Anda di halaman 1dari 44

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia, sehingga
ketersediaan pangan perlu mendapat perhatian baik kuantitas maupun kualitasnya.
Bahan pangan dapat berasal dari tanaman maupun ternak. Produk ternak
merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia.
Namun, produk ternak akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan
apabila tidak aman dikonsumsi. Selain itu, makanan juga merupakan substrat yang
cocok untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba. Bila mikroba
mengadakan kontak dengan makanan maka akan memungkinkan mikroba tumbuh
dan berkembang biak. Oleh karena itu, keamanan pangan asal ternak merupakan
persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar lagi (Bahri 2008). Sebagai komoditas
dagang, produk ternak juga dituntut keamanannya agar mempunyai daya saing
yang tinggi, yang pada gilirannya dapat memberikan sumbangan dalam
peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional (Murdiati 2006).
Permintaan pangan hewani (daging, telur, dan susu) dari waktu ke waktu
cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan
ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran akan gizi, dan perbaikan
pendidikan masyarakat ( Kasryno et al.,2004). Pada tahun 2009 total produksi
daging diperkirakan sebanyak 2,5 juta ton. Sumber pangan baik yang berasal dari
sumber nabati maupun hewani perlu penanganan khusus, terutama pangan hewani

segar seperti daging. Sapi merupakan penghasil daging utama di Indonesia.


Konsumsi daging sapi mencapai 19 persen dari jumlah konsumsi daging Nasional
(Dirjen Peternakan, 2009). Produk pangan asal ternak khususnya daging berisiko
tinggi terhadap cemaran mikroba yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Awal
kontaminasi pada daging berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran
darah pada saat penyembelihan dan bila ada alat-alat yang dipergunakan untuk
pengeluaran darah tidak steril. Cemaran mikroba dapat pula terjadi saat ternak
masih hidup dan selanjutnya mikroba masuk dalam rantai pangan. Titik awal
rantai penyediaan pangan asal ternak adalah kandang. Tata laksana peternakan
sangat menentukan kualitas produk ternak. Cemaran pestisida pada air, tanah, dan
tanaman pakan yang diberikan kepada ternak dapat masuk ke dalam tubuh ternak
dan residunya akan ditemukan dalam produk ternak (Soejitno dalam Murdiati
2006).
Cemaran mikroba pada pangan asal ternak yang dapat membahayakan
kesehatan manusia antara lain

Coliform,

Escherichia coli, Enterococci,

Staphylococcus aureus, Clostridium sp., Salmonella sp., Champhylobacter sp.,


dan Listeria sp. (Syukur 2006). Adanya senyawa yang dihasilkan dari aktivitas
metabolisme bakteri pada daging akan menurunkan kualitas dan kelayakan daging
untuk dikonsumsi. Penurunan kualitas daging tidak selalu dapat diamati secara
visual. Pengujian secara mikrobiologis daging perlu dilakukan untuk mengetahui
kualitas kelayakan konsumsi, sehingga keamanan konsumen terjamin. Selain itu
perlu dilakukan pengawetan pangan secara tepat. Oleh karena itu dilakukan
penelitian terhadap uji kualitas daging serta cara pengawetan yang tepat. Menurut

International Consultative Group on Food Irradiation (ICGFI) pada tahun 2000,


dari semua proses teknik pengawetan untuk mengurangi jumlah mikroba patogen,
iradiasi dinilai paling komprehensif, dengan lebih dari 40 tahun penelitian di
seluruh dunia mengenai manfaat dan keamanan teknologi pengolahan ini untuk
perbaikan kualitas keamanan pangan. Selain itu teknik iradiasi perlu
dikombinasikan lagi dengan teknik pengawetan lainnya seperti penyimpanan suhu
rendah sebagai teknologi hurdle agar dapat mendapatkan hasil yang lebih
maksimal. Suhu rendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen
(Cahyani, 2014). Pengawetan pangan suhu rendah dilakukan pada beberapa suhu
yaitu suhu dingin (Cooling) 5 oC dan suhu beku (freezing) -16 oC. Penelitian ini
akan didapatkan pengaruh dari teknik pengawetan terhadap jumlah bakteri
patogen sehingga akan didapatkan informasi kombinasi teknik pengawetan yang
tepat terhadap kualitas daging terbaik selama kurun waktu 14 hari pengamatan.

1.2 Permasalahan
Daging Sapi berisiko tinggi terhadap cemaran mikroba yang berbahaya
bagi kesehatan manusia, sehingga diperlukannya suatu teknik pengawetan yang
tepat. Permasalahan disini apakah teknik pengawetan iradiasi serta pengawetan
pada suhu rendah berpengaruh terhadap proses pengawetan daging yang ditinjau
dari segi cemaran bakteri pathogen pada dosis yang tepat.

1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengawetan iradiasi dan
penyimpanan suhu rendah terhadap jumlah cemaran bakteri patogen pada dosis
yang tepat.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bagi masyarakat
dan produsen dalam rangka melindungi konsumen agar terhindar dari pencemaran
bakteri patogen pada daging sapi serta cara penyimpanan dan pengawetan pangan
yang tepat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keamanan Pangan

Keamanan pangan diartikan sebagai kondisi pangan aman untuk


dikonsumsi meliputi pangan itu bebas dari bahaya biologi atau mikroorganisme
yang membahayakan, bebas cemaran fisik dan bebas cemaran kimia. Pangan
tradisional pada umumnya memiliki kelemahan dalam hal keamanannya terhadap
bahaya biologi atau mikrobiologi, kimia, dan fisik. Adanya bahaya atau cemaran
tersebut seringkali terdapat dan ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku,
teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktek sanitasi dan higiene yang
memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani
pangan tradisional. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran
akan kesehatan terhadap pangan yang dikonsumsi, mengkonsumsi pangan yang
aman merupakan hal yang harus diperhatikan oleh produsen dan konsumen.
Berdasarkan UU Pangan No. 7 tahun 1996, keamanan pangan adalah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia (Krisnamurni, 2007).
Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut
dengan foodborne diseases, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat
mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme
pathogen. Penyakit penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat digolongkan ke
dalam dua kelompok utama yaitu infeksi dan intoksikasi. Istilah infeksi digunakan
bila setelah mengkonsumsi pangan atau minuman yang mengandung bakteri
patogen, timbul gejala gejala penyakit. Intoksikasi adalah keracunan yang

disebabkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung senyawa racun


(Baliwati dkk, 2004).

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Keamanan Pangan


Menurut Depkes RI 2003, pangan yang tidak aman dapat menyebabkan
penyakit yang disebut dengan foodborne deseases yaitu gejala penyakit yang
timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/ senyawa beracun
atau organisme patogen. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok utama yaitu infeksi dan intoksikasi. Istilah
infeksi digunakan bila setelah mengkonsumsi pangan atau minuman yang
mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Intoksikasi adalah
keracunan yang disebabkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung
senyawa beracun.
Beberapa faktor yang menyebabkan makanan menjadi tidak aman adalah :
1. Kontaminasi.
Kontaminasi adalah masuknya zat asing ke dalam makanan yang tidak
dikehendaki atau diinginkan. Kontaminasi dikelompokkan ke dalam empat
macam yaitu :
a. Kontaminasi mikroba seperti bakteri, jamur, cendawan.
b. Kontaminasi fisik seperti rambut, debu, tanah, serangga dan kotoran
lainnya.
c. Kontaminasi kimia seperti pupuk, pestisida, mercury, arsen, cyianida dan
sebagainya.
d. Kontaminasi radiokatif seperti radiasi, sinar alfa, sinar gamma, radioaktif,
sinar cosmis dan sebagainya.

