Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KIMIA KLINIK

PANKREAS

Disusun oleh:

Bella Khofilah (10060317045)

Nurul Nuraini (10060317056)

Milla Farhanah (10060317058)

Nur Indah Lestari (10060317060)

Serin Fransiska (10060317065)

Sintya Suherlan (10060317067)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

1441 H/ 2020 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehatNya, baik untuk berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata
kuliah Kimia Klinik dengan judul Pankreas.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada dosen kimia klinik yang telah membimbing dalam menulis
makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bandung, 14 Desember 2020

Penulis
Daftar Isi

KATA PENGANTAR............................................................................................................... 2
Daftar Isi .............................................................................................................................. 3
BAB I .................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 4
I. Latar belakang ......................................................................................................... 4
II. Rumusan masalah ................................................................................................... 5
III. Tujuan ................................................................................................................. 5
BAB II ................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 6
A. Anatomi dan Fisiologi Kelejar Pankreas ............................................................ 6
B. Hormon- Hormon yang dihasilkan Kelenjar Pankreas ....................................... 8
C. Patofisiologi Kelainan Produksi Hormon Pankreas ............................................ 9
D. Diagnosa Kelenjar Pankreas. ............................................................................ 19
BAB III ................................................................................................................................ 23
PENUTUP ........................................................................................................................... 23
IV. Kesimpulan........................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 24
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang
Pankreas memiliki struktur yang sangat mirip dengan kelenjar ludah
dan terletak di belakang bagian bawah lambung. Panjang pankreas
berkisar15 cm, mulai dari duodenum sampai limpa, terdiri atas tiga bagian
yaitu kepala, badan, dan ekor. Penyakit yang terjadi pada pankreas
meliputi pankreatitis dan kanker pankreas. Pankreatitis adalah
peradangan pada pankreas dengan gejala rasa sakit di perutbagian
atas, mual dan muntah. Pankreatitis diklasifikasikan menjadi dua
yaitu pankreatitis kronisdan pankreatitis akut. Kanker pankreas adalah
neoplasma yang terjadi pada kelenjar pankreas.
Di Indonesia, kanker pankreas merupakan tumor ganas ketiga
terbanyak pada pria setelah tumor paru dan tumor kolon. Menurut
statistik rumah sakit dalam Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun
2007, kanker hati dan saluran empedu intrahepatik menempati urutan
ketiga pada pasien rawat inap di seluruh Rumah Sakit di Indonesia.
Kanker pankreas merupakan penyebab utama keempat kematian akibat
kanker pada pria dan wanita dengan 34.290kematian pada tahun 2008.
Kanker pankreas pada umumnya terjadi pada usia diatas 45 tahun
dengan ratio pada laki-laki dan perempuan yaitu 1,3:1 dan lebih sering
terjadi pada ras kulit hitam.
Pemeriksaan sistem pancreaticobiliaryyang mulaidikembangkan pada
tahun 1991 adalahMagnetic Resonance Cholangio
Pancreatography(MRCP). Pemeriksaan MRCP merupakan alternatif
teknik pemeriksaan sistem biliaris untuk mengevaluasi sistem
pancreaticobliliarydan menampakkan gambaran ampula, duktus
biliaris, duktus hepatikus, dan duktus pankreatikus(14)(15). MRCP
memiliki sensitivitas, spesifisitas dan akurasi dalam diagnosis
choledocholithiasisyaitu 91%, 98% dan 97%.
II. Rumusan masalah
a. Bagaimana anatomi fisiologi kelenjar pankreas?
b. Apa saja hormon yang diproduksi kelenjar pankreas?
c. Bagaimana patofisiologi kelainan produksi hormon pankreas?
d. Bagaimana cara diagnosa kelenjar pankreas?

III. Tujuan
a. Mengetahui anatomi fisiologi kelenjar pankreas.
b. Mengetahui hormon yang diproduksi oleh kelenjar pankreas.
c. Mengetahui patofisiologi kelainan produksi hormon pankreas.
d. Mengetahui bagaimana cara mendiagnosa kelenjar pankreas.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Kelejar Pankreas

Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada


duodenum dan terdapat kurang lebih 200.000 – 1.800.000 pulau
Langerhans. Dalam pulau langerhans jumlah sel beta normal pada manusia
antara 60% - 80% dari populasi sel Pulau Langerhans. Pankreas berwarna
putih keabuan hingga kemerahan. Organ ini merupakan kelenjar majemuk
yang terdiri atas jaringan eksokrin dan jaringan endokrin. Jaringan
eksokrin menghasilkan enzim-enzim pankreas seperti amylase, peptidase
dan lipase, sedangkan jaringan endokrin menghasilkan hormon-hormon
seperti insulin, glukagon dan somatostatin (Dolensek, Rupnik & Stozer,
2015).

Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar


pankreas, memproduksi cairan pankreas yang disekresi melalui duktus
pankreas ke dalam usus halus (Sloane, 2003).

Pankreas terdiri dari 2 jaringan utama yaitu :


a. Asini mensekresi getah pencernaan ke dalam duodenum
b. Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya keluar. Tetapi,
mengekskresikan insulin dan glukagon langsung ke darah.

