Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

INVESTIGASI KASUS KERACUNAN MAKANAN

MATA KULIAH

PENYEHATAN MAKANAN DAN MINUMAN B

Disusun oleh

Kelompok 3:

1. Adelia Insyira Novianti P21345118001


2. Annisa Farras Nabilla P21345118010
3. Diah Ayu Nastiti P21345118018
4. Faiz Syaibatul Hamdi P21345118024
5. Haykal Muhammad S P21345118031
6. Ina Handayani P21345118034
7. Irsyad Prasetyo Nugroho P21345118036

Tingkat 2 D-III A Kesehatan Lingkungan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Jalan Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12120


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Proses Pengolahan
Makanan. Tidak lupa kami pun berterima kasih kepada dosen-dosen pengampu kami. Selaku
dosen mata kuliah Penyehatan Makanan dan Minuman B yang telah memberikan tugas ini
kepada kami. Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Proses Pengolahan Makanan.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat
berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Jakarta, April 2020

Kelompok 3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini masalah keamanan pangan sudah merupakan masalah global,
sehingga mendapat perhatian utama dalam penetapan kebijakan kesehatan
masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan foodborne disease) dan kejadian-
kejadian pencemaran pangan terjadi tidak hanya di berbagai negara berkembang
dimana kondisi sanitasi dan higiene umumnya buruk, tetapi juga di negara-negara
maju.
Diperkirakan satu dari tiga orang penduduk di negara maju mengalami
keracunan pangan setiap tahunnya. Bahkan di Eropa, keracunan pangan merupakan
penyebab kematian kedua terbesar setelah Infeksi Saluran Pernafasan Atas atau ISPA.
Hal inilah yang menarik perhatian dunia internasional World Health
Organization (WHO) mendefinisikan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan
atau dikenal dengan istilah "foodborne disease outbreak" sebagai suatu kejadian
dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit setelah mengkonsumsi
pangan yang epidemiologi terbukti sebagai sumber penularan.Kejadian Luar Biasa
(KLB) di Indonesia mempunyai makna sosial dan politik tersendiri karena
peristiwanya sering sangat mendadak, mengena banyak orang dan dapat menimbulkan
kematian.

Badan POM RI melalui Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan


Pangan, secara rutin memonitor kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di
Indonesia khususnya keracunan yang telah diketahui waktu paparannya (point source)
seperti pesta, perayaan, acara keluarga dan acara sosial lainnya. Selama tahun 2004,
berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia telah terjadi
kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan sebanyak 153 kejadian di 25 propinsi.

Jumlah KLB keracunan pangan pada bulan Januari sampai Desember


2004,adalah 153 kejadian di 25 propinsi. Kasus keracunan pangan yang dilaporkan
berjumlah 7347 kasus termasuk 45 orang meninggal dunia.

KLB keracunan pangan terbanyak di Propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 32


kejadian (21%), Jawa Tengah 17 kejadian (11%), DKI Jakarta, Jawa Timur dan Nusa
Tenggara Barat masing-masing 11 kejadian (7,2%), Bali 10 kejadian (6,5%), DI
Yogyakarta 9 kejadian (5,9 %), Kalimantan Timur 7 kejadian (4,6%),Sumatera Utara
dan Sulawesi Selatan masing-masing 5 kejadian (3,3 %), Sumatera Barat dan
Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur masing-masing 4 kejadian (2,6%),
Sumatera Selatan, Lampung dan Sulawesi Tenggara masing-masing 3 kejadian (2%),
NAD, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Tengah dan Maluku masing-masing 2 kejadian
(1,3%), Riau, Bangka Belitung, Banten, dan Kalimantan Selatan masing-masing 1
kejadian (0,7%).