Terjadinya kontaminasi dapat dibagi dalam tiga cara yaitu :


a. Kontaminasi langsung (direct contamination) yaitu adanya bahan
pemcemar yang masuk ke dalam makanan secara langsung karena
ketidaktahuan atau kelalaian baik disengaja maupun tidak disengaja.
Contoh potongan rambut masuk ke dalam nasi, penggunaan zat pewarna
kain dan sebagainya.
b. Kontaminasi silang (cross contamination) yaitu kontaminasi yang terjadi
secara tidak langsung sebagai akibat ketidaktahuan dalam pengolahan
makanan. Contohnya makanan mentah bersentuhan dengan makanan
masak, makanan bersentuhan dengan pakaian atau peralatan kotor,
misalnya piring, mangkok, pisau atau talenan.
c. Kontaminasi ulang (recontamination) yaitu kontaminasi yang terjadi
terhadap makanan yang telah di masak sempurna. Contoh nasi yang
tercemar dengan debu atau lalat karena tidak dilindungi dengan tutup.
2. Keracunan.
Keracunan adalah timbulnya gejala klinis suatu penyakit atau gangguan
kesehatan lainnya akibat mengkonsumsi makanan yang tidak hygienis. Makanan
yang menjadi penyebab keracunan umumnya telah tercemar oleh unsur-unsur
fisika, mikroba atau kimia dalam dosis yang membahayakan. Kondisi tersebut
dikarenakan pengelolaan makanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan
dan atau tidak memperhatikan kaidah-kaidah hygiene dan sanitasi makanan.
Keracunan dapat terjadi karena :
a. Bahan makanan alami yaitu makanan yang secara alam telah mengandung
racun seperti jamur beracun, ikan, buntel, ketela hijau, umbi gadung atau
umbi racun lainnya.

b. Infeksi mikroba yaitu bakteri pada makanan yang masuk ke dalam tubuh
dalam jumlah besar (infektif) dan menimbulkan penyakit seperti cholera,
diare, disentri.
c. Racun/toksin mikroba yaitu racun atau toksin yang dihasilkan oleh
mikroba dalam makanan yang masuk kedalam tubuh dalam jumlah
membahayakan (lethal dose).
d. Zat kimia yaitu bahan berbahaya dalam makanan yang masuk ke dalam
tubuh dalam jumlah membahayakan.
e. Alergi yaitu bahan allergen di dalam makanan yang dapat menimbulkan
reaksi sensitif kepada orang-orang yang rentan.

2.3 Pengawetan Pangan


Pengawetan adalah suatu teknik atau tindakan yang digunakan oleh
manusia pada bahan pangan sedemikian rupa, sehingga bahan tersebut tidak
mudah rusak. Tujuan produsen makanan mengawetkan produknya, antara lain
karena daya tahan kebanyakan makanan memang sangat terbatas dan mudah
rusak (perishable), dengan mengawetkan makanan dapat disimpan lebih lama
sehingga menguntungkan pedagang (Boediharjo , 2008). Beberapa zat pengawet
berfungsi sebagai penambah daya tarik makanan yang membuat konsumen ingin
membelinya. Selain itu, fungsi pengawet yang terpenting adalah untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan, menghindarkan oksidasi makanan
sekaligus menjaga nilai gizi makanan.
Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi 3 jenis yaitu ADI,
GRAS dan zat pengawet yang tak layak konsumsi. GRAS (Generally Recognized
and Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun
8

sama sekali. ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan penggunaan
hariannya untuk melindungi kesehatan konsumen. Zat pengawet yang memang
tak layak dikonsumsi karena berbahaya seperti boraksdan formalin. Yang
termasuk zat pengawet GRAS adalah garam, asam, dan gula . Bahan yang
termasuk zat pengawet ADI adalah asam benzoat, kalsium propionat, asam
propionat, kalsium sorbat, asam sorbat, kalsium benzoat, sulfur dioksida, natrium
benzoat, etil p-hidroksi benzoat, metil-p-hidroksi benzoat, kalium benzoat,
natrium sulfit, natrium bisulfit, kalium sulfit, natirum metabisulfit, kalium bisulfit,
natrium nitrat, kalium nitrat, natrium nitrit, kalium nitrit, natrium propionat,
kalium propionat, nisin, dan kalium sorbat, propil-p-hidroksi benzoat dan Natrium
benzoate (Darwin, 2008).
Pengawetan daging adalah usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan
atau perubahan pada daging. Metode pengawetan yang digunakan bertujuan untuk
mengontrol aktivitas mikroorganisme yang menyebabkan aktivitas enzimatik dan
reaksi kimia pada daging. Pengawetan daging dipengaruhi oleh beberapa
faktor,diantaranya adalah aktivitas air (aw) dan pH. Apabila pH daging rendah
atau asam dan aw juga rendah, maka mikroorganisme tidak akan berkembang
biak, sehingga daging tidak cepat rusak atau busuk. Daging sapi segar mempunyai
aktivitas air yang tinggi (0,99-0,98), pH mendekati netral dan sumber nutrisi yang
lengkap, sehingga dapat menjadi media sangat baik untuk pertumbuhan
mikrooganisme. Penyimpanan daging segar pada umumnya menggunakan metode
pengemasan dan penyimpanan pada suhu rendah. Selain itu pengawetan daging
juga dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengawet, tetapi penambahan

bahan pengawet ini kadang menjadi kurang aman jika yang digunakan bukan
merupakan bahan pengawet yang ditujukan untuk makanan (Nurlina dkk, 2003).

2.3.1 Pengawetan Suhu Rendah


Penyimpanan daging pada suhu rendah dimaksudkan untuk memperlambat
atau membatasi kecepatan pembusukan yang terjadi. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa kecepatan pembusukan yang disebabkan oleh pertumbuhan
mikroba dapat dihambat pada suhu dibawah rata-rata. Terdapat tingkatan teknik
penyimpanan suhu rendah yang biasa diaplikasikan pada daging. Tingkatan
penyimpanan

tersebut

dapat

menghambat

atau

bahkan

menghentikan

pertumbuhan mikroba, namun pertumbuhan bakteri psikrofilik, khamir, dan


kapang tetap tidak dapat dicegah oleh teknik tersebut. Teknik penyimpanan
tersebut adalah sebagai berikut:

a.Cooling
Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu pembekuan
yaitu -2o sampai 10 oC. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam
lernari es pada umumnya mencapai suhu 5-8 oC. Meskipun air murni membeku
pada suhu O oC, tetapi beberapa makanan ada yang tidak membeku sampai suhu
20 oC atau di bawah, hal ini terutama disebabkan oleh pengaruh kandungan zat-zat
di dalam makanan tersebut (Dave, 2011).

10

b. Freezing
Penyimpanan suhu rendah menggunakan metode freezing merupakan cara
yang paling bagus untuk menjaga sifat- sifat atau karakteristik asli dari daging
segar. Kandungan air yang terdapat di dalamdaging berkisar antara 50-75% dari
berat daging secara keseluruhan,namun besar kandungan tersebut bervariasi
tergantung pada jenis daging. Pada penyimpanan freezing, sebagian besar
kandungan air tersebut akan diubah menjadi es. Freezing yang dilakukan pada
daging hanya memakan waktu yang singkat , dan hampir 75% cairan jaringan
yang terdapat di dalamnya akan membeku pada suhu- 5 oC (Dave, 2011).
Kecepatan pembekuan akan meningkat seiring dengan penurunan suhu.
Pada suhu -20 oC, hampir 98% air yang terkandung dalam daging akan membeku,
dan pembentukan kristal es secara sempurna akan terjadi pada suhu -65C
(Rosminiet al., 2004). Walaupun demikian, lebih dari 10% air terikat (secara
kimia terikat pada suatu kompleks senyawa seperti karbonil dan kelompok amino
dari ikatan protein dan hidrogen) tidak akan mengalami pembekuan. Kecepatan
pembekuan yang berlangsung lambat ataupun cepat akan sangat mempengaruhi
kualitas dari daging yang dibekukan. Pembekuan cepat akan menghasilkan
kualitas daging yang lebih tinggi dibanding dengan hasil pembekuan lambat
(Dave, 2011).
Penyimpanan beku akan meningkatkan konsentrasi elektrolit di dalam sel
mikroba karena air bebas membeku membentuk kristal es dan merusak sistem
koloidal dari protoplasma (misalnya sistem koloid protein) serta menyebabkan

11

denaturasi protein didalam sel mikroba. Penyimpanan bekudapat menyebabkan


kematian atau kerusakan subletal pada sebagian sel. Sel yang mengalami
kerusakan subletal dapat tumbuh secara normal dan dapat berkembang biak jika
ditumbuhkan dalam medium yang kaya akan nutrisi (Yuliatin, 2008).
Ketahanan sel mikroba terhadap proses pembekuan dipengaruhi oleh
kemampuan mikrobatersebut untuk tetap hidup selama dehidrasi pada waktu
medium membeku. Ketahanan mikroba selama penyimpanan beku juga
dipengaruhi oleh jenis mikroba, komposisi medium penyimpanan, status nutrisi,
fase pertumbuhan sebelum mikroba dibekukan, suhu penyimpanan beku,
kecepatan pembekuan, lama penyimpanan beku, kecepatan thawing, metode yang
digunakan untuk menentukan jumlah sel yanghidup, dan media yang digunakan
(Putri, 2014).

