Anda di halaman 1dari 12

RESIDU TETRASIKLIN PADA DAGING AYAM PENYEBAB

RESISTENSI ANTIMIKROBA Staphylococcus aureus PADA


MANUSIA DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANNYA

ALIF IMAN FITRIANTO, SKH


B94144101

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
2

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik


merupakan masalah masyarakat secara global. Penggunaan antimikroba
khususnya antibiotik yang tidak rasional dan tidak terkendali merupakan
penyebab utama yang mengakibatkan timbul dan menyebarnya masalah
resistensi antimikroba secara luas, hal ini juga mengakibatkan munculnya
mikroba yang multiresisten terhadap sekelompok antibiotik (WHO 2014).
Penggunaan antibiotik dalam bidang peternakan terutama ayam
pedaging telah berlangsung sejak lama. Antibiotik digunakan sebagai
pengobatan dan imbuhan pada pakan (feed additive) agar hewan ternak
terbebas dari penyakit, sehingga pertumbuhan badannya lebih besar dan
cepat serta dapat mencegah terjadinya infeksi oleh bakteri (Yuningsih
2004). Penggunaan antibiotik yang tidak beraturan pada hewan ternak dapat
menyebabkan adanya residu dalam jaringan organ yang kemudian dapat
mengakibatkan alergi, keracunan, dan resistensi pada manusia (Yuningsih
2004). Salah satu antibiotik yang umum digunakan dalam bidang
peternakan adalah tetrasiklin (Suryani 2009). Tetrasiklin merupakan
antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces spp. Tetrasiklin bekerja
bakteriostatik dan dapat mencegah penyakit yang ditimbulkan baik bakteri
dari Gram positif maupun negatif (Cherlet et al. 2003).
Pakan ayam pedaging yang ditambahkan imbuhan berupa antibiotik
tetrasiklin dapat menimbulkan residu dalam daging ayam tersebut. Residu
antibiotik yang terdapat dalam daging ayam dapat menyebabkan gangguan
kesehatan manusia berupa timbulnya resistensi terhadap antibiotik tersebut
(Yuningsih 2004). Oleh karena itu, diperlukan pengawasan untuk
menghasilkan daging ayam bermutu tinggi, bebas dari cemaran maupun
residu, bahan kimia terutama obat-obatan serta aman dikonsumsi. Badan
Standarisasi Nasional (BSN 2000) telah menetapkan batas maksimal residu
(BMR) yang tercantum dalam SNI 01-6366-2000 yaitu batas maksimal
cemaran residu tetrasiklin pada produk hewan ternak adalah 100 ppb pada
daging, 50 ppb pada telur, dan 50 ppb pada susu. Hal ini dilakukan untuk
memastikan produk pangan asal hewan aman untuk dikonsumsi masyarakat.
Masalah resistensi antimikroba ini merupakan masalah yang sangat
besar dan apabila tidak ditanggapi secara serius dapat menimbulkan dampak
kerugian besar bagi manusia. World Health Organization (WHO) secara
proaktif telah menyikapi masalah ini. Berbagai upaya dan strategi telah
disusun antara lain dengan intervensi edukasi berupa edukasi formal,
seminar, pelatihan, penyebaran brosur dan literatur; intervensi managerial
seperti penyusunan formularium rumah sakit, pedoman pengobatan,
kebijakan penggunaan antibiotik, supervisi klinik, audit medik, dan
sebagainya; serta intervensi regulasi di kalangan medis dan paramedik
seperti registrasi dan ijin praktek tenaga dokter. Sesuai dengan konsep One
Health, semua kegiatan tersebut memerlukan pendekatan multidisipin baik
dalam perencanan maupun implementasi di lapangan agar promosi
3

penggunaan antimikrobial secara optimal dan penanggulangan infeksi dapat


terwujud (WHO 2001). Kebijakan WHO ini telah ditanggapi secara positif
oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan melalui
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015
Tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit.

Tujuan

Penyusunan makalah ini dilakukan untuk melakukan kajian terhadap


adanya residu tetrasiklin pada daging ayam penyebab resistensi antimikroba
Staphylococcus aureus pada manusia dan kebijakan penanggulangannya.