Ditinjau dari sumber pangannya, terlihat bahwa yang menyebabkan keracunan


pangan adalah makanan yang berasal dari masakan rumah tangga 72 kejadian
keracunan (47,1%), industri jasa boga sebanyak 34 kali kejadian keracunan (22,2%),
makanan olahan 23 kali kejadian keracunan (15,0 %), makanan jajanan 22 kali
kejadian keracunan (14,4 %) dan 2 kali kejadian keracunan (1,3 %) tidak dilaporkan.

Berdasarkan data tersebut sumber pangan penyebab 8keracunan pangan


terbesar yaitu masakan rumah tangga. Hal ini disimpulkan bahwa kesadaran
masyarakat terhadap kebersihan dan higiene pengolahan pangan (makanan dan air)
dalam rumah tangga masih cukup rendah.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah investasi wabah dari kejadian luar biasa akibat keracunan pangan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keracunan Pangan

Akhir-akhir ini keracunan pangan sering dilaporkan di media massa, meskipun


menurut laporan resmi_jumlah kejadian luar biasa (KLB) akibat pangan di Indonesia
tidaklah tinggi. Rendahnya angka KLB mungkin disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya adalah sedikitnya pelaporan. Beberapa penyakit yang disebabkan
keracunan pangan seringkali dianggap sakit ringan seperti sakit perut, muntah dan
acap kali dapat sembuh tanpa perawatan maupun pengobatan sehingga orang tidak
berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Selain itu, keracunan yang bersifat sporadik
cenderung tidak dilaporkan. Sebenarnya pelaporan keracunan pangan sangat penting
untuk mengetahui status keamanan pangan suatu negara. Yang lebih penting lagi
adalah tindak lanjut pelaporan yakni investigasi keracunan pangan, yang hasil
investigasinya semestinya dapat digunakan untuk penanggulangan keracunan,
penetapan penyebab keracunan dan pencegahan keracunan serupa di masa yang akan
datang. Investigasi keracunan yang baik seyogyanya tidak berhenti pada adanya
tindakan medis untuk menanggulangi korban, akan tetapi terutama ditujukan pada
penemuan penyebab keracunan dengan menggunakan informasi dan pendekatan
epidemiologi : apakah bahan pangan penyebab keracunan, apa dan berapa jumlah
cemaran atau bahaya ( hazard ) yang menyebabkan keracunan dan mengapa bahan
cemaran tersebut terdapat dalam bahan pangan. Untuk itu, investigasi harus dilakukan
terhadap korban keracunan, sample makanan yang tersedia, sample klinis yang
dikumpulkan dari penderita dan dilanjutkan kepada tempat atau lokasi ( premises )
dimana bahan pangan tersebut diolah.

Untuk melakukan investigasi yang tuntas diperlukan suatu sistem investigasi


yang baik yang didukung oleh sumber daya manusia maupun laboratorium yang baik.
Investigasi yang baik akan memberikan hasil investigasi yang bermakna sehingga
dapat dikonmfirmasi penyebab keracunan dan kesalahan penanganan yang
menyebabkan terjadinya keracunan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk
memperbaiki suatu proses maupun suatu kebijakan umum tentnagn penanganan atau
pengolahan pangan agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Sistem investigasi keracunan yang baik diperlukan agar jelas institusi-institusi
mana yang bertanggung jawab terhadap suatu investigasi serta wewenang yang
dimiliki oleh institusi-institusi tersebut serta kepada siapa laporan harus diberikan.
Tim investigasi sebaiknya terdiri dari sekumpulan orang yang berasal dari berbagai
institusi di atas dengan dipimpin oleh orang yang kompeten. Tim harus mendapat
informasi tentang tujuan, prosedur program dan pentingnya investigasi dan
keterampilannya harus diasah agar dapat melakukan peran/tugasnya dengan baik
selama investigasi. Disamping tim dan institusi yang jelas tugas dan wewenangnya,
perlu dikembangkan suatu prosedur operasi yang baik dan disepakati oleh semua
pihak, laboratorium rujukan dengan keahlian analisis yang diketahui serta jika
diperlukan adanya kelompok pakar sebagai narasumber. Hal ini penting untuk
menetapkan siapa –siapa saja yang akan bergerak ketika suatu keracunan dilaporkan,
siapa yang akan melakukan wawancvara, siapa yang berhak menahan sample yang
diduga sebagai penyebab keracunan, atau pun mengambil sample klinis untuk
keperluan investigasi.

