Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkah dan rahmat yang
diberikan, sehingga penulisan makalah berjudul “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Intoksikasi Makanan” untuk mata kuliah Keperawatan Kritis 1 sebagai tugas e-learning ini dapat
terselesaikan. Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang bagaimana konsep
keperawatan pada kegawatan pada kasus intoksikasi atau keracunan makanan serta
penatalaksanaan dan asuhan keperawatan yang tepat.
Dalam menyusun makalah ini, tentunya berbagai hambatan telah dialami. Oleh karena itu,
terselesaikannya makalah ini bukan semata-mata karena kemampuan individual belaka, melainkan
karena adanya dukungan dan bantuan dari pihak-pihak terkait. Sehubungan dengan hal tersebut,
dengan ketulusan hati disampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Sriyono, Ns.Sp.Kep.M.B
selaku fasilitator. Terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga. Juga kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu.
Dalam penyusunannya, disadari bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis masih
sangat terbatas, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat untuk kita semua.

Surabaya, 24 Desember 2013

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampuli
Kata Pengantarii
Daftar Isiiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang1
1.2 Tujuan2
1.2.1 Tujuan Umum2
1.2.2 Tujuan Khusus2
1.3 Manfaat3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi4
2.2 Etiologi4
2.3 Manifestasi Klinis6
2.4 Patofisiologi/WOC7
2.5 Pemeriksaan Diagnosis12
2.6 Penatalaksanaan14
2.7 Komplikasi16
2.8 Prognosis16
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus Semu17
3.2 Pengkajian17
3.2.1 Primary Survey17
3.2.2 Secondary Survey17
3.3 Analisa Data18
3.4 Diagnosa Keperawatan19
3.5 Intervensi Keperawatan19
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan23
4.2 Saran23
DAFTAR PUSTAKA24
iii

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Intoksikasi makanan berarti penyakit yang terjadi setelah menyantap makanan mengandung racun
yang dapat berasal dari mikroba yang mampu menghasilkan racun. Pada dasarnya, racun ini mampu
merusak semua organ tubuh manusia, tetapi yang paling sering terganggu adalah saluran cerna dan
sistem saraf. Gangguan saluran cerna bermanifestasi sebagai sakit perut, rasa mual, muntah, dan
terkadang disertai diare. Sementara itu, gangguan sistem safar timbul sebagai rasa lemah, gatal,
kesemutan (parastesi), dan kelemahan (paralisis) otot pernafasan.
Angka kejadian kasus keracunan makanan di Amerika Serikat berkisar pada angka 6,5 sampai 81 juta
kasus per tahun. Data KLB keracunan pangan oleh BPOM (2012), menunjukkan bahwa telah terjadi
128 KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2011. Sebanyak 38 (29.69 %) KLB keracunan
pangan tersebut diakibatkan oleh cemaran mikroba, 19 (14.84 %) akibat keracunan cemaran kimia
dan 71 (55.47 %) tidak diketahui penyebabnya. Selain itu, dari data tersebut menunjukkan bahwa
kasus keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2011 disebabkan oleh masakan rumah tangga 58
KLB (45.31 %), pangan olahan 16 KLB (12.50 %), pangan jasa boga 30 KLB (23.4 %), pangan jajanan 16
KLB (12.50 %), dan lain-lain 8 KLB (6.25 %). Dari berbagai kasus keracunan tersebut, ternyata yang
menjadi penyebabnya adalah rendahnya kebersihan individu maupun sanitasi lingkungan.
Foodborne toxicoinfections terjadi jika jasad renik yang terkonsumsi mampu menghasilkan racun
sambil bereproduksi di dalam saluran cerna. Artinya, bukan hanya jasad renik yang membahayakan,
melainkan racun yang dihasilkannya. Clostridium perfringers and E. Coli O157:H7 adalah sebagian
dari golongan ini. Sedangkan Foodborne intoxications terjadi akibat mengonsumsi makanan yang
telah mengandung racun. Racun ini terlepas selama pertumbuhan bakteri (enterotoksin). Penyakit
yang dilatarbelakangi oleh toksin ini biasanya cepat bermanifestasi. Zat beracun dapat berupa zat
kimia yang berbahaya atau tidak berbahaya dalam jumlah kecil, tetapi sangat beracun dalam jumlah
besar. Zat berbahaya tersebut menyelinap, selanjutnya masuk ke dalam tubuh manusia, tumbuhan,
atau binatang tanpa disengaja mulai dari saat bertunas, masa pemupukan, pemrosesan, atau
akumulasi selama penyimpanan di dalam kemasan logam. Jasad renik dapat pula menyelinap ke
dalam makanan melalui daging binatang yang terinfeksi, pemrosesan bahan pangan, atau lingkungan
tempat bahan tersebut diolah. Sewaktu jasad renik berada di dalam makanan, organisme tersebut
tidak hanya berkembang biak, tetapi juga menghasilkan racun.
Tingginya angka kejadian intoksikasi makanan menjadikan pentingnya pembahasan mengenai
intoksikasi makanan secara rinci beserta asuhan keperawatannya.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan intoksikasi makanan serta
mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien secara komprehensif.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Menjelaskan definisi dari intoksikasi makanan.
2. Menjelaskan etiologi intoksikasi makanan.
3. Menjelaskan manifestasi klinis dari intoksikasi makanan.
4. Menjelaskan patofisiologi dan WOC (Web Of Causation) intoksikasi makanan.
5. Mengidentifikasi pemeriksaan diagnostik pada klien dengan intoksikasi makanan.
6. Mengidentifikasi penatalaksanaan pada klien dengan intoksikasi makanan.
7. Mengidentifikasi komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan intoksikasi makanan.
8. Menjelaskan prognosis pada klien dengan intoksikasi makanan.
9. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan intoksikasi makanan.

