Anda di halaman 1dari 22

Keamanan Pangan

Nama Anggota :
 Chanra Arliani
 Daniel Ohara Lumban Tobing
 Leli Pitria
Remina Tarigan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu kebutuhan mendasar manusia dalam bertahan hidup adalah adanya pangan.
Kebutuhan biologis ini juga akan mempengaruhi pada kebutuhan rohani dan psikologisnya.
Namun kebutuhan biologis menjadi pokok utama dalam keberlangsungan hidup manusia.
Terlepas dari kebutuhan tersebut, dalam pelaksanaan pemenuhan pangan terdapat banyak
hambatan dalam pemenuhannya, akses dan keamanannya.
Keamanan pangan menjadi salah satu komponen utama kebijakan pangan. Di Indonesia
sendiri masalah keamanan pangan menjadi suatu hal yang memperihatinkan, karena masalah
keamanan pangan tersebut berpengaruh besar bagi kehidupan manusia terutama dalam bidang
kesehatan. Harga pangan yang mahal membuat oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab
akhirnya melakukan perbuatan yang menguntungkan bagi mereka yakni menambah pendapatan
namun merugikan bagi masyarakat yakni mengakibatkan masyarakat keracunan pangan.
Keamanan pangan/kualitas pangan kini menjadi tolak ukur manusia dalam memenuhi kebutuhan
pangannya agar sesuai dengan pemenuhan nutrisi dan gizi dalam tubuh.
1.2 Perumusan Masalah
a. Apa pengertian dari keamanan pangan?
b. Apa saja istilah yang berhubungan dengan keamanan pangan ?
c. Bagaimana pentingnya keamanan pangan ?
d. Siapa pihak yang terkait dalam keamanan pangan dan bagaimana sistem kerjanya?
e. Bagaimana upaya pengendalian keamanan pangan?
f. Apa-apa saja kasus seputar keamanan pangan ?
g. Teori apa yang sesuai dengan contoh kasus tersebut dan bagaimana analisa terhadap kasus?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari tulisan ini memberikan pemaparan mengenai salah satu komponen
kebijakan pangan nasional mengenai keamanan pangan/kualitas pangan. Dengan memberikan
beberapa contoh kasus dan analisis setiap pembahasannya, sehingga pembaca dapat memahami
tentang konteks pembahasan keamaan pangan/kualitas pangan.
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini kiranya akan menjadi bahan rujukan bagi pembaca sebagai antisipasi
pencegahan penyimpangan yang terjadi dalam keamanan dan kualitas pangan itu sendiri. Selain
dari itu juga, harapan lain dari manfaat penulisan ini berguna sebagai perpanjangan tangan upaya
dalam partisipasi mewujudkan dan menciptakan kebijakan pangan nasional dalam keamanan
pangan dan kualitas pangan tersebut berjalan dengan baik.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Keamanan Pangan
 Menurut UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, yang dimaksud dengan Keamanan Pangan yaitu
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia.
 Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia. (PP No. 28 tahun 2004).
 Keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan bahaya kepada
konsumen jika disiapkan atau dimakan sesuai dengan maksud dan penggunaannya (FAO/WHO
1997).
Ketentuan mengenai keamanan pangan meliputi sanitasi pangan, bahan tambahan
pangan, rekayasa genetika dan iradiasi pangan, kemasan pangan, jaminan mutu dan pemeriksaan
laboratorium serta pangan tercemar. Selain hal tersebut, di dalam peraturan yang sama juga
disebutkan bahwa setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun,
berbahaya, yang dapat merugikan, atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia.
Salah satu cara produsen untuk memenuhi ketentuan tersebut adalah mengikuti peraturan
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, termasuk persyaratan sanitasi di setiap rantai pangan,
yang meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan peredarannya serta penerapan
cara produksi makanan yang baik (CPMB).
2.2 Istilah-istilah yang Berhubungan dengan Keamanan Pangan
 Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun
yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. (PP No. 28 tahun
2004)
 Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung
dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan. (PP No. 28 tahun 2004)
 Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu,
dengan atau tanpa bahan tambahan. (PP No. 28 tahun 2004)
 Persyaratan keamanan pangan adalah standar dan ketentuan-ketentuan lain yang harus dipenuhi
untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia
dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. (PP
No. 28 tahun 2004)
 Sanitasi pangan adalah upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan
berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan
dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. (PP No. 28 tahun 2004)
 Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat
radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta
membebaskan pangan dari jasad renik patogen. (PP No. 28 tahun 2004)
 Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan,
baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. (PP No. Tahun 2004)
 Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi,
dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman. (PP No. 28 tahun
2004)
2.3 Pentingnya Keamanan Pangan
Keamanan pangan telah menjadi salah satu isu sentral dalam perdagangan produk
pangan. Penyediaan pangan yang cukup disertai dengan terjaminnya keamanan, mutu dan gizi
pangan untuk dikonsumsi merupakan hal yang tidak bisa ditawar dalam pemenuhan kebutuhan
pangan. Tuntutan konsumen akan keamanan pangan juga turut mendorong kesadaran produsen
menuju iklim persaingan sehat yang berhulu pada jaminan keamanan bagi konsumen.
Penanganan keamanan pangan segar telah menjadi perhatian dunia mengingat bahan
pangan segar adalah produk yang memiliki karakteristik mudah rusak akibat terkontaminasi oleh
cemaran fisik, kimia maupun mikrobiologi. Keamanan pangan tidak hanya berpengaruh terhadap
kesehatan manusia, akan tetapi juga menentukan nilai ekonomi dari bahan pangan itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam perdagangan internasional telah ditetapkan persyaratan keamanan pangan
segar yang dirumuskan melalui kesepakatan Sanitary and
Phytosanitary (SPS) Agreement danTechnical Barriers to Trade (TBT) Agreement pada putaran
Uruguay tentang Negosiasi Perdagangan Multilateral.
Kebijakan penanganan keamanan pangan diarahkan untuk menjamin tersedianya pangan
segar yang aman untuk dikonsumsi agar masyarakat terhindar dari bahaya, baik karena cemaran
kimia maupun mikroba yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga
aman untuk dikonsumsi dan mendukung terjaminnya pertumbuhan/perkembangan kesehatan dan
kecerdasan manusia.
Sampai saat ini belum banyak masyarakat yang menyadari pentingnya keamanan pangan,
termasuk pangan segar. Hal ini disebabkan masyarakat baik produsen (terutama produsen skala
rumah tangga) maupun konsumen belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup
sehingga masalah keamanan pangan belum menjadi prioritas dalam mengembangkan/memilih
pangan untuk dikonsumsi.
Keamanan pangan merupakan salah satu aspek penting yang menentukan kualitas SDM.
Konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang tidak akan berarti, jika makanan yang
dikonsumsi masyarakat tidak aman dari cemaran kimia maupun mikroba. Pangan yang tercemar
mikroba menyebabkan berbagai kasus Penyakit Bawaan Makanan (PBM), seperti diare.
