Disusun Oleh :
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNGARAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada anak dengan gangguang
sistem eliminasi yaitu atresia ani.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui anatomi dan fisiolog rektum.
b. Mengetahui apa yang dimaksud dengan atresia ani.
c. Mengetahui etiologi dari atresia ani.
d. Mengetahui klasifikasi atresia ani.
e. Mengetahui manifestasi klinis yang timbul pada atresia ani.
f. Memahami patofisiologi dan pathway dari atresia ani.
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada atresia ani.
h. Mengetahui komplikasi dari atresia ani.
i. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada atresia ani.
1.3 RUMUSAN MASALAH
a. Apa anatomi dan fisiologi rektum?
b. Apa yang dimaksud dengan atresia ani?
c. Apa saja etiologi dari atresia ani?
d. Apa saja klasifikasi atresia ani?
e. Apa saja manifestasi klinis pada atresia ani?
f. Bagaimana patofisiologi dan pathway dari atresia ani?
g. Apa saja pemeriksaan penunjang pada atresia ani?
h. Apa saja komplikasi dari atresia ani?
i. Bagaimana penatalaksanaan pada atresia ani?
BAB II
TINJAUAN
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar
(setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Rektum meruapakan lanjutan dari
kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus sepanjang
12cm, dimulai dari pertengahan sekrum dan berakhir pada kanalis anus. Organ
ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini
kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon
desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka
timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding
rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf
yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak
terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana
penyerapan air akan kembali dilakukan.
Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa
menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB. Anus
merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar
dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian
lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter.
Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar) yang
merupakan fungsi utama anus. Rektum terletak dalam rongga perlvis, di depan
os sakrum dan os koksifis. Rektum terdisi dari dua bagian :
1. Rektum propia : bagian yang melebar disebut ampula rekti. Jika
mapula rekti terisi makanan akan timbul hasrat defekasi.
2. Pars analis rekti : sebelah bawah ditutupi oleh serat-serat otot polos
(M. Sfingter ani internus) dan serabut otot luik (M. Stingter ani
eksternus). Kedua otot ini berperan pada waktu defekasi tunika
mukosa rektum banyak mengandung pembuluh darah. Jaringan
mukosa dan jaringan rektalis terdapat pembuluh darah V. Rektalis
(V. Hemoroidalis superior, V. Hemoroidalis inferior). Sering terjadi
pelebaran atau varises yang disebut hemoroid (wasir).
Bagian dari saluran pencernaan dengna dunia luar terletak di dasar pervis dan
dindingnya diperkuat oleh sfingter ani yang terdiri dari :
1. Sfingter ani internus, sebelah dalam bekerja tidak menurut kehendak.
2. Sfingter levatomani, bagian tengah bekerja tidak meurut kehendak.
3. Sfingter ani eksternus, sebelah luar bekerja menurut kehendak.
Defekasi adalah hasil refleks apabila bahan feses masuk ke dalam rektum.
Dinding rektum akan meregang menimbulkan impuls aferens yang disalurkan
melalui desendens. Kolon sigmoid mendorong feses ke arah anus. Apabila
gelombang peristaltik sampai di anus, sfingter ani internus dihambat dan
sfingter ani eksternus melemas sehingga terjadi defekasi.
Refleks ini sangat lemah harus diperkuat dengan refleks lain melalui
segmen sakral medula spinalis, dikembalikan ke kolon desendens, kolon
sigmoid, rektum dan anus melalui saraf parasimpatis. Ini memperkuat
gelompok peristaltik dan mengubag reflek defekasi dari gelombang lemah
menjadi proses defekasi yang kuat. Oran normal dapat mencegah defekasi
sampai waktu dan tempat yang sesuai dengan refleks defekasi, hilang beberapa
menit dan timbul kebali sampai beberapa jam. Pada bayi baru lahir refleks
defekasi berjalan secara otomatis dan mengkosongkan usus besar bagian
bawah. (Syaifuddin, H,2016)
B. Definisi
Menurut Nurhayati (2010), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘a’
yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau nutrisi”. Dalam
istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama lain yaitu “anus imperforata”.
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran
yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang
tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum. (Purwanto,
2010)
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya lubang atau
saluran anus. (Donna L. Wong, 2013)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2010).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan (kongenital)
dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau
anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa
kehamilan.
C. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1) Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan pertumbuhan
saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot
dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin
tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui
apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang
tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 %
dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan
kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2010).
4) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi
yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran,
dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga
menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21
(Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-
macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi
atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2013).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi
anorektal adalah
1) Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang
paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus,
diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi
duodenum (1%-2%).
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada
atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan
atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah
15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul
bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and
Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular,
Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2012).
E. MANIFESTASI KLINIS
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :
1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4.) Perut kembung.