1.3 Manfaat
Mahasiswa mengetahui tentang keperawatan kritis pada klien denagn kasus intoksikasi makanan
dan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatannya secara komprehensif.
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Makanan adalah sesuatu yang mengandung zat-zat (nutrient) yang digunakan untuk kelangsungan
hidup manusia. Makanan mengandung zat yang dibutuhkan manusia dan secara kontinu dibutuhkan
setiap hari. Berbagai bahaya dapat terjadi berhubungan dengan makanan. Bahaya itu mungkin
karena proses yag terjadi pada makanan itu atau merupakan sifat yang sudah ada atau zat yang
berbahaya dari luar masuk dan mengotori makanan itu. Bahaya yang dapat terjadi dari makanan
adalah keracunan. Racun yang terdapat dalam makanan mungkin merupakan racun alam yang sudah
ada dalam makanan itu yang baik di sengaja atau tidak tercampur dalam makanan. Racun dalam
makanan dapat berasal dari :
1) Racun alami, berbagai bahan makanan baik nabati maupun hewani yang mengandung racun yang
pada umumnya sudah di kenal oleh masyarakat, yaitu: singkong yang mengandung HCN, cendawan
dapat mengandung muskarin, biji bengkuang mengandung pakpakrizida, dan jengkol mengandung
asam jengkol.
2) Racun yang berasal dari luar makanan, misalnya sayuran yang terkontaminasi oleh insektisida
racun yang berbentuk bubuk di sangka tepung.
3) Racun yang disebabkan karena mikroorganisme yang terdapat pada makanan, misalnya
Clostridium botulium, mengeluarkan toxin yang menyerang saraf, Streptococcus, menyebabkan
diarrhea, Trichinella spiralis pada daging sapi dan babi yang sakit.
2.2 Etiologi
Keracunan makanan seringkali disebabkan karena beberapa hal seperti (1) bahan asing
anorganik/organik yang secara sengaja/tidak tercampur pada makanan saat proses pembuatan atau
pengawetan; (2) adanya racun dalam makanan itu, misalnya keracunan ikan, jamur, singkong; (3)
terdapat kuman/parasit dalam makanan, misalnya E. histolisia, Salmonella, dan lain-lain; (4) terdapat
toxin kuman dan makanan, misalnya Cl. botulinum, Staphylococcus toxic, keracunan tempe.