Sedangkan pangan yang terkontaminasi cemaran kimia, seperti residu pestisida dan toksin
diduga sebagai penyebab penyakit kanker. Begitu pentingnya keamanan pangan ini menjadi
dasar bagi negara - negara di dunia untuk mendeklarasikan bahwa keamanan pangan adalah hak
asasi setiap individu dalam Internasional Conference on Nutrition pada tahun 1992.
Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi
dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran,
bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi
dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan
mikrobiologis.
Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri
organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik. Namun, ciri organoleptik lainnya seperti
bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan. Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi
dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan
kejernihan), kimiawi (mineral, logam–logam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan
pangan), dan mikrobiologi ( tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan patogen). Lebih dari
90% terjadinya penyakit pada manusia yang terkait dengan makanan (foodborne diseases)
disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologi, yaitu meliputi penyakit tipus, disentri bakteri/amuba,
botulism, dan intoksikasi bakteri lainnya, serta hepatitis A dan trichinellosis.
Foodborne disease lazim didefinisikan namun tidak akurat, serta dikenal dengan istilah
keracunan makanan. WHO mendefinisikannya sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi
atau racun, yang disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang
dicerna. Foodborne disease baik yang disebabkan oleh mikroba maupun penyebab lain di negara
berkembang sangat bervariasi. Penyebab tersebut meliputi bakteri, parasit, virus, ganggang air
tawar maupun air laut, racun mikrobial, dan toksin fauna, terutama marine fauna. Komplikasi,
kadar, gejala dan waktu lamanya sakit juga sangat bervariasi tergantung penyebabnya.
Patogen utama dalam pangan adalah Salmonella sp, Staphylococcus aureus serta toksin
yang diproduksinya, Bacillus cereus, serta Clostridium perfringens. Di samping itu muncul jenis
patogen yang semakin popular seperti Campylobacter sp, Helicobacter sp, Vibrio urinificus,
Listeria monocytogenes, Yersinia enterocolitica, sedang lainnya secara rutin tidak dimonitor dan
dievaluasi. Jenis patogen tertentu seperti kolera thypoid biasanya dianalisa dan diisolasi oleh
laboratorium kedokteran.
Patogen yang dianggap memiliki penyebaran yang luas adalah yang menyebabkan
penyakit salmonellosis, cholera, penyakit parasitik, enteroviruses. Sedangkan yang memiliki
penyebaran sedang adalah toksin ganggang, dan yang memiliki penyebaran terbatas
adalahS.aureus, B.cereus, C. perfringens, dan Botulism. Melihat dari hasil uji laboratorium
residu pestisida di Indonesia maka pangan segar kita masih relatif kurang aman, hal ini dapat
berdampak negatif pada kesehatan kita. Ada beberapa dampak tersebut adalah:
 Residu Pestisida mempunyai pengaruh yang sangat merugikan terhadap kesehatan manusia dalam
jangka panjang. Dapat menyebabkan kanker, cacat dan merusak sistem syaraf, endokrin,
reproduktif dan sistem kekebalan.
 Efek logam berat :
a) Al: Kerusakan urat syaraf dan otak
b) Timbal (Pb) : Kerusakan sistem syaraf, kemunduran mental, sistem pembentukan sel darah
(anemia), ginjal dll
c) Merkuri : Kerusakan sistem syaraf, depresi, kelelahan, lesu, sakit kepala, gangguan lambung dan
usus. (Sumber: Lab Kimia Agro)
2.4 Pihak-pihak yang Terkait dengan Keamanan Pangan
Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah harus
memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan.
Karena di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus
mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah
mapan dalam sistem mutunya. Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah
terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang
berbahaya bagi kesehatan.
Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% – 10,23% pangan
yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan bahan
tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang
tercemar bahan kimia atau mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak
memenuhi standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan.
Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi persyaratan
bahan pangan adalah sekitar 7,82% – 8,75%. Penggunaan bahan tambahan makanan pada
makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena jumlah yang diperiksa
sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan. Pengujian pada minuman jajanan anak sekolah di
27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan penggunaan
BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5%
contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.
Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna
berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada produk
sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam
goreng dan cendol).
Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02% menggunakan pewarna
terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk
makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan
pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie basah; dan (4) Boraks untuk
pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan lontong.
Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap
keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi
produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapanGood
Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan berskala
kecil dan rumah tangga.
Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah
dan besar menemukan sekitar 33,15% – 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan
sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa
boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin
penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang
memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya
baru menjangkau skala besar.
Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP).
Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan fasilitas
yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% – 44,29% sarana yang
tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan.
Selain itu, masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan
pangan tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan
produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli
tidak sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian
konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan
bagi para produsen pangan. Untuk itu, kesadaran semua pihak untuk meningkatkan manajemen
mutu dan keamanan pangan sangatlah penting. Tidak bisa hanya menyerahkan tanggung jawab
kepada pemerintah atau pihak produsen saja akn tetapi semua pihak termasuk konsumen punya
andil cukup penting dalam meningkatkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan di
Indonesia.

2.5 Sistem Kerja Keamanan Pangan


Terkait dengan masalah pangan yang ada saat ini, penanganan keamanan pangan mulai
mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal ini ditandai dengan telah diterbitkannya PP No.
28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yang merupakan penjabaran dari UU
No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Peraturan ini kemudian ditindaklanjuti dengan pencanangan
Sistem Keamanan Pangan Terpadu.
PP No. 28 tahun 2004 tersebut mengamanatkan bahwa Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) mempunyai kewenangan dalam pengaturan dan atau penetapan persyaratan,
standar, keamanan pangan olahan dan ritel. Sedangkan kewenangan Kementerian Pertanian yang
dalam implementasinya oleh Badan Ketahanan Pangan adalah pengaturan dan atau penetapan
persyaratan keamanan pangan segar.
Pada tahun 2010, kewenangan tersebut telah diperkuat dengan keluarnya PERPRES No.
24 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi Badan Ketahanan Pangan adalah
melaksanakan pengkajian, penyiapan, perumusan kebijakan, pengembangan, pemantauan dan
pengawasan keamanan pangan segar (pasal 295 ayat d), sehingga penanganan keamanan pangan
segar segera dilaksanakan.
Disamping itu belum efektifnya penanganan keamanan pangan segar, juga dikarenakan:
(1) belum berkembangnya sistem pembinaan dan pengawasan keamanan pangan; (2) terbatasnya
laboratorium yang telah terakreditasi terutama di beberapa provinsi, sehingga sistem penjaminan
keamanan dan mutu produk pangan segar belum berjalan dengan baik.
Di dalam penanganan keamanan pangan segar baik yang berasal dari pangan segar asal
tumbuhan (PSAT) maupun asal hewan merupakan tanggungjawab Kementerian Pertanian. Ada
beberapa unit kerja eselon I lingkup Kementerian Pertanian yang menangani keamanan pangan
segar, yaitu Badan Karantina Pertanian (Barantan), Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen PPHP), Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen Nak
dan Keswan) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP).
Barantan memiliki tugas dalam pengawasan lalu lintas pangan segar di pintu pemasukan
dan pengeluaran. Pengawasan keamanan pangan yang dilaksanakan oleh Ditjen
PPHP lebih bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia di pasar
internasional melalui penanganan mutu dan standardisasi hasil pertanian.
