NONTERMAL
Asma Bio Kimestri
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya
menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Demikian bunyi pertimbangan pada
Undang-Undang No 7 1996 tentang Pangan. Dengan semakin meningkatnya
populasi penduduk Indonesia, maka kebutuhan pangan untuk pemenuhan hak
asasi tersebut akan semakin besar pula. Karena itu, sistem pangan nasional
Indonesia harus terus dikembangkan mengikuti perkembangan peradaban
manusia dan aneka tuntutannya. Sistem pangan Indonesia, tidak hanya dituntut
untuk memberikan pasokan produk pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup
(nutritionally adequate), tetapi juga aman (safe). Dengan semakin meningkatnya
status sosial dan pendidikan masyarakat, maka hal ini mengakibatkan
meningkatnya pula kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mutu, gizi dan
keamanan pangan dalam upaya menjaga kebugaran dan kesehatan masyarakat.
Dalam hal ini, keamanan pangan merupakan prasyarat bagi pangan
bermutu dan bergizi baik. Tidak ada artinya berbicara citarasa dan nilai gizi, atau
pun mutu dan sifat fungsional yang bagus, tetapi produk tersebut tidak aman
dikonsumsi.Faktor keamanan pangan terdiri dari (a) keamanan rohani
(kesesuaian dengan kepercayaan, misalnya kehalalan) dan (b) keamanan
jasmani. Dalam rumus tersebut, faktor keamanan pangan jelas merupakan
prasyarat bagi mutu pangan yang baik. Sedangkan faktor mutu terdiri dari faktor
X, yaitu faktor-faktor mutu perlu ditingkatkan (dimaksimalkan) dan faktor Y, yaitu
faktor mutu yang perlu diminimalkan.
Manusia untuk bisa hidup mutlak memerlukan pangan. Selanjutnya,
supaya hidup seseorang bisa produktif maka ia harus menkonsumsi pangan
yang aman dan bermutu. Dengan demikian, semakin penting untuk
mengembangkan sistem pangan nasional Indonesia yang bias menjamin
terjaminnya produksi pangan dengan tingkat keamanan pangan yang baik, yaitu
produk pangan yang bebas faktor yang tidak halal (faktor haram) dan faktor yang
tidak sehat (cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia).
Sebagai kebutuhan dasar manusia makanan yang kita konsumsi
hendaknya bersih dan memiliki kandungan gizi yang lengkap. Perkembangan
industri pangan yang memberikan perubahan baik secara kualitatif atau
kuantitatif pada makanan menyebabkan perkembangan bahan makanan maju
pesat, baik itu untuk pengawet, perasa, tekstur/warna dari makanan. Konsumen
membutuhkan makanan yang segar, murah dan mudah disajikan sebagai
tuntutan zaman yang makin praktis. Tuntutan kepentingan ekonomi dan semakin
kompleksnya permasalahan pangan diikuti dengan pertumbuhan bahan-bahan
kimia sebagai pengawet. Menurut hasil penelitian terdapat 2.500 variasi kimia.
Bahan-bahan tambahan tersebut dapat mempengaruhi kualitas bahan makanan,
penambahan bahan tambahan tersebut dapat memperpanjang waktu kadaluarsa
bahan pangan, meningkatkan aroma dan penampilan bahan pangan. Dengan
pengawetan, makanan bisa disimpan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan dan
sangat menguntungkan produsen.
Secara formal, nilai strategis mutu, gizi dan keamanan pangan ini telah
mendapatkan perhatian pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya
undang-undang tentang pangan yaitu Undang-Undang No.7 tahun 1996 yang
banyak menyinggung permasalahan mengenai mutu, gizi dan keamanan
pangan. Namun demikian, kenyataan formal diatas kertas tersebut berbeda
dengan kondisi nyata di lapangan. Kinerja keamanan pangan yang ada masih
kurang memadai. Hal ini disebabkan disebabkan karena (1) infrastruktur yang
belum mantap, (2) tingkat pendidikan produsen dan konsumen yang masih
rendah, (3) sumber dana yang terbatas dan (4) produksi makanan masih
didominasi oleh industri kecil dan menengah dengan sarana dan prasarana yang
kurang memadai. Namun demikian, akar masalah utama keamanan pangan di
Indonesia adalah belum dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan
pangan dalam pembangunan nasional oleh pembuat dan pelaksana kebijakan.