Pulau-pulau langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari


pankreas tersebar diseluruh pankreas dengan berat hanya 1-3% dari berat
total pankreas. Pulau Langerhans berbentuk opiod dengan besar masing-
masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50u,
sedangkan yang terbesar 300u, terbanyak adalah yang besarnya 100- 225u.
Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1-2 juta
(Sloane, 2003).

Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu


kumpulan kecil selyang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel
penghasil hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut :

a. Sel alfa : jumlah sekitar 20-40%, memproduksi glukagon yang


menjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai
antinsulin like activity.
b. Sel beta : mengekskresikan insulin yang berfungsi untuk menurunkan
kadar gula
c. Sel delta : mengekskresi somastatin, hormon yang berfungsi
menghalangi hormone pertumbuhan untuk menghambat sekresi
glukagon dan insulin.
d. Sel F : mengekskresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan
dimana fungsinya tidak jelas

(Sloane, 2003)
Hubungan yang erat antar sel-sel yang ada pada pulau Langerhans
menyebabkan pengaturan secara langsung sekresi hormon dari jenis
hormon yang lain. Terdapat hubungan umpan balik negatif langsung antara
konsentrasi gula darah dan kecepatan sekresi sel alfa, tetapi hubungan
tersebut berlawanan arah dengan efek gula darah pada sel beta. Kadar gula
darah akan dipertahankan pada nilai normal oleh peran antagonis hormon
insulin dan glukagon, akan tetapi hormon somatostatin menghambat
sekresi keduanya (Dolensek, Rupnik & Stozer, 2015).

B. Hormon- Hormon yang dihasilkan Kelenjar Pankreas

a. Insulin
Insulin dilepaskan oleh sel-sel beta pulau langerhans. Rangsangan
utama yang menyebabkan pelepasan insulin ini adalah peningkatan
glukosa darah. Hormon Insulin merupakan hormon yang diproduksi di sel
beta Islets of Langerhans Pankreas. Hormon Insulin memiliki efek penting
pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Hormon ini
menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam amino dalam darah
serta mendorong penyimpanan zat-zat gizi tersebut ( Guyton, and Hall,
2006), hormon tersebut berperan dalam proses meningkatkan
penyimpanan dan penggunaan glukosa, sehingga bisa menurunkan glukosa
darah. Hormon insulin digunakan secara nyata untuk mempengaruhi
metabolisme karbohidrat dan protein pada otot rangka. Hormon ini
memudahkan penyerapan glukosa dan asam amino ke dalam otot rangka
dan hati.
Pembentukan awal insulin terjadi akibat rangsang glukosa pada
ribosom reticulum endoplasmic kemudian menyebabkan translasi dan
transkripsi mRNA menjadi proinsulin. Proiunsulin bergerak menuju
apparatus golgi kemudian diubah menjadi insulin dan C-peptide yang
dibungkus dalam granula sitoplasma.Granula –granula insulin tersebut
tetap disimpanpada sel βsampai waktunya dibutuhkan. Keberadaan asam
lemak dapat mempengaruhi insulin. Asam lemak memiliki peran penting
terhadap homeostasis glukosa dalam mekanisme pelepasan insulin
(Gravena et al.,2002).

b. Glukagon
Glukagon adalah suatu hormon protein yang dikeluarkan oleh sel-
sel alfa dari pulau langerhans sebagai respon terhadap kadar glukosa
darah yang rendah dan peningkatan asam amino plasma. Glukagon
adalah hormon stadium pasca absorptif pencernaan, yang muncul dalam
masa puasa diantara waktu makan. Fungsi hormon ini terutama adalah
katabolik (penguraian) dan secara umum berlawanan dengan fungsi
insulin. Glukagon bekerja sebagai antagonis insulin dengan menghambat
perpindahan glukosa kedalam sel. Glukagon merangsang
glukoneogenesis hati dan penguraian simpanan glikogen untuk
digunakan sebagai sumber energi selain glukosa. Glukagon merangsang
penguraian lemak dan pelepasan asam-asam lemak bebas kedalam darah
untuk digunakan sebagai sumber energi. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan kadar glukosa darah sewaktu kadar glukosa dearah
mengalami penurunan (Elizabeth J. Corwin, Patofisiologi (Jakarta:
EGC, 201). Glukagon juga berfungsi sebagai penyeimbang dan menjaga
konsentrasi glukosa tetap normal dalam darah (Aronoff et al., 2004).

c. Somatostatin
Somatostatin disekresikan oleh sel-sel delta pulau langerhans.
Somatostatin juga disebut sebagai hormon penghambat hormon
pertumbuhan dan merupakan salah satu hormon hipotalamus yang
mengontrol pelepasan hormon pertumbuhan dari hipofisis anterior.
Somatostatin pankreas tampaknya memiliki efek minimal pada pelepasan
hormon pertumbuhan dari hipofisis. Hormon ini mengontrol metabolisme
dengan menghambat sekresi insulin dan glukagon melalui pengaruh lokal
di dalam insula pancreatica (Esa Indah Ayudia, dkk. 2019).