Berdasarkan hasil pemantauan kondisi keamanan pangan segar di Indonesia masih
ditemukan ketidaksesuaian antara lain: (1) praktek – praktek dalam rantai pangan segar yang
tidak memenuhi standar keamanan pangan; (2) penghargaan masyarakat terhadap pangan yang
aman masih rendah karena dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi; (3) masih ditemukan
penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan, cemaran residu pestisida di atas Batas
Maksimum Residu (BMR), kandungan bahan aktif yang dilarang, cemaran mikroba, dll.
Pengawasan keamanan pangan segar juga dilakukan mulai dari on farm sampai pangan
siap diedarkan. Badan/Dinas/Instansi yang menangani ketahanan pangan, melakukan
pengawasan keamanan pangan segar di peredaran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
masing-masing. Untuk memperkuat pengawasan keamanan pangan segar, perlu koordinasi
dengan instansi terkait secara terpadu, serta advokasi kepada pemangku kepentingan.
Dalam penanganan keamanan pangan diperlukan kelembagaan yang kuat untuk
melaksanakan fungsi pembinaan maupun pengawasan keamanan pangan segar. Pembinaan
keamanan pangan segar menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Teknis Kementerian
Pertanian pusat maupun daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, dan
dilakukan mulai dari on farm sampai pangan siap diedarkan.
Praktek penanganan pangan harus diterapkan di setiap rantai pangan. Pembinaan
keamanan pangan dilaksanakan mulai dari proses budidaya dengan menerapkan praktek
budidaya pertanian yang baik atau Good Agricultural Practices (GAP) agar menghasilkan
pangan bermutu, aman, dan layak dikonsumsi, cara penanganan pasca panen hasil pertanian yang
baik atau Good Halding Practices (GHP).
Begitu juga dalam pengolahan pangan, keamanan pangan dapat dilaksanakan dengan
menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP). Demikian halnya pada rantai distribusi dan
retail, keamanan pangan segar dapat dilaksanakan dengan menerapkan Good Distribution
Practices (GDP) dan Good Retail Practices (GRP).
Pendekatan kegiatan dilakukan melalui pemantauan dan pengawasan keamanan pangan
segar, promosi dan sosialisasi keamanan pangan segar, serta penguatan kelembagaan keamanan
pangan segar :
1) Penguatan kelembagaan keamanan pangan segar diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitas aparat pada Badan/Dinas yang menangani ketahanan pangan,
2) Pemantauan dan pengawasan keamanan pangan segar diarahkan untukmengetahui kondisi
keamanan pangan segar melalui kajian,
3) Pengujian keamanan pangan baik dengan uji laboratorium maupun uji cepat,
4) Sosialisasi dan promosi keamanan pangan segar diarahkan untuk memberikan pengetahuan dan
pemahaman masyarakat mengenai keamanan pangan sehingga masyarakat dapat mengedarkan,
memilih, dan mengkonsumsi pangan yang aman.
Strategi penanganan keamanan pangan segar, adalah sebagai berikut :
1) Memperkuat kelembagaan keamanan pangan melalui peningkatan jumlah dan kompetensi SDM
yang menangani keamanan pangan segar,
2) Berkoordinasi secara intensif dengan instansi lain dalam penanganan keamanan pangan baik
lingkup Kementerian Pertanian maupun luar Kementerian Pertanian,
3) Pemutakhiran data dan informasi keamanan pangan segar,
4) Menyebarluaskan informasi keamanan pangan segar kepada masyarakat.
Agar pelaksanaan penanganan keamanan pangan segar tahun 2013 sesuai dengan sasaran,
maka perlu ditetapkan titik kritis pelaksanaan kegiatan penanganan keamanan pangan segar.
Titik kritis penanganan keamanan pangan segar secara umum yang perlu diantisipasi adalah :
1) Penguatan Kelembagaan Penanganan Keamanan Pangan Segar
Titik kritis pada kegiatan ini adalah pada peningkatan jumlah dan kompetensi petugas
pengawas keamanan pangan segar, serta penyusunan pedoman/petunjuk teknis. Apabila tidak
terlaksana akan mengakibatkan penanganan keamanan pangan segar tidak optimal. Titik kritis
selanjutnya agar dirinci kembali di tingkat provinsi dalam petunjuk teknis penanganan keamanan
pangan segar.
2) Pemantauan dan Pengawasan Keamanan Pangan Segar
Titik kritis pada kegiatan ini adalah pada pemantauan, hasil uji dan sarana pengawasan
keamanan pangan segar. Apabila tidak terlaksana akan mengakibatkan tidak tersedianya data dan
informasi tentang keamanan pangan segar.
3) Pengadaan Kendaraan Roda 4 (empat) untuk Pengawasan Keamanan Pangan Segar
Titik kritis pada kegiatan ini adalah pada fungsi kendaraan roda 4 (empat) yaitu untuk
melakukan pengawasan keamanan pangan segar secara rutin, melakukan uji di lapangan dengan
rapid test kit, serta sosialisasi terhadap masyarakat terhadap pentingnya pangan yang aman.
Apabila tidak terlaksana akan mengakibatkan pengawasan keamanan pangan segar yang beredar
secara rutin tidak terlaksana.
4) Promosi dan Sosialisasi Keamanan Pangan Segar
Titik kritis pada kegiatan ini adalah pada penentuan sarana promosi dan sosialisasi.
Apabila tidak tepat dalam penentuannya, akan mengakibatkan kurang efektifnya informasi
keamanan pangan segar kepada masyarakat.
2.6 Upaya Pengendalian Keamanan Pangan
Untuk mendukung manajemen pengendalian keamanan pangan khususnya pangan
tradisional, beberapa upaya preventif dapat dilakukan. Upaya-upaya tersebut antara lain adalah
berkaitan dengan prinsip-prinsip cara pengolahan makanan yang baik yang dapat dilakukan
dengan cara-cara sederhana secara mikro ataupun melibatkan peran swasta dan pemerintah
secara makro.
Pertama, memperhatikan masalah sanitasi dan higienitas. Kebersihan pada setiap tahapan
proses pengolahan, yang dimulai dari persiapan dan penyediaan bahan baku, pemakaian air
bersih, tahapan pengolahan, dan pasca pengolahan (pengemasan dan penyimpanan) makanan
atau pangan tradisional merupakan langkah-langkah penting untuk menghindari terjadinya
infeksi dan intoksikasi. Selain itu usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang
antara bahan baku yang belum diolah dengan bahan jadi juga merupakan upaya preventif yang
harus dilakukan.
Kedua, memanfaatkan secara maksimal sifat sinergisme antara bahan-bahan penyusun
makanan tradisional yang dikombinasikan dengan penambahan asam untuk menurunkan pH
(keasaman) produk. Seperti kita ketahui bahwa kunyit, jahe, lengkuas, dan bahan-bahan lainnya
merupakan pangan tradisional yang diketahui mempunyai efek antibakteri atau antimikroba.
