Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PATOFISIOLOGI KELAINAN PADA SISTEM DIGESTIVE DAN ASKEP PADA


ANAK (ATRESIA ANI)

Di susun oleh :

Septevano Aghatha Putra (193210032) Savita Nur Jannah (193210030)

Ulfatul Hasanah (193210040) Arikatul Jannah Ahmad (193210008)

Nilla Dwi Anggraini (193210001) Siti Nur Amilia Sholihah (193210035)

Meri (193210019) Fajar bagus Kurniawan (193210042)

Silvia Mayanti Putri (193210034) Wulan Shofiyah Romdhani (193210041)

Indriyani (193210017)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG

TAHUN 2020/2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan
atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat muncul
sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih
banyak ditemukan dari pada pasien perempuan.
Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup dengan sedikit
lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20 % -75 % bayi yang menderita atresia ani juga
menderita anomali lain. Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus
imperforata dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada
perempuan (Alpers, 2006).
Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90 %. Berdasarkan dari data yang didapatkan
penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah khususnya Semarang yaitu sekitar 50%
dari tahun 2007-2009. Menyikapi kasus yang demikian serius akibat dari komplikasi penyakit
atresia ani, maka penulis mengangkat kasus atresia ani untuk lebih memahami perawatan
pada pasien dengan atresia ani.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan atresia Ani?
2. Apa etiologi dari atresia ani?
3. Apa saja klasifikasi dari atresia ani?
4. Bagaimana patofisiologi dari atresia ani?
5. Bagaimana WOC dari atresia ani?
6. Apa saja tanda dan gejala atresia ani?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang dari atresia ani?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari atresia ani?
9. Apa saja komplikasi dari atresia ani?
10. Apa saja isi pengkajian asuhan keperawatan pada atresia ani?
11. Apa saja diagnosa asuhan keperawatan pada atresia ani?
12. Bagaimana intervensi asuhankeperawatan pada atresia ani?

2
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari atresia ani
2. Mengetahui etiologi dari atresia ani
3. Mengetahui klasifikasi dari atresia ani
4. Mengetahui patofisiologi dari atresia ani
5. Mengetahui WOC dari atresia ani
6. Mengetahui tanda dan gejala dari atresia ani
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari atresia ani
8. Mengetahui penatalaksanaan dari atresia ani
9. Mengetahui komplikasi dari atresia ani
10. Mengetahui pengkajian dari asuhan keperawatan pada atresia ani
11. Mengetahui diagnosa keperawatan dari asuhan keperawatan atresia ani
12. Mengetahui intervensi dari asuhan keperawatan atresia ani

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Anatomi


Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang
keluar (Walley, 1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak
lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara
abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana
rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi
gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan. Jadi menurut
kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus
tidakmempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan
kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti
saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau
pemeriksaan perineum. Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai
anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002).
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM).

2.2 Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan
kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan pembentukan anus
dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan
rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter
internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi
bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang

4
mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan
pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan
kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani.
Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi
rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan
septum urorektal yang memisahkannya.
 Faktor predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir
seperti :
1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal,
jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
2. Kelainan sistem pencernaan.
3. Kelainan sistem pekemihan.
4. Kelainan tulang belakang.

2.3 Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar
yaitu:
1. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai
melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau
rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi,
maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi
spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
a. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat
sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal
dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
b. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan

5
sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.

c. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini
biasanya berhubungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau
rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum
lebih dari 1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi
2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I
dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar
dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara
praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter
terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter.
Bila dengan kateter urin mengandung mekonium maka fistel ke vesikaurinaria. Bila
evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia
rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak
ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan
kolostomi.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak
ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi
tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara
fistel terdapat divulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu.
Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi
dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka
tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna.
Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan
kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok
dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram.
Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,

6
membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada
wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal
biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada
sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan
perempuan, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1
cm dari kulit pada invertogram, perlu juga dilakukan pembedahan.
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat
diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang
seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus
segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara <
1cm dari kulit dapat segera dilakukan pembedahan definitive. Dalam hal ini evakuasi
tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

2.4 Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan.
Berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.
Terdapat tiga macam letak :
1. Tinggi (supralevator) : Rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis)
dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel kesaluran kencing atau saluran
genital.
2. Intermediate : Rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : Rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rectum paling jauh 1 cm.
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya

7
mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal
dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi, 2001). Gejala lain yang nampak diketahui
adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan
intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat
menonjol (Adele,1996).
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah
satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena
cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui
jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
3. USG terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan
dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.