Dalam sistem tersebut, seyogyanya terdapat bagian humas untuk memberi


penjelasan yang tepat serta tidak simpang siur mengenai kejadian keracunan pangan.
Selain itu, investigasi sebaiknya juga dipublikasikan dalam bentuk riset ilmiah dalam
publikasi ilmiah untuk menjadi bahan pembelajaran

B. Investigasi di Lapangan
Investigasi keracunan pangan terutama dilakukan untuk mempersempit
penyebab keracunan, karena keracunan pangan dapat disebabkan oleh ribuan galur
bakteri maupun berbagai racun baik yang dihasilkan oleh mikroba maupun bahan
kimia yang secara sengaja maupun tidak sengaja ditambahkan dalam suatu rantai
produksi pangan dari proses hulu (penamnaman, pemanenan) sampai ke hilir
(pengolahan, pengemasan dan sebagainya). Dalam pelaksanaannya kegiatan
mempersempit kandidat penyebab keracunan ini dilakukan baik melalui wawancara
mapun analisis obyektif di laboreatorium.
Wawancara dengan korban keracunan merupakan suatu langkah strategis yang
dapat menuntun tim investigasi ke arah penyebab keracunan yang paling mungkin.
Oleh karena itu, disamping memenuhi kaidah-kaidah teknik wawancara untuk
mendapatkan hasil sesahih mungkin, substansi wawancara dalam investigasi
keracunan juga harus memuat pertanyaan-pertanyaan yang relevan yang dapat
menggiring pada berbagai data untuk analisis epidemiologi seperti gejala yang
dominan, waktu onset , dan jenis-jenis pangan yang dikonsumsi dalam 72 jam
terakhir.
Analisis epidemiologi dan interpretasi yang tepat tentang gejala keracunan,
waktu onset, jenis bahan pangan dengan memahami teknik pengolahan yang rawan
terhadap keracunan suatu kontaminan tertentu, penghitungan food specific attack rate,
serta pengetahuan mutakhir tentang jenis-jenis kontaminan yang banyak
menyebabkan keracunan pangan dapat membawa tim investigasi pada jenis pangan
yang patut dicurigai serta penyebab keracunan yang paling mungkin.
Dalam suatu jamuan misalnya, lazimnya disajikan berbagai jenis lauk pauk,
makanan pembuka atau penutup. Hasil wawancara yang baik semestinya dapat
menggiring investigator pada 2-5 jenis pangan yang paling mungkin yang sesuai
dengan gejala, waktu onset, serta teknologi pangan yang diduga penyebab keracunan
tersebut.