Beberapa tindakan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya keracunan bahan makanan, yaitu:
1) kebersihan pribadi (personal hygiene), mencuci bersih tangan dengan air bersih mengurangi
terjadinya keracunan akibat kontaminasi bahan racun yang terbawa oleh tangan; 2) kebersihan
lingkungan (environmental hygiene), penyimpanan makanan harus diusahakan sedemikian rupa
sehingga tidak dikotori oleh serangga atau binatang. Penyegar udara di ruangan penyimpanan harus
baik untuk mencegah kerusakan makanan; dan 3) pengolahan dan penyajian yang baik dan bersih,
suhu pada saat memasak harus tinggi untuk mematikan kuman tetapi tidak boleh terlalu tinggi
sehingga merusak zat makanan dan mengurangi gizi.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan keracunan, antara lain:
1) Membeli makanan yang sudah terkontaminasi oleh bahan racun. Racun tersebut bisa berasal dari
insektisida tanaman maupun zat warna yang digunakan untuk mewarnai makanan. Sekarang ada
kecenderungan masyarakat membeli bahan makanan yang murah karena pertimbangan ekonomis
tetapi mereka tidak sadar dari bahan apa makanan itu dibuat, misalnya kerupuk, biscuit dengan
warna yang bermacam-macam.
2) Membeli makanan yang sudah busuk dan sudah saatnya dibuang, misalnya tempe bongkrek.
3) Menggunakan zat kimia yang berlebihan dalam proses pembuatan makanan, misalnya pemberian
vetsin yang berlebihan, pemberian zat warna yang berlebihan untuk pembuatan sirup.
4) Tidak teliti dalam membeli makanan yang diawetkan, misalnya makanan dalam kaleng yang sudah
rusak.
5) Tidak menjaga kebersihan dalam mengolah makanan, misalnya mencuci beras yang telah di jamah
tikus dengan tidak bersih, peralatan dapur yang jarang dibersihkan. Dengan demikian keracunan
makanan lebih banyak dipengaruhi oleh ketidak hati-hatian atau kekurang pahaman masyarakat
konsumen produk makanan.
Selain itu etiologi yang muncul pada intoksikasi makanan adalah :
1) Mikroba
a. Escherechia coli pathogen
b. Staphilococus aureus
c. Salmonella
d. Bacillus parahemolyticus
e. Clostridium botulisme
f. Streptokkus
2) Bahan kimia
a. Peptisida golongan organofosfat
b. Organo Sulfat dan Karbonat
3) Toksin
a. Jamur
b. Keracunan singkong
c. Tempe bongkrek
d. Bayam beracun
e. Kerang
2.3 Manifestasi Klinis
Kebanyakan makanan poisonings terwujud dalam pertama 2 sampai 6 jam setelah konsumsi
terkontaminasi makanan atau air. Ini disebut periode inkubasinya dan mungkin lebih lama atau
pendek tergantung pada penyebab infeksi.
Gejala umum keracunan makanan meliputi :
1) Sakit perut dan sakit
2) Mual dan muntah
3) Sakit kepala
4) Kelemahan yang mungkin parah atau bahkan menyebabkan kelumpuhan
5) Diare-mungkin berair dan berlebihan atau mungkin berdarah
6) Demam dengan menggigil
7) Nyeri otot
Gejala yang paling menonjol muncul dalam kasus keracunan makanan meliputi :
1) Kelainan visus
2) Hiperaktivitas kelenjar ludah dan keringat
3) Gangguan saluran pencernaan
4) Kesukaran bernafas
5) Keracunan ringan
6) Anoreksia
7) Nyeri kepala
8) Rasa lemah
9) Rasa takut
10) Tremor
2.4 Patofisiologi/WOC
Istilah keracunan makanan (Food poisonig/Food intoxication) sebaiknya jangan dicampuradukkan
dengan foodborne disease/illness. Meskipun keduanya ditularkan lewat makanan, istilah terakhir ini
mengacu pada semua mikroorganisme (bakteri, virus, dan parasit) tanpa mempedulikan mampu
tidaknya mikroba tersebut menghasilkan racun. Selain itu, keracunan makanan hanya berkaitan
dengan makanan yang secara alami telah mengandung racun atau telah tercemar oleh jasad renik
penghasil racun.
Dalam praktiknya, foodborne illness dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fooborne infections,
foodborne toxicoinfections, dan foodborne intoxications. Foodborne infections terjadi bila jasad
renik patogen terkonsumsi dan kemudian menetap di dalam tubuh. Biasanya, jasad renik ini
memperbanyak diri di dalam saluran cerna sambil mengiritasi dinding saluran cerna, bahkan
terkadang mengivasi jaringan. Contoh jasad renik patogen golongan tersebut adalah Listeria,
Salmonella, dan Campylobacter. Akan tetapi, tidak semua Salmonella menimbulkan infeksi,
sebagian varian Salmonella lain ternyata mampu menghasilkan racun sehingga berperan sebagai
penyebab keracunan makanan.
Foodborne toxicoinfections terjadi jika jasad renik yang terkonsumsi mampu menghasilkan racun
sambil bereproduksi di dalam saluran cerna. Artinya, bukan hanya jasad renik yang membahayakan,
melainkan racun yang dihasilkannya. Clostridium perfringers and E. Coli O157:H7 adalah sebagian
dari golongan ini. Foodborne intoxications terjadi akibat mengonsumsi makanan yang telah
mengandung racun. Racun ini terlepas selama pertumbuhan bakteri (enterotoksin). Penyakit yang
dilatarbelakangi oleh toksin ini biasanya cepat bermanifestasi (lihat gambar 2.1 “Klasifikasi Penyebab
Foodborne Disease”).