Sifat sinergisme ini juga merupakan usaha untuk menghindarkan penggunaan pengawet kimia.
Ketiga, upaya pelayanan purna jual yang diberikan kepada konsumen dengan cara
penulisan label pada kemasan makanan. Penulisan informasi tentang batas akhir penggunaan
makanan (kadaluarsa), komposisi gizi penyusun makanan tradisional, komposisi zat gizi yang
terkandung, bahan pengawet yang digunakan, informasi kehalalan, dan nama perusahaan atau
industri rumah tangga yang memproduksi. Langkah ini merupakan jaminan mutu kepada
konsumen tentang produk yang akan kita pasarkan.
Keempat, peran aktif industri pangan dalam membentuk atau membina pola dan
kebiasaan konsumsi yang baik bagi masyarakat. Peran strategis industri pangan ini dimulai dari
penggunaan jenis dan kualitas produk yang digunakan untuk produk olahannya. Industri pangan
mempunyai kekuatan yang besar pula untuk mempengaruhi status gizi dan kesehatan masyarakat
umum.
Kelima, peran serta pemerintah dalam memberikan regulasi dan pengawasan terhadap
masalah-masalah keamanan pangan. Penguatan jejaring keamanan pangan nasional yang sudah
ada dalam kerangka sistem keamanan pangan terpadu yang melibatkan semua stake-holder
pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. Perbaikan sistem pelaporan, pengaduan, pencatatan,
dan penegakan hukum agar kasus-kasus keracunan pangan tidak terulang lagi.
2.7 Kasus-kasus Seputar Keamanan Pangan
2.7.1 Telur Asin Palsu
Harga sembako yang semakin mahal, akhir-akhir ini berdampak pula pada harga barang-
barang kebutuhan lainnya. Rakyat kecil terutama para pedagang merasa tercekik dengan
kenaikan harga ini. Betapa tidak, keuntungan dari hasil dagangannya tidak sepadan dengan
kenaikan harga sembako yang setiap hari dia butuhkan.
Mereka tidak berani menaikkan harga dagangannya karena takut dagangannya tidak laku
lantaran sangat mahal. Apalagi persaingan harga barang-barang tersebut kini semakin ketat.
Membuat para pedagang semakin tidak berkutik.
Para pedagang harus memeras otak untuk bisa bertahan. Mereka harus cerdik dalam
menjual dagangannya. Sayangnya, ada beberapa oknum pedagang yang berbuat curang. Mereka
memalsu barang dagangannya untuk meraih untung yang lebih besar. Tentunya hal ini tidak bisa
dibenarkan. Seperti tayangan Trans TV yang saya saksikan dalam Reportase Investigasi hari
Sabtu, 15 Maret 2008 lalu. Acara TV yang berdurasi 30 menit itu menayangkan tentang telur
asin palsu yang kini banyak beredar di pasaran.
Telur asin palsu ini tidak terbuat dari telur bebek asli melainkan dari telur ayam. Saat
menjual biasanya pedagang akan menyebutnya sebagai telur asin dari telur bebek, padahal
sebenarnya bukan. Modus yang dilakukan bermacam-macam. Mereka membeli telur ayam
dengan memilih telur-telur yang besar terlebih dahulu. Selanjutnya mereka membeli cat tembok
di toko besi dan bangunan.
Bahan tersebut dicampur untuk mengubah warna telur ayam yang umumnya coklat
menjadi telur bebek berwarna hijau. Sebelum diwarnai, telur ayam harus dicuci dulu hingga
bersih dan bebas dari kotoran agar cat bisa melekat sempurna. Selanjutnya mereka menyiapkan
adonan pewarna dan pengasin. Mereka mencampurkan bahan cat tembok dan penguat warna
dengan garam kasar.
Terakhir, telur-telur inipun direndam 3 sampai 5 hari. Setelah direndam telur dicuci
bersih untuk selanjutnya diberi tepung kanji. Tepung ini berguna untuk memberi kesan bahwa
warna telur asin buatan ini mirip warna aslinya. Nah bila sudah seperti apakah kita bisa
membedakan telur asin dari ayam ini dengan telur asin dari bebek?
Ada lagi seorang pemalsu telur asin yang bermukin di Jawa Tengah, yang katanya lebih
jago karena bisa membuat telur asin dalam waktu 1 hari saja. Mula-mula, bagian ujung telur
direndam dalam larutan cuka hingga beberapa menit. Setelah ujung telur tersebut melunak, telur
lalu disuntik dengan air garam. Berikutnya, telur yang sudah diasinkan ini direbus agar bagian
dalamnya matang dan mengeras. Usai direbus telur didinginkan untuk kemudian diwarnai.
Pewarananya bukan pewarna makanan tapi cat sablon, penguat cat dan pewarna khusus.
Kemudian sedikit ditaburi tepung kanji agar guratan cat pada kulit telur akan tertutupi.
Di pasaran telur asin palsu biasanya dijual seharga telur asin asli, yakni 1.500 rupiah per
butirnya. Padahal harga sebutir telur ayam hanya 600 rupiah. Dengan sedikit polesan pedagang
bisa meraih untung berlipat. Para pemalsu ini sudah mempunyai pasar tersendiri yaitu stasiun
dan tempat tinggal bus perjalanan jarak jauh. Mereka memilih tempat semacam itu karena
biasanya pembeli tidak terlalu jeli dan sedang terburu-buru. Pembeli tak pernah tahu bahwa ada
zat kimia yang digunakan untuk mewarnai telur ini.
Untuk membedakan antara telur asin yang asli dengan telur asin palsu dibutuhkan
ketelitian. Telur asin yang asli tidak terdapat bercak noda seperti cat. Sedangkan pada telur asin
palsu biasanya terdapat bercak seperti ini. Jika telur masih berbalut tepung, bersihkan dulu
tepung pembalutnya dan cermati warna kulitnya.
Bila telur asin dibelah juga akan terlihat perbedaannya. Kuning telur asin palsu biasanya
tampak kuning keputihan karena berasal dari telur ayam. Sedangkan telur asin dari telur bebek
berwarna kuning atau kuning kemerahan. Yang terakhir anda bisa melakukan uji sederhana
terhadap telur asin yang anda beli. Gosoklah kulitnya dengan cairan pemutih baju. Telur asin
yang palsu warnanya akan memudar sedangkan yang asli tidak. Kejelian anda saat membeli
dapat menghindarkan anda dari telur asin palsu.

2.7.2 Saus Palsu


“Saus palsu” adalah istilah yang sering digunakan untuk mendefinisikan saus yang
mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan manusia. Program Televisi Reportase Investigasi
TransTV melakukan studi kasus mengenai “saus palsu” tersebut.
Mereka membeli beberapa saus yang dijual di pasar tradisional dan supermarket untuk
kemudian dijadikan sampel acak dan diteliti kandungan di dalamnya. Berdasarkan uji
laboratorium yang dilakukan, peneliti menemukan bahwa delapan dari sepuluh sampel saus
mengandung formalin dan diperkirakan terbuat dari tomat dan cabai busuk.
