=
1
2
1
2
........................................(Dong, 2006) (2.3)
Nilai selektivitas yang didapatkan dalam sistem HPLC harus >1. Jika = 1, maka tidak
terjadi pemisahan 2 puncak yang sempurna karena waktu retensi 2 puncak tersebut identik.
Selektivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat fase diam, komposisi fase
gerak, dan sifat zat terlarut (Dong, 2006).
2.5.4. Resolusi (Rs)
Resolusi merupakan derajat pemisahan dari dua puncak analit yang bersebelahan.
Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan waktu retensi antara dua puncak (t
R
= t
R2
-t
R1
)
dibagi dengan rata-rata lebar pada setengah tinggi puncak (W
0,5
).
Rs =
) (
18 , 1
2 ) 5 , 0 ( 1 ) 5 , 0 (
W W
t
R
+
A
..........................(Dong, 2006) (2.4)
Gambar 2.7 Faktor selektivitas 2 puncak kromatogram (Dong, 2006)
7
Dua puncak dikatakan terpisah dengan baik apabila nilai Rs 1,5 (Gandjar dan Rochman,
2007)
2.5.5 Efisiensi Kolom (N)
Efisiensi kolom ditunjukkan dari jumlah lempeng teoritis atau theoritical plates (N),
yang dapat dihitung dengan rumus :
2
5 , 0
546 , 5
|
|
.
|
\
|
=
W
t
N
R
.........................(Dong, 2006) (2.5)
Kolom yang efisien adalah kolom yang mampu menghasilkan puncak yang sempit dan
tajam, serta memisahkan analit dengan baik dalam waktu yang relatif singkat. Nilai lempeng
akan semakin tinggi jika ukuran kolom semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan
yang terjadi semakin baik (Dong, 2006).
2.5.6 Tailing Factor (T
f
)
Idealnya, puncak kromatogram akan memperlihatkan bentuk Gaussian dengan derajat
simetris yang sempurna. Namun kenyataannya, puncak yang simetris secara sempurna jarang
dijumpai. Jika diperhatikan secara cermat, maka hampir setiap puncak dalam kromatografi
memperlihatkan tailing. Pengukuran derajat asimetris puncak dapat dihitung dengan 2 cara
yaitu faktor tailing dan faktor asimetris seperti yang ditampilkan pada gambar 2.9. Faktor
tailing (T
f
) dihitung dengan menggunakan lebar puncak pada ketinggian 5%, rumusnya
dituliskan sebagai berikut
T
f
= W
0,05
/ 2f..........................................(Dong, 2006) (2.6)
T
f
lebih dari 1 (T
f
>1) menunjukkan adanya tailing pada puncak kromatogram,
sedangkan T
f
kurang dari 1 (T
f
<1) menandakan adanya fronting. Nilai 0,5< T
f
<2,0 masih
dapat dianggap mengintegrasikan luas puncak secara tepat (Meyer, 2010).
8
Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis menurut United State Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk
menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit
yang akan dianalisis. Validasi harus mencakup semua langkah dalam analisis, dimulai dari
pemilihan sampel, preparasi sampel, perolehan kembali analit, kalibrasi instrumen, prosedur,
interpretasi, dan pelaporan hasil (Moffat et al., 2005). Suatu metode harus divalidasi ketika
a. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi masalah analisis tertentu
b. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karena
munculnya suatu masalah yang mengarahkan bahwa metode tersebut harus direvisi
c. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode telah berubah seiring
dengan berjalannya waktu (Gandjar dan Rochman, 2007)
Dalam uji validasi metode analisis terdapat beberapa parameter yang harus
dipertimbangkan dalam penetapan kadar atau studi kuantitatif yaitu kecermatan (accuracy),
keseksamaan (precision), spesifisitas, batas kuantitasi (limit of quantitation/LOQ), rentang
dan linearitas, serta kekasaran metode (ruggedness) (Swartz dan Krull, 1997).
2.7.1. Kecermatan (accuracy)
Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan
kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali
(recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analisis sangat tergantung kepada
sebaran galat sistematik dalam keseluruhan tahapan analisis. Sehingga untuk mencapai
kecermatan yang tinggi, terjadinya galat sistematik harus dikurangi seperti menggunakan
peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan
suhu dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur. Kecermatan ditentukan
dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode penambahan
baku (standard addition method) (Harmita, 2004).
