septum urogenital (Yusriani, 2017).

c. Patofisiologi

Gambar 1. Fetus
Terjadinya atresia ani melibatkan proses embriologi dalam kandungan.
Pada fetus terdapat usus primitif dibagi menjadi 3 bagian yaitu foregut,
midgut, dan hindgut. Foregut akan berkembang menjadi kerongkongan,
midgut akan berkembang menjadi usus halus, dan hindgut akan berkembang
menjadi usus besar. Sepertiga bagian dari hindgut akan berkembang menjadi
kolon dan sisanya akan berkembang menjadi kanal dubur. Awalnya sistem
urogenital bergabung bersama dengan hindgut dalam kloaka. Lama-kelamaan
sistem urogenital dan hindgut akan berpisah dan hindgut ini akan membentuk
anus serta rektum. Kelainan pada perkembangan dari usus ini akan membuat
sistem urogenital dan hindgut ini terus bergabung (fistula anorektal). Ketika
kanal anorektal gagal menyatu dengan permukaan maka akan menyebabkan
anus impeforata (Yusriani, 2017).
Pada usia gestasi minggu ke-5, kloaka berkembang menjadi saluran urinari,
genital dan rektum. Usia gestasi minggu ke-6, septum urorektal membagi
kloaka menjadi sinus urogenital anterior dan intestinal posterior. Usia gestasi
minggu ke-7, terjadi pemisahan segmen rektal dan urinari secara sempurna.
Pada usia gestasi minggu ke-9, bagian urogenital sudah mempunyai lubang
eksterna dan bagian anus tertutup oleh membrane. Atresia ani muncul ketika
terdapat gangguan pada proses tersebut. Selama pergerakan usus, mekonium
melewati usus besar ke rektum dan kemudian menuju anus. Persarafan di anal
kanal membantu sensasi keinginan untuk buang air besar (BAB) dan juga
menstimulasi aktivitas otot. Otot tersebut membantu mengontrol pengeluaran
feses saat buang air besar. Pada bayi dengan malformasi anorektal (atresia ani)
terjadi beberapa kondisi abnormal sebagai berikut: lubang anus sempit atau
salah letak di depan tempat semestinya, terdapat membrane pada saat
pembukaan anal, rectum tidak terhubung dengan anus, rectum terhubung
dengan saluran kemih atau sistem reproduksi melalui fistula, dan tidak
terdapat pembukaan anus (Sari, 2020).

d. Tanda dan gejala


Manifestasi klinik pada klien dengan atresia ani antara lain mekonium tidak
keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran atau keluar melalui saluran
urin, vagina atau fistula. Pada bayi baru lahir tidak dapat dilakukan
pengukuran suhu secara fekal. Distensi abdomen dapat terjadi bertahap dalam
8-24 jam pertama. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda-tanda obstruksi
usus dan adanya konstipasi. Muntah pada bayi umur 24-48 jam atau bila bayi
diberi makan juga perlu diperhatikan. Pembukaan anal terbatas atau adanya
misplaced pembukaan anal, jika di askultasi terdengar hiperperistaltik
(Maryati, 2019).
Selain itu, penyebab yang sering muncul antara lain:
1) Anus tidak terletak pada tempatnya atau tidak ada
2) Perut kembung
3) Bayi tidak dapat buang air besar selama 24 hingga 48 jam setelah lahir
4) Letak anus sangat berdekatan dengan vagina pada bayi perempuan (anus
anterior)
5) Bayi mengeluarkan feses dari pangkal penis, vagina dan saluran kencing
atau skrotum.
e. Klasifikasi
Secara umum atresia ani terdiri dari 4 jenis, antara lain:
1) Tipe 1
Terdapat penyempitan pada sebelah proksimal sehingga dari luar anus
tampak masih normal.
2) Tipe 2
Terdapat selaput/membran dekat dengan lubang anus.
3) Tipe 3
Ujung rektum berakhir buntu sehingga dari luar jelas tidak terlihat anus.
4) Tipe 4
Ujung rektum buntu, tetapi terdapat lekukan ke dalam dari anus sehingga
dari luar anus tampak normal.
Selain itu, berdasarkan Wingspread, atresia ani dibagi menjadi 2 golongan
yang dikelompokkan menurut jenis kelamin sebagai berikut:
1) Laki-Laki
a. Rectoperineal Fistulas