Gambar 2.1 Klasifikasi Penyebab Foodborne Disease

Zat beracun dapat berupa zat kimia yang berbahaya atau tidak berbahaya dalam jumlah kecil, tetapi
sangat beracun dalam jumlah besar. Zat berbahaya tersebut menyelinap, selanjutnya masuk ke
dalam tubuh manusia, tumbuhan, atau binatang tanpa disengaja mulai dari saat bertunas, masa
pemupukan, pemrosesan, atau akumulasi selama penyimpanan di dalam kemasan logam. Jasad
renik dapat pula menyelinap ke dalam makanan melalui daging binatang yang terinfeksi,
pemrosesan bahan pangan, atau lingkungan tempat bahan tersebut diolah. Sewaktu jasad renik
berada di dalam makanan, organisme tersebut tidak hanya berkembang biak, tetapi juga
menghasilkan racun. Dalam waktu singkat, bahan beracun dalam makanan tersebut mampu
menimbulkan penyakit, terutama yang mengganggu saluran cerna. Berdasarkan kecepatan
timbulnya penyakit, peristiwa tersebut disebut keracunan makanan. Karena gangguan utama
terpusat di saluran cerna, penyakit ini disebut gastroenteritis.
1) Masa inkubasi singkat (1 hari, biasanya kurang dari 16 jam)
Keracunan makanan dengan masa inkubasi yang sangat singkat pada umumnya dilatarbelakangi oleh
bahan kimia dan bakteri penghasil toksin. Timbulnya rasa mual yang berlanjut menjadi muntah dan
kram perut sekitar 1-2 jam setelah makan, biasanya mengarah pada keracunan logam, toksin yang
berasal dari ikan (ciguatera dan skombroid), kerang beracun, MSG atau jamur. Bahan toksik pada
kerang dan ciguatera berasal dari dinoflagella yang termakan dan menetap di dalam jasad ikan dan
kerang tersebut.
Bakteri S. Aureus dan B. Cereus (tipe emetik) biasanya menyebabkan sindrom muntah, yang muncul
1-6 jam setelah makan. Jenis toksin emetik yang dimiliki oleh B. Cereus adalah preformed bebat-
stable toxin, yang dihasilkan ketika spora mengalami perkecambahan (germinasi), sedangkan toksin
S. Aureus berupa preformed enterotoxins A-E. Sayangnya, sindrom muntah yang disebabkan oleh
kedua bakteri ini tidak dapat dibedakan satu sama lain.
Diare yang timbul sekitar 8-16 jam setelah makan biasanya disebakan oleh Clostridium perfringens
tipe A dan B cereus (tipe diare). Diare dengan kram perut yang sering disebabkan oleh Cl.
Perfringens tipe A, biasanya terjadi 1 hari setelah mengonsumsi daging masak yang disimpan di
lingkungan bertemperatur 15-60 C. Pendinginan yang berlangsung lambat memungkinkan spora
berkecambah dan mengeluarkan enterotoksin.
2) Masa inkubasi sedang (1-3 hari)
Salmonella (nontyphidal salmonellosis maupun typhoidal), EIEC, ETEC, Vibrio parahaemolyticus, dan
Campylobacter jejuni adalah sebagian contoh kelompok ini. Gejala tidak jarang muncul sebelum satu
hari (rata-rata 12 jam). Gejala berupa kram perut, diare (terkadang berdarah dan berlendir), dan
muntah. Pada kasus yang lebih berat, dapat timbul sakit kepala, demam, menggigil. Kelemahan yang
parah tidak jarang menyertai. Clostridium botulinum juga tergolong dalam kelompok ini, dengan
masa inkubasi 18-36 jam (1 hingga 3 hari), dan dapat (meskipun kecil) menimbulkan diare (5 %
pasien) maupun konstipasi.
Tampilan gejala sangat bergantung pada organ yang terkena (usus kecil atau besar) dan jasad renik
patogen yang terlibat. Demam yang disertai diare berdarah-lendir, kram, atau tenesmus
mencerminkan bahwa usus besar telaah diinvasi oleh jasad renik patogen. Jasad renik patogen
tersebut, khususnya yang menginvasi usus besar, menyekresi enterotoksin.
Selain itu, masa inkubasi yang berdurasi sedang ini juga dapat disebabkan oleh Clostridium
botulinum, yang menimbulkan gejala mual, muntah, dan gejala kerusakan saraf otonom. Diare hanya
dialami oleh sekitar 5% pasien, sementara konstipasi dialami oleh lebih banyak penderita. Bayi yang
mengalami botulisme mengalami kelemahan otot, yang timbul sebagai tangisan melemah, kesulitan
mengisap (puting susu, atau dot) dan menelan, serta gagal napas. Bayi dapat mengalami hipotonia
pada pemeriksaan fisik, meskipun tetap sadar.
3) Masa inkubasi lama (3-5 hari)
Rasa nyeri di perut (derajat ringan-sedang), malaise, demam sesaat, dan diikuti oleh diare cair
merupakan gejala khas. Diare berdarah yang sering kali terjadi 3-4 hari setelahnya, menandakan
perburukan penyakit. Bila kondisi ini (diare berdarah) tak ditangani, HUS (hemolytic uremic
syndrome) akan terjadi sekitar 5-13 hari kemudian.
4) Masa inkubasi yang sangat lama (1-4 minggu)
Bakteri dengan masa inkubasi yang sangat lama meliputi Listeria monocytogenes dan Brucella
militansi. Organisme lain dengan masa inkubasi yang sangat lama adalah golongan virus (hepatitis A),
protozoa (toksoplasmosis), dan parasit (antara lain giardiasis, amebiasis, dan kriptosporidiosis). Diare
yang disebabkan oleh listeriosis sesungguhnya berinkubasi dalam waktu kurang dari 48 jam, tetapi
penyebaran sistemiknya baru terjadi beberapa minggu kemudian.
Makanan yang hampir selalu terkait dengan keracunan makanan, antara lain telur setengah matang
(enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri), keluarga kerang, jamur liar, ikan laut, masakan Cina
(keracunan akibat MSG), daging hewan (setengah matang atau hasil buruan), usus segar, keju, es
krim, makanan kaleng, makanan yang disimpan dalam wajan berkarat (tercemar oleh seng, timah
atau kadmium), dan buah segar (kemungkinan tercemar oleh pestisida). Selain itu, tidak sedikit pula
kegiatan yang memudahkan terjadinya keracunan. Contoh kegiatan tersebut, antara lain pertanian
dan perkebunan, kontak dengan hewan peliharaan, kegiatan di panti (terutama tempat penitipan
anak, dan panti jompo), piknik (terutama di daerah pantai), perkemahan dan pesta.
10