TINJAUAN PUSTAKA

Tetrasiklin

Tetrasiklin merupkan antibiotik yang umum digunakan sebagai obat-


obatan veteriner dan berasal dari Streptomyces spp. (Cherlet et al. 2003).
Penggunaan tetrasiklin sebagai obat-obatan veteriner umumnya
dicampurkan ke dalam pakan. Tetrasiklin merupakan antibiotik yang
bersifat bakteriostatik yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
protein bakteri. Tetrasikiln memiliki spektrum yang luas, sehingga
menjadikan antibiotik ini dapat melawan sejumlah bakteri patogen
(Yuningsih 2004).
Terasiklin merupakan senyawa kristal berwarna kuning dan sedikit
larut dalam air. Pada suhu 28 oC kelarutan tetrasiklin dalam air sebesar 1.7
mg/ml, sedangkan kelarutan tetrasiklin dalam metanol yaitu lebih dari 20
mg/ml. Tetrasiklin memiliki rumus molekul C22H24N2O8 dan memiliki
nama IUPAC [4s-(4,4a, 5a,6,12a)]-4-(dimetilamino) 1,4,4a,5,5a,6-
11,12a-oktahidro-3,6,10,12, 12a-pentahidroksi-6-metil-1,11-diokso-2-
naftasen karboksamida dengan bobot molekul 444.44 g/mol (Gambar 1).
Tetrasiklin digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi baik pada
hewan maupun manusia. Manfaat pengobatan dengan menggunakan
antibiotik antara lain membasmi agen penyakit, menyelamatkan hewan dari
kematian, mengembalikan kondisi hewan untuk berproduksi kembali dalam
waktu yang singkat, mengurangi atau menghilangkan penderitaan hewan,
dan mencegah penyebaran mikroorganisme ke lingkungan yang dapat
mengancam kesehatan baik hewan maupun manusia (Dewi et al. 2015).
4

Gambar 1 Struktur molekul tetrasiklin (Sumber: Suryani 2014).

Terdapat beberapa antibiotik turunan tetrasiklin, diantaranya yaitu


oksitetrasiklin, klortetrasiklin, doksisiklin, demeklosiklin, metasiklin,
minosiklin, dan rolitetrasiklin (Suryani 2009).

Daging Ayam Pedanging

Daging ayam didefinisikan sebagai daging otot skeletal dari karkas


ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia (Salamena 2015).
Daging ayam merupakan bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi dan
memiliki peran penting dalam memperbaiki kualitas sumberdaya manusia.
Ayam pedaging memiliki peranan penting sebagai sumber protein hewani
asal ternak. Daging ayam yang beredar di Indonesia sebagian besar besar
berasal dari ayam pedaging. Ayam pedaging adalah ayam ras yang mampu
tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif
singkat, yaitu 5-7 minggu (Suryani 2009).
Ciri daging ayam yang sehat adalah bersih, terang, dan lapisan
luarnya kering, tidak berdarah pada daging yang sudah ditiriskan, aromanya
tidak amis, tidak kaku, dan tidak bau asam. Daging ayam pedaging
memiliki kolesterol yang rendah dan kaya akan vitamin B serta mineral,
sehingga sangat dibutuhkan manusia untuk pertumbuhan dan kesehatan
sistem syaraf (Suryani 2009).

Residu Tetrasiklin Pada Daging Ayam


Residu antibiotik dalam makanan asal hewan diakibatkan oleh
penggunaan antibiotik dalam imbuhan pakan untuk mencegah dan
mengobati berbagai penyakit. Penambahan antibiotik ke dalam pakan
ternak bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan berat badan dan
meningkatkan efisiensi pemberian pakan. Penggunaan obat-obatan tersebut
tersebut meningkat tajam khususnya pada ayam pedaging agar laju
pertumbuhan bobot badanya semakin cepat (Yuningsih 2004). Hewan yang
diberi antibiotik, baik berupa suntikan maupun penambahan dalam pakan,
setelah dipotong akan meninggalkan residu antbiotik didalam daging.
Keberadaan residu antibiotik dalam bahan pangan asal hewan dapat
mengakibatkan dampak berbahaya bagi kesehatan manusia yang
mengkonsumsinya, karena dapat mengakibatkan reaksi alergi yaitu
peningkatan kepekaan, keracunan, karsinogen, dan resistensi akibat
mengkonsumsi dalam konsentrasi yang rendah dalam waktu lama. Adanya
residu antibiotik dalam daging ayam disebabkan ayam tersebut telah
5