Gambar 2.8 Diagram yang menunjukkan faktor tailing dan faktor
asimetri pada kromatogram (Dong, 2006)
9
Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara
hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. Perhitungan perolehan kembali dapat
ditetapkan dengan rumus sebagai berikut:
% Perolehan kembali =
sebenarnya yang kadar
didapat yang kadar
x 100%...................(Harmita, 2004) (2.7)
Selisih kadar pada berbagai penentuan (Xd) harus 5% atau kurang pada setiap
konsentrasi analit pada mana prosedur dilakukan. Harga rata-rata selisih secara statistik harus
1,5% atau kurang (Harmita, 2004). Dalam penentuan parameter akurasi diperlukan minimal 3
larutan dengan konsentrasi berbeda dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Data yang
dilaporkan dalam bentuk persen perolehan kembali dari zat yang ditambahkan pada larutan
atau perbedaan antara nilai rata-rata perolehan kembali dengan jumlah yang sebenarnya
dengan interval kepercayaan 1 SD.
2.7.2. Keseksamaan (precision)
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat penyebaran hasil individual dari
rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari
campuran yang homogen. Keseksamaan dinyatakan dalam standar deviasi (SD) dan koefisien
variasi (KV). Keseksamaan dapat dilakukan dengan keterulangan (repeatability) dan
ketertiruan (reproducibility). Keterulangan merupakan keseksamaan metode jika dilakukan
berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang
pendek, sedangkan ketertiruan (reproducibility) merupakan keseksamaan metode jika
dikerjakan pada kondisi yang berbeda seperti analisis dilakukan dalam laboratorium-
laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang
berbeda pula. Jika hasil analisis adalah x
1
, x
2
, x
3
, x
4
,.....................x
n
dan ditentukan rata-
ratanya maka simpangan bakunya (SD) adalah:
Simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (KV) adalah :
Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau
koefisien variasi 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel. Dari penelitian
dijumpai bahwa koefisien variasi meningkat dengan menurunnya kadar analit yang dianalisis.
( )
1
2
=
n
x x
SD
% 100 x
x
SD
KV =
.........................................(Harmita, 2004) (2.8)
......................................... (Harmita, 2004) (2.9)
10
Untuk menetapkan batas presisi, dapat digunakan persamaan 2.10 dan 2.11 untuk
menentukan metode ketertiruan dan keterulangan yang tepat.
RSD
) log 5 , 0 1 (
2
c
<
dan untuk keterulangan :
RSD
67 , 0 ) log 5 , 0 1 (
2
x c
<
c = konsentrasi analit sebagai fraksi desimal (contoh: 0,1% = 0,001)
2.7.3. Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ)
Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi dan masih
memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas kuantitasi adalah jumlah
terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama.
Penentuan batas deteksi suatu metode dapat dihitung dengan mengukur respon blanko
beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko dengan rumus :
b
S x K
Q
x y
=
2
) " (
2
/
=
N
y y
S
x y
...................................(Harmita, 2004) (2.13)
Dimana Q adalah LOD atau LOQ, K adalah konstanta (3 untuk LOD dan 10 untuk LOQ),
x y
S
/
adalah simpangan baku respon analitik dari blanko, b adalah slope (b pada persamaan
garis y = bx+a), y adalah absorbansi larutan parasetamol yang diperoleh berdasarkan
pengukuran, y adalah absorbansi larutan parasetamol setelah dimasukkan ke dalam
persamaan linearnya, dan N adalah jumlah sampel.
Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari
kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y =
bx + a, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x.).
a. Batas deteksi (LOD)
Nilai K pada penentuan LOD adalah 3, maka LOD dapat ditentukan dengan rumus :
b
S x
LOD
x y /
3
= ................(Harmita, 2004) (2.14)
.............................................(Harmita, 2004) (2.12)
.......................................(Harmita, 2004) (2.11)
11
b. Batas kuantitasi (LOQ)
Nilai K pada penentuan LOQ adalah 10, maka LOQ dapat ditentukan dengan rumus :
b
S x
LOQ
x y /
10
= ..................(Harmita, 2004) (2.15)
2.7.4. Rentang dan Linearitas
Rentang metode adalah batas terendah dan tertinggi analit dalam sampel yang
menunjukkan bahwa prosedur analisis tersebut memiliki nilai kesesuaian presisi, akurasi, dan
linearitas yang tinggi. Rentang ini biasanya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan hasil
yang diperoleh dengan metode uji (misalnya ng/mL) (Harmita, 2004; Snyder et al., 2010).
Linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon yang secara langsung
atau dengan bantuan persamaan matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi
analit dalam sampel. Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis
regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji
analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit (Harmita, 2004). ICH
merekomendasikan digunakan minimal 5 variasi konsentrasi dalam penentuan linearitas
(Swartz and Krull, 1997).
Data linearitas dilaporkan dalam bentuk kurva kalibrasi dan koefisien determinasi (r
2
)
(Snyder et al., 2010)
2.7.5. Kekuatan (Robustness)
Kekuatan prosedur analitis didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh hasil
yang sebanding dan dapat diterima ketika terganggu oleh variasi dalam yang ditentukan
kondisi percobaan. Kekuatan memberikan indikasi bahwa metode yang digunakan
memberikan kesesuaian (suitability) dan kehandalan (reliability) selama penggunaan secara
normal. Untuk memvalidasi kekuatan suatu metode perlu dibuat perubahan metodologi yang
kecil dan terus menerus dan mengevaluasi respon analitik dan efek presisi dan akurasi
(Harmita, 2004; Snyder et al., 2010). Perubahan yang dibutuhkan untuk menunjukkan
kekuatan prosedur HPLC dapat mencakup perubahan komposisi organik fase gerak (1%), pH
fase gerak ( 0,2 unit), dan perubahan temperatur kolom (2-3
0
C) (Harmita, 2004).
Tabel 2.1. Perubahan yang dilakukan untuk menunjukkan kekuatan prosedur HPLC dalam
pemisahan isokratik (Snyder et al., 2010)
12
Faktor Batas Rentang
Konsentrasi pelarut organik 2-3%
Konsentrasi buffer 1-2%
pH dapar (jika digunakan) 0,1-0,2 pH unit
Temperatur 3
0
C
Laju alir 0,1-0,2 mL/menit
Panjang gelombang pengukuran 2-3 nm untuk 5 nm lebar pita
2.7.6. Spesifisitas
Spesifisitas adalah kemampuan pengukuran secara akurat dan spesifik terhadap analit
yang ada dalam sampel (Snyder, 2010). Untuk tujuan identifikasi, spesifisitas ditunjukkan
dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa yang
mempunyai struktur molekul yang hampir sama. Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan
pengukuran kadar, spesifisitas ditunjukkan oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan
(Gandjar dan Rochman, 2007).
Internal Standar (IS)
Larutan baku internal atau internal standar merupakan senyawa yang berbeda dengan
analit dan dapat terpisah dengan baik selama proses pemisahan. Salah satu alasan utama
digunakannya internal standar adalah sebagai pengoreksi hilangnya sampel jika suatu sampel
memerlukan perlakuan signifikan yang dapat mengurangi konsentrasi sampel meliputi proses
derivatisasi, ekstraksi, dan filtrasi (Gandjar dan Rochman, 2007). Syarat-syarat suatu
senyawa dapat digunakan sebagai intenal standar adalah :
1. Terpisah dengan baik dari senyawa yang dituju atau puncak-puncak lain
2. Mempunyai kemiripan sifat dengan analit dalam hal preparasi sampel
3. Tidak mempunyai kemiripan secara kimiawi dengan analit
4. Tersedia dalam kemurnian yang tinggi
5. Stabil dan tidak reaktif dengan sampel atau dengan fase gerak
6. Mempunyai respon detektor yang hampir sama dengan analit pada konsentrasi yang
digunakan.
13
Parasetamol
2.2.1. Sifat Fisikokimia Parasetamol Trihidrat
parasetamol memiliki struktur kimiawi C
8
H
9
NO
2
atau Acetaminophen; N-Acetylp
aminophenol dengan berat molekul 151.2 g/mol.
Gambar 2. Struktur Kimia Paracetamol (Mofatt et all, 2005).
Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98.0% dan tidak lebih dari 101,0%
C
8
H
9
NO
2
dihitung sebagai anhidrat. (Depkes RI, 1995).