Isu keamanan pangan di suatu negara merupakan isu daya saing yang sangat
strategis. Secara mendasar upaya menjamin keamanan pangan berarti pula
menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat. Disamping itu, peningkatan kinerja
keamanan pangan suatu negara akan menyebabkan peningkatan status
kesehatan masyarakat, dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas
individu; yang secara kolektif akan berkontribusi pada peningkatan daya saing
bangsa.
Kondisi keamanan pangan yang baik akan menghasilkan manusia yang
lebih sehat, lebih produktif, menurunkan kasus-kasus penyakit asal pangan
(foodborne disease) dan menurunkan beban biaya-biaya yang harus dikeluarkan
untuk kasus atau wabah penyakit asal pangan. Pada umumnya, sebagian besar
penyakit karena pangan (foodborne diseases) disebabkan karena adanya agen
biologi seperti bakteri, virus dan parasit dan umumnya ditunjukkan dengan
gejala gastrointestinal seperti diare, sakit perut (abdominal pain), mual (nausea)
dan muntah-muntah (vomiting). Permasalahan penyakit yang disebabkan karena
pangan yang terkontaminasi merupakan salah satu permasalahan besar di dunia
dan merupakan penyebab penting bagi penurunan produktivitas ekonomi (WHO,
1984). Hal inilah yang melatar belakangi makalah ini tentang kemanan pangan
dengan pengawetan pangan dengan teknik nontermal.
Permasalahan
Permasalahan dalam makalah ini diantaranya :
1. Bagaimana cara mengawetkan pangan hasil peternakan dan olahannya?
2. Apakah teknik pengawetan nontermal?
3. Bagaimana penggunaan dan aplikasinya pada pangan hasil peternakan
dan olahannya?
Tujuan
Adapun tujuan makalah adalah :
1. Mengetahui Arti penting pengawetan pangan.
2. Mengetahui teknik pengawetan nontermal.
3. Mengetahui penggunaan dan aplikasinya pada bahan pangan dan hasil
olahan makanan.
Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini yaitu dapat memberikan informasi
terkait tentang pengawetan makanan dan penggunaan teknik pengawetan
nontermal dalam kontribusinya terhadap makanan hasil peternakan dan
olahannya yang diawetkan.
PEMBAHASAN
Pengawetan Makanan
Pangan secara umum bersifat mudah rusak (perishable), karena kadar air
yang terkandung di dalamnya sebagai faktor utama penyebab kerusakan pangan
itu sendiri. Semakin tinggi kadar air suatu pangan, akan semakin besar
kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat aktivitas biologis internal
(metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak. Kriteria yang dapat
digunakan untuk menentukan apakah makanan tersebut masih pantas di
konsumsi, secara tepat sulit di laksanakan karena melibatkan faktor-faktor
nonteknik, sosial ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Idealnya, makanan
tersebut harus: bebas polusi pada setiap tahap produksi dan penanganan
makanan, bebas dari perubahan-perubahan kimia dan fisik, bebas mikroba dan
parasit yang dapat menyebabkan penyakit atau pembusukan (Winarno, 1993).
Pengawetan makanan adalah proses perlakuan pada makanan untuk
menghentikan atau mengurangi kerusakan pada makanan seperti berkurangnya
kualitas dan nutrisi yang terkandung di dalamnya. Pengawetan makanan
biasanya terkait dengan penghambatan pertumbuhan bakteri, jamur dan
mikroorganisme lainnya. Banyak metode atau teknik pengawetan makanan
seperti pasteurisasi, pengeringan, pendinginan, pengalengan, pemvakuman,
radiasi, pemberian medan listrik, kimiawi, dan lain-lain.