Sindrom muntah Yang muncul 1-6 jam setelah makan


Bakteri S. Aurius dan B. Cereus
Closidium perfringenns tipe A dan B
Diare timbul setelah 8-16 jam
Masa inkubasi singkat (1 hari, biasanya kurang dari 16 jam)
Masa inkubasi sedang (1-3 hari)
Salmonella, EIEC, ETEC, Vibro parahaemolyticus, dan Campylobacter jejuni
Clostridium botulinun
Usus besar terinvasi
Diare berdarah dan berlendir

Mensekresi enterotoksin
- Nausea
- muntah
- diare 5% dan yang lainnya kontipasi

Gejala kerusakan saraf otonom


Masa inkubasi lama (3-5 hari)
nyeri diperut

EHEC, yersinia enterocronial, yersinia pseduotuberculosis


Demam sesaat
Masa inkubasi yang sangat lama (1-4 minggu)
Listeria monocytongenes dan brucella militensis
Diare berinkubasi dalam waktu kurang 48 jam
Makanan tertelan

Keracunan Makanan

Defisit pengetahuan diri

Kram perut

- kram
- tenesmus

diare cair atau berdarah

MK : Nyeri
MK : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

MK : Nyeri

MK : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

Foodborne infections
(ex: Listeria, Salmonella, dan Campylobacter)
Foodborne toxicoinfection
(ex: Clostridium perfringers dan E. Coli)

Foodborne intoxication
(ex: makanan yang sudah mengandung racun (enterotoksin)
Memperbanyak diri pada saluran cerna
Menginvasi saluran cerna

MK : Perubahan nutri kurang dari kebutuhan tubuh


WOC (Web of Causation)
11

2.5 Pemeriksaan Diagnosis


1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk menilai derajat deplesi cairan. Mulut kering, tak ada keringat di
ketiak, dan kencing yang berkurang menandakan dehidrasi ringan. Hipotensi ortostatik, kulit yang
kurang lentur, dan mata cekung mencerminkan dehidrasi sedang. Sementara itu, dehidrasi berat
timbul sebagai hipotensi yang dikompensasi oleh takikardia, delirium, dan syok.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksan darah, air seni, tinja. Kultur tinja diindikasikan
terutama bila pasien mengalami diare berdarah, nyeri perut yang hebat, atau dalam keadaan
immunocompromised.
Spesimen yang akan diperiksa di laboratorium sangat bergantung pada penyebab dan jenis sampel.
Spesimen harus segera diperoleh sebelum pasien diberi obat karena obat dapat mengacaukan hasil
uji mikrobiologis. Sampel yang telah terkumpul disimpan dalam lemari es bersuhu C, terhitung mulai
saat terkumpul hingga diterima di laboratorium. Namun, bila EHEC dicurigai sebagai penyebab,
sampel harus dibekukan dalam freezer agar toksin tidak rusak.
Pengambilan spesimen sangat bergantung pada situasi, yaitu dapat diperoleh dari penderita,
makanan sisa (termasuk sisa pangan yang belum diproses), dan pengolah makanan. Spesimen yang
harus dikumpulkan meliputi tinja, urin, darah (serum), muntahan penderita, dan spesimen kontrol
(orang yang menyantap makanan yang sama, tetapi tidak jatuh sakit). Pada kasus-kasus fatal, sampel
darah, jaringan limpa, dan jaringan hati juga perlu diambil. Apusan terhadap perkakas tempat
makanan diolah, juga harus dikumpulkan.
Pengumpulan sampel harus memenuhi berbagai kriteria, antara lain, asepsis dan antisepsis; sampel
makanan dikumpulkan (secepat mungkin) secara asepsis untuk selanjutnya disimpan dalam kemasan
yang steril. Jika konsistensi makanan tersebut padat, ambil bagian tengah sebanyak 100-200 gram.
Makanan cair harus terlebih dahulu dikocok sebelum dipindahkan sebagian ke dalam wadah steril.
Proses pemeriksaan terhadap daging sama seperti yang lain, yaitu potong sebagian (100-200 gram)
daging dan kulit dengan pisau steril, segera masukkan ke dalam wadah plastik, dan kemudian segera
simpan dalam kotak pembeku freezer). Pada pengambilan apusan wajan bekas pengolahan
makanan, kita menggunakan kapas lidi yang sebelumnya telah dibasahi dengan pepton cair steril
0,1%. Kapas lidi ini kemudian segera diletakkan di dalam media kaldu yang diperkaya (enrichment
broth). Air untuk memasak, sebagai tambahan, diambil sebanyak kira-kira 1-5 liter.
Pewarnaan Gram dan Loeffler-methylene blue untuk memeriksa kemungkinan keberadaan leukosit
dalam tinja, hanya membedakan penyakit apakah bersifat invasif atau tidak. Jika leukosit (atau
eritrosit) ditemukan, atau bila pasien juga mengalami demam lebih dari 3 hari, sampel perlu
dibiakkan, termasuk, tentu saja, kultur darah untuk menilai apakah bakteremia telah terjadi. Selain
itu, jangan mengabaikan kemungkinan adanya infestasi parasit, terutama pada mereka yang kerap
bepergian.
Kultur tinja perlu dilakukan ketika pasien mengalami penurunan fungsi kekebalan
(immunocompromisecl), (hare berdarah, nyeri perut yang hebat, atau bila gejala klinis berangsur
parah atau membandel. Tambahan pula, bila leukosit ditemukan dalam pemeriksaan tinja, yang
mencerminkan peradangan kolon yang luas (dijiise colonic inflammation), atau bila diduga telah
terjadi invasi (oleh Salmonella, Shigella, E. coll. atau Campylobactet), kultur tinja menjadi suatu
keharusan.
Darah pasien yang telah mengalami infeksi sistemik atau bakteremia harus pula dikultur selain
memeriksa kadar elektrolit, nilai BUN (Blood Urea Nitrogen), dan kreatinin sebagai acuan dalam
penilaian derajat hidrasi dan respons peradangan.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis (foto polos abdomen) harus dilakukan bila pasien mengeluh perut kembung,
sakit perut hebat, atau dicurigai sudah terjadi obstruksi atau perforasi. Jika diare telah bercampur
darah, sigmoidoskopi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain yang
bersamaan, seperti inflammatory bowel disease, shigellosis, disentri amuba, atau diare yang terkait
dengan penggunaan antibiotik.