C. Patofisiologi Kelainan Produksi Hormon Pankreas

1. Pankreas Akut

a. Patofisiologi pankreas Akut


Patofosiologi Pankreatitis akut dimulai sebagai suatu proses
autodigesti di dalam kelenjar akibat aktivasi prematur zimogen (prekursor
dari enzim digestif) dalam sel-sel sekretor pankreas (asinar), sistem
saluran atau ruang interstisial. Gangguan sel asini pankreas dapat terjadi
karena beberapa sebab:
1. Obstruksi duktus pankreatikus. Penyebab tersering obstruksi adalah
batu empedu kecil (microlithiasis) yang terjebak dalam duktus. Sebab
lain adalah karena plug protein (stone protein) dan spasme sfingter
Oddi pada kasus pankreatitis akibat konsumsi alkohol,
2. Stimulasi hormon cholecystokinin (CCK) sehingga akan mengaktivasi
enzim pankreas. Hormon CCK terstimulasi akibat diet tinggi protein
dan lemak (hipertrigliseridemia) dapat juga karena alkohol,
3. Iskemia sesaat dapat meningkatkan degradasi enzim pankreas.
Keadaan ini dapat terjadi pada prosedur operatif atau karena
aterosklerosis pada arteri di pankreas Gangguan di sel asini pankreas
akan diikuti dengan pelepasan enzim pankreas, yang selanjutnya akan
merangsang sel-sel peradangan (makrofag, neutrofil, sel-sel endotel,
dsb) untuk mengeluarkan mediator inflamasi (bradikinin, platelet
activating factor [PAF]) dan sitokin proinflammatory (TNF- , IL-1
beta, IL-6, IL-8 dan intercellular adhesive molecules (ICAM 1) dan
vascular adhesive molecules (VCAM) sehingga menyebabkan
permeabilitas vaskular meningkat, teraktivasinya sistem komplemen
dan ketidakseimbangan sistem trombo-fibrinolitik. Kondisi tersebut
akhirnya memicu terjadinya gangguan mikrosirkulasi, stasis
mikrosirkulasi, iskemia dan nekrosis sel-sel pankreas. Kejadian di atas
tidak saja terjadi lokal di pankreas tetapi dapat pula terjadi di
jaringan/organ vital lainnya sehingga dapat menyebabkan komplikasi
lokal maupun sistemik.
Dengan kata lain pankreatitis akut dimulai oleh adanya keadian
yang menginisiasi luka kemudian diikuti kejadian selanjutnya
memperberat luka, yang dapat digambarkan secara lebih jelas pada
skema di bawah ini (Gambar 3.1).
Secara ringkas progresi pankreatitis akut dapat dibagi menjadi 3 fase
berurutan, yaitu:
1. inflamasi lokal pankreas,
2. peradangan sistemik (systemic inflammatory response syndrome
[SIRS]),
3. disfungsi multi organ (multiorgan dysfunctions [MODS]).
Berat ringannya pankreatitis akut tergantung dari respons inflamasi
sistemik yang diperantarai oleh keseimbangan sitokin
proinflammatory dan antiinflammatory, dan ada tidaknya infeksi baik
lokal maupun sistemik. Pada keadaan dimana sitokin proinflammatory
lebih dominan daripada sitokin antiinflammatory (IL-10, IL-1 receptor
antagonist (IL- 1ra) dan soluble TNF receptor (sTNFR) keadaan yang
terjadi adalah pankreatitis akut berat.
Dalam keadaan normal, pankreas terlindung dari efek enzimatik
dari enzimnya sendiri. Semua enzim pankreas terdapat dalam bentuk
inaktif . Aktifitas normal terjadi oleh enterokinase di duodenum yang
mengaktivasi tripsin dan selanjutnya mengaktivasi enzim pankreas
lainnya. Pada pankreatitis akut terjadi aktivasi prematur enzim
pankreas tidak di dalam duodenum melainkan di dalam pankreas,
selanjutnya terjadi autodigesti pankreas.
Adapun mekanisme yang memulai aktivasi enzim antara lain
adalah refluks cairan empedu, aktivasi sistem komplemen, dan
stimulasi yang berlebihan sekresi enzim. Isi duodenum merupakan
campuran dari enzim pankreas yang aktif, asam empedu, lisolesitin,
dan asam lemak yang talah mengalami emulsifikasi, dan semuanya ini
dapat menginduksi terjadinya pankreatitis akut. Pelepasan enzim aktif
intraseluler ini menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel asiner ini
akan menyebabkan aktivasi tripsin dan menyebabkan pelepasan
lipase. Lipase akan menyebabkan nekrosis lemak lokal maupun
sistemik.
Pankreas akut merupakan proses peradangan akut yang mengenai
pankreas dan ditandai dengan berbagai derajat edema, perdarahan,dan
nekrosis pada sel-sel asinus dan pembuluh darah. Mekanisme
patogenitiks pankrearitis akut dimulaidengan proses autodigiste
didalam kelenjar. Bagaimana prose pengaktifan enzim-enzim
pankreas masih belum jelas. Pada pankreas normal,terdapat sejumlah
mekanisme pelindung terhadap pegaktifan enzim secara tidak sengaja
dan autodigesti. Yang pertama enzim yang mencerna protein disekresi
sebagai bentuk prekursor inktif (zimogen) yang harus diaktifkan oleh
tripsin.setelah tripsin terbentuk maka enzim ini mengaktifkan semua
enzim protealitik lainnya.inhibitor tripsin terdapat dalam plasma dan
pankreas. Yang dapat berkaitan dan menginaktifkan setiap tripsin
yang dihasilkan secara tidak disengaja, sehingga pada pankreas
normal kemungkinan tidak terjadi pencernaan protealitik. Refluks
empedu dan isi duodenum kedalam duktus pankeatikus dan diajukan
sebagai mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengaktifan enzim
pankreas. Refluks dapat terjadi bila terdapat saluran bersama, dan batu
empedu menyumbat ampula bateri. Atoria dan endema sfingter oddi
dapat mengakibatkan refluks duodenum. Obstruksi duktus
pankreastikus dan iskemia pankreas turut berperan. Alkohol dapat
merangsang terjadinya spasme sfingter oddi yang menyebabkan
tekanan pada punggung dan menghambat sekresi melalui duktus
pankreatikus dan ampula vater, yang dapat mengaktifkan enzim
pankreas dalam pankreas. Pelepasan enzim vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular, invasi leukosit dan nyeri.
2. Pankreas Kronis