Pengawetan pangan disamping berarti penyimpanan juga memiliki 2 maksud,
yaitu :
1) Menghambat pembusukan.
2) Menjamin mutu awal pangan agar tetap terjaga selama mungkin.
Pulsed Light
Secara tradisional, pengolahan makanan yang paling sering digunakan
adalah dengan panas guna menghambat mikroorganisme pada suhu 60°C
selama beberapa menit dan 100°C selama beberapa detik. Selama periode ini,
sejumlah besar energi yang ditransfer ke makanan, yang dapat memicu reaksi
yang mengarah ke perubahan yang tidak diinginkan. Selama pemrosesan
nontermal, suhu makanan yang dicapai dibawah suhu pengolahan termal.
Dengan demikian, vitamin, nutrisi penting, dan rasa diharapkan tidak mengalami
perubahan. Pulsed Light digunakan untuk inaktifasi cepat mikroorganisme pada
permukaan makanan, peralatan, dan makanan dalam kemasan. Istilah yang
sering digunakan yaitu high intensity broad spectrum pulsed light (Roberts and
Hope, 2003) and pulsed, white light (Marquenie et al. 2003a,b), are synonymous
with PL (Rowan et al., 1999).
Penggunaan lampu flash inert-gas menghasilkan intens dan pulsa pendek
dari ultraviolet (UV) light mikroba inaktivasi dimulai pada akhir 1970-an di
Jepang. Dalam 1988 eksperimentasi, ekstensif dilakukan oleh Pure Pulse
Technologies Inc memberikan proses yang disebut Pulsed Light
®
PureBright untuk mensterilkan obat-obatan, peralatan medis, kemasan, dan air.
PL melibatkan penggunaan pulsa intens durasi pendek dan spektrum yang luas
untuk menjamin inaktivasi mikroba pada Makanan Bioproses Technol (2010).
Anonim. 2010. Pulsed light technology, a promising new process for enhancing
seafood quality.
Badan POM. 2004. Artikel : Bahan Pengawet Makanan.
Barbosa-Canovas, PhD, E., Pothakamury, UR dan Swanson, BG.
1997. Application of light pulses in the sterilization of foods and
packaging materials. Penerapan pulsa cahaya dalam sterilisasi
makanan dan bahan kemasan. Nonthermal Preservation of Foods.
Nonthermal Pengawetan Makanan. Marcel Dekker. New York.
Davies, R. H., and M. Breslin. 2003. Investigations into possible alternative
decontamination methods for Salmonella Enteritidis on the surface of
table eggs. J. Vet. Med.
Deman J. M, 1997, Kimia Makanan, ITB, Bandung.
Dunn, J., Clark, RW, Asmus, JF, Pearlman, JS, Boyer, K., Pairchaud, F. dan
Hofmann, GA. 1991. Methods for preservation of foodstuffs. Metode
pengawetan makanan. Maxwell Laboratories, Inc. US Patent 5.034.235.
Dunn, JE, Ott, TM, Clark, RW. 1996 Perpanjangan masa hidup dalam produk
polong tahan lama. US Patent 5489442
Higgins, S. E., A. D. Wolfenden, L. R. Bielke, C. M. Pixley, A. Torres-Rodriguez,
J. L. Vicente, D.Bosseau, N. Neighbor, B. M. Hargis, and G. Tellez.
2005. Application of ionized reactive oxygenspecies for disinfection of
carcasses, table eggs, and fertile eggs. J. Appl. Poult.
Krishnamurthy K., J. C. Tewari, J. Irudayaraj, and A. Demirci. 2007. Microscopic
and spectroscopic evaluation of inactivation of Staphylococcus aureus
by pulsed UV-light and infrared heating. Food Bioprocess Technol.
(Available online). DOI 10.1007/s11947-008-0084-8.
Suhardjo, Clara M.K, 1992, Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi, Kanisius, Yogyakarta
Winarno F.G, 1984, Kimia Pangan dan Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.