dipotong sebelum waktu henti (withdrawl time), yaitu lima hari (Suryani
2009). Resistensi antimikroba pada manusia dapat mengakibatkan
pengobatan standar tidak lagi dapat menyembuhkan, penyakit infeksi
menjadi sulit atau bahkan tidak dapat lagi dikontrol, pengobatan menjadi
lebih lama (prolonged illness), meningkatnya resiko kematian (greater risk
of death), semakin lamanya masa rawat inap di rumah sakit (length of
hospital stay), dan resiko penyebaran penyakit menjadi sangat besar (spread
of infection) (WHO 2104). Respon terhadap pengobatan yang lambat
bahkan gagal akan menyebabkan pasien menjadi pembawa penyakit untuk
waktu yang lama (carrier). Hal ini akan memberi peluang yang lebih besar
bagi mikroba galur resisten untuk menyebar kepada orang lain. Kemudahan
transportasi di era globalisasi saat ini akan sangat memudahkan penyebaran
bakteri resisten antar daerah, negara, bahkan lintas benua. Semua hal
tersebut pada akhirnya meningkatkan jumlah orang yang terinfeksi,
sehingga dibutuhkan penggunaan antibiotik dengan spektrum luas yang
lebih toksik dan mahal demi mendapatkan pengobatan yang efektif.
Konsumsi pangan asal hewan yang diberikan antibiotik tidak
dilarang, asalkan berada dibawah batas maksimal residu (BMR). BMR
antibiotik golongan tetrasiklin pada produk hewan ternak adalah 100 ppb
pada daging, 50 ppb pada telur, dan 50 ppb pada susu menurut SNI 01-
6366-2000.

Bakteri Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan nama spesies yang termasuk


bagian dari genus Staphylococcus. Nama genus Staphylococcus diberikan
pada bakteri ini karena berbentuk seperti setangkai buah anggur, sedangkan
nama spesies aureus diberikan karena koloni bakteri ini terlihat berwarna
kuning-keemasan (Yuwono 2012). Staphylococcus aureus termasuk dalam
bakteri Gram positif yang menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob
fakultatif, tidak menghasilkan spora, dan tidak motil (Yuwono 2012).
Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Phylum : Firmicutes
Class : Bacili
Ordo : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri osmotoleran, artinya


bakteri ini dapat hidup di lingkungan dengan rentang konsentrasi zat pelarut
(contohnya garam) yang tinggi, dan dapat hidup pada konsentrasi NaCl
sekitar 3 molar. Staphylococcus aureus tumbuh optimum pada suhu 37 oC,
dengan waktu pembelahan 0.47 jam. Bakteri ini dapat ditemukan di saluran
pernafasan atas dan kulit, keberadaan Staphylococcus aureus di saluran
pernafasan atas dan kulit pada individu jarang menyebabkan penyakit,
6

individu sehat biasanya berperan sebagai karier (Yuwono 2012). Gambar


mikroskopik Staphylococcus aureus dapat dilihat pada (Gambar 2).

Gambar 2 Gambaran mikroskopik Staphylococcus aureus pada pewarnaan


Gram (Sumber: Yuwono 2012).