C. Investigasi di Laboratorium
Hasil analisis wawancara yang baik menjadi suatu modal penting dalam
pelaksanaan uji laboratorium. Dalam kenyataannya jumlah sampel yang tersedia
dalam keracunan pangan seringkali sangat terbatas untuk keperluan analisis untuk
beberapa calon penyebab keracunan. Penting diketahui disini bahwa penyebab
keracunan dalam analisis hanya dapat diketahui jika dilakukan analisis terhadapnya,
kecuali untuk gejala keracunan tipikal dengan satu jenis pangan yang telah dikenal
seperti keracunan tempe bongkrek, ikan buntal dan lain-lain. Apabila analisis hanya
dilakukan untuk mikroba A, misalnya, maka tentu tidak mungkin disimpulkan bahwa
mikroba B-lah penyebab keracunan,
Di Eropa dan Amerika Serikat, misalnya, saat ini melaporkan bahwa
Campylobacter jejuni adalah penyebab keracunan terbesar. Mengingat kompleksitas
uji bakteri ini yang cukup tinggi, besar kemungkinan bakteri ini tidak diuji dalam
kejadian-kejadian keracunan, sehingga meski mungkin terjadi tetapi keracunan karena
C. jejuni di Indonesia mungkin belum muncul dalam hasil investigasi.
Pemahaman mengenai pennyebab keracunan dan jenis pangan menjadi
penting, apalagi saat ini muncul berbagai patogen “emerging”. Misalnya, jika hasil
wawancara menunjukkan kemungkinan bakteri penyebab spora merupakan
penyebnab keracunan dalam bahan bangan matang berprotein tinggi, maka analisis
lebih tepat diarahkan pada Clostridium perfringens daripada Bacillus cereus,
meskipun keduanya menghasilkan spora. Apabila muntah muncul sebagai gejala
utama pada keracunan pangan, dengan waktu onset yang pendek (kurang dari 1 jam)
maka analisis terhadap bakteri dan enterotoksin Staphylococcus aureus atau B. cereus
tentunya menjadi lebih tepat.
Dalam analisis laboratorium, penting diketahui modus suatu kontaminan
khususnya mikroba dalam menyebabkan keracunan. Apakah bakteri tersebut
menyebabkan infeksi? Apakah bakteri tersebut menyebabkan intoksikas? Apakah
diperlukan jumlah besar untuk bakteri tersebut dalam menyebabkan keracunan? Hal
ini akan memberikan input tentang apakah analisis kualitatif saja sudah mencukupi
atau diperlukan analisis kuantitatif, dan juga apakah analisis metabolit (toksin)
diperlukan. Untuk itu analisis laboratorium harus penggunaaan metode analisis yang
terstandarisasi dan tenaga analisis yang berketrampilan tinggi agar diperoleh hasil
yang konsisten. Khususnya untuk keracunan karena mikroba, penting digunakan
pendekatan metode analisis yang paling mendekati sasaran. Tahap pendugaan untuk
analisis Escherichia coli dalam lactose broth misalnya akan mampu membawa analisis
menemukan E. coli , tetapi tahapan ini juga meniadakan E. coli galur tertentu seperti
O157:H7, sehingga pada kondisi E.coli O157:H7 yang diduga menjadi penyebab
keracunan, tahap pendugaan dalam lactose broth harus dimodifikasi, misalnya dengan
penggunaan antibiotika.

D. Penanganan Sampel Keracunan Pangan


Hal penting lainnya dalam investigasi keracunan adalah penanganan sampel.
Jika toksin kimia merupakan penyebab keracunan, maka senyawa tersebut umumnya
stabil selama penyimpanan. Akan tetapi apabila mikroba merupakan kandidat utama
penyebab keracunan maka penanganan yang benar terhadap sample harus
dilaksanakan. Hal ini untuk menghindari “hilangnya” penyebab keracunan dalam
analisis karena penyimpanan sampel pada suhu ruang misalnya dapat menyebabkan
pertumbuhan bakteri lain sehinggga menghambat pertumbuhan penyebab keracunan.
Pada kondisi lain, penyimpananan pada suhu beku, juga dapat menghilangkan
bakteri-bakteri yang rapuh seperti C. jejuni. Penyitaan sampel oleh aparat kepolisian
haruslah memperhatikan aspek ini, karena sampel yang berada pada suhu ruang
selama >12 jam mungkin sudah tidak relevan lagi untuk keperluan analisis
mikrobiologi.
Investigasi laboratorium yang baik akan dapat memberikan gambaran tentang
kontaminan apa yang paling mungkin menyebabkan terjadinya keracunan. Namun,
seringkali hal ini tidak dapat diterapkan karena tidak adanya sampel makanan. Dalam
kasus-kasus seperti ini maka analisis laboratorium pada sample klinis (muntahan,
darah, feses korban) menjadi satu--satunya sumber analisis laboratorium. Dengan
mengacu pada hasil wawancara, maka analisis sampel klinis juga dapat dairahkan
kepada sekelompok “kandidat penyebab keracunan”.
Investigasi epidemiologi dengan metode case control maupun cohort menjadi
penting untuk menetapkan kandidat penyebab keracunan. Apabila mikroba tertentu
diduga sebagai penyebab keracunan, analisis dapat menjadi kompleks karena dalam
feses, misalnya, mungkin ditemukan berbagai jenis mikroba. Dalam keadaan seperti
ini, analisis lebih dalam misalnya melalui serotyping , ribotyping , resistotyping
(ketahanan terhadap antibiotika tertentu) menjadi pilihan yang untuk menghubungkan
gejala klinis, jenis makanan, dan jenis galur bakteri yang paling mungkin menjadi
penyebab keracunan.