2.6 Penatalaksanaan
Pertolongan pertama pada kasus keracunan makanan diantaranya:
1) Untuk mengurangi kekuatan racun, berikan air putih sebanyak-banyaknya atau diberi susu yang
telah dicampur dengan telur mentah.
2) Agar perut terbebas dari racun, berikan norit dengan dosis 3-4 tablet selama 3 kali berturut-turut
dalam setia jamnya.
3) Air santan kental dan air kelapa hijau yang dicampur 1 sendok makan garam dapat menjadi
alternatif jika norit tidak tersedia.
4) Jika penderita dalam kondisi sadar, usahakan agar muntah. Lakukan dengan cara memasukan jari
pada kerongkongan leher dan posisi badan lebih tinggi dari kepala untuk memudahkan kontraksi
5) Apabila penderita dalam keadaan p[ingsan, bawa egera ke rumah sakit atau dokter terdekat untuk
mendapatkan perawatan intensif.
Langkah penatalaksanaan pada keracunan makanan sebagai berikut :
1) Tindakan Emergency
Walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan,setiap kasus keracunan harus diperlakukan seperti
keadaan kegawatan yang mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda-tanda vital seperti jalan
napas, sirkulasi,dan penurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat.
a. Airway: Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan intubasi.
b. Breathing: Berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas spontan atau pernapasan
tidak adekuat.
c. Circulation: Pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki perfusi jaringan.
2) Identifikasi Penyebab Keracunan
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha mencari penyebab
keracunan ini tidak sampai menunda usaha-usaha penyelamatan penderita yang harus segera
dilakukan. Upaya yang paling penting adalah anamnese atau aloanamnesis yang rinci. Beberapa
pegangan anamnesis yang penting dalam upaya mengatasi keracunan,ialah :
a. Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang digunakan, termasuk yang sering
dipakai.
b. Kumpulkan informasi dari anggota keluarga,teman dan petugas tentang obat yang digunakan.
c. Tanyakan dan simpan sisa obat dan muntahan yang masih ada untuk pemeriksaan toksikologi
d. Tanyakan riwayat alergi obat atau syok anafilaktik
Pada pemeriksaan fisik diupayakan untuk menemukan tanda/kelainan fungsi autonom yaitu
pemeriksaan tekanan darah, nadi, ukuran pupil, keringat, air liur, dan aktivitas peristaltik usus.
3) Eliminasi
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan pemberian
sirup ipecac 15 - 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil. Katarsis, ( intestinal lavage
), dengan pemberian laksan bila diduga racun telah sampai diusus halus dan besar. Kumbah lambung
atau gastric lavage, pada penderita yang kesadarannya menurun,atau pada penderita yang tidak
kooperatif. Hasil paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan.
Emesis,katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 4
– 6 jam . pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung sebaiknya dukerjakan
dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon untuk mencegah aspirasi pnemonia.
4) Anti dotum (Penawar Racun)
Atropin sulfat ( SA ) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat penumpukan.
a. Mula-mula diberikan bolus IV 1 - 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 - 10 - 15 menit sampai timbul gejala-gejala atropinisasi
(muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 - 60 menit selanjutnya setiap 2 – 4 – 6 – 8 dan 12
jam.
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 x 24 jam. Penghentian yang mendadak dapat
menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada keracunan makanan bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat,
maka dapat terjadi sebagai berikut :
1) Kejang
2) Koma
3) Henti jantung
4) Henti napas
5) Syok
2.8 Prognosis
Kasus yang ringan tidak membutuhkan terapi selain anjuran rehidrasi oral. Kasus yang lebih berat
mungkin perlu mendapat cairan intravena. Indikasi pemberian antibiotik adalah septikemia (yaitu
demam, kultur darah positif). Siprofloksasin adalah antibiotik ini pertama yang baik, aktif terhadap
bakteri pathogen umum (Salmonella, Shigella, dan Campylobacter spp.). Gejala persisten
membutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Penyebab tersering di antaranya adalah
hipolaktasia sekunder, patologi pada saluran pencernaan yang mendasari (kolitis, penyakit seliaka),
dan gangguan usus pascainfeksi.
16

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus Semu


Anak X berusia 10 tahun di bawa oleh ibunya ke RSUA, ibunya bercerita bahwa sepulang sekolah
anak X membeli jajanan di depan sekolah, setelah makan jajanan tersebut Anak X mengeluh mules
dan sakit perut kemudian diberi minyak kayu putih tapi tidak ada perubahan, anak X muntah disertai
diare, pusing, dan selang beberapa saat dia tidak sadarkan diri, pada saat perjalanan menuju ke RS
Anak X sempat mengalami kejang.