2.3.2 Iradiasi Pangan


Iradiasi bahan pangan merupakan salah satu teknologi pengolahan pangan
yang bertujuan untuk membunuh cemaran biologis berupa bakteri patogen, virus,
jamur, dan serangga yang dapat merusak bahan pangan tersebut dan
membahayakan konsumen dengan cara mengionisasi bahan pangan tersebut
dengan menggunakan sinar tertentu. Iradiasi juga dapat mencegah penuaan bahan
pangan yang disebabkan karena faktor internal pangan tersebut, misalnya
pertunasan, sehingga berfungsi sebagai pengawet, serta dapat membuat bahan
pangan tetap segar karena proses iradiasi sendiri merupakan proses pada suhu
ambient (Dwiloka, 2002)

12

Iradiasi pangan menggunakan energi elektromagnetik tertentu, yaitu energi


dari radiasi pengion. Radiasi pengion adalah radiasi dengan energi yang mampu
membuat elektron suatu atom terpental dari tempatnya yang mengakibatkan atom
netral berubah menjadi ion positif, yaitu atom yang kehilangan elektronnya.
Contoh radiasi pengion ialah radiasi ultraviolet, radiasi alpha (), sinar beta ()
dan sinar gamma (). Radiasi gamma inilah yang digunakan untuk pengawetan
bahan pangan. Istilah radiasi yang diaplikasikan pada pangan disebut iradiasi
(Surindro, 2013). Sinar gamma memiliki gelombang elegtromagnetik yang
bergerak dengan kecepatan tinggi, hampir menyamai kecepatan cahaya, arahnya
tidak dipengaruhi medan magnet, tidak memiliki muatan, jarak lintasan relatif
panjang dan mempunyai daya ionisasi kecil serta daya tembus yang tinggi
(Ikmalia, 2008).
Sumber iradiasi yang dapat digunakan untuk proses pengawetan bahan
pangan terdiri dari 4 macam, yaitu Cobalt-60 (Co-60) Caesium-137 (Cs-137)
masing masing menghasilkan sinar gamma, mesin berkas elektron dan mesin
generator sinar-x (Irawati, 2006). Sinar gamma yang dipancarkan oleh
radionukleotida Co-60 dan Cs-137 merupakan sumber iradiasi pengion yang telah
banyak digunakan untuk aplikasi komersial pengawetan makanan (Irawati, 2007).
Pada umumnya sinar gamma yang digunakan untuk iradiasi adalah hasil
peluruhan inti atom 60Co karena Co-60 memiliki energi iradiasi yang lebih besar
sehingga mempunyai daya tembus yang besar dan tersedia di pasaran. Co-60
adalah sejenis metal yang mempunyai karakteristik hampir sama dengan nikel.
Co-60 memancarkan dua sinar gamma dengan energi masing-masing sebesar 1,17

13

MeV dan 1,33 MeV yang mempunyai waktu paruh 5,27 tahun. Sinar gamma
dapat ditahan oleh materi dengan jumlah massa besar yang memiliki nomor atom
dan densitas tinggi, contohnya timbal. Dosis dan laju dosis sinar gamma dapat
ditentukan dengan mengatur penahan dan jarak (Ikmalia, 2008). Iradiasi gamma
dilakukan dengan pemberian dosis tertentu dengan jangka waktu dari menit ke
jam yang lama waktu pemberian dosis tergantung pada ketebalan dan volume
produk yang akan diiradiasi. Dosis iradiasi yaitu jumlah energi iradiasi yang
diserap ke dalam bahan. Satuan yang digunakan saat ini adalah gray (Gy) yaitu
energi yang dihasilkan iradiasi pengion yang diserap bahan per satuan massa. Satu
gray= 1 Joule/kg (Wahyudi, 2005). Codex Alimentarius Commission FAO/WHO
menganjurkan dosis iradiasi yang boleh digunakan pada iradiasi pangan tidak
melebihi 10 kGy. Jumlah energi ini sebenarnya sangat kecil, setara dengan jumlah
panas yang diperlukan untuk meningkatkan suhu air 2,4C. Oleh karena itu
pangan yang diiradiasi dengan dosis dibawah 10 kGy hanya mengalami
perubahan yang sangat kecil serta aman dikonsumsi oleh manusia (Irawati, 2007).
Terdapat tiga prinsip proses iradiasi dalam industri pangan yang
diklasifikasikan berdasarkan dosis yang dapat digunakan untuk memperpanjang
umur simpan, yaitu radapertisasi (dosis tinggi) dengan penggunaan dosis iradiasi
berkisar antara 30 sampai 50 kGy, radisidasi (dosis sedang) dengan penggunaan
dosis berkisar antara 1 sampai 10 kGy , dan radurisasi (dosis rendah) dengan
penggunaan dosis berkisar antara 0,4 sampai 2,5 kGy (Cahyani, 2015).

2.4 Mekanisme Iradiasi dalam Menghambat Pertumbuhan Mikroba

14

Pengaruh iradiasi pada organisme hidup terutama terkait dengan


perubahan kimia tergantung pada faktor fisik dan fisiologis dari organisme hidup
tersebut. Parameter fisik meliputi laju dosis, distribusi dosis, dan kualitas radiasi.
Sedangkan parameter fisiologis yaitu suhu, kadar air, dan konsentrasi oksigen
(Fellows, 2000). Pada prinsipnya proses pengawetan bahan pangan dengan
iradiasi gamma, sinar-x ataupun berkas elektron akan menimbulkan eksitasi,
ionisasi dan perubahan kimia. Eksitasi adalah suatu keadaan dimana sel hidup
dalam keadaan peka terhadap pengaruh dari luar. Sedangkan ionisasi adalah
proses peruraian senyawa kompleks atau makromolekul menjadi fraksi atau ion
radikal bebas. Perubahan kimia timbul sebagai akibat dari eksitasi, ionisasi dan
reaksi-reaksi kimia yang terjadi baik saat berlangsung maupun setelah proses
iradiasi selesai. Bila perubahan kimia terjadi dalam sel hidup, maka akan
menghambat sintesis DNA yang menyebabkan proses pembelahan sel atau proses
kehidupan normal dalam sel akan terganggu dan terjadi efek biologis (Corapci,
2011).
Tindakan iradiasi pada organisme dapat memberikan dua efek yaitu efek
langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung terjadi akibat adanya tumbukan
langsung energi radiasi atau elektron dalam mikroba yang menyebabkan
terputusnya ikatan rantai pada DNA dan mempengaruhi kemampuan sel untuk
bereproduksi dan bertahan. Efek tidak langsung terjadi apabila iradiasi mengenai
molekul air yang merupakan komponen utama dalam sel sehingga terjadi proses
radiolisis pada molekul air dan terbentuk radikal bebas (Hudaya, 2008).

15

Beberapa perubahan sifat fisika kimia yang terjadi akibat iradiasi dapat
menimbulkan perubahan dan hilangnya basa nitrogen, pemutusan ikatan hidrogen,
pemutusan rantai gula. fosfat dari masing-masing polinukleotida dari DNA (single
strand break), pemutusan rantai yang berdekatan pada kedua polinukleotida dari
DNA (double strand break), dan terbentuknya ikatan silang intramolekuler (base
damage). Kebanyakan mikroba mampu untuk memperbaiki kerusakan single
strand break. Beberapa pustaka menyebutkan bahwa mikroba yang sensitif tidak
dapat memperbaiki double strand break, sedangkan mikroba yang menunjukan
resistensi yang lebih tinggi mempunyai kapasitas untuk memperbaiki double
strand breaks. Hasil perbaikan atau penyusunan kembali DNA tersebut dapat sama
atau berbeda dengan semula. Penyusunan ulang yang berbeda dapat berakibat
pada kematian sel, mutasi atau transformasi (Yuliatin, 2008).
Setiap mikroorganisme memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap iradiasi
gamma. Beberapa mikroorganisme sangat sulit untuk dihambat atau bahkan
dibunuh dengan iradiasi gamma, namun sebagian mikroorganisme juga mudah
mati dengan pemberian iradiasi gamma (Dave, 2011). Tingkat kerusakan sel
mikroba berkaitan erat dengan resistensi mikroba terhadap iradiasi yang
dinyatakan dengan nilai D10 (Leadley, 2008). Nilai D10 merupakan dosis iradiasi
(kGy) yang diperlukan untuk mengurangi jumlah mikroba sebesar 10 kali lipat
(satu siklus log) atau diperlukan untuk membunuh 90% dari jumlah total. Semakin
tinggi nilai D10 suatu bakteri menunjukkan makin tahan bakteri tersebut terhadap
iradiasi (BSN, 2009).

