Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

ANALISIS RESIDU ANTIBIOTIK TETRASIKLIN


PADA DAGING AYAM BROIlER DAN DAGING SAPI

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisis Obat & Narkotika


yang Dibimbing oleh Apt Hasan Wattiheluw, S.Farm, M.Farm

Disusun Oleh :

Muhammad Sofyan Novrizal


(P17120191012)

PRODI D3 ANALIS FARMASI DAN MAKANAN


JURUSAN GIZI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
2021
Bab I

1.1 Latar Belakang

Menurut UU RI No. 18 Tahun 2012 bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan / atau pembuatan makanan dan minuman.

Ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat, residu antibiotik dalam pangan asal hewan dapat
mengancam kesehatan masyarakat. Ancaman kesehatan masyarakat akibat residu antibiotik antara
lain alergi, keracunan, gagalnya pengobatan karena resistensi bakteri dan gangguan jumlah
mikroflora dalam saluran pencernaan pada manusia.

Antibiotik adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau


membunuh mikroorganisme. Antibiotik telah lama digunakan dalam pakan ternak untuk mencegah
penyakit dan meningkatkan pertumbuhan. Antibiotik kekuatannya berbeda-beda, ada yang kuat dan
dapat membunuh banyak bibit penyakit, tetapi ada juga yang lemah. Penggunaannya sangat mudah,
dapat diberikan dalam air minum, dicampur dalam pakan, atau injeksi.

Contoh antibiotika yang digunakan adalah golongan tetrasiklin yang berfungsi sebagai
antibakteri yang bekerja secara bakteriostatik dan dapat mencegah penyakit yang ditimbulkan baik
oleh bakteri gram positif maupun negatif (Castellari & Regueiro 2003). Tetrasiklin yang
ditambahkan dalam pakan ayam pedaging dapat menimbulkan residu dalam daging ayam.

Untuk memastikan produk pangan aman untuk dikonsumsi, Badan Standarisasi Nasional
(BSN) menetapkan Batas Maksimum Residu (BMR) yang tercantum dalam SNI 01- 6366- 2000
yang menetapkan bahwa batas maksimum residu golongan makrolida pada produk hewan ternak
yaitu spiramisin sebesar 0,05 mg/kg pada daging dan 0,05 mg/kg pada telur, eritromisin yaitu
sebesar 0,1 mg/kg pada daging dan 0,1 mg/kg pada telur.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar residu antibiotik tetrasiklin pada daging
ayam broiler (G. domesticus) dan daging sapi (B. taurus) yang di jual di kawasan Surabaya Timur.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dibagi menjadi dua, manfaat aplikatif dan manfaat teoritis.

Manfaat aplikatif terdiri dari :

1. Sebagai bahan informasi bagi instansi terkait, dalam hal ini Dinas Peternakan mengenai
keberadaan residu antibiotik yang ada pada daging ayam broiler (G. domesticus) dan daging sapi
(B. taurus)

2. Sebagai informasi dan masukan bagi peternak pada daging ayam broiler (G. domesticus) dan
daging sapi (B. taurus)tentang bahaya kandungan residu antibiotik bagi kesehatan konsumen.

Manfaat teoritis terdiri dari :

1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai ada tidaknya residu antibiotik pada daging
ayam broiler (G. domesticus) dan daging sapi (B. taurus), sehingga masyarakat lebih teliti lagi
dalam memilih dan mengkonsumsi ayam pedaging.

2. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan dapat
digunakan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
Bab II

Tinjauan Pustaka

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia.
Termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan / atau pembuatan makanan dan minuman (Indrati dan Gardjito,
2014).
Kualitas bahan pangan asal ternak harus memperhatikan asas Aman, Sehat, Utuh dan Halal
(ASUH). Aman berarti bahan pangan tersebut tidak mengandung bahan biologik, kimia dan fisik
yang dapat menyebabkan penyakit serta mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti memiliki
unsur-unsur yang dibutuhkan dan berguna bagi kesehatan serta pertumbuhan tubuh. Utuh berarti
tidak bercampur dengan bagian lain dari hewan dan sesuai dengan deskripsi yang ada pada label
produk. Sedangkan halal berarti bahwa bahan pangan tersebut berasal dari ternak yang dipotong
dan ditangani sesuai dengan syariat agama islam (Ditjen Peternakan, 2007).
Keamanan pangan. Keamanan pangan merupakan masalah kompleks sebagai hasil
interaksi antara toksisitas mikrobiolologi, toksisitas kimiawi dan status gizi. Hal ini mempengaruhi
kesehatan manusia yang pada akhirnya menimbulkan masalah terhadap status gizinya (Seto, 2001).
Keamanan pangan dipengaruhi oleh segala proses yang terjadi dalam mata rantai produksi.
Kontaminasi dapat terjadi pada setiap proses mulai dari peternakan, saat panen/pemotongan,
pemerahan susu, industri pengolahan, transportasi, pengecer dan konsumen (Thahir et al., 2005).
Bahaya pangan asal ternak yang tercemar. Pangan asal ternak termasuk dalam kategori
yang tercemar adalah apabila pangan tersebut mengandung :

a. bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan jiwa manusia.


b. cemaran bio-fisik-kimiawi yang melampaui ambang batas yang telah ditetapkan.
c. bahan yang dilarang digunakan dalam proses produksi pangan asal ternak, serta
d. bahan kotor, busuk, tengik, terurai atau mengandung bahan nabati atau hewani yang
berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi
manusia. Produk hewani yang sudah kadaluarsa juga termasuk dalam kriteria pangan yang
tercemar (Wiradarya, 2005). Jika suatu bahan pangan telah tercemar, berarti bahan pangan
tersebut sudah tidak memenuhi kriteria ASUH.

Daging merupakan bahan pangan yang berasal dari hewan yang menjadi salah satu
kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia karena memiliki kandungan gizi dan sebagai
sumber protein hewani. Protein hewani mengandung asam-asam amino esensial yang
dibutuhkan manusia dan lebih mudah untuk dicerna (Iwantoro dan Etikaningrum, 2017).
Produk hewan yang berkualitas akan mampu mempunyai nilai jual yang tinggi dan
berkompetisi di dalam perdagangan secara luas. Namun, dewasa ini masih banyak
permasalahan yang berkaitan dengan mutu dan keamanan produk hewan diantaranya yaitu
tingginya kasus keracunan makanan, adanya produk yang tidak memenuhi syarat mutu dan
keamanan karena tercemar bahan kimia dan mikroba,dan penanganan rantai produksi yang
kurang baik (Dewi, 2014).
Salah satu bahan kimia yang dapat mencemari produk hewan adalah residu
antibiotik. Residu antibiotik dalam pangan dapat mengancam kesehatan masyarakat.
Ancaman tersebut berupa dampak negatif yang berakibat kepada masyarakat, diantaranya
yaitu terjadinya resistensi bakteri, alergi terhadap pangan dan juga keracunan. Masalah
residu antibiotik timbul pada produk pangan hewan diakibatkan oleh pengaplikasian
antibiotik yang kurang tepat pada hewan-hewan ternak. Antibiotik digunakan untuk
pengobatan dan juga pemacu pertumbuhan ternak, sehingga apabila penggunaan antibiotik
yang tidak memperhatikan masa henti obat, maka akan menimbulkan terbentuknya residu
antibiotik pada produk pangan hewan (Dewi, 2014).
Jenis antibiotik yang paling sering ditemukan pada produk ternak khususnya
daging ternak adalah antibiotik dari jenis tetrasiklin. Dalam industri peternakan, antibiotik
seringkali digunakan untuk pengobatan penyakit pernafasan dan dalam dosis rendah dapat
digunakan sebagai pemicu pertumbuhan hewan ternak. Pada dasarnya golongan tetrasiklin
hanya diperbolehkan sebagai obat hewan dan tidak termasuk dalam daftar zat aditif pakan
yang diizinkan di Indonesia, namun karena harganya yang murah dibandingkan dengan
antibiotik yang diperbolehkan menjadi imbuhan pakan, maka golongan tetrasiklin juga
banyak digunakan sebagai zat aditif imbuhan pakan (Iwantoro dan Etikaningrum, 2017)
Badan Standarisasi Nasional (BSN, 2000) menetapkan bahwa waktu henti
pemakaian antibiotik golongan tetrasiklin adalah lima hari menjelang ternak dipotong dan
batas cemaran residu tetrasiklin pada daging sebesar 0,1 mg/kg.
Paparan residu antibiotik pada produk peternakan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan bagi manusia. Resistensi antibiotik pada manusia yang mengkonsumsi daging
yang berasal dari ternak yang mengonsumsi antibiotik secara tidak terkontrol, akan bersifat
tidak nyata, residu antibiotik dapat mengakibatkan timbulnya alergi dan resistensi
terhadapantibiotik jika terakumulasi atau bahkan menyebabkan hipersensitivitas terhadap
stimulan, yang pada akhirnya dapat bersifat karsinogenik, mutagenik, dan keracunan
(Voogd, 1981; Sundlof dan Cooper, 1996; dan Follet, 2000).
Paparan residu antibiotik pada produk peternakan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan bagi manusia. Resistensi antibiotik pada manusia yang mengkonsumsi daging
yang berasal dari ternak yang mengonsumsi antibiotik secara tidak terkontrol, akan bersifat
tidak nyata, residu antibiotik dapat mengakibatkan timbulnya alergi dan resistensi
terhadapantibiotik jika terakumulasi atau bahkan menyebabkan hipersensitivitas terhadap
stimulan, yang pada akhirnya dapat bersifat karsinogenik, mutagenik, dan keracunan
(Voogd, 1981; Sundlof dan Cooper, 1996; dan Follet, 2000).
Metode kromatografi lapis tipis merupakan metode untuk mengidentifikasi
senyawa berdasarkan kelarutannya. Pada metode KLT terdapat dua fase yaitu fase diam
(plat silica gel) dan fase gerak. Sampel diekstraksi dengan menggunakan larutan buffer
sitrat. Nilai pH pada buffer dapat memberikan pengaruh pada matriks sampel terhadap
keberhasilan ekstraksi tetrasiklin. Menurut Shama et al., (2016)
Kromatografi lapis tipis (KLT) seperti halnya kromatografi kertas, murah dan
mudah dilakukan. Kromatografi ini mempunyai sutu keunggulan dari segi kecepatan.
Kromatografi lapis tipis membutuhkan waktu kurang lebih hanya setengah jam saja,
sedangkan pemisahan yang umum pada kertas membutuhkan waktu beberapa jam. Media
pemisahannya adalah lapisan dengan ketebalan sekitar 0,1-0,3 mm zat padat adsorben pada
lempeng kaca, plastik, dan alumunium. Lempeng yang paling umum digunakan berukuran
8x2 inchi. Dan zat padat yang digunakan adalah alumina, KLT kadang disebut dengan
kromatografi planar.
Bab III
Metodologi