E. Investigasi di Lokasi Pengolahan Pangan Penyebab Keracunan


Dalam kondisi ideal, maka hasil investigasiu dapat menjadi maksimal ketrika
hubungan antara gejala klinis, jenis mikroba pada sample makanan dan atau sampel
klinis sesuai. Pada hasil investigasi yang terkonfirmasi seperti itu, maka perlu
dilakukan penyelidikan lebih lanjutr di tempat/sarana bahan pangan tersebut dipolah.
Analisis tempat pengolahan ditujukan untu melakukan rekonstrusi tentang bagaimana
pangan penyebab keracunan tersebut dihasilkan pada saat keracunan terjadi.
Dengan menggunakan data hasil analisis laboratorium maka investigasi
dilakukan dengan mendokumentasikan kembali proses, personel dan praktek-praktek
yang terjadi sehingga dapat disusun suatu skenario mengenai pada tahap apa dan
mengapa bahan berbahaya (bahan kimia atau mikroba) dapat berada pada makanan.
Informasi ini penting untuk dapat memperbaiki suatru langkah proses atau prosedur
pada industri pangan tersebut maupun industri pangan sejenis.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2
TAHUN 2013
TENTANG
KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN PANGAN
PASAL 1
Dalam peraturan menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Pangan adalah segala sesuatu Yang berasal dari sumber hayati dan air ,
baik yang diolah maupun yang tidak diolah , yang diperuntukan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi Manusia , termasuk bahan
tambahan pangan , Bahan baku pangan , dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan , pengolahan dan/aw
2. Korban keracunan pangan Atau tersangka korban keracunan pangan yang
selanjutnya disebut korban Adalah seseorang yang menderita sakit atau
meninggal dengan gejala dan tanda sakit dan/atau ditemukannya bahan
beracun dalam organ tubuhnya, karna mengonsumsi atau diduga
mengonsumsi pangan mengandung cemaran biologis atau kimia.
3. Kejadian luar biasa keracunan pangan yang selanjutnya disebut KLB
keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau
lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama
Setelah mengonsumsi pangan dan berdasarkan analisis epidemiologi ,
pangan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan.
4. Spesimen adalah bahan yang berasal dan/atau diambil dari tubuh manusia
untuk tujuan penegakkan diagnostik keracunan pangan.

Pasal 21

1. Kegiatan surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan untuk


mengetahui perkembangan KLB Keracunan Pangan menurut orang, waktu
dan tempat.
2. Kegiatan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan:
a. menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di fasilitas
pelayanan kesehatan;
b. membuat tabel, grafik dan pemetaan berdasarkan data;
c. melakukan analisis kecenderungan KLB Keracunan Pangan berdasarkan
waktu, tempat, dan kelompok masyarakat tertentu lainnya;
d. melakukan pemantauan terhadap distribusi pangan sebagai sumber
penyebab, dan pelaksanaan higiene sanitasi pangan;
e. mengadakan pertemuan berkala petugas kesehatan dengan kepala desa,
kader dan masyarakat untuk membahas perkembangan kejadian
keracunan pangan dan hasil upaya penanggulangan KLB Keracunan
Pangan yang telah dilaksanakan; dan
f. melakukan pemantauan terhadap keberhasilan upaya penanggulangan
KLB Keracunan Pangan yang telah dilaksanakan.