3.2 Pengkajian
3.2.1 Primary Survey
a. Airway: jalan nafas tidak paten, suara nafas snoring
b. Breathing: gerakan dada simetris, irama nafas cepat, pola nafas tidak teratur, dan pasien
mengalami sesak nafas.
c. Circulation: nadi radialis teraba, sianosis, CRT >2dtk
d. Disability: Respon Alert, kesadaran compos mentis, GCS: 456
e. Exposure: -
3.2.2 Secondary Survey
1) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : Pasien mengeluh mules, sakit perut, muntah, diare, dan pusing
b. Riwayat kesehatan sekarang: Anak X berusia 10 tahun, setelah makan jajanan mengeluh mules
dan sakit perut kemudian diberi minyak kayu putih tapi tidak ada perubahan, anak X muntah disertai
diare, pusing, dan selang beberapa saat anak X tidak sadarkan diri, saat dibawa ke RS sempat
menglami kejang.
c. Riwayat kesehatan dahulu: Anak X tidak pernah mengalami keracunan sebelumnya, anak X tidak
ada riwayat alergi.
2) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: Kesadaran menurun
TTV : TD : 130/90 Nadi : 100x/menit Suhu : 36oc RR : 26x/menit
b. Pernafasan: Nafas tidak teratur, RR : 26x/menit
c. Kardiovaskuler : Hipertensi, nadi aritmia, TD :130/90 Nadi : 100x/menit
d. Persarafan: Kejang, miosis, vasikulasi, penurunan kesadaran, kelemahan, paralise.
e. Gastrointestinal : Muntah, diare
f. Integumen: kulit berkeringat
g. Muskuloskeletal : Kelelahan, kelemahan
h. Integritas Ego : Gelisah, pucat
i. Eliminasi : Diare
j. Selaputlendir : Hipersaliva
k. Sensori : Mata mengecil/membesar, pupil miosis.
3.3 Analisa Data
No
Data
Etiologi
MasalahKeperawatan
1.
Ds : ibu mengatakan anaknya mengeluh mules dan sakit perut,muntah, diare
Do : Diare tanpa disadari bau khas, warna hijau, feses cair.
Intoksikasi makanan
Iritasi pada gastrointestinal

Muntah, Diare

Banyak cairan keluar tubuh

Kekurangan volume cairan


Kekurangan volume cairan
2.
Ds : -
Do : nafas tidak teratur, RR: 26 x/menit
Intoksikasi makanan

Iritasi saluran napas

Edema bronkus

Obstruksi trakheo bronkeal

Pola napas inefektif


Pola nafas inefektif
3.
Ds : ibu mengatakan anaknya mengeluh muntah
Do :
- px muntah setelah makan
- px mengalami gangguan menelan
Intoksikasi makanan

Iritasi GIT

Mual dan muntah

Kehilangan reflek menelan

Anoreksia

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4.
Ds : pasien tidak sadar
Do : bibir pucat, akral dingin, CRT> 2dtk
Intoksikasi makanan

Iritasi ke miokard

Penurunan suplai O2 ke jaringan

Kekurangan O2

Gangguan perfusi jaringan


Gangguan perfusi jaringan

3.4 Diagnosa Keperawatan


1. Defisit volume cairan b.d muntah, diare
2. Pola nafas inefektif b.d obstruksi trakheo bronkeal
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
4. Perubahan perfusi jaringan b.d kekurangan O2
3.5 Intervensi Keperawatan
1. Defisit volume cairan b.d muntah, diare
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak terjadi kekurangan cairan.
Kriteria Hasil : tanda-tanda vital stabil, turgor kulit baik, membran mukosa lembab, pengeluaran
urine normal 1-2 cc/kgBB/jam
Intervensi Keperawatan :
No
Intervensi Keperawatan
Rasional
1
Monitor pemasukan dan pengeluaran cairan
Dokumentasi yang akurat dapat membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran dan penggantian
cairan
2
Monitor suhu kulit, palpasi denyut perifer
Kulit dingin dan lembab, denyut yang lemah mengidentifikasi penurunan sirkulasi perifer dan
dibutuhkan penggantian cairan tambahan
3
Catat adanya mual, muntah, dan perdarahan
Mual, muntah, dan perdarahan yang berlebih mengacu pada hipotermia
4
Pantau tanda-tanda vital
Hipotensi, takikardi, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan cairan
(dehidrasi/hipovolemia)
5
Berikan cairan parenteral dengan kolaborasi dengan tim medis
Untuk mendukung volume cairan/mencegah hipotensi
6
Kolaborasi dalam pemberian antiemetik
Menghilangkan mual/muntah yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan pemasukan
7
Berikan kembali pemasukan oral secara berangsur-angsur
Pemasukan peroral bergantung pada pengembalian fungsi gastrointestinal
8
Pantau studi laboratorium (Hb, Ht)
Sebagai indikator/volume sirkulasi dengan kehilangan cairan