3.1 Alat & Bahan

Alat Bahan
1. beaker glass, 1. air suling,
2. telenan, 2. asam sitrat monohidrat,
3. pisau,
3. trinatrium sitrat,
4. spatula,
4. tetrasiklin hidroklorida baku (BPFI),
5. batang pengaduk,
6. kaca arloji, 5. plat kromatografi lapis tipis,

7. gelas ukur, 6. kloroform,


8. pipet ukur, 7. methanol,
9. pump, 8. daging ayam broiler bagian paha
10. labu ukur, dan daging sapi bagian lulur
11. tabung sentrifus,
12. blender,
13. neraca analitik,
14. chamber,
15. pipa kapiler,
16. vortex dan sentrifus.
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Pengumpulan Sampel

Sampel yang diperiksa dalam penelitian ini adalah daging ayam broiler bagian paha dan
daging sapi bagian lulur. Sampel di ambil dalam kondisi segar kemudian dibersihkan dari kulit dan
tulangnya. Sebelum diperiksa, sampel dihaluskan terlebih dahulu dengan menggunakan blender.

3.2.2 Ekstraksi Sampel

Sampel yang sudah diperoleh dari pasar dibersihkan dari kulit dan tulangnya, kemudian
dihaluskan dengan blender. Lalu sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan ditambahkan 3 ml buffer
sitrat. Sampel dihomogenkan dengan vortex selama 5 menit dan diinkubasi selama 5 menit pada
suhu ruang. Kemudian sampel disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit dan
supernatannya diambil. Proses ektraksi diulangi kembali dengan menambahkan 2 ml buffer sitrat
pada sampel.