Infeksi serius oleh Staphylococcus aureus terjadi apabila keadaan


inang melemah akibat adanya perubahan hormon, penyakit, luka, atau
perlakuan menggunakan steroid atau obat lain yang menurunkan imunitas
tubuh. Infeksi Staphylococcus aureus diasosiasikan dengan beberapa
kondisi patologi antar lain bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan
arthritis. Sebagian penyakit yang diakibatkan oleh bakteri ini akan
memproduksi nanah atau pus dan cenderung menjadi abses (DeLeo et al.
2009). Infeksi superfisial dapat menyebar (metastatik) ke jaringan yang
lebih dalam dan menimbulkan osteomyelitis, endokarditis, abses pada
kelenjar mammae, ginjal, paru-paru, dan otak. Staphylococcus aureus
dikenal sebagai bakteri yang paling sering mengkontaminasi luka pasca
bedah sehingga menimbulkan komplikasi (DeLeo et al. 2009).
Anjarwati dan Dharmawan (2010) melaporkan bahwa telah
ditemukan beberapa kelompok isolat Staphylococcus aureus yang telah
resisten terhadap antibiotika. Vancomycin-resistent Staphylococcus aureus
(VRSA) ditemukan pada 10 dari 64 isolat (15.6%) dari membran stetoskop
di Rumah Sakit Margono Soekarjo, Purwokerto.
Staphylococcus aureus merupakan contoh bakteri yang sukses
beradaptasi. Hal tersebut diperlihatkan dengan kemampuan bakteri ini
dalam membentuk koloni dan mentransfer materi genetik yang membawa
berbagai faktor virulensi. Faktor virulensi Staphylococcus aureus
dikelompokkan menjadi dua yaitu surface associated factor yang
bertanggung jawab terhadap pengenalan reseptor, perlekatan, dan
penghindaran dari sistem imun. Faktor kedua adalah secreted factor yang
dapat berinteraksi dengan zat atau substansi milik inang (host) dan
menyebabkan kerusakan jaringan. Sebagian mekanisme faktor virulen telah
berhasil dijelaskan sedangkan sebagian lagi masih belum diketahui,
keseluruhan faktor virulen tersebut bekerja dalam suatu sistem jaringan
(network) yang demikian kompleks (Yuwono 2012).
7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada peternakan ayam pedaging, tetrasiklin digunakan untuk


mencegah penyakit CRD dengan dosis 100-200 mg/gallon air minum,
sedangkan untuk pengobatan CRD dan air sacculitis, hexamithiasis dan
bluecomb, dan sinuvivitis, tetrasiklin diberikan dengan dosis 200-400
mg/gallon air minum (Furi 2012). Selain digunakan untuk tujuan
terapeutik, antibiotik juga dipakai sebagai imbuhan pakan. Namun saat ini
penggunaan antibiotik dalam pakan ternak telah menjadi masalah global
akibat efek buruk yang ditimbulkan bagi kesehatan manusia, yaitu adanya
residu yang ditinggalkan dalam daging. Adanya residu dalam daging ayam
disebabkan ayam tersebut dipotong sebelum dicapai withdrawl time, yakni
lima hari (Suryani 2009).
Faktanya, telah banyak penelitian yang dilakukan guna melihat
adanya cemaran residu tetrasiklin pada bahan pangan asal hewan khususnya
pada daging ayam. Werdiningsih et al. (2000) melaporkan hasil
pemeriksaan secara kualitatif dengan menggunakan bioassay terdapat 3
sampel paha ayam dari 73 sampel (4.1%) dan 2 sampel hati ayam dari 72
sampel (2.7%) adalah positif mengandung residu tetrasiklin. Christina
(2011) melaporkan hasil positif daging ayam mengandung residu tetrasiklin
pada kedua sampel yang diambil dari dua pusat perbelanjaan di Kota
Medan. Suryani (2009) juga melaporkan bahwa hasil uji analisis sampel
daging ayam pedaging yang berasal wilayah Jakarta, Bekasi, dan Depok
menunjukkan kadar residu tetrasiklin berkisar 5-68 ppb. Sedangkan Furi
(2012) melaporkan terdapat 45 sampel daging ayam yang diambil dari lima
lokasi pasar Kota Medan positif mengandung residu antibiotik. Kim et al.
(2013) melaporkan telah ditemukan 11 sampel daging ayam dari 83 sampel
(13%) diketahui positif mengandung residu tetrasiklin yang berasal dari tiga
provinsi di Vietnam. Penelitian Sattar et al. (2014) menyatakan bahwa
residu tetrasiklin ditemukan sebesar 48% di hati, 24% di ginjal, 20% di otot
paha, dan 24% di otot dada. Bahkan penelitian terbaru dari Dewi et al.
(2015), melaporkan bahwa terdapat dua dari lima sampel madu impor yang
berasal dari Jerman, Austria, China, Australia, dan Swiss yang dijual di
salah satu supermarket di wilayah Kota Bandung positif mengandung residu
tetrasiklin.
Laporan-laporan diatas menggambarkan tingginya cemaran residu
tetrasiklin pada daging ayam yang beredar di masyarakat. Menurut Suryani
(2009), tingginya residu tetrasiklin pada daging ayam diakibatkan oleh
penggunaan antibiotik ini pada peternakan ayam. Hal ini sangat
dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah kesehatan pada manusia.
Masalah yang paling ditakutkan adalah timbulnya resistensi terhadap
antibiotik tersebut.
Resistensi bakteri terhadap tetrasiklin telah dilaporkan dalam beberapa
tahun terakhir, salah satu bakteri mengalami resistensi terhadap tetrasiklin
adalah Staphylococcus aureus. Refdanita et al. (2004) melaporkan bahwa
resistensi tertinggi pada bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, dan Streptococcus hemoliticus di Rumah Sakit Fatmawati
8