16

Ketahanan mikroba terhadap radiasi pengion dipengaruhi oleh beberapa


faktor penting diantaranya (Dave, 2011):
1. Ukuran dan susunan struktur DNA dalam sel mikroba
2. Senyawa yang berhubungan dengan DNA dalam sel, seperti peptida,
nukleoprotein, RNA, lipid, lipoprotein dan ion logam.
3. Oksigen. Kehadiran oksigen selama proses iradiasi meningkatkan pengaruh
dalam menginaktivasi mikroba. Dalam kondisi anaerob, nilai D10 beberapa
bakteri vegetative meningkat dengan faktor 2,5 -4,7 bila dibandingkan dengan
kondisi aerob.
4. Kadar air. Mikroorganisme paling tahan ketika disinari dalam kondisi kering.
Hal ini terutama karena jumlah rendah atau tidak adanya radikal bebas ynag
terbentuk dari molekul air dengan iradiasi, dan dengan demikian tingkat efek
tidak langsung pada DNA akan rendah atau bahkan
tidak ada.
5. Suhu. Perlakuan pada suhu tinggi dalam kisaran sub-lethal di atas 45C,
sinergis meningkatkaN efek bakterisida iradiasi pengion pada sel vegetatif.
Mikrobanvegetatif jauh lebih tahan terhadap radiasi pada suhu subfreezing
dibandingkan pada suhu kamar. Dalam keadaan beku, difusi radikal akan lebih
banyak dibatasi.
6. Media. Komposisi media mikroba memainkan peran penting dalam
menentukan nilai D10. Nilai D10 untuk mikroba tertentu dapat berbeda dalam
berbagai media.

17

7. Kondisi pasca radiasi. Mikroba yang bertahan setelah perlakuan iradiasi akan
lebih sensitive terhadap kondisi lingkungan (suhu, pH, nutrisi, inhibitor, dll)
dibandingkan dengan sel-sel yang
tidak diberi perlakuan iradiasi.

2.5 Keamanan Pangan Iradiasi


Pada pertemuan di Geneva pada bulan Mei 1992, World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa iradiasi merupakan cara yang aman
untuk mengawetkan suplai makanan dunia. Pernyataan WHO ini dikeluarkan
sehubungan dengan munculnya kekhawatiran konsumen akan keracunan sebagai
efek sampingannya. Pada pertemuan tersebut juga WHO menyimpulkan bahwa
makanan yang diiradiasi sampai tingkat tertentu tidak menimbulkan masalah gizi
dan bahaya racun (Blank, 2001).
Pada tahap energi yang tinggi radiasi pengion dapat menjadikan beberapa
bagian tertentu dalam pangan bersifat radioaktif, akan tetapi dibawah batas
ambang energi tertentu reaksi ini tidak terjadi. Berdasarkan hasil percobaan dan
perkiraan teori, pada tahun 1980 Komite Pakar Gabungan FAO/IAEA/WHO
mengenai

Keamanan

Pangan

yang

diiradiasi

menyarankan

pembatasan

penggunaan sumber iradiasi dalam pengolahan pangan. Batasnya adalah tahap


energi di bawah tahap yang menimbulkan radioaktivitas dalam pangan yang
diolah. Pangan yang diolah dengan radiasi sesuai dengan saran Komite tersebut
tidak menjadi radioaktif . Batas maksimal energi sumber radiasi yang dapat

18

dipakai adalah 5 MeV untuk sinar gamma dan sinar-X, dan 10 MeV untuk berkas
elektron (Lazarine, 2008).
FDA menetapkan bahwa pada kemasan produk pangan yang telah
diiradiasi harus mencantumkan logo radura (radiation durable). Iradiasi pangan di
Indonesia dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia

Nomor

152/MENKES/SK/II/1995,dan

826/MENKES
Nomor

/PER/XII/1987,

701/MENKES/PER/VII/2009,

Nomor
serta

Undang-undang Pangan RI Nomor 7/1996, Label Pangan Nomor 69/1999


paragraf 34, danperaturan perdagangan internasional tentang komersialisasi
komoditi pangan iradiasi dan peraturan standar internasional Codex Alimentarius
Commission untuk makanan iradiasi (Lazarine, 2008). Ditinjau dari aspek kimia
dan nutrisi, bahan pangan yang mengalami pengolahan iradiasi mengalami
perubahan yang lebih sedikit. Perubahan karakteristik kimia karena pengaruh
iradiasi dapat meningkat apabila terjadi peningkatan dosis yang juga bergantung
pada jumlah dan komposisi bahan. Pada dosis rendah (sampai 1 kGy) kehilangan
zat gizi dari pangan tidak bermakna. Pada dosis sedang (1-10 kGy) kehilangan
vitamin dapat terjadi pada pangan yang terkena udara selama iradiasi atau
penyimpanan. Pada dosis tinggi (10-50 kGy) kehilangan vitamin dapat dikurangi
dengan upaya perlindungan iradiasi pada suhu rendah dan menghilangkan oksigen
selama proses pengolahan dan penyimpanan. Beberapa vitamin yaitu riboflavin,
niasin, dan vitamin D, tidak begitu peka terhadap iradiasi. Vitamin lain, yaitu
vitamin A, B, B1, E, dan K, mudah rusak (Wiguna, 2014).

19

Pengaruh iradiasi bervariasi, iradiasi dapat menyebabkan denaturasi


protein pada pemberian dosis iradiasi tinggi. Ionisasi menyebabkan suatu
pembentangan molekul-molekul protein dan menjadikan tempat-tempat tertentu
lebih mudah diserang oleh enzim. Enzim dapat diinaktivasikan baik dengan
pengaruh langsung maupun tidak langsung dengan iradiasi pengion (Masduki,
2014). Iradiasi juga dapat mengubah sifat fisika dan kimia dari bahan pangan
berkarbohidrat tinggi namun tindakan ini tidak nyata mempengaruhi gizinya.
Sedangkan pengaruh iradiasi terhadap lipid sangat bergantung pada susunan asam
lemak dan asam lemak tak jenuh yang lebih mudah dioksidasi dibandingkan yang
jenuh. Perubahan kimia berkurang apabila iradiasi produk dilakukan pada suhu
rendah dan tidak ada cahaya serta oksigen (Cahyani, 2014).

2.6 Daging
Menurut Deptan (2009) ada beberapa faktor yang dapat dijadikan
pedoman untuk memilih daging segar antara lain :
a.Warna
Warna daging adalah salah satu kriteria penilaian mutu daging yang dapat
dinilai langsung. Warna daging ditentukan oleh kandungan dan keadaan pigmen
daging yang disebut mioglobin dan dipengaruhi oleh jenis hewan, umur
hewan,pakan, aktivitas otot, penanganan daging dan reaksi-reaksi kimiawi yang
terjadi di dalam daging. Warna daging sapi segar yang baik adalah warna merah
cerah. Warna daging sapi yang baru dipotong yang belum terkena udara adalah
warna merah-keunguan, lalu jika telah terkena udara selama kurang lebih 15-30

20

menit akan berubah menjadi warna merah cerah. Warna merah cerah tersebut akan
berubah menjadi merah-coklat atau coklat jika daging dibiarkan lama terkena
udara.

b.Bau
Bau daging segar tidak berbau masam/busuk, tetapi berbau khas daging
segar. Bau daging dipengaruhi oleh jenis hewan, pakan, umur daging, jenis
kelamin, lemak, lama waktu, dan kondisi penyimpanan. Bau daging dari hewan
yang tua relatif lebih kuat dibandingkan hewan muda, demikian pula daging dari
hewan jantan memiliki bau yang lebih kuat daripada hewan betina. Kebusukan
akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa berbau
busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan
protein oleh mikroorganisme (Kastanya, 2009)

c. Tekstur
Daging segar bertekstur kenyal, padat dan tidak kaku, bila ditekan dengan
tangan, bekas pijatan kembali ke bentuk semula. Daging yang tidak baik ditandai
dengan tekstur yang lunak dan bila ditekan mudah hancur.

d. Kenampakan
Daging segar tidak berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa
kebasahannya. Daging yang busuk sebaliknya berlendir dan terasa lengket

21

ditangan. Selain itu permukaan daging berwarna kusam, kotor dan terdapat noda
merah, hitam, biru, putih kehijauan akibat kegiatan mikroba

Tabel 2.1 Komposisi Daging Sapi Segar Tiap 100 gram Direktorat Gizi
Departemen Kesehatan RI (1981) dalam Soputan (2004)
Komponen

Jumlah

Kalori
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kalsium
Fosfor
Besi
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin C
Air

207 Kkal
18.8 g
14.0 g
0g
11 g
170 g
2.8 mg
30 SI
0.08 mg
0 mg
66 g

Rata-rata komposisi kimia daging sapi yaitu protein bervariasi antara l622%, lemak 1,5-l3%, senyawa nitrogen non protein l,5%, senyawa anorganik l%,
karbohidrat 0,5%, dan air antara 65-80% (Soeparno, 2005).