Penelitian lapangan kemudian segera dilakukan. Hasilnya, didapati bahwa ada oknum-
oknum tidak bertanggungjawab yang memang sengaja memproduksi saus palsu ini. Bahan-bahan
busuk yang digunakan antara lain: tomat busuk, cabai busuk, dan pepaya busuk.
Alasan penggunaannya adalah harga yang 80% lebih murah dibandingkan dengan bahan-
bahan segar. Produsen nakal juga menambahkan formalin yang berfungsi sebagai pengawet dan
untuk menghilangkan aroma busuk yang ada. Botol bekas saus bermerek beserta segelnya dapat
diperoleh dengan mudah di pasar sehingga pelaku tidak kesulitan dalam mengemas atau
memberikan label baru untuk saus buatannya.
Pada awalnya, gejala yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi saus berbahan tidak sehat
adalah tubuh terasa lemas, pusing, bahkan disertai dengan efek mual. Jika dibiarkan, penggunaan
saus palsu secara berkala dapat menyebabkan alergi/iritasi tenggorokan/radang tenggorokan,
memicu asma, menyebabkan gangguan pada sistem ekskresi/pembuangan dan sistem syaraf,
serta dapat mengakibatkan kanker.
Untuk menghindari pembelian saus yang keliru, berikut ini adalah cara membedakan saus
asli dan saus palsu:
1. Telitilah melihat apakah pada label saus terdapat ijin dari Departemen Kesehatan atau tidak. Bila
tidak, berarti saus tersebut perlu diwaspadai.
2. Lihat warnanya. Saus asli berwarna seperti tomat dan cabai yaitu merah kekuning-kuningan
sedangkan saus palsu berwarna merah mencolok dan terlihat lebih muda.
3. Lihat kekentalannya. Saus asli akan cenderung lebih kental sedangkan saus palsu agak cair dan
memiliki gumpalan-gumpalan kecil di dalamnya sebagai efek penambahan formalin.
4. Cium aromanya. Saus asli memiliki aroma khas dengan bau cabai dan tomat pada umumnya
sedangkan saus palsu beraroma seperti bawang putih dan sangat menyengat karena
menggunakan cabai, tomat, dan pepaya busuk.
5. Rasakan sausnya. Saus asli memiliki rasa cabai dan tomat yang segar sedangkan saus palsu
hanya cenderung memiliki rasa gurih.
6. Perhatikan harganya. Saus asli memiliki harga wajar dan sesuai dengan harga yang biasa
ditawarkan pasar, sedangkan saus palsu harganya jauh lebih murah.
2.7.3 Penyalahgunaan Boraks dalam Makanan
Sekarang ini banyak kejadian penggunaan boraks sebagai bahan pengawet makanan. Di
mana bahan tersebut sangat dilarang digunakan sebagai bahan baku makanan. Dan jika
penggunaannya terus dilakukan dan dikonsumsi dapat menyebabkan berbagai penyakit terutama
kanker dan bahkan kematian untuk tingkat yang lebih lanjut. Hal ini telah menjadi hal yang
cukup serius dan menjadi suatu masalah yang berusaha diselesaikan dengan baik oleh berbagai
pihak terutama pemerintah.
Sebagai pusat utama kelangsungan negara, pemerintah harus dapat dengan bijak
memutuskan dan bertindak bagaimana penanganan kasus tersebut. Terutama kasus pada
pembuatan bakso dan mie dengan bahan pengawet boraks dan berbagai makanan seperti ikan
asin serta tahu yang diawetkan dengan menggunakan formalin.
Boraks merupakan senyawa kimia dengan rumus natrium tetraborat (NaB4O7.10H2O),
berbentuk kristal lunak dengan pH = 9,5. Boraks merupakan senyawa kimia antara natrium
hidroksida(NaOH) serta asam borat(H3BO3). Umumnya boraks digunakan dalam berbagai
industri non pangan khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu, bahan solder, bahan
pembersih, pengontrol kecoak dan keramik. Gelas pyrex yang terkenal pun dibuat dengan
campuran boraks.
Boraks disalahgunakan untuk pangan dengan tujuan memperbaiki warna, tekstur dan
flavor. Padahal sifatnya sangat beracun, sehingga peraturan pangan tidak membolehkan boraks
untuk digunakan dalam pangan. Boraks sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan
gendar nasi, kerupuk gendar, atau kerupuk puli yang secara tradisional di Jawa disebut “Karak”
atau “Lempeng”.
Surat kabar Merdeka mengabarkan pada September 2012 BPOM menguji 70 sampel
jajanan di kawasan Benhil, Jakarta Pusat. Hasil yang didapat dari pengujian tersebut
membuktikan sejumlah panganan tersebut mengandung boraks. Makanan yang rentan akan
penambahan boraks antara lain cendol, cincau, bakso, agar-agar, dan lontong.
Mengkonsumsi boraks dalam makanan tidak secara langsung berakibat buruk, namun
sifatnya terakumulasi (tertimbun) sedikit-demi sedikit dalam organ hati, otak dan testis. Boraks
tidak hanya diserap melalui pencernaan namun juga dapat diserap melalui kulit.
Boraks yang terserap dalam tubuh dalam jumlah kecil akan dikelurkan melalui air kemih
dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat. Boraks bukan hanya menganggu enzim-enzim
metabolisme tetapi juga menganggu alat reproduksi pria. Jika dikonsumsi dalam jumlah yang
cukup tinggi dapat menyebabkan gejala pusing, muntah, mencret, kejang perut, kerusakan ginjal,
hilang nafsu makan.
Adapun ciri-ciri mekanan yang mengandung boraks antara lain :
 Mie Basah : tidak lengket, sangat kenyal, serta tidak mudah putus
 Bakso : tekstur sangat kenyal, warna tidak kecokelatan seperti penggunaan daging,
tapi lebih cemerlang keputihan
 Lontong : rasa getir dan sangat gurih, serta beraroma sangat tajam
 Kerupuk : teksturnya sangat lembut dan renyah, bisa menimbulkan rasa getir di lidah
Meskipun begitu, masih banyak pedagang yang masih menggunakan bahan yang legal
untuk dimakan dalam pembuatan produknya. Hal ini bukan menjadi alasan bagi Kita untuk takut
atau menjadi phobia yang berlebihan pada makanan, tetapi membuat kita lebih “care” dan
berhati-hati pada apa yang kita makan.
2.7.4 Nugget Berbahan Ikan dan Udang Busuk
Pelbagai perkembangan teknologi dalam mengolah makanan kini menjadi daya tarik bagi
konsumen dan masyarakat luas. Mengingat masyarakat kini lebih menyenangi maknan instan
cepat saji yang tidak memerlukan banyak waktu dalam pengolahannya. Pasaran makanan instan
sangat di minati oleh semua lapisan. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, dewasa bahkan
orang tua. Berikut salah satu contoh makanan instan yang menjadi favorit masyarakat,
diantaranya mi instan, nugget, sosis, makanan kaleng dan masih banyak lagi.