Jakarta yaitu pada kloramfenikol dan tetrasiklin. Tingkat resistensi yang


tinggi disebabkan karena antibiotik ini banyak digunakan di masyarakat.
Tetrasiklin merupakan antibiotik yang paling banyak tersedia di unit-unit
pelayanan kesehatan terutama puskesmas untuk pengobatan pasien sehingga
banyak dipakai. Selain itu, antibiotik ini juga umum digunakan pada ternak
(Refdanita et al. 2004). Hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan
penggunaan antibiotik yang dapat menyebabkan resistensi dikemudian hari.
Penelitian lain dilakukan oleh Nurhani (2010) menyatakan bahwa dari
319 subyek diperoleh rata-rata prevalensi carrier Staphylococcus aureus di
tiga SD 31.3% (10 subyek), 20% diantaranya resisten terhadap tetrasiklin.
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan tingginya resistensi tetrasiklin
pada manusia adalah penggunaan yang antibiotik ini pada ternak. Cemaran
Staphylococcus sp. yang resisten terhadap tetrasiklin juga pernah diteliti di
Amerika pada tahun 2013. Sebanyak 28 isolat cemaran Staphylococcus sp.
pada daging ayam mengalami resistensi terhadap tetrasiklin (Roos 2013).
Menurut Yuwono (2012), resistensi Staphylococcus aureus terhadap
tetrasiklin terjadi melalui efflux yang dikendalikan gen tetA dan tetB dan
proteksi ribosom oleh protein tetM, tetO, tetS, dan lain sebagainya yang
akan melekat pada ribosom sehingga tetrasiklin akan terlepas dari ribosom
sehingga menjadi tidak aktif.
Pengawasan untuk menghasilkan daging ayam bermutu tinggi, bebas
dari cemaran maupun residu, bahan kimia terutama obat-obatan serta aman
dikonsumsi perlu dilakukan. WHO telah merilis kebijakan yang harus
dilakukan untuk mengatasi masalah ini, yaitu dengan intervensi dan strategi
(WHO 2001).
Kebijakan WHO ini telah ditanggapi positif oleh Pemerintah
Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Strategi Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA), yaitu dengan mencegah
munculnya mikroba resisten akibat selection pressure dengan cara
penggunaan antibiotik secara bijak dan mencegah penyebaran mikroba
resisten dengan cara meningkatkan ketaatan terhadap prinsip pencegahan
dan pengendalian infeksi. Penyelenggaraan pengendalian resistensi
antimkroba dilakukan dengan cara pembentukan tim pelaksana program
PPRA. Tugas Tim PPRA antara lain membantu pimpinan rumah sakit
dalam:
a. Menerapkan kebijakan-kebijakan tentang pengendalian resistensi
antimikroba.
b. Menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan antibiotik.
c. Memonitor dan mengevaluasi PPRA.
d. Menyelenggarakan forum diskusi atau kajian pengelolaan
penderita penyakit infeksi.
e. Menyebarluaskan dan meningkatkan pemahaman dan kesadaran
tentang prinsip-prinsip pengendalian resistensi antimikroba yang
terkait dengan penggunaan antibiotik secara bijak.
f. Mengembangkan penelitian yang terkait PPRA.
9