2.7 Bakteri Pencemaran pada Daging


Bahan pangan asal ternak (daging, telur, susu) serta olahannya mudah
rusak dan merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba.
Cemaran mikroba pada pangan asal ternak yang dapat membahayakan kesehatan

22

manusia antara lain Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus


aureus, Clostridium sp., Salmonella sp., Champhylobacter sp., dan Listeria sp.
(Syukur 2006). Beberapa cemaran bakteri yang berbahaya pada produk segar
antara lain adalah Salmonella sp., Shigella sp., dan E. coli. (Pusat Standarisasi dan
Akreditasi 2004). Jumlah dan jenis mikroba berbahaya pada daging ayam maupun
sapi yang dijual di pasar tradisional cukup mengkhawatirkan, terlebih lagi bila
pemotongan dilakukan di pasar tradisional (Budinuryanto et al. 2000).

Tabel 2.2 Spesifikasi persyaratan umum batas maksimum cemaran mikroba pada
daging (CFU/gr) (SNI, 2000)

Jumlah Cemaran Mikroba


(BMCM)

Batas Maksimum Cemaran Mikroba


Daging Sega/beku

Daging

Tanpa Tulang
a. Jumlah Total Kuman (Total Plate
Count)

1 x 104

1 x 104

b. Coliform

1 x 102

1 x 102

c. Escherichia coli (*)

5 x 101

5 x 101

d. Enterococci

1 x 102

1 x 102

e. Staphylococcus aureus

1 x 102

1 x 102

f. Clostridium sp
g. Salmonela sp (**)
Negatif

Negatif

h. Camphylobacter sp

i. Listeria

23

Keterangan :
(*) : dalam satuan MPN/gram
(**): dalam satuan kualitatif
MPN : Most Probable Number/Angka paling memungkinkan/mendekati
CFU : Coloni Forming Unit
Spesies bakteri dapat dibedakan berdasarkan morfologi (bentuk),
komposisi kimia (umumnya dideteksi dengan reaksi biokimia), kebutuhan nutrisi,
aktivitas biokimia, dan sumber energi (sinar matahari atau bahan kimia) (Pratiwi,
2008).
Dinding sel bakteri yang kaku dapat mempertahankan bentuknya dan
melindungi sel dari perubahan tekanan osmotik antara sel dengan lingkungannya.
Dinding sel Gram-positif memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal dan membran
sel, sementara dinding sel Gram-negatif memiliki tiga lapisan: membran dalam,
membran luar, dan lapisan peptidoglikan yang lebih tipis. Bakteri merupakan
organisme prokariot, yaitu memiliki kromosom tunggal dan tidak memiliki
nukleus. Pengemasan kromosom di dalam sel, DNA menggulung (coil dan
supercoil); suatu proses yang diperantarai oleh sistem enzim DNA girase.
Ribosom bakteri berbeda dengan ribosom eukariot, menjadikannya target untuk
terapi antibakteri. Bakteri juga mengandung DNA tambahan dalam bentuk
plasmid (Gillespie, 2008).

2.8 Angka Lempeng Total

24

Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba yang ada


pada suatu sampel, umumnya dikenal dengan angka lempeng total (ALT). Uji
angka lempeng total (ALT) dan lebih tepatnya ALT aerob mesofil atau anaerob
mesofil menggunakan media padat dengan hasil akhir berupa koloni yang dapat
diamati secara visual berupa angka dalam koloni (cfu) per ml/g atau
koloni/100ml. Cara yang digunakan antara lain dengan cara tuang, cara tetes dan
cara sebar Keuntungan dari metode pertumbuhan agar atau metode uji angka
lempeng total adalah dapat mengetahui jumlah mikroba yang dominan, dapat
diketahui adanya mikroba jenis lain yang terdapat dalam sampel (BPOM, 2008).

25

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian mengenai Iradiasi Gamma dan Kombinasi Suhu Rendah
pada Daging Sapi terhadap Jumlah Cemaran Bakteri pada Dosis (0; 1,5 ; 3
KGy) di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta yang dilakukan pada
Januari April 2015

3.2 Alat dan Bahan


1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri,
erlenmeyer, tabung reaksi, bunsen, gelas ukur, gelas benda, neraca analitik,
rotary shaker, autoklaf, oven, pipet tetes, mikropipet, irradiator dan lain-lain.
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah daging sapi yang
dibeli dari 3 tempat (pasar) secara acak di Jakarta. media yang digunakan

26

antara lain Buffer Pepton Water (BPW), EMBA, Mac Conkey, Mannitol Salt
Agar (MSA), Baird Parker, TSB, FeSO4 , RV (Rappaport Vassidalis), Xylose
Lysine Deoxycholate (XLD), Nutrient agar, Reagen Kovacs, Indikator Metil
Red (MR), a-naphtol , KOH. Simons Citrate broth (CSB).

3.3 Cara Kerja


3.3.1 Persiapan Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan berupa daging sapi segar bagian khas dalam dan
khas luar. Daging sapi diperoleh dari 3 tempat secara acak yang ada di Jakarta.
Sampel diambil masing-masing 100 gram daging sapi dari pedagang kemudian
dimasukkan dalam kantong plastik steril dan diberi label. Sampel dikirim ke
laboratorium dengan menggunakan ice box dan dilengkapi cold pack untuk
menjaga suhu ideal sampel 4- 10C. Waktu pengiriman sampel diusahakan tidak
lebih dari 3 jam. (Hendrayana, 2012).

3.3.2 Pembuatan Suspensi Daging Sapi


Sampel ditimbang 10 gram dan dipotong kecil-kecil secara aseptik.
Sampel kemudian dibuat suspensi menggunakan air pepton steril 90 ml dan
dihomogenkan hingga 2 menit (SNI, 2008). Kemudian suspensi daging dibuat seri
pengenceran sampai 10-5. Suspensi daging sapi dipipet sebanyak 1 ml kemudian
dimasukkan dalam botol pengencer yang berisi 9 ml akuades steril (pengenceran
10-1) dan seterusnya sampai pada pengenceran yang ditentukan.

27

3.3.3 Penentuan Jumlah Bakteri (ALT)


Setiap seri pengenceran yang telah dibuat dipipet 1 ml kedalam cawan
petri. Sebanyak 20 ml medium Nutrient agar (NA) ditambahkan kedalam cawan
petri kemudian di homogenkan, dibiarkan memadat, diinkubasi dalam inkubator
24 jam pada suhu 37C dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik. Setelah itu
dilakukan penghitungan dan pencatatan jumlah koloni pada masing-masing seri
pengenceran yang mempunyai jumlah koloni 25 sampai dengan 250 (SNI, 2008) .

2.3.4 Identifikasi Bakteri


Identifikasi dilakukan secara mikroskopis dan makroskopis. Pengamatan
mikroskopis yaitu pengamatan dengan mikroskop dengan pengamatan sederhana
untuk melihat morfologi bakteri dan pewarnaan gram. Pengamatan makroskopis
meliputi warna koloni, diameter, tekstur. Identifikasi dilakukan dengan cara hasil
pengamatan dimasukkan kedalam kunci identifikasi.

a. Pengamatan Secara Makroskopis


Sampel yang telah dibuat suspensi dengan seri pengenceran hingga 10 -5
diinokulasikan pada medium penguji untuk tahap identifikasi. Kultur kemudian
diinkubasi selama 24 jam setelah itu dapat dilakukan pengamatan masing-masing koloni
yang terbentuk secara makroskopis meliputi warna koloni, tekstur, dan diameter.