Parasetamol berwarna putih, tidak berbau, serbuk hablur, rasa sedikit pahit, larut dalam air
mendidih dan dalam natrium hidroksida 0,1 N, dan mudah larut dalam etanol (Depkes RI,
1995). Parasetamol memiliki konstanta disosiasi pKa 9,5. Panjang gelombang maksimum
(
maks
) spektrum UV dalam suasana asam adalah 245 nm, sedangkan pada suasana basa pada
257 nm (Moffat et al., 2005).
14
2.2.2. Farmakokinetika Parasetamol
Gambar 3. Spektrum UV parasetamol (Moffat et al., 2005)
15
III. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
- Perkamen
- Sendok tanduk
- Pipet volume
- Ballfiller
- Alat HPLC
- Detektor UV-Vis
- Syringe
- Kolom dengan fase diam C18
- Mortir
- Stamper
- Batang pengaduk
- Beaker glass
- Labu ukur
- Gelas ukur
- Pipet tetes
- Timbangan analitik
- Pompa vakum
b. Bahan
- Methanol
- WFI
- Tablet Parasetamol
- Baku Parasetamol
- Sulfametaksasol
IV. PROSEDUR KERJA
a. Pembuatan fase gerak
16
Fase gerak disiapkan dengan cara menambahkan 330 mL metanol dengan 660 mL WFI
hingga homogen. Larutan tersebut ditambahkan dengan asam orthoposfat 10 % hingga
mencapai pH 3,0.
b. Pembuatan Larutan Stok Parasetamol
10 mg parasetamol standar ditimbang. Dimasukkan dalam beaker glass. Ditambahkan
metanol secukupnya, diaduk hingga larut. Dimasukkan dalam labu ukur 10 mL.
Ditambahkan metanol hingga tanda batas, digojog hingga homogen.
c. Pembuatan Larutan Stok Internal Standar
Ditimbang 10 mg sulfametaksasol kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL
dan dilarutkan dengan pelarut metanol sampai tanda batas. Diperoleh larutan stok
sulfametaksasol 1 mg/mL
d. Pembuatan Larutan Standar Parasetamol
Dipipet 1 mL larutan stok baku parasetamol ke dalam labu ukur 10 mL. Ditambahkan
fase gerak sampai tanda batas pada masing-masing labu. Digojog hingga homogen
(diperoleh larutan standar 100 g/mL). Dipipet masing-masing 0,5 mL; 1mL; 1,5 mL;
2mL dan 2,5 mL larutan standar 100 g/mL ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan
fase gerak sampai tanda batas pada masing-masing labu. Digojog hingga homogen.
Dari langkah di atas diperoleh seri larutan standar parasetamol dengan konsentrasi 5
g/mL; 10 g/mL; 15 g/mL; 20 g/mL dan 30 g/mL.
e. Pembuatan Larutan Sampel
20 tablet digerus, ditimbang setara dengan 50 mg parasetamol. Dilarutkan dengan 100
ml fase gerak, disonikasi, disaring. Dipipet sebanyak 0,4 ml kemudian ditambahkan
dengan fase gerak hingga volume 10 ml (5000 g/mL). Dipipet sebanyak 0,5 ml
kemudian ditambahkan dengan fase gerak hingga volume 5 ml (500 g/mL). Dipipet
0,15 ml lalu dari larutan tersebut dan ditambahkan fase gerak hingga volume 5 ml
hingga diperoleh konsentrasi sebesar 15 g/mL. Tahap ini dilakukan sebanyak 3 kali
sehingga diperoleh 3 larutan sampel.
f. Pencucian Kolom
17
Sebelum digunakan, sistem HPLC diprekondisikan berturut-turut dengan metanol selama 30
menit dengan laju alir 1 mL/menit. Pada penelitian ini digunakan fase gerak yaitu campuran
methanol dan WFI (33,3 : 66,67 v/v). Kemudian, dilakukan pengaturan panjang gelombang
deteksi parasetamol yaitu pada rentang 210 - 400 nm dan laju alir fase gerak melewati kolom
saat proses pemisahan 1,78 mL/menit. Sistem HPLC dicuci (flushing) dengan metanol selama
30 menit setelah penggunaan fase gerak hingga stabil ( 1 jam, baseline check PASS).