a. Patofisiologi pankreas kronis


Pankrearitis kronis ditandai oleh destruktif progresif kelenjar
disertai penggantian jaringan fibrosis yang menyebabkan terbentuknya
stuktur dan klasifikasi. Sebagian besar kasus pankreas kronis disebabkan
oleh alkohol, tetapi mekanisme pasti bagaimana alkohol menyebabkan
pankreakritis kronis belum diketahui. Alkholo menginduksi pankreakritis
bermula dari inflamsi yang berkembang menjadi nekrosis selular dan
fibrosis yang terjadi dari waktu ke waktu. Pecandu alkohol kronis
mengakibatkan sejumlah perubahan pankreas, dimana menunjukan
perubahan jumlah cairan pankreas yang menciptakan lingkungan untuk
pembentukan intraductal plug protein yang memblokir ductules kecil.
Dan terjadi penyumbatan ductules yang menyebabkan kerusakan
stuktural yang progresif di saluran dan jaringan asinar. Terbentuk
kalsium kompleks dengan plug protein di ductules kecil dan kemudian
disaluran pankreas utama, akhirnya mengakibatkan cedera dan kerusakan
jaringan pankreas. Perjalanan klinis dapat berupa nyeri akut berulang,
massa pankreas fungsinal yang makin berkurang atau secara perlahan.
Steatoria, malabsorpsi, penurunan berat badan dan diabetes merupakan
manifestasi destruksi lanjut. Pankreakritis kronis dapat terjadi setelah
pankreakritis akut.
Nyeri perut hampir universal dan merupakan ciri khas presentasi
pankreatitis akut. Nyeri akut pankreatitis diperkirakan berasal dari
peregangan kapsul pankreas oleh duktul dan duktus yang membengkak
edema parenkim, eksudat inflamasi, tercerna protein dan lipid, dan
perdarahan. Tambahan,bahan-bahan ini dapat merembes keluar dari
parenkim retroperitoneum dan kantung kecil, yang menyebabkan iritasi
ujung saraf sensorik retroperitoneal dan peritoneal dan menghasilkan
nyeri punggung dan pinggang yang intens.
Mungkin juga peregangan kapsul pankreas menghasilkan mual dan
muntah. Membesarkan perut nyeri, iritasi peritoneal, dan
ketidakseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia) dapat menyebabkan
ileus paralitik dengan distensi abdomen yang jelas. Jika motilitas
lambung dihambat dan sfingter gastroesofageal dihambat santai, mereka
mungkin emesis. Baik kecil maupun besar usus sering membesar selama
serangan akut. Terkadang hanya bagian usus yang melebar.
Hampir dua pertiga pasien dengan pankreatitis akut
mengembangkan demam. Mekanisme patofisiologis penyebab demam
melibatkan jaringan yang luas cedera, peradangan, dan nekrosis dan
pelepasanpirogen endogen, terutama IL-1, dari leukosit polimorfonuklear
ke dalam sirkulasi. Dalam kebanyakan kasus pankreatitis akut, demam
tidak menunjukkan infeksi bakteri. Namun, gigih demam setelah hari
keempat dan kelima sakit – atau lonjakan suhu hingga 40 ° C atau lebih -
mungkin menandakan perkembangan komplikasi infeksi seperti koleksi
cairan peripankreas yang terinfeksi, terinfeksi nekrosis pankreas, atau
kolangitis asenden.
Syok dapat terjadi pada pankreatitis akut yang parah seperti hasil
dari beberapa faktor yang saling terkait. Hipovolemia hasil dari eksudasi
besar-besaran plasma dan perdarahan ke dalam ruang retroperitoneal dan
dari akumulasi cairan di usus akibat ileus. Hipotensi dan syok juga bisa
terjadi akibat pelepasan dari kinin ke dalam sirkulasi umum. Sebagai
contoh, aktivasi selama peradangan akut proteolitik Enzim kallikrein
menyebabkan vasodilatasi perifer melalui pembebasan peptida vasoaktif,
bradikinin dan kallidin. Sitokin seperti PAF, vasodilator yang sangat
manjur dan aktivator leukosit, telah terlibat dalam perkembangan syok
dan manifestasi lain dari SIRS. Volume intravaskular yang berkontraksi
digabungkan dengan hipotensi dapat menyebabkan miokard dan iskemia
serebral, gagal napas, metabolik asidosis, dan menurunkan output urin
atau gagal ginjal sebagai akibat dari nekrosis tubular akut.
Pelepasan faktor jaringan dan ekspresi selama proteolisis dapat
menyebabkan aktivasi plasma kaskade koagulasi dan dapat menyebabkan
diseminata koagulasi intravaskular (DIC). Dalam kasus lain,
hiperkoagulabilitas darah diperkirakan terjadi untuk peningkatan
konsentrasi beberapa koagulasi faktor, termasuk faktor VIII, fibrinogen,
dan mungkin faktor V. Pasien yang terkena secara klinis mungkin ada
dengan perubahan warna hemoragik (purpura) di jaringan subkutan di
sekitar umbilikus (Cullen tanda) atau di sisi-sisi (tanda Grey Turner).
Komplikasi paru sangat ditakuti manifestasi pankreatitis akut yang
parah dan terjadi pada 15-50% pasien. Tingkat keparahan paru
komplikasi dapat bervariasi dari hipoksia ringan hingga gagal napas
(sindrom gangguan pernapasan akut [ARDS]. Diperkirakan 50%
kematian dini pada pasien dengan pankreatitis akut parah adalah asosiasi
dengan gagal napas karena paru-paru akut yang dalam Cedera.
Patofisiologi cedera paru akut ini tampaknya melibatkan peningkatan
permeabilitas dari membran alveolar-kapiler. Sel endotel kerusakan di
kapiler alveolar dapat dimediasi dengan mengedarkan enzim pankreas
yang diaktifkan termasuk elastase dan fosfolipase A2. Surfaktan paru,
penghalang alveolar penting lainnya, tampaknya dihancurkan oleh
fosfolipase A2. Pankreatitis akut bisa disertai dengan yang kecil Efusi
pleura (biasanya sisi kiri). Efusi mungkin menjadi reaktif dan karenanya
sekunder terhadap efek langsung pankreas yang meradang dan bengkak
di sekitar pleura diafragma (biasanya transudatif). Kalau tidak, dalam
kasuspankreatitis akut yang parah, efusi bisa disebabkan oleh pelacakan
cairan eksudatif dari tempat tidur pankreas secara retroperitoneal ke
dalam rongga pleura melalui cacat di diafragma. Khas, cairan pleura
dalam keadaan terakhir ini adalah eksudat dengan tingkat protein yang
tinggi, dehidrogenase laktat, dan amilase. Efusi dapat berkontribusi pada
segmental atelektasis lobus bawah, menyebabkan ketidakcocokan
ventilasi perfusi dan hipoksia.
Dengan meningkatnya parenkim pankreaskerusakan akibat
peradangan dan fibrosis berulang,baik fungsi eksokrin dan endokrin
pankreas terpengaruh. Mungkin diabetes mellitus pasca pankreatitis
terjadi karena kerusakan parenkim endokrin insufisiensi pankreas dan
eksokrin pankreas (EPI) dapat terjadi karena kerusakan parenkim
eksokrin dari pankreas. EPI dapat menyebabkan gangguan pencernaan
dan malabsorpsi, lima dari sembilan studi sistematis Ulasan mencatat
hubungan antara enzim pankreas insufisiensi dan osteoporosis. Salah satu
konsekuensi dari malabsorpsi adalah kekurangan vitamin D yang
dimilikinya peran penting dalam kesehatan tulang dan pada gilirannya,
dapat menyebabkan osteoporosis.