Yang akan di bahas dalam konteks keamanan dan kualitas pangan mengenai contoh kasus
setahun terakhir yang menggegerkan para konsumen setia nugget yang dilansir di media online
detiknews.com pada Jumat, 28 Juni 2013 17:25 WIB, Dikutip
dalamhttp://news.detik.com/read/2013/06/28/172559/2287465/10/polisi-bongkar-homeindustry
nug get-yang-bahan-bakunya-ikan-busuk yang membenarkan adanya penggrebekan industri
rumahan yang tidak memenuhi standar kemanan pengelolaan makanan dengan di perburuk
dengan bahan utama pengolaan nugget berasal dari ikan yang telah membusuk bahkas sudah
menjadi sarang belatung, dan di perburuk dengan memperkerjakan anak di bawah umur sebagai
pegawainya.
Penemuan yang mengejutkan tentunya bagi semua lapisan masyarakat, setelah beberapa
tahun terakhir kita mengetahui harga jual nugget di pasaran mulai bersahabat dan bahkan mudah
di temui di deretan jajanan sekolah dasar dengan harga yang sangat murah. Namun harga nugget
yang bersahabat tidak demikian dengan kandungan yang terkandung di dalamnya. Komposisi
bahan pembuatan nugget yang berbahaya memicu beragam penyakit dalam tubuh. Dampaknya
tidak akan terlihat dengan cepat, namun berdampak pada jangka panjang.
Dalam pemberitaan, diketahui bahwa bahan pembuat nugget tidak hanya ikan dan udang
saja yang busuk. Namun ada lagi bahan berbahaya yang menjadi bahan campurannya. Boraks
yang merupakan salah satu unsur kimia bahan pembersih (antiseptik/zat pembantu melelehkan
zat padat) yang tidak di perbolehkan untuk makanan menjadi salah satu bahannya. Untuk
menutupi warna kurang menarik dari campuran ikan dan udang busuk, di tambahkan dengan
pewarna tekstil (pewarna baju) yang mencolok sebagai penguat warna nugget.
2.7.5 Susu Mengandung Melamin
Beberapa hari menjelang Idul Fitri kemarin, kita dikejutkan oleh penemuan kasus susu
mengandung melamin asal China. Ibarat pepatah, karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga.
Demikian pulalah yang terjadi di negeri tirai bambu itu. Susu yang umumnya memiliki manfaat
yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan berubah menjadi penyebab penyakit.
Tak kurang dari 10.000 bayi dan anak-anak di China mengalami sakit dan menjalani
perawatan medis akibat minum susu yang mengandung nila alias melamin itu. Sungguh
mengenaskan. Melamin, zat yang biasa digunakan sebagai bahan pembuat plastik, pupuk dan
pembersih ini yang ditambahkan sebagai pengental dan penambah kadar protein pada produk
susu. Penambahan melamin ini dipercaya akan meningkatkan kadar nitrogen dalam susu yang
menjadi indikator kandungan protein dalam produk makanan.
Pencampuran susu dengan melamin ini berakibat fatal. Diperkirakan saat ini, ribuan bayi
yang mengonsumsi susu bermelamin menderita gagal ginjal akut. Beberapa di antaranya
dilaporkan meninggal dunia. Kandungan melamin yang termasuk kategori logam berat dalam
konsentrasi tertentu menyebabkan zat ini tidak bisa diuraikan oleh tubuh. Akibatnya terjadi
penumpukan di ginjal yang kemudian menyebabkan terbentuknya batu ginjal dan kerusakan
fungsi organ tubuh lainnya.
Masalahnya susu melamin ini menjadi semakin besar karena produk susu China dan
produk turunannya tersebut tersebar pula ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia.
Tentu, jika produk tersebut dikonsumsi bayi-bayi di Indonesia, maka peristiwa seperti di negeri
tirai bambu pun berpotensi terjadi di Indonesia.
Apalagi, beberapa produk makanan yang berbahan susu dan produk turunan dari China
tersebut cukup familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Produk-produk makanan tersebut
masuk melalui jalur impor resmi, tapi tak sedikit pula yang tak jelas prosedurnya. Yang jelas
produk tersebut telah beredar luas, baik di pasar tradisional maupun di gerai-gerai belanja
modern.
2.8 Teori Berdasarkan Kasus
2.8.1 Teori Etika Utilitarianisme
Utilitarianisme dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1784 – 1832). Dalam ajarannya
Ultilitarianisme itu pada intinya adalah “ Bagaimana menilai baik atau buruknya kebijaksanaan
sospol, ekonomi dan legal secara moral” (bagaimana menilai kebijakan public yang memberikan
dampak baik bagi sebanyak mungkin orang secara moral). Etika Ultilitarianisme, kebijaksanaan
dan kegiatan bisnis sama – sama bersifat teologis. Artinya keduanya selalu mengacu pada tujuan
dan mendasar pada baik atau buruknya suatu keputusan.
Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau
mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri
ataupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan
keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan.
Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan kebahagiaan daripada penderitaan,
manfaat daripada kesia-siaan, keuntungan daripada kerugian, bagi sebagian besar orang. Dengan
demikian, perbuatan manusia baik secara etis dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri
sendiri dan orang lain.
Bila dilihat dari contoh kasus telur asin palsu, saus palsu, penggunaan borak, susu
mengandung melamin dalam makanan yang dilakukan oleh para oknum yang tidak
bertanggungjawab maka hal tersebut telah menyimpang dari teori etika utilitarianisme. Karena
perbuatan yang dilakukan oleh para oknum hanya menguntungkan bagi mereka sendiri,
bermanfaat bagi mereka sendiri, akan tetapi merugikan dan memberikan penderitaan bagi orang
lain yang mengkonsumsi makanan tersebut.
Sebagai produsen tentunya dalam memproduksi dan menjual makanan haruslah
mempertimbangkan terlebih dahulu keputusan yang ingin dilakukan serta memikirkan dampak
yang akan ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan. Setiap orang pasti mengalami kesulitan
dalam menjalankan usaha mereka, akan tetapi seharusnya hal tersebut tidak menjadi penghalang
bagi para produsen untuk melakukan usaha dengan jujur dan benar.
Dan tidak seharusnya sebagai penjual menggunakan cara-cara yang tidak benar yang
dapat mengakibatkan orang lain keracunan karena telah mengkonsumsi makanan yang dijual.
Bila ingin bersaing dengan sesama produsen maka bersainglah dengan cara yang sehat dan
berguna bagi orang lain, karena dengan demikian usaha yang kita lakukan tentu akan berhasil.
Selain itu bila ingin usaha prosuksi makanan yang dijual ramai oleh pelanggan, maka perhatikan
kualitas serta mutu makanan yang dijual.
2.8.2 Teori Perlindungan Konsumen
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan
dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.
Sedangkan menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dan yang dimaksud dengan konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk
diperdagangkan.
Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen, yaitu :
1) Perlindungan Priventif
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan
membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai
melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan
selanjutnya memutuskan untuk membeli atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa
dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.