28

Tabel 3.1 Warna Koloni Bakteri terhadap Masing-masing Medium Penguji


N Medium
A
B
C
o
Penguji
Hijau
Metalik

Eosyn
Methylen
Blue Agar
(EMBA)
Mc.Conkey

XLD

Kuning

4
5

MSA
Baird Parker

Logam

Merah Bata

Berwarna
Gelap
Kilap
Logam
Tidak
Berwarna

Kuning
Hitam

Berwarna
Gelap
Kilap
Logam
Tidak
Berwarna
Merah (Inti
hitam)

(BPOM, 2008)

Keterangan
A. Escherichia coli
B. Staphylococcus sp
C. Salmonella sp

1. Penentuan Bakteri E.coli


Isolat Bakteri yang telah dibuat suspensi diinokulasikan sebanyak 0,1 ml ke

dalam 20 ml media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA) yang merupakan media
diferensial untuk Escherichia coli. Inkubasi disimpan pada suhu 37o C selama 2448 jam . Koloni spesifik tumbuh dengan ciri-ciri bentuk bulat, diameter 2-3 mm,
29

warna hijau dengan kilap logam dan bintik biru kehijauan di tengahnya. E.coli
yang tumbuh digoreskan pada media selektif Mc.conkey untuk uji konfirmasi dan
uji positif koloni akan berwarna merah bata.
Satu koloni spesifik yang terpisah diinokulasikan pada media NA miring
untuk memperbanyak biakan koloni (Suardana, 2014). Kemudian dilanjutkan
dengan uji biokimia dan pengamatan secara mikroskopis untuk mengetahui
morfologi dan penentuan gram .

Tabel 3.2 Uji Biokimia E.coli


No
1.

Uji
Uji Indol

Medium
Tryptophan

Hasil
Cincin berwarna

Uji
Posiftif (+)

broth + reagen

merah pada
permukaan
Merah

Posiftif (+)

Merah Muda

Negatif (-)

Biru

Negatif (-)

2.

Methyl

Kovacs
Larutan Methyl

Red (MR)
Voges

Red
Alfanaftol

Kalium
4

Uji sitrat

hidrokarbon
natrium sitrat
atau Simmons
Citrate

Agar

(SCA),
(BPOM, 2008)

2. Penentuan Bakteri Staphylococcus sp


Isolat Bakteri yang telah dibuat suspensi diinokulasikan sebanyak 0,1 ml
ke media 20 ml MSA (Mannitol Salt Agar) . Inkubasi pada suhu 37o C selama 24
jam. Staphylococcus sp yang tumbuh dengan ciri-ciri koloni smooth, koloni

30

berwarna kuning dengan zone yang berwarna kuning juga. Koloni yang tumbuh
kemudian diinokulasikan ke 20 ml media

selektif Baird Parker. Inkubasi

disimpan pada suhu 37o C selama 24. Bakteri Staphylococcus sp yang tumbuh
dengan ciri-ciri koloni warna hitam mengkilat, dikelilingi daerah keruh
(BPOM,2008). Satu koloni spesifik yang terpisah diinokulasikan pada media NA
miring untuk memperbanyak biakan koloni. Kemudian dilanjutkan dengan uji
biokimia dan pengamatan secara mikroskopis untuk mengetahui morfologi dan
penentuan gram .

Tabel 3.3 Uji Biokimia Stpahylococcus sp


No
1.

Uji
Uji Indol

Medium
Tryptophan

Hasil
Cincin berwarna

Uji
Negatif

broth + reagen

merah pada
permukaan
Merah

Posiftif (+)

Merah Muda

Negatif (-)

Biru

Negatif (-)

2.

Methyl

Kovacs
Larutan Methyl

Red (MR)
Voges

Red
Alfanaftol

Kalium
4

Uji sitrat

hidrokarbon
natrium sitrat
atau Simmons
Citrate

Agar

(SCA),

(Karimela, 2013)

3. Penentuan Bakteri Salmonella sp


Isolat Bakteri yang telah dibuat suspensi diinokulasikan sebanyak 0,1 ml
ke media preenrichment Trytic Soy Broth (TSB) yang ditambahkan dengan FeSO4

31

lalu diinkubasi selama 24 jam kemudian dipindahkan ke medium Rappaport


Vassiliadis (RV) yang diinkubasi pada suhu 420C selama 24 jam untuk
menghambat pertumbuhan bakteri lainnya. Isolat yang tumbuh kemudian di
inokulasikan kedalam medium selektif Xylose-Lysine-Desoxycholate (XLD).
Inkubasi disimpan pada suhu 37o C selama 24-48 jam. Bakteri Salmonella sp yang
tumbuh dengan ciri-ciri koloni translucent dengan bintik hitam ditengahnya dan
dikelilingi zona transparan berwarna kemerahan (BPOM, 2008). Satu koloni
spesifik

yang

terpisah

diinokulasikan

pada

media

NA miring

untuk

memperbanyak biakan koloni. Kemudian dilanjutkan dengan uji biokimia dan


pengamatan secara mikroskopis untuk mengetahui morfologi dan penentuan
gram .
Tabel 3.4 Uji Biokimia Salmonella sp
No
1.

Nama Uji
Uji Indol

Medium
Tryptophan broth
+

merah pada
permukaan
Merah

Positif

Merah Muda

Negatif

Biru

Negatif

Methyl Red

Kovacs
Larutan Methyl

(MR)
Voges

Red
Alfanaftol

Proskauer

Kalium

Uji sitrat

hidrokarbon
natrium sitrat
atau

Uji
Negatif

reagen

2.

Hasil
Cincin berwarna

Simmons

Citrate

Agar

(SCA),

(WHO, 2003)

b. Pengamatan secara Mikroskopis

32

Bakteri yang telah diidentfikasi secara makroskopis kemudian dilakukan


uji konfirmasi secara mikroskopis dengan pewarnaan sederhana dan pewarnaan
gram.
1. Pewarnaan Sederhana
Sediaan preparat dalam bentuk suspensi disiapkan.

Ose dipijarkan lalu

dicelupkan ke dalam suspensi bakteri dan digoreskan pada kaca objek. Preparat
dikeringkan dengan mengangin-anginkan pada suhu ruang kemudian preparat dilewatkan
diatas api bunsen sebanyak 3x lalu didinginkan. Preparat kemudian ditetesi metilen blue
sebanyak 1-2 tetes diatas suspensi yang telah mengering dan diamkan selama 1-2 menit
lalu dicuci dengan air kemudian dikeringkan diatas nyala api. Preparat diamati di

bawah mikroskop karakteristik dan bentuk bakteri .

2. Pewarnaan Gram
Sebanyak 3 ose akuades diletakkan pada gelas preparat kemudian
diletakkan bakteri diatas akuades tersebut secara aseptis dan dikeringkan dengan
cara fiksasi. Preparat ditetesi dengan gram A (kristal violet). Sampel didiamkan
selama 1 menit. Preparat dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan kembali.
Setelah kering, preparat ditetesi dengan gram B (Larutan mordan lugol iodin) dan
ditunggu hingga 1 menit kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan.
Preparat kemudian ditetesi dengan gram C (Larutan peluntur) dan ditunggu 30
detik. Preparat dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Selanjutnya preparat
ditetesi dengan gram D (Larutan Safranin) dan ditunggu hingga 2 menit setelah itu

33

dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian preparat diamati di bawah
mikroskop .

3.3.5 Pemilihan Isolat


Hasil Isolasi yang didapatkan kemudian dipilih bakteri patogen yang
dominan terdapat pada daging sapi. Selanjutnya dilakukan iradiasi dengan variasi
dosis untuk menentukan resistensi bakteri patogen tersebut.
3.3.6 Dekontaminasi Daging Sapi oleh Isolat terpilih
Daging sapi awal yang telah disterilkan (iradiasi) sebelum diinokulasikan
isolat bakteri terpilih, dilakukan isolasi terlebih dahulu untuk konfirmasi bahwa
daging tersebut telah steril untuk mengetahui pengaruh iradiasi terhadap daging
sapi yang didekontaminasi.
Bakteri isolat terpilih dari sampel yang sudah murni kemudian
diremajakan terlebih dahulu dalam media agar nutrien miring kemudian
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37o C. Masing-masing dibuat suspensi
dengan konsentrasi kekeruhan 3 x 108 sel/ml. Sebanyak 1 ml suspensi diinokulasi
ke dalam

10 g sampel daging sapi awal (dekontaminasi) selanjutnya tahap

iradiasi.