3.2.3 Penanganan Eluen dan Plat KLT

Eluen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kloroform : methanol (9:1). Eluen
dijenuhkan dalam chamber selama ±15-30 menit. Plat KLT dipotong sesuai ukuran menggunakan
pensil secara perlahan. Kemudian larutan standart tetrasiklin dan ekstrak sampel ditotolkan pada
plat KLT menggunakan pipa kapiler secara perlahan. Plat KLT dimasukkan kedalam chamber dan
dibiarkan hingga eluen sampai pada tanda batas atas. Setelah eluen mencapai batas atas, plat KLT
dikeluarkan dari dalam chamber dan dikeringkan. Lalu diamati dibawah sinar UV dan dihitung
nilai Rf-nya.
Bab IV
Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil
Hasil penelitian dari metode kromatografi lapis tipis dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.
Sampel yang sudah diekstrak ditotolkan pada plat KLT GF254 dan dielusi dengan eluen kloroform
dan methanol (9:1). Hasil penelitian yang diperoleh adalah 32 sampel daging ayam dan 13 sampel
daging sapi adalah negatif (tidak mengandung antibiotik tetrasiklin).

4.2 Pembahasan
Metode kromatografi lapis tipis merupakan metode untuk mengidentifikasi senyawa
berdasarkan kelarutannya. Pada metode KLT terdapat dua fase yaitu fase diam (plat silica gel) dan
fase gerak. Sampel diekstraksi dengan menggunakan larutan buffer sitrat. Nilai pH pada buffer
dapat memberikan pengaruh pada matriks sampel terhadap keberhasilan ekstraksi tetrasiklin.
Menurut Shama et al., (2016), nilai pH optimum untuk ekstraksi berada pada rentang 3,5 dan 4,0.
Interaksi pertukaran ion dari antibiotik yang diprotonasi mampu meningkat dalam lingkungan asam
sehingga dapat meningkatkan efikasi ektraksi dari sampel. Sampel yang sudah diekstrak kemudian
ditotolkan pada plat KLT GF254 dengan menggunakan eluen methanol dan kloroform (1:9) dan
diamati dengan sinar UV.
Sebagai pembanding sampel, disertai dengan standart menggunakan tetrasiklin
hidroklorida. Adapun nilai Rf yang terbentuk adalah 0,6. Hasil Rf sampel dinyatakan positif
apabila warna bercak sampel dan baku pembanding sama atau saling mendekati dengan selisih
≤0,2. Senyawa yang mempunyai nilai Rf besar dikarenakan memiliki kepolaran yang rendah,
begitu pula sebaliknya senyawa yang memiliki kepolaran yang lebih tinggi akan tertahan kuat pada
fasa diam sehingga menghasilkan nilai Rf yang lebih rendah.
Pengujian tetrasiklin dengan menggunakan metode KLT termasuk dalam uji secara
kualititatif yang digunakan hanya sebagai identifikasi adanya tetrasiklin pada sampel daging sapi
dan daging ayam. Hasil negative pada hasil pengujian dapat dikarenakan senyawa yang diujikan
belum terlarut sempurna dalam pelarut yang digunakan sehingga tertahan kuat pada fase diam.
Oleh karena itu, diperlukan uji secara kuantitatif untuk mengetahui secara detail kadar tetrasiklin
yang terdapat di daging sapi dan ayam dengan menggunakan metode spektrofotometri.
4.3 Kesimpulan
Analisa residu antibiotik tetrasiklin dengan metode KLT menunjukkan hasil negatif pada
32 sampel daging ayam broiler dan 13 sampel daging sapi. Sehingga diperlukan pengujian lanjutan
menggunakan metode yang berbeda guna memastikan didalam sampel yang diuji terkandung
tetrasiklin atau tidak
Daftar Pustaka

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2000. Standar Nasional Indonesia 01-6366- 2000 : Batas
maksimal cemaran mikroba dan batas residu dalam bahan makanan asal hewan.

Dewi, A. A. S. ,Widdhiasmoro,N.P., Nurlatifah,I., Riti, N., Purnawati, D. 2014. Residu Antibiotika


pada Pangan Asal Hewan, Dampak, dan Upaya Penanggulangan nya. Buletin Veteriner
Vol. XXVI, No. 85

Dewi, T. M, Herawati, D., dan Hamdani, S. 2015. Analisis Kualitatif Antibiotika Tetrasiklin pada
Madu. Prosiding Penelitian Sivitas Akademika.

Etikaningrum dan Iwantoro, S. 2017. Kajian Residu Antibiotika pada Produk Ternak Unggas
diIndonesia. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan Vol. 5 No.1 hlm. 29-33

Follet G. 2000. Antibiotik Resistance in the Europian Union-Science, Politics and Policy. AgBio
Forum 3(2-3):148-155.

Voogd, C.E. 1981. On the mutagenicity of nitroimidazoles. Mutat. Res. 86(3):243- 277.

Anda mungkin juga menyukai