g. Pembuatan Kurva Standar
Larutan standar disaring terlebih dahulu. Salah satu larutan standar parasetamol (5
g/mL) diinjeksikan sebanyak 40 l ke dalam injector HPLC dengan laju alir 1
mL/menit. Discanning pada panjang gelombang 200-400 nm. Ditentukan panjang
gelombang maksimumnya. Larutan standar lain diukur pada panjang gelombang
maksimum. Dibuat kurva kalibrasi standar parasetamol dan persamaan regresi linier y =
bx + a, y = AUC dan x = kadar sampel (g/mL)
h. Penetapan Kadar Sampel
Larutan sampel parasetamol diinjeksikan ke injektor HPLC sebanyak 40 L dengan
laju alir 1 mL/menit. Dilakukan pengamatan pada panjang gelombang maksimum. Data
AUC yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan regresi linier. Langkah diatas
diulangi 3 kali. Ditentukan perolehan kembali kadar parasetamol pada sampel yang
diperoleh dengan kadar parasetamol yang sebenarnya pada monografi tablet.
i. Validasi Sampel
Untuk mengetahui kesalahan yang mungkin terjadi pada saat proses praktikum
berlangsung atau proses pemisahan dapat dilakukan validasi metode . Validasi metode
yang dilakukan meliputi akurasi, presisi, LOD, dan LOQ.
SKEMA KERJA
18
1. Pembuatan Larutan
j. Pembuatan Larutan Stok parasetamol
- Perhitungan
Diketahui : kadar stok parasetamol = 1 mg/mL
V larutan = 10 mL = 0,01 L
BM parasetamol = 151,16 g/mol = 151,16 mg/mmol
Ditanya : massa parasetamol = ?
Jawab :
M pasetamol =
mmol
mg
151,16
ml
mg
1
= 6,62 10
-3
M
Massa parasetamol = M BM V
= 6,62 10
-3
M 151,16 g/mol 0,01 L
= 0,01 g
=10 mg
=10 mg
k. Pembuatan Larutan Standar
- Pembuatan Larutan Stok Sekunder Parasetamol
Larutan baku pembanding parasetamol ini dibuat dalam 5 konsentrasi, yaitu 5
g/mL; 10 g/mL; 15 g/mL; 20 g/mL dan 25 g/mL. Maka larutan baku yang
diambil adalah :
M
1 x
V
1
= M
2
x V
2
50 g/mL x 10 mL = 1000 g/mL x V
2
V
2
= 0,5 mL
Jadi volume larutan parasetamol 1 mg/mL dipipet sebanyak 0,5 mL
Seri konsentrasi 1
M
1 x
V
1
= M
2
x V
2
5 g/mL x 5 mL = 50 g/mL x V
2
V
2
= 0,5 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 g/mL dipipet sebanyak 0,5 mL
19
Seri Konsentrasi 2
M
1 x
V
1
= M
2
x V
2
10 g/mL x 5 mL = 50 g/mL x V
2
V
2
= 1 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 g/mL dipipet sebanyak 1 mL
Seri Konsentrasi 3
M
1 x
V
1
= M
2
x V
2
15 g/mL x 5 mL = 50 g/mL x V
2
V
2
= 1,5 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 g/mL dipipet sebanyak 1,5 mL
Seri Konsentrasi 4
M
1 x
V
1
= M
2
x V
2
20 g/mL x 5 mL = 50 g/mL x V
2
V
2
= 2 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 g/mL dipipet sebanyak 2 mL
Seri Konsentrasi 5
M
1 x
V
1
= M
2
x V
2
25 g/mL x 5 mL = 50 g/mL x V
2
V
2
= 2,5 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 g/mL dipipet sebanyak 2,5 mL
l. Pembuatan Larutan Sampel
- Sampel A
Perhitungan
Diketahui : kadar parasetamol dalam tablet = 500 mg
massa serbuk 20 tablet = 11903 mg
massa parasetamol yang diinginkan = 100 mg
Ditanya :massa serbuk parasetamol yang setara dengan 100 mg serbuk
parasetamol = ...?