2.7 Penatalaksanaan Medis


1. Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi
posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
2. Colostomi sementara

2.8 Asuhan keperawatan


1. Pengkajian
Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah
pasien dengan tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan.

8
Dan keberhasilan proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori
yang difunakan penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon.
a. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi:
1) Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.
2) Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan
atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu
oleh mual dan munta dampak dari anestesi.
3) Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka
tubuh dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi kebutuhan dan dari
produk buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada
anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi (Whaley &
Wong, 1996).
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
5) Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya
ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
6) Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada
luka inisisi.
7) Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body
comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka
jahitan operasi (Doenges, 1993).

8) Peran dan Pola Hubungan


Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.
Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik
untuk melaksanakan peran (Doenges, 1993).
9) Pola reproduksi dan Seksual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,

9
1993).
10) Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah
(Doenges, 1993).
11) Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang
dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat
dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya
pelaksanaan ibadah (Mediana, 1998).
b. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah
anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi,
termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja
dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996).
1. Keadaan umum: Klien lemah
2. Tanda-tanda vital
a. Nadi : 120 – 140 kali per menit
b. Tekanan darah : -
c. Suhu : 36,5-37,5 C
d. RR : 30-40 kali per menit
e. BB : >2500 gr
f. TB : normal
3. Data sistematik
a) System kardiovaskuler
Tekanan darah normal, Denyut nadi normal (120-140 kali per menit)
b) System respirasi dan pernafasan
Klien tidak mengalami gangguan pernapasan
c) System gastrointestinal
Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit pada
24-28 jam setelah lahir. Tidak ditemukan adanya saluran anus.
d) System musculosceletal
Klien tidak mengalami gangguansistem musculoskeletal
e) System integument

10
Klien tidak mengalami gangguan system integument
f) System perkemihan
Pada bayi laki-laki terdapat mekonium di dalam urine, dan pada bayi
perempuan dengan fistula urogenital ditemukan mekonium dalam vagina.

2. Diagnosa Keperawatan
Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan
diagnosa keperawatan, sehingga dapat diperoleh diagnosa keperawatan yang
spesifik. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani
yaitu:
 Sebelum proses pembedahan :
1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak
lengkapnya pembentukan anus (Suriadi, 2001).
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan atu muntah (Doenges,1993).
3) Kecemasan keluarga berhubungan dengan prosedur pembedahan dan
kondisi bayi (Suriadi, 2001).

 Setelah proses pembedahan :


1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1993).
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges, 1993).
3) Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges, 1993).
4) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan
(Doenges, 1993).
5) Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di
rumah (Whaley & Wong, 1996).

d. Intervensi Keperawatan
Fokus intervensi keperawatan pada atresia ani adalah sebagai berikut :
 Sebelum proses pembedahan :
1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik) berhubungan dengan tidak
lengkapnya pembentukan anus (Suriadi, 2001).
Tujuan : terjadi peningkatan fungsi usus

11
Kriteria hasil : pasien akan menunjukkan konsistensi tinja lembek,
terbentuknya tinja, tidak ada nyeri saat defekasi, tidak terjadi perdarahan.
Intervensi :
a) Dilatasikan anal sesuai program.
b) Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus
normal.
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan atau muntah (Doenges, 1993).
Tujuan : kebutuhan nurtisi tubuh tercukupi
Kriteria hasil : menunjukkan peningkatan BB, nilai laboratorium
normal, bebas tanda mal nutrisi.
Intervensi :
a) Pantau masukan/ pengeluaran makanan / cairan.
b) Kaji kesukaan makanan anak.
c) Beri makan sedikit tapi sering.
d) Pantau berat badan secara periodik.
e) Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk
anak untuk makan.
f) Beri perawatan mulut sebelum makan.
g) Berikan isirahat yang adekuat.
h) Pemberian nutrisi secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan
kalori sesuai program diit.
3) Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi
(Suriadi, 2001 : 159).
Tujuan : memberi support emosional pada keluarga
Kriteria hasil : keluarga akan mengekspresikan perasaan dan pemahaman
terhadap kebutuhan intervensi perawatan dan pengobatan.
Intervensi :
a) Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan.
b) Berikan informasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan di rumah.
c) Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien.
d) Berikan pujian pada keluarga saat memberikan perawatan pada pasien.
e) Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vital dan
pengkajian.