2) Perlindungan Kuratif
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau
pemanfaatan barang atau jasa tertentu oleh konsumen. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa
konsumen belum tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang
dan atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang
atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang tersebut adalah
pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak peduli ia
mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam teori perlindungan konsumen tersebut maka dari
contoh kasus kasus telur asin palsu, saus palsu, penggunaan borak, susu mengandung melamin
yang dijelaskan tersebut sudah seharusnya sebagai seorang produsen agar lebih memperhatikan
kualitas maupun mutu makanan yang mereka jual, hal tersebut tentunya untuk melindungi
konsumen dari hal-hal yang disebut keracunan makanan.
Walau bagaimana pun kesehatan pembeli adalah hal yang paling utama dan menjadi
tanggung jawab para produsen. Untuk apa melakukan usaha dalam memperoleh keuntungan jika
para pembeli justru akan mengalami penyakit setelah mengkonsumsi makanan yang kita jual.
Jadi dalam hal ini diperlukan kesadaran dari para oknum agar berhenti melakukan perbuatan
yang tidak benar yang merugikan bagi orang lain, sudah sebaiknya sebagai produsen
memberikan perlindungan dan yang terbaik bagi para konsumen.
Lakukanlah kewajiban sebagai seorang produsen maupun sebagai seorang konsumen
sebagaimana mestinya. Sebagai konsumen juga seharusnya lebih bijak dan lebih hati-hati dalam
memilih dan mengkonsumsi makanan yang berguna bagi kesehatan. Selain itu konsumen juga
sebaiknya meningkatkan pengetahuan mereka tentang makanan yang sehat dan berguna bagi
tubuh. Konsumsi makanan yang berkualitas dan aman bagi keberlangsungan hidup.
Jangan langsung tergoda oleh tampilan luar makanan yang terlihat menarik dan
mengundang selera. Bagi pemerintah sendiri, jika para oknum terbukti bersalah maka hukumlah
mereka sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan.

2.8.3 Teori Kelas


Seperti yang kita ketahui, bahwa nugget masuk dalam kategori panganan bagi orang
berekonomi kecukupan dalam artian masyarakat mampu (kelas atas). Nugget yang menjadi salah
satu panganan orang kelas atas karena di tinjau dari sisi keefektifan dan efisiennya menyediakan
makanan yang tidak mengeyampingkan kandungan gizinya. Selain itu, karena banyaknya orang
kelas atas merupakan para pekerja yang tidak mempunyai waktu lama dalam mengolah asupan
makanannya seperti sarapan, makan siang dan makan malam. Kepraktisan nugget saat di jadikan
bekal ke sekolah, kantor dan piknik menjadi faktor lain yang mempengaruhi mengapa nugget
menjadi bagian dari makanan kelas atas.
Kesenjangan sosial tidak lagi di pungkiri keberadaannya di sekitar kita. Pelbagai olahan
nugget dengan beraneka ragam bahan dasar dan jenis menghiasi iklan-iklan di stasiun Televisi.
Hal ini yang menjadi sebuah bentuk kesenjangan sosial yang di rasakan pengguna Televisi,
mengingat pengguna Televisi tersebar di lapisan masyarakat. Seperti yang dikemukakan
oleh Karl Marxmengenai konsep perjuangan kelas yang dimana adanya kaum borjuis dan
proletar. Konsep ini tak jauh berbeda dengan pemaparan di atas mengenai kelas atas (kelompok
berkecukupan ekonomi) dan kelas bawah (kelompok dengan ekonomi kurang). Pengklasifikasian
tersebut berdampak pada aspek kehidupan yang lain. Sehingga banyak kecemburuan yang timbul
di kelompok kelas bawah terhadap kelas atas, dengan salah satu contohnya jenis panganan
nugget tersebut.
Kesenjangan kelas tersebut menjadikan bibit baru permasalahan dan peluang terjadinya
penyimpangan sosial. Para produsen di bidang pangan berlomba membuat panganan nugget ini
masuk ke pasaran kelas menengah ke bawah. Namun tak memungkirin hal tersebut dapat
terwujud dalam beberapa tahun terakhir ini, berbagai merk asing nugget dan sosis di jual bebas
di pasar-pasar tradisional. Harganya sangat jauh berbeda dengan nugget kemasan yang di jual
dalam supermarket.
2.8.4 Teori Perilaku Menyimpang
Menurut James W. Van Der Zanden. Perilaku menyimpang yaitu perilaku yang bagi
sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tercela dan di luar batas toleransi. Seperti dalam
kasus yang menjadi pembahasan di atas, hal ini bisa terkait dengan penyimpangan sosial seperti
yang dikemukakan oleh James W. Van Der Zanden. Penggunaan bahan tidak layak konsumsi
dalam olahan nuggetnya merupakan hal yang telah melanggar dasar hukum karena dapat
mengakibatkan banyak resiko bagi konsumen yang memakannya. Dalam pasal 10 sampai 12 UU
No. 7/1996 dan peraturan di bawahnya mengenai bahan tambahan pangan telah di paparkan
mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai standar keamanan pangan.
Bentuk penyimpangan tersebut sudah tidak dapat di toleransi dan di biarkan begitu saja.
Sesuai dengan hukum yang berlaku, kasus seperti ini harus di tindak lanjuti sebagai bentuk
kriminalitas dalam mengolah pangan skala besar.
2.9 Analisis Kasus
Makanan menjadi sangat penting bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya.
Dalam mengkonsumsi makanan ada banyak hal yang dipertimbangkan oleh para konsumen, baik
itu masalah harga makanan, kualitas gizi makanan, maupun tampilan makanan yang dianggap
mengundang selera. Meskipun demikian masih terdapat juga masyarakat yang ada disekitar kita
yang dalam mengkonsumsi makanan tidak terlalu mementingkan kesehatan mereka dan tidak
terlalu memikirkan apa dampak yang akan ditimbulkan bagi mereka dari makanan yang
dikonsumsi.
Bila dilihat dalam fenomena masyarakat kita saat ini menunjukkan bahwa kebanyakan
masyarakat lebih tertarik kepada makanan-makanan yang memiliki harga yang murah ataupun
terjangkau, enak dan mengundang selera. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal, yakni
faktor ekonomi yang tidak memadai, adanya pemikiran bahwa tidak masalah memakan makanan
apapun yang penting dapat membuat perut kenyang, dsb.
Selain itu, mahalnya harga makanan menjadikan oknum yang tidak bertanggungjawab
memproduksi atau menjual makanan-makanan yang justru berbahaya bagi kesehatan. Mereka
biasanya menjual makanan-makanan yang mereka produksi dengan harga yang lebih murah dan
memiliki tampilan yang menarik, hal ini bertujuan agar para konsumen dengan mudahnya
membeli makanan mereka karena melihat tampilan makanan yang menarik dengan harga yang
terjangkau. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan oleh para produsen tentu berbahaya bagi
kesehatan para konsumen. Dan biasanya dampak yang akan ditimbulkan yakni konsumen akan
keracunan makanan.