3.3.7 Resistensi Bakteri Isolat Dari Sampel

34

Sampel Daging yang telah diinokulasi isolat bakteri dimasukkan ke dalam


kantong plastik, ditutup rapat, kemudian diiradiasi. Sampel diiradiasi dengan dosis
0; 1,5 dan 3 kGy pada laju dosis 1,149 kGy/jam. Sampel yang telah diiradiasi
diencerkan bertingkat dan ditanam pada media nutrient agar kemudian diinkubasi
pada suhu 37o C selama 24 48 jam untuk menentukan nilai D10 (Masduki, 2014).

3.3.8 Penetuan Nilai D10


Nilai D10 ditentukan dengan cara membuat grafik jumlah bakteri pada
sumbu Y dan dosis iradiasi pada sumbu X seperti metode Rashid et al.dan Ito et al
(Supardi, 1999).
Berdasarakan adanya hubungan antara fraksi pertumbuhan bakteri dan
besarnya dosis iradiasi, maka daya tahan bakteri terhadap iradiasi dapat
dinyatakan dengan nilai D10. Nilai D10 adalah besarnya dosis

iradiasi yang

dibutuhkan untuk menurunkan jumlah koloni bakteri sebanyak 1 desimal (90%


mati). Koloni bakteri yang tumbuh dihitung untuk menentukan nilai D 10 masingmasing bakteri yang digunakan pada sampel.
No
Rumus : Log Nd

Penentuan nilai D10 diperoleh dengan membuat grafik pertumbuhan bakteri


yaitu dosis iradiasi sebagai absis dan jumlah bakteri yang dinyatakan dalam fraksi
pertumbuhan sebagai ordinat .

35

3.3.9 Kombinasi dengan Penyimpanan Suhu Rendah


Daging yang telah diiradiasi kemudian disimpan dalam lemari es pada
suhu dingin (5 oC) dan suhu beku (-16 oC). Kemudian dilakukan perhitungan
jumlah bakteri total (ALT) dari kombinasi iradiasi dan suhu rendah serta jumlah
bakteri patogen.

3.3.10 Pengamatan Kurva Pertumbuhan Bakteri


Masing-masing sampel daging baik dengan teknik iradiasi saja maupun
kombinasi dengan suhu dingin (5 oC) dan beku (-16 oC) diamati jumlah bakteri
total (ALT) dan jumlah bakteri patogen. Pengamatan dilakukan setiap 3 hari sekali
pada hari ke 0, 48, 96, 144 dan seterusnya selama 3 minggu pengamatan untuk
mengetahui kurva pertumbuhan bakteri selama masa penyimpanan daging.

3.3.11 Rancangan Percobaan RAL faktorial


Dosis (kGy)

Suhu ( C)

Ulangan
2

D1

S1
S2

D1S1-1
D1S2-1

D1S1-2
D1S2-2

D1S1-3
D1S2-3

D2

S1
S2

D2S1-1
D2S2-1

D2S2-2
D2S2-2

D2S1-3
D2S2-3

D3

S1
S2

D3S1-1
D3S2-1

D3S1-2
D3S2-2

D3S1-3
D3S2-3

36

Keterangan:
D1 : Dosis iradiasi 0 kGy
D2 : Dosis iradiasi 1.5 kGy
D3 : Dosis iradiasi 3 kGy
S1 : Penyimpanan suhu dingin (5 C)
S2 : Penyimpanan suhu beku (-16 C)
3.3.12 Analisis Data
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial,
terdapat dua variabel dalam penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel bebas adalah dosis iradiasi dan suhu rendah, sedangkan variabel terikat
adalah jumlah total bakteri (ALT) dan jumlah bakteri patogen . Perlakuan diulang
sebanyak 3 kali. Data yang diperoleh diolah menggunakan software minitab dan
SAS. Langkah pertama yang dilakukan adalah uji normalitas. Uji ini dilakukan
untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berdistribusi normal atau tidak,
kemudian dilanjutkan uji homogenitas variansi untuk mengetahui variansi data.
Apabila data yang diperoleh normal dan homogen maka dilanjutkan dengan uji
parametrik untuk menguji hipotesis dilakukan uji ANOVA. Apabila terdapat
pengaruh terhadap jumlah cemaran bakteri dilanjutkan dengan uji wilayah ganda
duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan pada taraf nyata 5%.

37

3.3.13 Bagan Alir Penelitian

38

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Profil kesehatan Indonesia . Departemen kesehatan republik
Indonesia. Jakarta
Arisman. 2009. Ilmu Gizi Keracunan Makanan. EGC. Jakarta.
bacteriology.net/staph.html
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2009. SNI 7388 : 2009 Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dalam Pangan. SNI. Jakarta.
Bahri, S. 2008. Beberapa aspek keamanan panganasal ternak di Indonesia.
Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3): 225
Baliwati, Y.F. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta.
BATAN. 2008. Radiasi. http://www.batan.go.id/organisasi/kerjasama.php. 19
Desember 2008.
Beku Cahyani, dkk . 2014. Aplikasi Teknologi Iradiasi Gamma dan Penyimpanan.
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.73-79
Blank, G. and R. Cumming. 2001. Irradiation. dalam N.A.M. Eskin and D.S.
Robinson (ed.).
Brooks G.F, J.S. Butel, S.A. Morse. 2005. Medical Microbiology. McGraw-Hills
Companies Inc.
39

Budinuryanto, D.C., M.H. Hadiana, R.L. Balia, Abubakar, dan E. Widosari. 2000.
Profil keamanan daging ayam lokal yang dipotong di pasar tradisional
dalam kaitannya dengan penerapan sistem Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP). ARMP II Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bandung
Cahyani, A.F.K. 2014. Kombinasi Iradiasi Gamma dan Suhu Penyimpanan untuk
Meningkatkan Keamanan Pangan Produk Olahan Daging Ayam. Skripsi
Sarjana TP. Universitas Brawijaya. Malang.
Cahyani, A.F.K., Wiguna,L.C., Putri,R.A., Masduki,V.V., WardaniA.K., dan
Harsojo. 2015. Aplikasi Teknologi Hurdle Menggunakan Iradiasi Gamma
Dan Penyimpanan Beku Untuk Mereduksi Bakteri Patogen Pada Bahan
Pangan : Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri 3:1,73-79.
Callaway, T.R., Edrington, T.S., 2008. Prebiotics, prebiotics and competetitive
exlusion for prophylaxis against bacteria disease, Animal Health Reasearch
Reviews 9, 217-225
Chicken Feces and Test of Hemolytic Profile on Blood Agar Medium .
Corapci, B. and Kaba, N. 2011. Irradiation Technology in Sea Products. Journal
of Yunus Arastirma Bulteni 4, 22-27.
Darwin, Frans, 2008. Mengenal Pengawetan dan Bahan Kimia. www.aduhai.blogspot.com/.../mengenal pengawetan-bahan-kimia.html (Diakses pada
tanggal 28 Februari 2010)
Dave, D. and Ghaly, A.E.. 2011. Meat Spoilage Mechanisms and Preservation
Techniques: A Critical Review. American Journal of Agricultural and
Biological Sciences 6:4, 485 510
Departemen Kesehatan RI, 2003. Keputusan menteri kesehatan RI tentang
persyaratan hygiene sanitasi jasa boga. Jakarta :Depkes RI
Deptan, 2009. Pemilihan dan Penanganan Daging Segar. www.pustaka
deptan.go.id/agritek/lip50019.pdf - (Diakses pada tanggal 5 Februari 2010).
Dewan Standardisasi Nasional, 2000. Petunjuk Pemeriksaan Mikrobiologi
Makanan dan Minuman. Departemen Kesehatan RI Pusat Laboratorium
Kesehatan. Jakarta
Direktorat Jenderal Peternakan.2009. Peluang pencapaian dan kebijakan
Swasembada Daging 13 Agustus 2009-2014. Dalam Seminar Tematik
Peternakan HUT Badan Litbang Pertanian Bogor, 12 Asal Hewan. Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Lampung.
Dwiloka, B. 2002. Iradiasi Pangan. Universitas Semarang. Semarang.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air & Udara. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 45.
Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology. CRC. USA
40