Kebijakan ini terbukti efektif sebagai strategi dalam mengatasi


masalah resistensi antimikrobial, penelitian ini dilakukan oleh Triyono
(2013) yang melaporkan implementasi program dan kegiatan PPRA di
RSUD Dr Soetomo Surabaya, yaitu ketepatan indikasi penggunaan
antibiotik meningkat dari 52.94% menjadi 65%. Hal tersebut mampu
memberikan efikasi yang optimal, mencegah timbulnya resistensi antibiotik
serta mengurangi kerugian materiil maupun non materiil.
Penggunaan antibiotik dalam bidang peternakan juga
memerlukan adanya regulasi pengamanan dalam penggunaannya,
berikut langkah-langkah penggunaan antibiotik dalam bidang peternakan
menurut Yuningsih (2004):
1. Langkah pengamanan dalam penggunaan antibiotik dalam terapi
penyakit infeksi:
a. Pembatasan dalam pemakaiannya.
b. Antibiotik digilir dalam penggunaannya.
c. Diversifikasi dengan memanfaatkan penemuan antibiotik yang
baru.
d. Kombinasi antibiotik yang telah teruji.
2. Langkah pengamanan dalam penggunaan antibiotik dalam
profilaksis:
a. Pengobatan atau pencegahan penyakit dilakukan dengan
memperhatikan withdrawl time antibiotik tersebut.
b. Peningkatan kebersihan kandang dan perbaikan managemen
dapat mengurangi penggunaan antibiotik.
c. Menyediakan preparat antibiotik yang khusus digunakan untuk
hewan, tidak digunakan untuk pengobatan infeksi pada manusia.
3. Langkah pengamanan dalam penggunaan antibiotik sebagai pemacu
pertumbuhan, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:
a. Adanya standarisasi pemakaian antibiotik sebagai imbuhan
dalam pakan.
b. Diberikan informasi mengenai withdrawl time period untuk
masing-masing antibiotik yang digunakan.
c. Adanya pemantauan bakteri yang telah resisten.
d. Diberikan informasi tentang daya kerja antibiotik untuk
mengurangi dampak residu.
e. Upaya untuk mencari withdrawl time yang pendek dari macam
antibiotik yang digunakan.
Langkah-langkah tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila
terdapat kerjasama dan koordinasi yang baik antara peternak, dokter hewan,
perusahaan obat, dan Dinas Peternakan untuk memberikan informasi dan
pengawasan dalam penggunaan antibiotik dalam bidang peternakan.
10

SIMPULAN

Residu tetrasiklin telah diketahui banyak terkandung dalam daging


ayam konsumsi yang beredar dipasaran, hal ini sangat mengkhawatirkan
karena dampak yang dapat timbul berupa resistensi antimikroba pada
manusia. Bakteri Staphylococcus aureus telah mengalami resistensi
terhadap tetrasiklin, hal ini menjadikan dampak besar bagi manusia dalam
pengobatan infeksi. Permasalahan ini dapat diatasi dengan kerjasama dan
koordinasi dari multidisiplin ilmu antara peternak, dokter hewan, dokter
umum, apoteker, perusahaan obat, pemerintah, dan aparat hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Anjarwati DU, Dharmawan AB. 2010. Identifikasi vancomycin resistant