Seperti halnya pada contoh kasus yang telah disebutkan yakni adanya telur asin palsu,
saos palsu, susu mengandung melamin, serta penggunaan boraks dalam makanan. Hal ini
dilakukan para oknum yang tidak bertanggung jawab dimana mereka tidak memikirkan apa yang
terjadi pada konsumen tetapi justru lebih memikirkan bagaimana mereka dapat memperoleh
keuntungan dari mereka jual. Hal ini tentunya menjadi perhatian bagi pemerintah dan
masyarakat dalam menyikapi fenomena tersebut.
Harapan dari komponen ketiga ini mengenai keamanan pangan dan kualitas pangan di
harapkan menjadi standarisasi ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Dalam Undang-Undang
No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 telah di atur
mengenai Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004
tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Keamanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan
benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Sudah jelas terbukti bahwa kasus nugget berbahan ikan dan udang busuk yang
meresahkan masyarakat beberapa akhir tahun belakangan ini sangat melanggar dasar hukum
keamanan, mutu dan gizi pangan. Lingkungan sosial masyarakat juga berperan andil dalam
keberadaan penyimpangan hal tersesbut, seperti pemaparan di atas.
Dengan adanya kasus tersebut diharapkan agar pemerintah mengambil kebijakan-
kebijakan dalam menangani serta memusnahkan makanan-makanan yang dapat membahayakan
kesehatan. Selain itu, bagi masyarakat sendiri diharapkan agar lebih teliti dan lebih berhati-hati
dalam memilih dan mengkonsumsi makanan. Jangan langsung tergoda dengan harga makanan
yang murah serta mengundang selera, tetapi lebih melihat kepada kualitas serta keamanan
makanan itu sendiri bagi tubuh.
Jika kesadaran sosial dari masyarakat itu sendiri sangat rendah, maka harapan dan cita-
cita bangsa dalam mewujudkan keamanan pangan dan kualitas pangan yang baik tidak akan
pernah terwujud. Selain dari timbulnya masalah pelanggaran, masalah lainnya akan bermunculan
sebagai tanda bukti dampak dari adanya nugget berbahan ikan dan udang busuk. Lemahnya daya
tahan tubuh masyarakat akibat keamanan pangan dan kualitas pangan sangat rendah, daya
berfikir dan kerja tubuh dalam melakukan berbagai kegiatan menjadi terganggu dan masih
banyak masalah yang akan muncul.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Keamanan pangan merupakan hal yang harus selalu diperhatikan dan diawasi
penangannya. Hal ini disebabkan karena keamanan pangan memiliki kedudukan yang sangat
penting bagi masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia umumnya. Sekarang ini
sangat banyak kasus yang terjadi di sekitar kita yang berasal dari kurangnya kepedulian dan
pengetahuan mengenai pentingnya makanan yang aman.
Aman dalam hal ini adalah tidak adanya kemungkinan cemaran biologis, kimia dan
benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Untuk itu,
maka peran aktif dari berbagai pihak sangat diperlukan. Produsen, distributor, konsumen dan
pemerintah harus lebih peduli pada keadaan pangan yang ada dan beredar.
Dunia saat ini lebih berusaha dalam menangani keamanan pangan, terbukti dengan
banyaknya peraturan yang dibuat dan ketatnya persaingan antar negara dalam menjamin
keamanan pangan. Negara yang tidak terlalu memperhatikan dan mempedulikan keamanan dari
pangan tidak akan di beli dan mendapat tawaran dari negara lain untuk membeli produk dan
barang komoditinya.

3.2 Saran
Pihak-pihak yang memiliki peran penting dalam menjamin keamanan pangan yang
beredar, seharusnya lebih peduli dan bijak lagi dalam melihat keadaan saat ini.
 Produsen harus memproduksi dan menjual bahan pangan yang memang sehat dan aman untuk
dikonsumsi,
 Distributor harus menyalurkan bahan-bahan pangan yang memang sehat dan tidak membahayakan
kesehatan manusia,
 Konsumen harus lebih pintar dalam memilih, membeli dan mengelola bahan pangan,
 Pemerintah juga berperan dalam pembuatan peraturan dan pengawasan bahan pangan yang beredar
di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
 Dikutip dalam : http://itp.bakrie.ac.id/index.php/en/lang-en-articles-lang-lang-id-artikel-lang/lang-
en-food-articles-lang-lang-id-artikel-pangan lang/item/53 keamanan-pangan-dan-kesehatan-
masyarakat-2 [Diakses pada 17 Oktober 2014 Pada pukul 15:03]
 Dikutip dalam : http://yprawira.wordpress.com/manajemen-mutu-dan-keamanan-pangan/[Diakses
pada 17 Oktober 2014 Pada pukul 15:14]
 Dikutip dalam : http://hartoko.wordpress.com/keamanan-pangan/ [Diakses pada 17 Oktober 2014
Pada pukul 15:28]
 Dikutip dalam http://bkp.bangka.go.id/donlot/pentingnya.pdf [Diakses pada 17 Oktober 2014 Pada
pukul 15:42]
 Dikutip dalam : http://bkp.pertanian.go.id/downlot.php?file...pdf.html [Diakses pada 17 Oktober
2014 Pada pukul 20:04]
 Dikutip dalam : http://clearinghouse.pom.go.id/downlot.php?...pp_no_28.html [Diakses pada 17
Oktober 2014 Pada pukul 20:13]
 Dikutip dalam : http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2012/07/reportase-investigasi-nugget-ikan-
dan.html [Diakses pada 17 Oktober 2014 pukul 20:38]
 Dikutip dalam : http://www.edipsw.com/kegiatan/beredar-telur-asin-palsu/ [Diakses pada 18
Oktober 2014 Pada pukul 16:11]
 Dikutip dalam: http://setyarobi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-81639-Umum-
Konsep%20Perjuangan%20Kelas%20Karl%20Marx.html [Diakses pada 18 Oktober 2014 pukul
11:02]
 Dikutip dalam : http://khairulazharsaragih.blogspot.com/2012/11/penyimpangan-sosial-dalam-
masyarakat.html [Diakses pada 18 Oktober 2014 pukul 12:46]

 Dikutip dalam : http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2012/03/21/bahaya-saus-palsu-


448117.html [Diakses pada 18 Oktober 2014 Pada pukul 16:30]
 Dikutip dalam :
http://softskill16.blogspot.com/2013/11/teori-etika-utilitarianisme.html [Diakses pada 18
Oktober 2014 Pada pukul 18:37]
 Dikutip dalam :
http://nitanurrachmawatiatmasari.blogspot.com/2011/02/perlindungan-konsumen.html[Diakses
pada 18 Oktober 2014 Pada pukul 19:06]
 Dikutip dalam : http://www.bikasolusi.co.id/sistem-manajemen-keamanan-pangan-menurut-
peraturan-perundangan/ [Diakses pada Jam 20:21 sabtu 18 oktober 2014]
 Dikutip dalam : http://www.suaramerdeka.com/harian/0512/26/nas24.htm. [Diakses pada 18
Oktober 2014. Pada pukul 19.00 WIB]
 Dikutip dalam : https://www.facebook.com/notes/partai-keadilan-sejahtera/hikmah-kasus-susu-
melamin/51568792140. [Diakses pada 18 Oktober 2014. Pada pukul 18.40 WIB]

Anda mungkin juga menyukai