Gambar 2. Rectoperineal Fistulas


Rectoperineal Fistulas atau cacat rendah digunakan untuk kelainan
yang tejadi pada anus bagian anterior. Pada kelainan ini bagian anterior
yang penempatannya salah. Fistula tidak membuka kedalam perineum,
melainkan mengikuti saluran garis tengah subepitel sehingga membuka
di sepanjang garis tengah perineum raphe, scrotum, atau pangkal penis.
Istilah lain yang digunakan untuk kelainan ini yaitu anus tertutup
(covered anus), anal membrane, anteriorly mislocated anus, dan bucket-
handle malformations (Levitt dan Pena, 2010).
b. Rectourethral Fistulas

Gambar 3. Rectourethral Fistulas


Rectourethral fistulas adalah jenis kelainan bawaan yang paling
banyak dialami pada laki-laki. Kelainan ini dibagi menjadi 2 jenis yaitu
rectourethrobulbar fistula (lubang anal berakhir atau terletak dibawah
uretra) dan rectourethroprostatic ( lubang anal berakhir atau terletak lebih
tinggi dari uretra). Dari kedua jenis rectourethral fistula,
rectouretroprostatic memiliki prognosis yang lebih buruk dari pada
rectourethrobulbar fistula. Tepat dibagian atas fistula, rektum dan uretra
berbagi dinding umum (common wall). Semakin rendah fistula maka
akan semakin panjang dinding umum (common wall) (Levitt dan Pena,
2010).
c. Recto bladder neck fistulas

Gambar 4. Recto bladder neck fistulas


Recto bladder neck fistulas adalah jenis kelainan atresia ani yang
menyebabkan rectum membuka ke leher kandung kemih. Pada kelainan
jenis ini memiliki prognosis yang buruk karena otot-otot levator, otot-
otot lurik, dan sfingter ekstrenal belum berkembang dengan baik. Tanda
yang dapat dilihat anak mengalami recto bladder neck fistulas yaitu
perineum datar dan seluruh panggul kelihatan condong ke belakang.
Sekitar 10% dari jenis kelainan bawaan atresia ani pada laki-laki
mengalami Recto bladder neck fistulas (Levitt dan Pena, 2010).
d. Imperforate anus without fistula
Imperforate anus without fistula adalah kelainan yang jarang terjadi
dan memiliki prognosis yang baik. Imperforate anus without fistula
memiliki hubungan dengan kelainan kromosom 21 karena didapatkan
data sekitar setengah dari kelainan jenis ini juga memiliki sindrom down
(Levitt dan Pena, 2010).
e. Rectal atresia

Gambar 5. Rectal atresia


Rectal atresia dalah jenis kelainan bawaan yang jarang terjadi yaitu
sekitar 1% dari seluruh jenis kelainan bawaan atresia ani pada laki-laki.
Rectal atresia ini menyebabkan anak memiliki saluran anal yang normal
tetapi saluran tersebut mengalami striktur (Levitt dan Pena, 2010).

2) Perempuan
a. Perineal fistulas (cutaneous)

Gambar 6. Perineal fistulas (cutaneous)


Penjelasan dari perineal fistula pada perempuan ini hampir sama
dengan rectoperinela fistula pada laki-laki. Perineal fistulas atau cacat
rendah digunakan untuk kelainan yang tejadi pada anus bagian anterior.
Pada kelainan ini bagian anterior yang penempatannya salah. Fistula
tidak membuka kedalam perineum, melainkan mengikuti saluran garis
tengah (Levitt dan Pena, 2010).
b. Vestibular fistula

gambar 7. Vestibular fistula


Vestibular fistula adalah kelainan bawaan yang menyebabkan
lubang anus berada di dalam labia minor. Prognosis dari penyakit ini baik
dan sekitar 5% dari penderita kelainan jenis ini akan mengalami
hemivaginas dan septum vagina (Levitt dan Pena, 2010).
c. Imperforate anus without fistula
Imperforate anus without fistula adalah kelainan yang jarang terjadi
dan memiliki prognosis yang baik. Imperforate anus without fistula
memiliki hubungan dengan kelainan kromosom 21 karena didapatkan
data sekitar setengah dari kelainan jenis ini juga memiliki sindrom down
(Levitt dan Pena, 2010).
d. Persistent cloaca

Gambar 8. Persistent cloaca


Persistent cloaka yaitu kelainan bawaan yang menyebabkan rectum,
vagina, dan uretra bertemu dan membuat satu saluran tunggal. Panjang
dari saluran umum tersebut bervariasi antar 1-7 cm. Saluran yang
panjangnya kurang dari 3 cm akan memiliki prognosis yang lebih baik
sedangkan jika saluran lebih dari 3 cm maka malformasi yang dialami
lebih kompleks dan prognosisnya buruk (Levitt dan Pena, 2010).

f. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk atresia ani menurut Yusriani (2017)
1) Pemeriksaan radiologis, yang brtujuan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum yang buntu
setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan, bayi harus
diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit, sendi panggul
bayi dalam keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto pandangan
anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah
lekukan anus.
2) Sinar –X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan kejelasan
keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan
kantung rektum dari sfrinternya.
3) Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi
organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya
faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
4) CT scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
5) Pyelografi intrevena, yang bertujuan untuk menilai pelviokalises dan
ureter.
6) Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengkonfirmasi adanya yang berhubungan dengan saluran urinaria.
g. Penanganan
Penatalaksanaan Medis
1) Kolostomi

Gambar 9. Pembedahan Kolostomi


Bayi laki-laki maupun perempuan yang didiagnosa mengalami
malformasi anorektal (atresia ani) tanpa fistula membutuhkan satu atau
beberapa kali operasi untuk memperbaikinya. Kolostomi adalah bentuk
operasi yang pertama dan biasa dilakukan. Kolostomi dilakukan untuk
anomaly jenis kelainan tinggi (High Anomaly), rektovaginal fistula,
rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum, dan jika hasil
jarak udara di ujung distal rektum ke tanda timah atau logam di perineum
pada radiologi invertogram > 1 cm. Tempat yang dianjurkan ada 2 :
transverso kolostomi dan sigmoidostomi. Bentuk kolostomi yang aman
adalah stoma laras ganda. Kolostomi merupakan perlindungan sementara
(4-8 minggu) sebelum dilakukan pembedahan. Pemasangan kolostomi
dilanjutkan 6-8 minggu setelah anoplasty atau bedah laparoskopi.
Kolostomi ditutup 2-3 bulan setelah dilatasi rektal/anal postoperatif
anoplasty. Kolostomi dilakukan pada periode perinatal dan diperbaiki
pada usia 12-15 bulan,
2) Dilatasi Anal (secara digital atau manual)
Dilatasi anal dilakukan pertama oleh dokter, kemudian dilanjutkan oleh
perawat. Setelah itu prosedur ini diajarkan kepada orang tua kemudian
dilakukan mandiri. Klien dengan anal stenosis, dilatasi anal dilakukan 3x
sehari selama 10-14 hari. Dilatasi anal dilakukan dengan posisi lutut
fleksi dekat ke dada. Dilator anal dioleskan cairan/minyak pelumas dan
dimasukkan 3-4 cm ke dalam rektal. Pada perawatan postoperatif
anoplasty, dilatasi anal dilakukan beberapa minggu (umumnya 1-2
minggu) setelah pembedahan. Dilatasi anal dilakukan dua kali sehari
selama 30 detik setiap hari dengan menggunakan Hegar Dilator. Ukuran
dilator harus diganti setiap minggu ke ukuran yang lebih besar. Ketika
seluruh ukuran dilator dapat dicapai, kolostomi dapat ditutup, namun
dilatasi tetap dilanjutkan dengan mengurangi frekuensi.
3) Anoplasty
Anoplasty dilakukan selama periode neonatal jika bayi cukup umur dan
tanpa kerusakan lain. Operasi ditunda paling lama sampai usia 3 bulan
jika tidak mengalami konstipasi. Anoplasty digunakan untuk kelainan
rektoperineal fistula, rektovaginal fistula, rektovestibular fistula,
rektouretral fistula, atresia rektum.
4) Bedah Laparoskopik/Bedah Terbuka
Pembedahan ini dilakukan dengan menarik rectum ke pembukaan anus.

5) Pull trough/ PSARP (Posterior Sagital Anorectoplasty)

Gambar 10. Pull trough/ PSARP (Posterior Sagital Anorectoplasty)


Prosedur dilakukan dengan anak ditempatkan pada posisi tengkurap dan
diberi bantalan pada daerah bawah perut sehingga bokong terlihat
menungging. Kemudian dilakukan sayatan pada . panjang sayatan
bervariasi tergantung jenis cacat yang diderita. Langkah selanjutnya
adalah langkah yang paling penting yaitu memisahkan rektum dari
sistem urogenital. Setelah dipisahkan maka kanal ani akan ditempatkan
ditempat yang semestinya (Levitt dan Pena, 2010).
6) Tutup kolostomi
Hal ini dilakukan setelah 2 bulan lamanya klien menjalani opersi
PSARP. Kedua jahitan kolon di perut akan dilepas dan kemudian
disambungkan kembali (Levitt dan Pena, 2010).

Penatalaksanaan non medis


1) Toilet Training
Toilet training dimulai pada usia 2-3 tahun. Menggunakan strategi yang
sama dengan anak normal,misalnya pemilihan tempat duduk berlubang
untuk eliminasi dan atau penggunaan toilet. Tempat duduk berlubang
untuk eliminasi yang tidak ditopang oleh benda lain memungkinkan anak
merasa aman. Menjejakkan kaki ke lantai juga memfasilitasi defekasi.
2) Bowel Managemen
Meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk membersihkan kolon.
3) Diet Konstipasi
Makanan disediakan hangat atau pada suhu ruangan, jangan terlalu
panas/dingin. Sayuran dimasak dengan benar. Menghindari buah-buahan
dan sayuran mentah. Menghindari makanan yang memproduksi
gas/menyebabkan kram, seperti minuman karbonat, permen karet,
buncis, kol, makanan pedas, pemakaian sedotan.
4) Diet Laksatif/ Tinggi serat
Diet laksatif/tinggi serat antara lain dengan mengkonsumsi makanan
seperti ASI, buah-buahan, sayuran, jus apel dan apricot, buah kering,
makanan tinggi lemak.
3. Pathway
Faktor kongenital dan Kegagalan dalam perkembangan Kegagalan hindgut
faktor lain yang tidak usus (usus primitif hindgut dan dalam membentuk Atresia Ani
diketahui sistem urogential) anus serta rectum
Ujung rektum buntu

Ketidakmampuan fekal dikeluarkan

Pre operasi Obstruksi Post operasi

Kurang pengetahuan Distensi abdomen


terhadap tindakan Terputusnya kontinuitas jaringan Perubahan defekasi
operasi
flora usus mendesak Merangsang peningkatan Defekasi tidak terkontrol
Respon psikologis jaringan di sekitarnya peristaltik usus
Kolostomi Impuls
rangsangan Inkontinensia fekal
Cemas
Terjadi infeksi dan Kuman mudah Medula spinalis
inflamasi masuk ke tubuh
Ansietas
Talamus
Risiko Infeksi Risiko Infeksi
Korteks serebri

Nyeri Akut Rangsangan nyeri


Pergerakan Penumpukan
makanan lambat feses

Rasa penuh diperut Proses


peradangan

Peningkatan HCL
(asam lambung) Pengeluaran inter
leukin 1

mual, muntah
Set point
temperatur
meningkat
Risiko
aspirasi
Hipertermi
PENGKAJIAN

A. Identitas Klien
1. Nama : Diisi sesuai nama klien
2. Umur : Biasanya menyerang pada usia neonatal 0 hari – 28 hari Infeksi
nasokomial pada bayi berat badan lahir sangat rendah (<1500gr) rentan
sekali menderita sepsis neonatal.
3. Alamat : tempat tinggal keluarga tempat tinggalnya padat dan tidak
higienis
B. Keluhan Utama
Pada bayi dengan atresia ani keluhan utama yang dialami biasanya yaitu
distensi abdomen.
C. Riwayat Kesehatan Sekarang
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa membuang air besar
(BAB), mekonium keluar dari vagina atau mekonium terdapat dalam urin.
D. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalamo muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran.
E. Riwayat Perinatal
1. Antenatal
Pada kasus atresia ani ibu bayi biasanya tidak ada masalah saat
kehamilan, karena rutin memeriksakan kandungannya ke pelayanan
kesehatan seperti bidan.
2. Intra Natal
Pada kasus atresia ani ibu bayi biasanya lahir secara spontan.
3. Post Natal (0-7 hari)
Pada kasus atresia ani ibu bayi biasanya bayi tidak mengeluarkan
mekonium dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
F. Riwayat Kesehatan Keluarga
Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/ penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain.
G. Pemeriksaan Tiingkat Perkembangan
1. Perkembangan
a. Adaptasi sosial
b. Motorik kasar
c. Motorik halus
d. Bahasa
H. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa
yang dirasakan dan apa yang diinginkan.
2. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Klien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena
masih bayi.
3. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan ibu bayi atau keluarga yang lainnya.
4. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng.
5. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium.
6. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan
baik pada orang lain.
7. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri: belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
8. Pola seksual reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah.
9. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan.
10. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang
lain secara mandiri.
11. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah.
I. Pemeriksaan Fisik
1. Status Keadaan Umum
2. Kepala
Inspeksi : Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih,
tidak ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada
chepal hematom.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
3. Mata
Inspeksi : Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan
subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus,
conjungtiva tampak agak pucat.
Palpasi : Tidak adanya nyeri tekan, tidak teraba benjolan abnormal
pada kedua mata.
4. Hidung
Inspeksi : Tidak ada massa, tidak ada lesi, lubang hidung simetris,
tidak ada serumen/sekret.
Palpasi : Tidak adanya nyeri dan benjolan yang abnormal.
5. Mulut
Inspeksi : Mukosa mulut kering, tidak terdapat lesi, tidak ada karang
gigi, dan lidah klien pucat.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada lidah, tidak ada massa atau tumor
6. Telinga
Inspeksi : bentuk telinga normal, tidak adanya odem, tidak ada lesi,
tidak terdapat perdarahan
Palpasi : tidak adanya nyeri dan benjolan yang abnormal.
7. Leher
Inspeksi : bentuk leher simetris, tidak ada pembengkakan, warna kulit
ikterik, tidak ada pembesaran tiroid.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembengkakan pada
kelenjar tiroid dan pembesaran vena jugularis.
8. Dada
Jantung
Inspeksi : penampakan ictus cordis
Palpasi : perabaan pada ictus cordis, peningkatan denyut nadi
Perkusi : penentuan letak dan batas jantung
Auskultasi : bunyi jantung, irama jantung dan bising jantung

Paru-paru
Inspeksi : Bentuk dada, kesimetrisan dada, gerakan dada/napas,
pelebaran vena dada, penggunaan otot bantu pernapasan, biasanya
pasien tampak sesak nafas
Palpasi : fremitus seimbang bila tidak ada komplikasi
Perkusi : menentukan batas paru dan kelainan pada paru/thoraks,
normalnya sonor
Auskultasi : suara pernapasan, suara tambahan pernapasan, secara
umum normal, akan ada stridor bila ada akumulasi sekret
9. Payudaran dan Ketiak
Bentuk, kesimetrisan, ukuran, ketegangan, benjolan, peradangan, lesi,
keadaan puting susu, sekresi puting susu, peradangan atau lesi ketiak,
pemeriksaan kelenjar limfe.
10. Abdomen
Inspeksi : bentuk perut distensi, adanya spider nevi, dan asites
Palpasi : Terdapat nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan
pembesaran hati (hepatomegali) dan limpa
Perkusi : terdapat suara redup
Aukultasi : penurunan bising usus
11. Genitalia dan Anus
Inspeksi : Penyebaran dan pertumbuhan rambut pubis, bentuk,
ukuran, kelainan pada genetalia.
12. Ekstremitas
Bentuk, ukuran, kesimetrisan otot, atropi, kontraktur, tremor, tonus,
spasme otot, kekuatan otot, kelainan pada ekstremitas, deformitas,
massa, peradangan, fraktur, peradangan sendi, mobilitas atau rentang
gerak sendi. Biasanya terdapat udem tungkai, penurunan kekuatan otot,
eritema palmaris pada tangan, dan parastesia.
13. Kulit dan Kuku
Pemeriksaan warna kulit biasanya warna, biasanya warna kulit
menguning, warna kuku juga menguning serta CRT > 2 detik, turgor
kulit mengalami penurunan.
14. Keadaan Lokal
Pengkajian terfokus pada kondisi local, misalnya deskripsi rinci luka,
sistem persyarafan/neurologis. Pada klien dengan sirosis hepatis
biasanya terjadi hepatomegali sehingga pada saat palpasi di daerah
abdomen akan merasa nyeri dan ada pembesaran.
15. Pemeriksaan Spesifik
a. Apgar score
b. Frekuensi kardiovaskuler: apakah ada takikardi, brakikardi, normal
c. Sistem neurologis
d. Reflek moro: tidak ada, asimetris/hiperaktif
e. Reflek menghisap: kuat, lemah
f. Reflek menjejak: baik, buruk
g. Kooordinasi reflek menghisap dan menelan

J. Pemeriksaan Diagnostik
1. Hemoglobin biasanya rendah
2. Leukosit biasnya meningkat
3. Trombosit biasanya meningkat
4. Kolesterol biasanya rendah
5. SGOT dan SGPT biasanya meningkat
6. Albumin biasanya rendah
7. Pemerikaan CHE (koloneterase): penting dalam menilai sel hati. Bila
terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun, pada perbaikan terjadi
kenaikan CHE menuju nilai normal.
8. Pemeriksaan kadar elektrolit dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet.
9. Uji fungsi hati (misalnya fosatase alkali serum, aspartat
aminotransferase [AST], [tranaminase glutamate oksaloasetat serum
(SGOT)], alanin aminotransferase [ALT], [transaminasenglutamat
piruvat serum (SGPT)], GGT, kolinesterase serum dan bilirubin), masa
protrombin, gas darah arteri, biopsy.

4. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1) Hipertermi b.d proses penyakit dan peningkatan laju metabolisme
2) Risiko aspirasi b.d peningkatan residu lambung
3) Risiko infeksi b.d gangguan peristaltic dan supresi respon inflamasi
4) Ansietas b.d kurang terpapar informasi

Post Operasi
1) Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma saraf jaringan)
2) Inkontinensia fekal b.d pascaoperasi pullthrough dan penutupan kolostomi
3) Risiko Infeksi b.d efek prosedur invasif
5. Rencana Tindakan Keperawatan
Pre Operasi
Diagnosa Keperawatan Intervensi (SIKI)
No. Tujuan/Kriteria Hasil (SLKI)
(SDKI)
1. Hipertermi b.d proses Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Manajemen Hipertermia (1.15506)
penyakit dan peningkatan selama …x 24 jam diharapkan termoregulasi Observasi
laju metabolisme (D.0130) membaik dengan 1. Identifikasi penyebab hipertermia (mis.
Kriteria Hasil: dehidrasi, terpapar lingkungan panas,
Definisi : Suhu tubuh Termoregulasi (L.14134) penggunaan inkubator)
meningkat di atas rentang Indikator Skala Skala Ket. 2. Monitor suhu tubuh
normal tubuh. awal capaian Terapeutik
Pucat 2 4 Cukup 3. Lakukan pendingina eksternal (kompres
menurun dingin pada dahi, leher, dada, abdomen,
Takikardia 2 4 Cukup aksila)
menurun Edukasi
Suhu tubuh 2 5 Membaik 4. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
Keterangan 5. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
1 = Meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 = intravena, jika perlu
sedang, 4 = cukup menurun, 5 = menurun

1 = Memburuk, 2 = cukup memburuk, 3 =


sedang, 4 = cukup membaik, 5 = membaik
2. Risiko aspirasi b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Pencegahan aspirasi (I. 01018)
peningkatan residu selama .. x 24 jam diharapkan risiko terjadinya Observasi
lambung aspirasi dapat diminimalkan dengan 1. Monitoring muntah atau kemampuan
menelan
Kriteria Hasil: 2. Monitor pernapasan
Tingat aspirasi Terapeutik
Indikator Skala Skala Ket. 3. Berikan makanan dengan ukuran kecil atau
awal capaian lunak
Tingkat 2 4 Cukup Edukasi
kesadaran meningkat 4. Memberikan makanan atau menganjurkan
Frekuensi 2 4 Cukup makan secara perlahan
napas membaik

Keterangan
1 = Meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 =
sedang, 4 = cukup menurun, 5 = menurun

Keterangan
1 = Memburuk, 2 = cukup memburuk, 3 =
sedang, 4 = cukup membaik, 5 = membaik
3. Risiko infeksi b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Pemantauan tanda vital (1.14539)
gangguan peristaltic dan selama …x 24 jam diharapkan tingkat infeksi Observasi
dengan 1. Monitor nadi
supresi respon inflamasi
Kriteria Hasil: 2. Monitor pernapasan
Tingkat infeksi (L.14137) 3. Monitor suhu tubuh
Indikator Skala Skala Ket. Terapeutik
awal capaian 4. Dokumentasi hasil pemantauan
demam 2 4 Cukup Edukasi
menurun 5. Informasikan kepada keluarga hasil
bengkak 2 4 Cukup pemantauan
menurun

Keterangan
1 = Meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 =
sedang, 4 = cukup menurun, 5 = menurun

4. Ansietas b.d kurang Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Reduksi ansietas (1.09314)
terpapar informasi selama .. x 24 jam diharapkan tingkat ansietas Observasi
(D.0080) menurun dengan 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
(mis. kondisi, waktu, stresor)
Definisi : Kondisi emosi Kriteria Hasil: 2. Identifikasi kemampuan mengambil
dan pengalaman subyektif Tingkat ansietas (L.01006) keputusan
individu terhadap objek Terapeutik
yang tidak jelas dan Indikator Skala Skala Ket. 3. Ciptakan suasana terapeutik untuk
spesifik akibat antisipasi awal capaian menumbuhkan kepercayaan
bahaya yang Perilaku 2 4 Cukup 4. Pahami situasi yang membuat ansietas,
memungkinkan individu gelisah menurun dengarkan dengan penuh perhatian
melakukan tindakan untuk Anoreksia 2 4 Cukup Edukasi
menghadapi ancaman. menurun 5. Latih teknik relaksasi
Frekuensi 2 4 Cukup Kolaborasi
nadi menurun 6. Kolaborasi pemberin obat antiansietas

Keterangan
1 = Meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 =
sedang, 4 = cukup menurun, 5 = menurun

Post Operasi
Diagnosa Keperawatan Intervensi (SIKI)
No. Tujuan/Kriteria Hasil (SLKI)
(SDKI)
1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri (1.08238)
pencedera fisiologis selama … x24 jam diharapkan nyeri akut Observasi
(inflamasi) (D.0077) menurun dengan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Kriteria Hasil: frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Definisi: Tingkat Nyeri (L.08066) 2. Identifikasi skala nyeri
pengalaman sensorik atau Indikator Skala Skala Ket. 3. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
emosional yang berkaitan
awal capaian hidup
dengan kerusakan
jaringan aktual atau Keluhan 2 4 Cukup Terapeutik
fungsional dengan onset nyeri menurun 4. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mendadak atau lambat Meringis 2 4 Cukup mengurangi rasa nyeri (mis. hipnosis,
dan berintensitas ringan menurun kompres hangat/dingin, terapi pijat)
hingga berat yang Gelisah 2 4 Cukup Edukasi
berlangsung kurang dari 3 menurun 5. Jelaskan strategi meredakan nyeri
bulan. 6. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
Kesulitan 2 5 Menurun
tidur mengurangi rasa nyeri
Keterangan: Kolaborasi
1 = Meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 = 7. Kolaborasi pemberian analgesik
sedang, 4 = cukup menurun, 5 = menurun
2. Inkontinensia fekal b.d Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Latihan Eliminasi Fekal (1.04150)
pascaoperasi pullthrough selama … x24 jam diharapkan kontinensia fekal Observasi
dan penutupan kolostomi membaik dengan 1. Monitor peristaltik usus
(D.0041) Kriteria Hasil: Terapeutik
Kontinensia fekal (L.04035) 2. Anjurkan waktu yang konsisten untuk
Definisi : Perubahan buang air besar
kebiasaan buang air besar Indikator Skala Skala Ket. 3. Gunakan enema rendah, jika perlu
dari pola normal dan awal capaian Edukasi
ditandai dengan Pengontrolan 2 4 Cukup 4. Anjurkan asupan cairan yang adekuat
pengeluaran feses secara pengeluaran menurun sesuai kebutuhan
involunter (tidak feses
disadari). Kolaborasi
Defekasi 2 4 Cukup 5. Kolaborasi penggunaan supositoria, jika
membaik perlu
Frekuensi 2 4 Cukup
buang air membaik
besar
Keterangan
1 = Meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 =
sedang, 4 = cukup menurun, 5 = menurun
1 = Memburuk, 2 = cukup memburuk, 3 =
sedang, 4 = cukup membaik, 5 = membaik
3. Risiko Infeksi b.d efek Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Pencegahan Infeksi (1.14539)
prosedur invasif (D.0142) selama …x 24 jam diharapkan tingkat infeksi Observasi
dengan 6. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
Definisi : Berisiko Kriteria Hasil: sistemik
mengalami peningkatan Tingkat infeksi (L.14137) Terapeutik
terserang organisme Indikator Skala Skala Ket. 7. Berikan perawatan kulit pada area edema
patogenik. 8. Pertahankan teknik aseptik pada pasien
awal capaian
Kemerahan 2 4 Cukup berisiko tinggi
menurun Edukasi
Nyeri 2 4 Cukup 9. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
menurun luka operasi
Kolaborasi
Keterangan 10. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
1 = Meningkat, 2 = cukup meningkat, 3 = perlu
sedang, 4 = cukup menurun, 5 = menurun
DAFTAR PUSTAKA