3. Diabetes Melitus Tipe I

a. Patofisiologi
Pada DM tipe 1 terjadi penurunan produksi dan sekresi insulin
akibat destruksi sel-sel beta pankreas oleh proses autoimun. Insulin
memegang peranan penting dalam proses sintesis cadangan energi sel.
Pada keadaan normal, insulin disekresikan sebagai respon terhadap adanya
peningkatan glukosa darah yang diatur oleh suatu mekanisme kompleks
yang melibatkan sistem neural, hormonal, dan substrat. Hal ini
memungkinkan pengaturan disposisi energi yang berasal dari makanan
menjadi energi yang akan dipakai ataupun disimpan dalam bentuk lain.
Dengan menurunnya produksi insulin pada DM tipe 1, cadangan glukosa
tidak dapat masuk kedalam hepar ataupun sel otot untuk disimpan
(glikogenesis) dan menimbulkan keadaan hiperglikemia post prandial
(sesudah makan) di dalam darah (Danescu dkk., 2009).
Menurunnya insulin post prandial pada DM tipe 1 akan
mempercepat proses katabolisme. Akibat glukosa yang tidak dapat
memasuki hepar ataupun sel otot, maka akan dikirimkan sinyal bahwa
tubuh kekurangan cadangan glukosa. Hal ini mengakibatkan tubuh
memproduksi glukosa dengan berbagai cara, yaitu glikogenolisis
(pemecahan glikogen dalam hepar untuk diubah menjadi glukosa) dan
glukoneogenesis (proses pembentukan glukosa dari bahan selain
karbohidrat). Kedua proses tersebut memperparah kondisi hiperglikemia
yang sebelumnya telah terjadi. Akan tetapi karena glukosa dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam sel hepar ataupun sel otot, maka hepar akan
berusaha lebih keras lagi untuk memproduksi glukosa. Selain itu juga akan
terjadi proteolisis (proses pemecahan cadangan protein dalam sel otot
menjadi asam amino) dan lipolisis (proses pemecahan lipid dalam jaringan
adipose menjadi gliserol dan asam lemak bebas). Keseluruhan proses
tersebut akhirnya menimbulkan kondisi hiperglikemia puasa (Rustama
dkk., 2010).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi (>180 mg/dL),
ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar.
Hal ini mengakibatkan lolosnya glukosa tersebut dari proses rearbsorpsi
ginjal dan glukosa akan muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa
yang berlebihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik yang menyebabkan pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria). Sebagai akibat dari kehilangan
cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami dehidrasi dan rasa haus
(polidipsia) (Homenta, 2012).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori.
Di dalam hepar juga terjadi proses ketogenesis yang mengakibatkan
meningkatnya konsentrasi keton di dalam darah, menyebabkan terjadinya
kondisi asidosis metabolik yang disebut ketoasidosis diabetikum pada
pasien dengan DM tipe I (Albala , 2008).