Staphylococcus aureus (VRSA) pada membran stetoskop di Rumah
Sakit Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health. 4(2): 87-
91.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia
Nomor 01-6366-2000 Tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba
dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Pangan Asal Hewan.
Jakarta (ID): Dewan Standarisasi Nasional.
Cherlet M, Schelkens M, Croubels S, Backer PB. 2003. Quantitative multi-
residue analysis of tetracycline and their 4-epimers in pig tissues by
high-performance liquid cromatography combined with positive-ion
electrospray ionization mass spectrometry. Analytica Chimica Acta.
492(6): 199-213.
Christina. 2011. Penetapan kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam
pedaging secara adisi standar dengan spektrofotometri ultraviolet
[skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatra Utara.
DeLeo FR, Diep BA, Otto M. 2009. Host defense and pathogenesis in
Staphylococcus aureus infection. Infect Dis Clin North Am. 23(1):
17-34.
Dewi TM, Herawati D, Hamdani S. 2015. Analisis kualitatif residu
antibiotika tetrasiklin pada madu. Prosiding Penelitian Sivitas
Akademika (Kesehatan dan Farmasi), Bandung, Indonesia. Bandung
(ID): Universitas Islam Bandung.
Furi M. 2012. Penentuan residu dan pengaruh pemanasan terhadap
kandungan antibiotik yang terdapat dalam daging ayam yang beredar
di pasar Kota Medan [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatra Utara.
[Kemenkes] Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015
Tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikrobial di Rumah
Sakit. Jakarta (ID): Kementrian Kesehatan.
11

Kim DP, Degand G, Douy C, Pierret G, Delahaut P, Ton VD, Granier B,


Scippo ML. 2013. Preliminary evaluation of antimicrobial residue
levels in marketed pork and chicken meat in the Red River Delta
Region of Vietnam. Food and Public Health. 3(6): 267-276.
Nurhani. 2010. Perbedaan prevalensi dan pola resistensi Staphylococcus
aureus pada tingkat sekolah dasar SDN Pandean Lamper 02, SD
Kristen II YSKI, dan SD Manyaran 01 di Kota Semarang [skripsi].
Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Refdanita, Maskun R, Nurgani A, Endang P. 2004. Pola kepekaan kuman
terhadap antibiotika di ruang rawat intensif Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta tahun 2001-2002. Makara Kesehatan. 8(2): 41-48.
Roos R. 2013. Consumer report finds bacteria common on chicken breast.
CIDRAP News. News and Perspective: 5(1-3).
Salamena RP. Deteksi dan resistensi Staphylococcus aureus patogen pada
daging ayam [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.
Sattar S, Hassan MM, Islam SKMA, Alam M, Faruk MSA, Chowdhuri S,
Saifuddin AKM. Antibiotic residues in broiler and layer meat in
Chittagong district of Bangladesh. Veterinary World. 7(9): 738-743.
Suryani D. 2009. Validasi metode analisis residu antibiotik tetrasiklin dalam
daging ayam pedaging secara kromatografi cair kinerja tinggi
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Triyono EA. 2013. Implementasi program pengendalian resistensi antibiotik
dalam mendukung program patient safety. Cermin Dunia
Kedokteran. 40(9): 674-678.
Werdiningsih S, Patriana U, Ariyani N, Ambarwati, Nugraha E. 2000.
Pengkajian residu tetrasiklin dalam paha, hati, dan telur ayam pada
beberapa provinsi di Indonesia. Balai Besar Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Obat Hewan. Bogor (ID): Direktorat Bina Produksi
Peternakan.
[WHO] World Health Organization. 2001. Intervention and strategies to
improve the use of antimicrobials in developing countries. Geneva
(CH): WHO.
[WHO] World Health Organization. 2014. Antimicrobial resistance: global
report on surveillance. Geneva (CH): WHO.
Yuningsih. 2014. Keberadaan residu antibiotika dalam produk peternakan
(susu dan daging). Lokakarya Nasional Keamanan Pangan; Bogor,
Indonesia. Bogor (ID): Balai Penelitan Veteriner.
Yuwono. 2012. Staphylococcus aureus dan methicillin resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Palembang (ID): Departemen
Mikrobiologi FK Unsri.
12

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai