Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK KEBUTUHAN KHUSUS

DENGAN KASUS ATRESIA ANI

Disusun Oleh:
Kelompok 2
1. Candra Angrestin ST171014
2. Dery Ismiana ST171015
3. Desto Ariyo Wisnu Broto ST171016
4. Devi Sutra Mawar ST171017
5. Diknas Dwi Saputra ST171018
6. Diyah Widiyaningsih ST171019
7. Dwi Setiawan ST101020
8. Eko Sujianto ST171021
9. Eleonora Cindy Nisel Kahu ST171022
10. Ervin Romyanti ST171023
11. Evi Nurhayati ST171024
12. Frida Margiawan ST171025
13. Hafid Syabani ST171026
14. Haryadi ST171027

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Atresia ani paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Frekuensi
seluruh kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000
kelahiran, sedangkan atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan
kongenital pada neonatus dan dapat muncul sebagai penyakit tersering.
Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih banyak
ditemukan dari pada pasien perempuan.
Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup
dengan sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20 % -75 % bayi yang
menderita atresia ani juga menderita anomali lain. Kejadian tersering pada
laki-laki dan perempuan adalah anus imperforata dengan fistula antara usus
distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada perempuan (Alpers,
2006).
Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90 %. Berdasarkan dari
data yang didapatkan penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah
khususnya Semarang yaitu sekitar 50 % dari tahun 2007-2009.
Menyikapi kasus yang demikian serius akibat dari komplikasi penyakit
atresia ani, maka penulis mengangkat kasus atresia ani untuk lebih
memahami perawatan pada pasien dengan atresia ani. Berdasarkan berbagai
masalah yang dihadapi klien, Kelompok kami tertarik dengan kasus Asuhan
Keperawatan Anak dengan Atresia Ani.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiawa mengetahui Asuhan Keperawatan Anak dengan
kebutuhan khusus dengan kasus Atresia Ani
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mengetahui pengertian atresia ani
b) Mahasiswa mengetahui penyebab atresia ani
c) Mahasiswa mengetahui patofisiologi atresia ani
d) Mahasiswa mengetahui penatalaksanakan atresia ani
e) Mahasiswa mengetahui kasus atresia ani
C. Manfaat
a) Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian atresia ani
b) Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab atresia ani
c) Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi atresia ani
d) Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanakan atresia ani
e) Mahasiswa mampu menjelaskan kasus atresia ani
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya
tidak ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah
kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang yang normal.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz,
2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya
lubang atau saluran anus (Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak
lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya
anus secara abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus imperforata
adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian
endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.
Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).
Penulis menyimpulkan bahwa, atresia ani adalah kelainan kongenital
dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena
terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :

1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga


feses tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.

3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi
yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator

Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot

puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang


baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan
saluran genitourinarius.

2. Anomali intermediet

Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung


anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator

Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak


ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius –
retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung
buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari1 cm.

B. Etiologi

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada
sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena
ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain
juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
Faktor Predisposisi

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat
lahir, seperti :

1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan


anomali pada gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada
genitourinari.

C. Patofisiologi

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal


secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan
struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan
migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang
keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan
sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari
atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan
fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi
tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani

sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.

D. Manifestasi Klinis

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi. Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita
sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air
besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal. Gejala yang akan timbul :

1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.

2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya
salah.

4.) Perut kembung.

5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

(Ngastiyah, 2005)
E. Pathways

(Price, Sylvia A 2000)


F. Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang :

a. Eversi mukosa anal.

b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.

c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.

d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.

f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.

(Betz, 2002)

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :

a) Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter
ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses.
Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar
atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa
hari setelah lahir.
b) PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9
sampai 12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu
pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan
ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan
bertambah baik status nutrisinya.
c) Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB
akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang
frekuensinya dan agak padat.
H. Pemeriksaan Penunjang

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan

penunjang sebagai berikut :

1. Pemeriksaan radiologis

Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.

2. Sinar X terhadap abdomen

Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk


mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

3. Ultrasound terhadap abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem


pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
4. CT Scan

Digunakan untuk menentukan lesi.

5. Pyelografi intra vena

Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.


6. Pemeriksaan fisik rektum

Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan

selang atau jari.

7. Rontgenogram abdomen dan pelvis

Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang


berhubungan dengan traktus urinarius.
I. Asuhan Keperawatan Atresia Ani
1. Pengkajian

Konsep teori yang digunakan penulis adalah model


konseptual keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat
dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi :

a. Pola Persepsi Kesehatan

Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan


perawatan di rumah.
b. Pola Nutrisi dan Metabolik

Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umumnya terjadi


pada pasien dengan atresia ani post tutup kolostomi. Keinginan
pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan muntah
dampak dari anastesi.
c. Pola Eliminasi

Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit


dan paru maka tubuh dibersihkan dari bahan-bahan yang
melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena itu
pada pasien atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus,
sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi.
d. Pola Aktivitas dan Latihan

Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menghindari


kelemahan otot.
e. Pola Persepsi Kognitif

Menjelaskan tentang fungsi penglihatan,


pendengaran, penciuman dan daya ingatan masa lalu dan
ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.

f. Pola Tidur dan Istirahat

Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu


karena

nyeri pada luka insisi.

g. Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri

Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body


image, body comfort. Tidak terjadi perilaku distraksi, gelisah,
penolakan karena dampak luka jahitan operasi.
h. Pola Peran dan Pola Hubungan

Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum


dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab
atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
i. Pola Reproduksi dan Seksual

Pola ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi sosial sebagai


alat reproduksi.
j. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi

Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah


keuangan, dan rumah.
k. Pola Keyakinan

Untuk menerapkan sikap, keyakinan klien dalam


melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam
keseharian. Dengan ini diharapkan perawat memberikan
motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya
pelaksanaan ibadah.
2. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia
ani biasanya anus tampak merah, usus melebar, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam waktu 24 jam
setelah bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

1. Pre Operasi

a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya


pembentukan anus.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
muntah.

c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang


pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.
2. Post Operasi

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi


pembedahan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan
kebutuhan perawatan dirumah.

4. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan :

1. Pre Operasi

a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya


pembentukan anus.
Tujuan : Terjadi peningkatan fungsi usus.

KH : 1.) Pasien menunjukkan konsistensi tinja lembek

2.) Terbentuknya tinja

3.) Tidak ada nyeri saat defekasi

4.) Tidak terjadi perdarahan

Intervensi :

a.) Lakukan dilatasi anal sesuai program.

Rasional : Meningkatkan kenyamanan pada anak.

b.) Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam.

Rasional : Menyakinkan berfungsinya usus.

c.) Ukur lingkar abdomen klien.

Rasional : Membantu mendeteksi terjadinya distensi.

d.) Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai


fungsi usus normal.
Rasional : Memulihkan dan mengembalikan fungsi
usus.

b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan


muntah.

Tujuan : Volume cairan terpenuhi

Kriteria Hasil :

1.) Turgor kulit baik dan bibir tidak kering

2.) TTV dalam batas normal

Intervensi :

a.) Awasi masukan dan keluaran cairan.

Rasional : Untuk memberikan informasi tentang


keseimbangan cairan.

b.) Kaji tanda-tanda vital seperti TD, frekuensi


jantung, dan nadi.

Rasional : Kekurangan cairan meningkatkan


frekuensi jantung, TD dan nadi turun.

c.) Observasi tanda-tanda perdarahan yang terjadi


post operasi.

Rasional : Penurunan volume menyebabkan


kekeringan pada jaringan.

d.) Kolaborasi dalam pemberian cairan elektrolit


sesuai indikasi.

Rasional : Untuk pemenuhan cairan yang hilang.


c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.
Tujuan : Rasa cemas dapat hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil :
1.) Ansietas berkurang

2.) Klien tidak gelisah

Intervensi :

a.) Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien dan
keluarga.

Rasional : Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana

informasi tersebut diterima.

b.) Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum


dilakukan operasi.
Rasional : Dapat meringankan ansietas terutama ketika
tindakan operasi tersebut dilakukan.
c.) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan isi pikiran
dan perasaan takutnya.
Rasional : Mengungkapkan rasa takut secara terbuka
dimana rasa takut dapat ditujukan.
d.) Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.

Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi


ansietas.

2. Post Operasi

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi


pembedahan.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang dan skala nyeri berkurang
Kriteria Hasil :

1.) Klien mengatakan nyeri berkurang

2.) Skala nyeri 0-1

3.) Ekspresi wajah terlihat rileks

Intervensi :

a.) Kaji karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, dan kualitas


nyeri.

Rasional : Bantu klien untuk menilai nyeri dan sebagai


temuan dalam pengkajian.

b.) Ajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi


dan distraksi.

Rasional : Membantu dalam menurukan atau


mengurangi persepsi atau respon nyeri.

c.) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan anjurkan klien


untuk istirahat.

Rasional : Memberikan kenyamanan untuk klien agar


dapat istirahat.

d.) Kolaborasi untuk pemberian analgetik sesuai advis


dokter.

Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan anoreksia.
Tujuan : Asupan nutrisi dapat terpenuhi dan
menuunjukkan perbaikan usus.

Kriteria Hasil :

1.) Tidak terjadi penurunan BB.

2.) Klien tidak mual dan muntah

Intervensi :

a.) Kaji kemampuan klien untuk menelan dan menguyah


makanan.

Rasional : Menentukan pemilihan jenis makanan


sehingga mencegah terjadinya aspirasi.

b.) Timbang berat badan sesuai indikasi.

Rasional : Mengevaluasi keadekuatan rencana


pemenuhan nutrisi.

c.) Jaga keamanan saat memberikan makan klien seperti


kepala sedikit fleksi saat menelan.
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya aspirasi dan
mengurangi rasa nyeri pada saat menelan.

d.) Berikan makanan lembut dalam porsi sedikit tapi sering.

Rasioanl : Meningkatkan pemasukan dan menurunkan


distress gaster.

c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.


Tujuan : Tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil :
1.) Tidak ada tanda-tanda infeksi

2.) Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan


peningkatan leukosit.

3.) Luka post operasi bersih

Interversi :

a.) Pantau suhu tubuh klien (peningkatan suhu).

Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi.

b.) Ajarkan keluarga teknik mencuci tangan dengan benar


dan menggunakan sabun anti mikroba.
Rasional : Faktor ini paling sederhana tetapi paling
penting untuk mencegah infeksi di rumah sakit.

c.) Pertahankan teknik aseptik pada perawatan luka.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.

d.) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi luka.

e.) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.

Rasional : Peningkatan leukosit menunjukkan adanya


infeksi.

d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan


kebutuhan perawatan dirumah.
Tujuan : Pasien dan keluarga memahami perawatan di
rumah Kriteria Hasil :
1.) Kelurga menunjukkan kemampuan untuk
memberikan perawatan untuk bayi di rumah.
2.) Keluarga tahu dan memahami dalam memberikan
perawatan pada klien.

Intervensi :

a.) Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam


perawatan.

Rasional : Agar keluarga dapat melakukannya.

b.) Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang


perlu dilaporkan perawat.
Rasional : Agar segera dilakukan tindakan.

c.) Ajarkan keluarga cara perawatan luka yang tepat.

Rasional : Dapat memberikan pengetahuan keluarga

d.) Latih keluarga untuk kebiasaan defekasi.

Rasional : untuk melatih pasien.

e.) Ajarkan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya


serat).

Rasional : Membantu klien memperlancar defekasi.

Anda mungkin juga menyukai