Firmansyah, B. 2010. Media Selektif dan Media Diferensial.


http://cacingbusuk.blogspot.com/2010/05/media-selektif-dan-media
differensial.html . Diakses tanggal 16 Juni 2014.
Food Shelf Life Stability: Chemical, Biochemical, and Microbiological Changes.
CRC Press. USA
Genc, and Diler, A., 2013. Elimination of Foodborne Pathogens in Seafoods by
Irradiation :
Effect on the quality and shelf-life. Journal of food Science
and Engineering 3, 99-106.
Hariyadi RD. 2005. Bakteri Indikator Sanitasi dan Keamanan
Air.Minum.http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_bctrindktr.php. Diakses
tanggal 23 Juni 2011.
Harsojo dan Andini, L.S. 2010. Dekontaminasi Beberapa Bakteri Patogen Pada
Daging dan Jeroan Kerbau Dengan Iradiasi Gamma. Prosiding Lokakarya
Nasional Kerbau. BATAN. Jakarta.
Hidayat, D. 2004. Terungkapnya Asal-Usul Sinar Kosmis. Tempo. 5 November
2004. InovasiPertanian 1(3): 225
Hudaya, S. 2008. Penyimpanan Makanan pada Suhu Rendah dan Pengaruhnya
pada Bahan Makanan. Materi Pelatihan Pengolahan Hasil Pertanian dan
Pengawetan Pangan. Jakarta
Ikmalia. 2008. Analisa Profil Protein Isolat Escherichia coliS1 Hasil Iradiasi Sinar
Gamma. Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Irawati, Z. 2006. Aplikasi Mesin Berkas Elektron pada Industri Pangan. Prosiding
Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Teknologi Akselerator dan Aplikasinya,
PTAPB BATAN. Yogtakarta, 87 94
Irawati, Z. 2007. Pengembangan Teknologi Nuklir Untuk Meningkatkan
Keamanan dan Daya Simpan Bahan Pangan. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop
dan Radiasi 3:2, 41-54.
Jawetz, Melnick, Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.p.199
200 : 233.
Kasryno, F. 2004. Strategi PembangunanP e r t a n i a n d a n P e r d e s a a n
I n d o n e s i a yang
Memihak Masyarakat Miskin.Agriculture and
Rural DevelopmentStrategy Study. Jurnal
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian 25(1): 2230. Lampung.
Krisnamurni,S. 2007. Keamanan Pangan Pada Penyelenggaraan Makanan di
Rumah Sakit, Makalah Disampaikan pada pertemuan ilmiah nasional
Asosiasi Dietisien Indonesia ke III di Semarang.
Lazarine, A.D. 2008. Development of An Electron Beam Irradiation Design for
Use in The Treatment of Municipal Biosolids and Wastewater Effluent.
Disertasi Doktor. Texas A&M University. Texas.
41

Leadley, C. 2008. Novel Commercial Preservation Methods. Dalam G.S. Tucker


(ed.). Food Biodeterioration and Preservation. Blackwell Publishing.
Oxford.
Masduki, V.V. 2014. Aplikasi Iradiasi Gamma dan Suhu Penyimpanan dalam
Meningkatkan Keamanan Mikrobiologis Udang Vaname (Litopenaus
vannamei). Universitas Brawijaya. Malang.
Murdiati, T.B. 2006. Jaminan keamanan panganasal ternak: Dari kandang hingga
piring konsumen.Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(1):
2230.
Nurlina, Fakhrurrazi, Sulasmi, 2003. Hubungan Antara Aktivitas Air Dan Ph
Terhadap Bakteri Pada Tiga Metode Pembuatan Daging Kering Khas Aceh
(Sie Balu).www. 222.124.186.229/gdl40/go.php?id=gdlnode-gdl... (Diakses
pada tanggal 5 Februari 2010).
Pusat Standarisasi dan Akreditasi. 2004. Info Mutu. Berita Standarisasi Mutu dan
Keamanan Pangan. Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Edisi April
2004. hlm. 47.
Putri, F.N.A. 2014. Aplikasi Teknologi Iradiasi Gamma dan Penyimpanan Beku
Sebagai Upaya Penurunan Bakteri Patogen Pada Kerang Hijau Segar
(Perna viridis) (kajian Dosis Iradiasi dan Lama Penyimpanan). Universitas
Brawijaya. Malang
Smith-Keary P. F., 1988. Genetic Elements in Escherichia coli, Macmillan
Molecular biology series, London, p. 1-9, 49-54
Soeparno. 2005. Komposisi Karkas dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan.
Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
Surindro, T.S. 2013. Seminar Produk Teknologi Nuklir Dalam Bidang Pertanian
Dan Pangan. Pusat Diseminasi IPTEK Nuklir Badan Tenaga Nuklir
Nasional. Jakarta.
Swardana, wayan., dkk. 2014. Identification of Escherichia coli O157:H7 from
Syukur, D.A. 2006. Biosecurity terhadap Cemaran Mikroba dalam Menjaga
Keamanan Pangan Treatment of Municipal Biosolids and Wastewater
Effluent. Disertasi Doktor. Texas A&M University. Texas.
Todar, K. 2005. Staphylococcus. http://textbookofbacteriologynet/staph.html.
Tanggal akses 15 Oktober 2014.
Todar, K., 2008.Staphylococcus aureus and Staphylococcal Disease. USA :
Wisconsin, Madison. Available from:http://www.textbookof
Wahyudi, P., SuwahyonoU., Harsoyo, dkk. 2005. Pengaruh Pemaparan Sinar
Gamma Isotop Cobalt-60 Dosis 0,25-1 kGy Terhadap Daya Antagonistik
Trichoderma harzianum Pada Fusarium oxysporum. Berk. Penel.
Hayati:10, 143-151. Pusat Aplikasi Isotop & Radiasi BATAN. Jakarta.

42

WHO,2007. The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva:


Department of Vaccines and Biologicals.
Wiguna, L.C. 2014. Peningkatan Keamanan Pangan pada Hati Sapi Segar dengan
menggunakan Iradiasi Gamma dan Penyimpanan Beku (Kajian Dosis
Iradiasi dan Lama Penyimpanan). Universitas Brawijaya. Malang.
Yuliatin, F. 2008. Kemampuan Bertahan Salmonella selama Proses Pembekuan
Es. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap
NIM
Tempat/Tanggal Lahir
Agama
Alamat

: Fitria
24020111130055
Jakarta 28 April 1993
Islam
: Jl. LPUU gg.Sigawe Kos rumah damai.
Telp/HP : 089690036512

Nama Orang Tua


Alamat Orang Tua

Email : fitriadalles@rocketmail.com
Alm. Darwin/ Rukimah
: Jl. Sunter Jaya VII. RT/RW 13/9 No.12
Jakarta Utara
43

RIWAYAT PENDIDIKAN
NAMA SEKOLAH
TK Kuda Laut Sukapura Jakarta
SDN 01 Pagi Sukapura Jakarta
SMPN 231 Jakarta
SMAN 13 Jakarta

TAHUN LULUS
1999
2005
2008
2011

PENGALAMAN ORGANISASI
NAMA ORGANISASI
Karya Ilmiah Remaja
Himpunan Mahasiswa Biologi
Himpunan Mahasiswa Biologi
BEM KM UNDIP
Biology English Club
Kelompok Mahasiswa Peduli

JABATAN
Sekretaris
Staf Dept. Ekonomi
Ketua Departemen Ekonomi
Staf Dept. Ekobis
Humas

TAHUN
2009
2012
2013
2011/2012
2012

Divisi Lingkungan Hidup

2012

Lingkungan

PENGALAMAN ASISTEN PRAKTIKUM


PRAKTIKUM
Mikrobiologi
Biokimia
Biologi Umum Kelas A
Mikrobiologi

TAHUN
2012
2013
2013
2013

PENGALAMAN KERJA PRAKTIK


JUDUL
Pertumbuhan Isolat Bakteri LP3

TEMPAT
Lembaga Ilmu

dan I.Benzo Pink Pada Senyawa

Pengetahuan

Alifatik dan Aromatik Sebagai

Indonesia

Sumber Karbon.

44

TAHUN
2013

Anda mungkin juga menyukai