Jawab :
Kadar parasetamol dalam 20 tablet = 20 500 mg
20
= 10.000 mg
Massa tablet yang setara 100 mg parasetamol =
mg 11903
10.000mg
100mg
= 119,03 mg
Kadar awal sampel yang ingin dibuat = 10 mg/ml
Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk menghasilkan sampel 10 mg/ml yang
mengandung 100 mg parasetamol
= 10 mg/ml
10 x = 100 mg
x = 10 ml
jadi volume methanol yang dibutuhkan sebesar 10 ml.
Dibuat pengenceran hingga kadar 5000 g/ml, dengan volume 5 ml
M
1
V
1
= M
2
V
2
10.000 g/mL V
1
= 5000 g/mL 5 mL
V
1
= 2,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 500 g/ml, dengan volume 5 ml
M
1
V
1
= M
2
V
2
5000 g/mL V
1
= 500 g/mL 5 mL
V
1
= 0,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 15 g/ml, dengan volume 5 ml
M
1
V
1
= M
2
V
2
500 g/mL V
1
= 15 g/mL 5 mL
V
1
= 0,15 mL
Dilakukan tahap yang sama untuk kedua sampel sehingga setiap sampel memiliki
kadar sebesar 15 g/mL.
- Sampel B
Perhitungan
Diketahui : kadar parasetamol dalam tablet = 500 mg
massa serbuk 20 tablet = 12020 mg
massa parasetamol yang diinginkan = 100 mg
Ditanya :massa serbuk parasetamol yang setara dengan 100 mg serbuk
parasetamol = ...?
21
Jawab :
Kadar parasetamol dalam 20 tablet = 20 500 mg
= 10.000 mg
Massa tablet yang setara 100 mg parasetamol =
mg 12020
10.000mg
100mg
= 120,02 mg
Kadar awal sampel yang ingin dibuat = 10 mg/ml
Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk menghasilkan sampel 10 mg/ml yang
mengandung 100 mg parasetamol
= 10 mg/ml
10 x = 100 mg
x = 10 ml
jadi volume methanol yang dibutuhkan sebesar 10 ml.
Dibuat pengenceran hingga kadar 5000 g/ml, dengan volume 5 ml
M
1
V
1
= M
2
V
2
10.000 g/mL V
1
= 5000 g/mL 5 mL
V
1
= 2,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 500 g/ml, dengan volume 5 ml
M
1
V
1
= M
2
V
2
5000 g/mL V
1
= 500 g/mL 5 mL
V
1
= 0,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 15 g/ml, dengan volume 5 ml
M
1
V
1
= M
2
V
2
500 g/mL V
1
= 15 g/mL 5 mL
V
1
= 0,15 mL
Dilakukan tahap yang sama untuk kedua sampel sehingga setiap sampel memiliki
kadar sebesar 15 g/mL.
- Sampel C
Perhitungan
Diketahui : kadar parasetamol dalam tablet = 500 mg
massa serbuk 20 tablet = 12065 mg
massa parasetamol yang diinginkan = 100 mg
22
Ditanya :massa serbuk parasetamol yang setara dengan 100 mg serbuk
parasetamol = ...?
Jawab :
Kadar parasetamol dalam 20 tablet = 20 500 mg
= 10.000 mg
Massa tablet yang setara 100 mg parasetamol =
mg 12065
10.000mg
100mg
= 12065 mg
Kadar awal sampel yang ingin dibuat = 10 mg/ml
Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk menghasilkan sampel 10 mg/ml yang
mengandung 100 mg parasetamol
= 10 mg/ml
10 x = 100 mg
x = 10 ml
jadi volume methanol yang dibutuhkan sebesar 10 ml.
Dibuat pengenceran hingga kadar 5000 g/ml, dengan volume 5 ml
M
1
V
1
= M
2
V
2
10.000 g/mL V
1
= 5000 g/mL 5 mL
V
1
= 2,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 500 g/ml, dengan volume 5 ml
M
1
V
1
= M
2
V
2
5000 g/mL V
1
= 500 g/mL 5 mL
V
1
= 0,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 15 g/ml, dengan volume 5 ml
M
1
V
1
= M
2
V
2
500 g/mL V
1
= 15 g/mL 5 mL
V
1
= 0,15 mL
Dilakukan tahap yang sama untuk kedua sampel sehingga setiap sampel memiliki
kadar sebesar 15 g/mL.