Adler, L.C. National Institutes of Health (2020). U.S. National Library of


Medicine MedlinePlus. Neonatal Sepsis.

Azzahroh, P., & Utami, W. E. (2017). Hubungan BBLR dengan Kejadian Sepsis
Neonatorum di RSUD Dr. H. Abdul Moelek Provinsi Lampung Tahun
2015. Jurnal Ilmu dan Budaya, 40(57), 6609 – 6616

Belachew, A. & Tewabe, T. Neonatal Sepsis and Its Association with Birth Weight
and GestationalAge Among Admitted Neonates in Ethiopia : Systematic
Review and Meta-analysis. BMCPediatrics, 20(55), 1 – 7.

Hasanah, N., Lestari, H., & Rasma, R. (2016). Analisis Faktor Risiko Jenis
Kelamin Bayi, BBLR, Persalinan, Prematur, Ketuban Pecah Dini dan
Tindakan Persalinan dengan Kejadian Sepsis Neonatus di Rumah Sakit
Bahtermas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2016. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Unsyiah, 1(3), 185324

Istiadah, S. F. (2019). Asuhan Keperawatan pada By. Ny. A yang mengalami


Sepsis Neonatorumdi Ruang Perinatalogi Lantai II Utara RSUP Fatmawati
Jakarta Selatan. Karya Tulis Ilmiah.Jakarta : Poltekkes Kemenkes Jakarta
I.

Kosim, M. (2014). Neonatologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Levitt, M. A., dan A. Pena . 2010. Chapter 36- Imperforate Anus and Cloacal
Malformations.

Martua, Y. S. (2021). Analisis Faktor – Faktor Risiko yang Berhubungan dengan


Kejadian Neonatorum di RSUD Taluk Kuantan. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, 13(1), 55-63

Mainolo, F. M., Fatmwati, I., & Mudrikatin, S. (2020). Asuhan Kebidanan pada
By. Ny. “S” NKBUmur 22 Hari dengan Sepsis Neonatorum di Ruang
Paviliun Anggrek RSUD Jombang. Jurnal Akademika Husada, 11(1), 72
– 85.

Mochtar, R. (2012). Sinopsis Obstreti : Obstetri Fisiologi. Jakarta : EGC


Pusponegoro, T. S. (2016). Sepsis pada Neonatus (Sepsis Neonatal). Sari
Pediatri, 2(2), 96-102

PPNI. 2018. Diagnosa Keperawatan Indonesia. Definisi dan Indikator


Diagnostik Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Rahmawati, P., Mayetti, M., & Rahman, S. (2018). Hubungan Sepsis


Neonatorum dengan BeratBadan Lahir pada Bayi di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(3), 405-410.

Anda mungkin juga menyukai