2. Pola nafas inefektif b.d obstruksi trakheo bronkeal


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan
frekuensi dan kedalaman dalam rentang normaldan paru bersih.
Kriteria Hasil: suara napas normal
Intervensi Keperawatan :
No
Intervensi Keperawatan
Rasional
1
Observasi tanda-tanda vital
Untuk mengetahui keadaan umum pasien dalam menentukan tindakan selanjutnya
2
Berikan O2 sesuai anjuran dokter
Terapi oksigen meningkatkan suplai oksigen ke jantung
3
Jika pernapasan depresi, berikan oksigen (ventilator) dan lakukan suction
Ventilator bisa membantu memperbaiki depresi jalan napas
4
Berikan kenyamanan dan istirahat pada pasien.
Kenyamanan fisik akan mengurangi kecemasan, dan istirahat mengurangi konsumsi oksigen
miokard.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria Hasil : mual muntah hilang, pasien mampu untuk menelan makanan, pasien mampu
mengahabiskan porsi makanan.
Intervensi Keperawatan :
No
Intervensi Keperawatan
Rasional
1
Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien
Untuk menetapkan tindakan selanjutnya
2
Berikan makanan yang mudah ditelan, seperti bubur.
Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan
3
Berikan makanan dalam porsi kesil dan frekuensi sering
Untuk menghindari mual
4
Catat jumlah/porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari
Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi
5
Kolaborasi pemberian obat-obatan antiemetik sesuai program dokter
Antiemetik membantu pasien mengurangi mual dan muntah dan diharapkan nutrisi pasien
meningkat
6
Ukur berat badan pasien setiap minggu
Untuk mengetahui status gizi pasien

4. Perubahan perfusi jaringan b.d kekurangan O2


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, perfusi jaringan dapat dipertahankan secara
adekuat.
Kriteria Hasil : tidak ada sianosis, akral HKM, CRT dalam batas normal (<2 dtk).

Intervensi Keperawatan :
No
Intervensi Keperawatan
Rasional
1
Kaji adanya perubahan tanda-tanda vital
Data yang didapat berguna untuk menentukan perubahan perfusi
2
Kaji daerah ekstremitas dingin, lembab, dan sianosis
Ekstremitas yang dingin, sianosis menunjukkan penurunan perfusi jaringan
3
Berikan kenyamanan dan istirahat
Kenyamanan fisik memperbaiki kesejahteraan pasien dan istirahat mengurangi konsumsi oksigen
4
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi anti dotum
Obat antidotum (penawar) dapat mengakumulasi penumpukan racun.
21

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Racun yang terdapat dalam makanan mungkin merupakan racun alam yang sudah ada dalam
makanan itu yang baik di sengaja atau tidak tercampur dalam makanan, dapat berupa racun alami
yang berasal dari makanan itu sendiri, racun yang berasal dari luar makanan misal makanan
terkontaminasi pestisida, dan racun yang disebabkan karena mikroorganisme. Gejala umum
keracunan makanan yang terjadi meliputi : sakit perut, mual dan muntah, sakit kepala, kelemahan
yang mungkin parah atau bahkan menyebabkan kelumpuhan, diare-mungkin berair dan berlebihan
atau mungkin berdarah, demam dengan menggigil, dan nyeri otot. Masa inkubasi dari pathogen
sebagai penyebab keracunan makanan terdiri dari masa inkubasi singkat (1 hari, biasanya kurang
dari 16 jam) masa inkubasi sedang (1-3 hari), masa inkubasi lama (3-5 hari), dan masa inkubasi yang
sangat lama (1-4 minggu).
Langkah penatalaksanaan pada keracunan makanan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1)
tindakan emergency, meliputi airway, breathing, dan circulation, 2) identifikasi penyebab keracunan
melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik, 3) dilakukan eliminasi dengan tindaka emesis untuk
merangsang penderita supaya bisa muntah, dan 4) pemberian anti dotum (penawar racun).
Komplikasi yang dapat terjadi pada keracunan makanan bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat,
maka dapat terjadi sebagai berikut : kejang, koma, henti jantung, henti napas, dan syok. Masalah
keperawatan yang mungkin muncul pada kasus intoksikasi/keracunan makanan adalah defisit
volume cairan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, gangguan perfusi jaringan, dan pola
napas inefektif.

4.2 Saran
Diharapkan dengan penulisan makalah ini, mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus intoksikasi makanan secara komprehensif, sehingga
bisa meningkatkan kualitas hidup pasien.
23

DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2009. Keracunan Makanan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC

Brunner and Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol.3.Jakarta:EGC

Laksmomono Pratiknjo. 2007. Keracunan Makanan Merupakan Salah Satu Indikator Lemahnya
Kontrol Pemerintah dan Masyarakat terhadap Produk Makanan yang Beredar dalam Jurnal elib FK
Uwks Vol.1 No.2.Januari:2007.

Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Marilyn E. Doenges .1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Noer Syaifoellah. 1996. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:FKUI.

24

Anda mungkin juga menyukai