4. Diabetes Melitus Tipe II


Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas
Pada DM terjadi gangguan pada reaksi RIS (Receptor Insulin
Substrate) sehingga menurunkan jumlah transporter glukosa terutama
GLUT 4 yang mengakibatkan berkurangnya distribusi glukosa kejaringan
yang menyebabkan penumpukan glukosa darah yang pada akhirnya akan
menimbulkan hiperglikemia atau meningkatnya kadar gula darah dalam
tubuh. Pelatihan fisik mempotensiasi efek olahraga terhadap sensitivitas
insulin melalui beberapa adaptasi dalam transportasi glukosa dan
metabolisme. Kegiatan senam diabetes sangat penting dalam
penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar gula
darah dengan cara merangsang stimulasi hormon insulin yang akan
mengakibatkan peningkatan glukosa transporter terutama GLUT 4 yang
berakibat pada berkurangnya resistensi insulin dan peningkatan
pengambilan gula oleh otot serta memperbaiki pemakaian insulin yang
berakibat menurunya kadar gula darah post prandial dan gula darah puasa.
Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga
(Borghouts,2000).
DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon
insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi
insulin” (Cheng D, 2007). Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita DM
tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun
tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM
tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat
relatif dan tidak absolut.
Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan
pada sekresi rtama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas.
Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan
insulin eksogen.
D. Diagnosa Kelenjar Pankreas.
Diagnosis pankreatitis akutberdasarkan pada gejala kardinal yaitu
sakit perut dan muntah dengan peningkatan aktivitas yang signifikan dari
serum amylase (atau lipase). Membedakan pankreatitis akut dan kolik
abdomen yang lain lebih sulit tetapi harus dilakukan dalam waktu 48-72
jam. Oleh karena itu, salah satu tujuan awal diagnosis adalah untuk
membedakan pankreatitis akutdari kondisi intraabdominal yang
mengancam jiwa lainnya yang dimulai dengan nyeri akut abdomen
(misalnya aneurisma aorta, iskemia visceral, dan ulkus perforasi).

- Penilaian Klinis
Gejalaklinis umum dari pankreatitis akut adalah distensi ringandi
perut, nyeri perutbagian atas, dan muntah. Ecchymosis jarang terlihat
(tanda Cullens, dan tanda Grey-Turner). Nyeri perut dapat memburuk
selama beberapa jam dan dapat disertaidengan mual dan muntah. Pasien
juga mungkin melaporkan nyeri setelah makan. Karena proses inflamasi
yang signifikan dan pelepasan sitokin, demam adalah manifestasi umum
yang lain. Namun, sebagian besar pasien akan memiliki gejala ringan.
Dalam kasus tertentu dari gallstones pankreatitis akut, riwayat penyakit
batu empedu yang sebelumnya mungkin dapat menimbulkan gejala,
seperti nyeri perut kanan atas berulang atau riwayat ikterus obstruktif.

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pankreatitis akut ,amilase serum atau aktivitas lipase lebih
daritiga kali batas normal, dapat membantudiagnosis pankreatitis
akutdengan akurasi sekitar 95%. Keuntungan dari pengukuran serum
lipase adalah aktivitasnya akan tetap meningkat untuk jangka waktu lebih
lama dari amilase dan lebih spesifik dari pada amilase serum. Peningkatan
kimiawi liver (bilirubin, alkali fosfatase, dan transaminase) dapat terjadi
ketika terjadi obstruksi batu empedu di ampula. Pengukuran serum
bilirubin adalah salah satu tes laboratorium yang paling dapat diandalkan
untuk membedakan penyebab gallstone pankreatitis den ganetiologi
lainnya. Peningkatan bilirubin dua kali lipat nilai normal sangat bermakna
menyebabkan pankreatitis akut yang disebabkan sumbatan batu empedu.
Demikian pula, tingkat transaminase, terutama SGPT lebih dari 60-80
IU/L adalah kemungkinan mengarah pada gallstones pankreatitis.
Peningkatan padaalkali fosfatase kurang membantu dalam
mengidentifikasi gallstones pankreatitis akut. Sebuah pola yang sangat
sugestif adalah peningkatan bermakna pada kimiawi liver pada awal
serangan, diikuti dengan penurunan lebih cepat selama 1-2 hari.
Peningkatan secara persistendari kimiawi liver secara terus menerus dapat
mempengaruhi obstruksi batuduktus biliaris. Temuan laboratorium lebih
lanjut (misalnya, jumlah sel darah putih, glukosa darah, nitrogen urea
darah, arteri pO2, albumin, kalsium, dan protein C-reaktif (CRP) penting
untuk menilaiberat ringannyapenyakit,meskipun tidak secara langsung
berkontribusi pada diagnosis gallstones pankreatitis akut.

2. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) abdomen adalah metode yang
murah dan sangat handal untuk mendeteksi batu empedu di dalam kantung
empedu. Temuan batu empedu di dalam kantung empedu sangat
berpengaruh menyebabkan gallstones pankreatitis akut. Dilatasi common
bile duct (CBD), serta edema dan nekrosis pankreas, juga dapat dideteksi,
meskipun dengan akurasi yang kurang. Selain itu, USG dapat berguna
dalam menilaigangguan intra-abdominal lain seperti aneurisma aorta,
radang usus buntu, dan pembentukan abses. Keakuratan dari USG
abdomen terbatas pada pankreatitis akut karena biasanya terdapat gas usus
di atasnya. USG abdomen dapat membantu pada kasus gallstones
pankreatitis akut, Jika seorang pasien dengan riwayat batu empedu dan
juga hasil laboratorium yang menunjang pankreatitis akut terus menerus
meningkat atau saluran empedu melebar pada USG, umumnya diperlukan
ERCP urgent (Hernandez, 2004).
3. Computed Tomography (CTscan)
CT scan banyak digunakan untuk mendiagnosis pankreatitis akut
dan harus dilakukan jika temuan biochemical klinis tidak meyakinkan
untuk pankreatitis atau pasien yang diduga menderita pankreatitis berat
atau nekrosis pangkreas. CTscan adalah salah satu pilihan untuk
diagnosis yang akurat dan menilai derajat keparahan pankreatitis. Sebuah
CTscan memungkinkan identifikasi edema pankreas, cairan atau kista,
dan menilai kerasnya konsistensi pancreas pada pankreatitis,
mendeteksi komplikasi termasuk pengembangan pseudocysts, abses,
nekrosis, perdarahan, dan oklusi vaskuler. CTscan sebenarnya kurang
sensitif dalam mendeteksi batu empedu, dan pasien yang dicurigai
gallstones pankreatitis lebih baik dengan pencitraan menggunakan USG
(untuk mendeteksibatu empedu sebagai etiologi) dan CT (untuk
menilai derajat pankreatitis) (Norton et al, 2001).

4. Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography (MRCP)


Magnetic resonance cholangio Pancreatography (MRCP)
merupakan alat diagnostik yang akurat untuk mendeteks ibatu empedu
pada duktus bilier dengan sensitivitas dan nilai prediksi positif 92%,
bersama dengan spesifitas dan nilai prediksi negatif 96%. Akurasi
mengesankan ini adalah fitur yang berkaitan dengan ukurandari batu,
sebagian besarpasien dengan gallstones pankreatitis memiliki batu-batu
kecil yang mungkin membatasi keakuratan MRCP (Lichtenstein, 2002).

5. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)


ERCP adalah pemeriksaan yang sangat sensitif dan spesifik
untuk menilai bilier tree dan khususnya mencari choledocholithiasis.
Menggunakan sisi samping penglihatan endoskopi, ampula diidentifikasi
dan dikanulasi, setelah pewarna disuntikkan ke dalam bilier tree. Batu di
saluran empedu muncul sebagai filling defek pada pencitraan
fluoroscopic. ERCP adalah satu-satunya modalitas pencitraan yang
juga dapat digunakan sebagai terapi pada batu CBD. Namun,
kelemahan utama menggunakan ERCP untuk diagnosis awal etiologi
batu empedu pada pankreatitis berpotensi memperburuk episode akut
pankreatitis, dan karena itu modalitas ini hanya boleh digunakan
bersamaan dengan EST pada galstone pankreatitis.
ERCP memungkinkan untuk visualisasi langsung dari empedu
dan saluran pankreas. Ini mungkin diperlukan untuk menentukan etiologi
pankreatitis dan mendeteksi batu empedu atau varian anatomi dan
tumor, tetapi ERCP paling sering digunakan untuk terapi bukan
diagnosis. ERCP adalah metode yang paling sensitif untuk menentukan
etiologi empedu dari pankretitis akut dan dapat mendeteksi batu saluran
empedu atau batu empedu di hampir semua pasien dengan gallstones
pankreatitis akut. Visualisasi dari saluran empedu secara umum didapat
94-98% pasien tanpa pankretitis akut tetapi hanya sekitar 80-90%
pasien dengan pankretitis akut (Howard, 2008).
BAB III