12
 Setelah proses pembedahan :
1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges, 1996).
Tujuan : tidak terjadi gangguan integritas kulit
Kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi kerusakan
di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi :
a. Kaji area stoma.
b. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada
area stoma.
c. Sebelum terpasang colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma.
d. Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar
1/8 dari ukuran stoma.
e. Selidiki apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges, 1993).
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : tidak ada tanda – tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal.
Intervensi :
a) Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis
atau perawatan.
b) Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.
c) Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih.
d) Pantau dan batasi pengunjung, beri isolasi jika memungkinkan.
e) Beri antibiotik sesuai advis dokter. .
3) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan
(Doenges, 1996).
Tujuan : pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, pasien
akan tampak rileks
Kriteria hasil : ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal.
3. Implementasi
Adalah tahap pelaksanaan atau implementasi terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah dibuat atau ditetapkan untuk perawat bersama klien ataupun
tenaga kesehatan lainnya guna mengatasi masalah kesehatan klien. Pelaksanaan

13
dilakukan sesuai dengan rencana tindakan yang telah divalidasi sesuai dengan
kebutuhan klien.

4. Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan ini adalah
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah tahap pelaksanaan tidakan
keperawatan dengan tujuan dan criteria hasil yang diharapkan dalam tahap
perrencanaan. Perawat mempunyai 3 alternatif dalam mengevaluasi atau menentukan
sejauh mana tujuan tersebut tercapai, diantaranya adalah :
1. Tujuan tercapai : jika data subjektif dan objektif ditemukan pada saat
evaluasi telah memenuhi kriteria hasil.
2. Tujuan teratasi sebagian : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan hanya
sebagian yang sesuai dengan kriteria hasil.
3. Tujuan belum tercapai : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan tidak
sesuai dengan kriteria hasil.

14
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rectum tidak mempunyai lubang
keluar (Walley, 1996). Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan
pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Secara fungsional, atresia ani dibagi
menjadi 2 yaitu tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis
dan tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja.
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan Sinar X terhadap abdomen, Ultrasound terhadap abdomen, CT Scan dan
Pemeriksaan fisik rektum. Penatalaksanaan Medis yang sering dilakukan pada pasien
atresia ani yaitu pada Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang
disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital dan Colostomi
sementara.

3.2 Saran
Sebagai seorang perawat yang professional, maka seharusnya kita bisa melakukan
pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir terutama pada anggota badan yang rentan
mengalami kelainan kongenital seperti anus. Hal yang harus dilakukan adalah bayi
dilakukan colok dubur untuk mengetahui apakah bayi mempunyai anus atau tidak. Lalu
dianjurkan bayi untuk menginap di klinik atau RS dalam waktu 24 jam untuk mengetahui
apakah bayi sudah mengeluarkan mekonium atau tidak, kalau dalam jangka waktu
tersebut bayi sudah mengeluarkan mekonium maka bayi tidak mengalami kelainan.
Untuk ibu bayi yang mengalami atresia ani sebaiknya bias berkolaborasi dengan tim
medis dalam melakukan perawatan bayinya tersebut. Bayi terkadang dilakukan
pembedahan kolostomi dan harus dirawat secara ekstra agar kolostomi tersebut tidak
mengalami infeksi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. “Buku Saku Keperawatan


Pediatrik”. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Doengoes Merillynn. 1999. “Rencana Asuhan Keperawatan, Nursing care
plans, Guidelines for planing and documenting patient care”. Alih bahasa : I Made
Kariasa, Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC

Wong, Donna L. 2003. “Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik”. Sri


Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC..
Jakarta.

jtptunimus-gdl-sriwenidew-5112-2-bab2.pdf

http://hidayat2.wordpress.com/2009/04/11/askep-atresia-ani/

http://ainicahayamata.wordpress.com/nursing-only/keperawatan-anak/askep-
atresia-ani/

http://www.kapukonline.com/2010/03/askepatresiaani.html

16

Anda mungkin juga menyukai