BAB VI

LAPORAN PENANGGULANGAN

Pasal 27

1. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib menyampaikan laporan


penanggulangan KLB Keracunan Pangan kepada Bupati/Walikota dengan
tembusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Badan, dan Direktur Jenderal.
2. Kepala KKP wajib menyampaikan laporan penanggulangan KLB Keracunan
Pangan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Badan dan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota setempat.
3. Laporan penanggulangan KLB Keracunan Pangan terdiri atas:
a. laporan hasil penyelidikan epidemiologi KLB Keracunan Pangan;
b. laporan perkembangan situasi KLB Keracunan Pangan; dan
c. laporan akhir pelaksanaan penanggulangan KLB Keracunan Pangan.
4. Laporan hasil penyelidikan epidemiologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a harus disampaikan selambat-lambatnya dalam waktu 1 x 24 jam dengan
menggunakan Formulir 10 sebagaimana terlampir.
5. Laporan perkembangan situasi KLB Keracunan Pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b harus disampaikan pada saat diperlukan selama KLB
Keracunan Pangan berlangsung dengan menggunakan Formulir 11 sebagaimana
terlampir.
6. Laporan akhir pelaksanaan penanggulangan KLB Keracunan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c disampaikan selambat lambatnya 2
(dua) minggu setelah KLB Keracunan Pangan berakhir dengan menggunakan
Formulir 12 sebagaimana terlampir.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit karena pangan (foodborne diseases) yang lebih dikenal sebagai
keracunan makanan, dapat disebabkan oleh patogen (virus, bakteri, protozoa, cacing)
maupun bahan kimia (residu pestisida, logam berat, bahan tambahan ilegal,
mikotoksin, dan sebagainya).
Meskipun di Indonesia kasus-kasus penyakit asal pangan belum lengkap
datanya, kasus keracunan pangan bisa disebut fenomena gunung es karena pangan
dikonsumsi setidaknya tiga kali sehari.
Penyakit akibat makanan tercemar patogen umumnya ditandai dengan
terganggunya fungsi-fungsi saluran pencernaan. Gejala yang lazim muncul adalah
diare.
Saat ini, virus asal pangan yang paling dominan di negara-negara maju adalah
virus Norwalk-like yang sering menyebabkan diare melalui konsumsi salad maupun
kerang-kerangan.

B. Saran
Dari tulisan ini, kita mengetahui bahwa investigasi keracunan bukan sesuatu
pekerjaan sederhana melainkan suatu pekerjaan kompleks dengan tingkat kesulitan
yang amat tinggi. Pada kasus-kasus keracunan seringkali media massa menanyakan
penyebab keracunan pada saat keracunan terjadi, yang tentu saja tidak akan
mendapatkan jawaban yang memuaskan karena diperlukan tahapan investigasi untuk
menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat.
Oleh karena itu penting bagi pemerintah agar memiliki tim investigasi yang
handal yang dilengkapi dengan sumberdaya yang memadai, sistem kerjasama yang
baik dengan pihak pihak pos untuk memberi prioritas pengiriman sampel keracunan
serta dengan pihak kepolisian agar penanganan sampel keracunan dapat dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, tim humas yang dapat terus memberi penjelasan secara
transparan kepada publik serta publikasi ilmiah tentang kasus-kasus keracunan yang
terjadi agar dijadikan bahan pembelajaran bagi industri pangan dan para
peneliti.  Demikian makalah ini dibuat sebagai bahan referensi bagi pembaca semoga
bermanfaat bagi kita semua khususnya buat kami sendiri

Anda mungkin juga menyukai