PENUTUP

IV. Kesimpulan
Pankreas manusia secara anatomi letaknya menempel pada
duodenum dan terdapat kurang lebih 200.000 – 1.800.000 pulau
Langerhans. Organ ini merupakan kelenjar majemuk yang terdiri atas
jaringan eksokrin dan jaringan endokrin. Jaringan eksokrin menghasilkan
enzim-enzim pankreas seperti amylase, peptidase dan lipase, sedangkan
jaringan endokrin menghasilkan hormon-hormon seperti insulin, glukagon
dan somatostatin. Hormon-hormon yang dapat dihasilkan kelenjar
pankreas diantaranya ialah: insulin, glukagon dan somatostatin.
Patofisiologi kelainan produksi hormon pankreas terbagi menjadi 4 bagian
yaitu: pankreas akut, pankreas kronis, diabetes melitus tipe I dan diabetes
tipe II. Diagnosa kelenjar pankreas dapat dilakukan dengan cara:
Pemeriksaan Laboratorium, Ultrasonografi (USG), Computed
Tomography (CTscan), Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography
(MRCP) serta dapat dilakukan dengan Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography (ERCP).
DAFTAR PUSTAKA

Albala, B., Samcammack, Chong, J., Culingwang, Clintonwright, Rundek, T.,


Ralphl. (2008). Diabetes, Fasting Glucose Levels, and Risk of Islamic
Stroke and Vasculer Event, Finding from the Notrhn Manhaten Study.
Diabetes Care Vol. 31 No.6.

Aronoff, S.L., Berkowiz, K., Shreiner, B., & Want, L. (2004). Glucose
Metabolism and Regulation: Beyond Insulin and Glucagon.
Pharmaceuticals, Inc., 9360 Towne Centre Drive, San Diego, CA 92121.
Diabetes Spectrum, 17, 183-190.

Borghouts LB, Keither HA. 2000. Exercise and Insulin Sensitiving : A Review Int
J sports Med : 21(1) : 1-12.

Bradley EL. The necessity for a clinical classification of acute pancreatitis the
Atlanta system. Dalam : Acute pancreatitis diagnosis and therapy. New
York; Raven Press Ltd, 1994; 27-32)

Cheng, M., dan Christiawan, Y.J. 2011. Pengaruh Pengungkapan Corporate


Social Responsibility Terhadap Abnormal Return. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan, 13 (1):24-26.

C Gravena, PC Mathias, and SJ Ashcroft. (2002). Acute effects of fatty acids on


insulin secretion from rat and human islets of Langerhans. Journal of
Endocrinology. Vol 173.

Dolenšek, J., Rupnik, M. S., & Stožer, A. (2015). Structural similarities and
differences between the human and the mouse pancreas. Islets, 7(1).

Danescu LG, Levy S, Levy J. Vitamin D and diabetes mellitus. Endocrine.


2009;35(1):11-7

Elizabeth J. Corwin. (2009). Patofisiologi. Jakarta: EGC

Esa Indah Ayudia Tan, dkk. (2019). Pengaruh Diet Ketogenik Terhadap
Proliferasi dan Ketahanan Sel Pada Jaringan Pankreas. JMJ, Volume 7,
Nomor 1.

Guyton AC, Hall JE. (2006). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Penterjemah: Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC,.

Hadi S. Gastroenterologi, edisi ke-6 . Alumni Bandung,; 1995; 807-89.


Hernandez, V. (2004). Recurrence of acute gallstone pancreatitis and
relationship with cholecystectomy or endoscopic sphincterotomy. Am J
Gastroenterol. Dec 99(12): 2417-23.

Howard, T. (2008). Management of gallstone pancreatitis, In: Current


surgical therapy, 9th ed. Cameron J.pp. Mosby Elsevier Inc., ISBN:
978-1-4160-3497-1: Philadelphia 477-480.

Homenta, H. (2012). Diabetes Milletus Tipe 1. Malang: Program Pasca Sarjana


Ilmu Biomedika Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Lichtenstein DR. Gallstone Pancreatitis. (2002). Curr Treat Options


Gastroenterol 5: 355–363.

Meschan I. Stomach, duodenum and pancreas. Dalam Rontgen Sign in diagnostic


imaging, edisi ke-2. Philadelphia. WB Saunders, 1995; 561 716.

Norton SA, Cheruvu CV, Collins J, et al. (2001). An assessment ofclinical


guidelines forthe management of acute pancreatitis. Ann R Coll Surg
Engl 83: 399–405.(95)25.

Ranson JHC. Acute pancreatitis. Dalam ; Maingot’s abdominal operation,

edisi ke -10, 1997 ; 1899-915


Rustama, D.S., dkk., 2010. Diabetes Mellitus. Dalam: Jose RL. Batubara, dkk,
Endokrinologi Anak, Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta
Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Bagian pengerjaan tugas
1. Pembahasan Anatomi fisiologi kelenjar (Bella Khofilah)
2. Pembahasan Hormon yang di produksi kelenjar (Nurul Nuraini)
3. Pembahasan Patofisiologi kelainan produksi hormon (Sintya Suherlan)
4. Pembahasan Diagnosa kelenjar pankreas (Milla Farhanah)
5. Edit makalah (Nur Indah Lestari)
6. Edit ppt (Serin Fransiska)

Anda mungkin juga menyukai