5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
(Ngastiyah. 2010)
I. KOMPLIKASI
2. Obstruksi intestinal
Penyumbatan yang membuat makanan atau cairan tidak bisa melewati
usus kecil atau usus besar. Penyebab obstruksi usus termasuk jaringan
fibrosa jaringan (adhesi) di perut yang terbentuk setelah operasi, usus yang
meradang (penyakit Crohn), kantung yang terinfeksi di usus (diverticulitis),
hernia, dan kanker usus besar.
3. Kerusakan uretra.
Disebabkan oleh radang atau adanya bekas luka pada uretra. Radang atau
bekas luka tersebut dapat terjadi akibat berbagai faktor, seperti:
a. Prosedur medis yang memasukkan alat ke uretra, seperti endoskopi
uretra.
b. Menderita kanker uretra atau kanker prostat.
c. Penggunaan kateter dalam jangka panjang.
4. Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.
J. PENATALAKSANAAN
1. Penatalasanaan medis
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan atresia ani adalah:
a. Kolostomi
Bayi laki-laki maupun perempuan yang didiagnosa mengalami malformasi
anorektal (atresia ani) tanpa fistula membutuhkan satu atau beberapa kali
operasi untuk memperbaikinya. Kolostomi adalah bentuk operasi yang
pertama dan biasa dilakukan. Kolostomi dilakukan untuk anomaly jenis
kelainan tinggi (High Anomaly), rektovaginal fistula, rektovestibular fistula,
rektouretral fistula, atresia rektum, dan jika hasil jarak udara di ujung istal
rektum ke tanda timah atau logam di perineum pada radiologi invertogram >
1 cm.
Tempat yang dianjurkan ada 2 : transverso kolostomi dan sigmoidostomi.
Bentuk kolostomi yang aman adalah stoma laras ganda.
Kolostomi merupakan perlindungan sementara (4-8 minggu) sebelum
dilakukan pembedahan. Pemasangan kolostomi dilanjutkan 6-8 minggu
setelah anoplasty atau bedah laparoskopi. Kolostomi ditutup 2-3 bulan
setelah dilatasi rektal/anal postoperatif anoplasty. Kolostomi dilakukan pada
periode perinatal dan diperbaiki pada usia 12-15 bulan.
b. Dilatasi Anal (secara digital atau manual)
Dilatasi anal dilakukan pertama oleh dokter, kemudian dilanjutkan oleh
perawat. Setelah itu prosedur ini diajarkan kepada orang tua kemudian
dilakukan mandiri. Klien dengan anal stenosis, dilatasi anal dilakukan 3x
sehari selama 10-14 hari. Dilatasi anal dilakukan dengan posisi lutut fleksi
dekat ke dada. Dilator anal dioleskan cairan/minyak pelumas dan
dimasukkan 3-4 cm ke dalam rektal.
c. Anoplasty
Anoplasty dilakukan selama periode neonatal jika bayi cukup umur dan
tanpa kerusakan lain. Operasi ditunda paling lama sampai usia 3 bulan
jika tidak mengalami konstipasi. Anoplasty digunakan untuk kelainan
rektoperineal fistula, rektovaginal fistula, rektovestibular fistula,
rektouretral fistula, atresia rektum.
a. Toilet Training
Toilet training dimulai pada usia 2-3 tahun. Menggunakan strategi yang
sama dengan anak normal, misalnya pemilihan tempat duduk berlubang
untuk eliminasi dan atau penggunaan toilet. Tempat duduk berlubang untuk
eliminasi yang tidak ditopang oleh benda lain memungkinkan anak merasa
aman. Menjejakkan kaki le lantai juga memfasilitasi defekasi.
b. Bowel Management
Meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk membersihkan kolon.
c. Diet Konstipasi
Makanan disediakan hangat atau pada suhu ruangan, jangan terlalu
panas/dingin. Sayuran dimasak dengan benar. Menghindari buah-buahan
dan sayuran mentah. Menghindari makanan yang memproduksi
gas/menyebabkan kram, seperti minuman karbonat, permen karet, buncis,
kol, makanan pedas, pemakaian sedotan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a. Biodata klien.
b. Riwayat keperawatan.
1) Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.
2) Riwayat kesehatan masa lalu.
c. Riwayat psikologis.
Koping keluarga dalam menghadapi masalah.
d. Riwayat tumbuh kembang anak.
1) BB lahir abnormal.
2) Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh
kembang pernah mengalami trauma saat sakit.
3) Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4) Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.
e. Riwayat sosial.
f. Pemeriksaan fisik.
1. Keadaan umum :
- Sedang
- Aktivitas klien hanya terbatas diatas tempat tidur
- Tingkat kesadaran Compos Mentis
- Klien memakai folley kateter
2. BB : 8 kg
3. Lingkar kepala : saat dikaji lingkar kepala pasien 44cm
4. Kepala : Tidak ada kelainan
5. Mata : Pada bagian mata tidak terdapat tanda-tanda
ikterus, sklera tertarik ke bawah, iris hampir tertutup dengan
palpebra bawah, tidak ada anemis.
6. Leher : Tidak ada kelainan
7. Telinga : Tidak ada kelainan pendengaran , hal ini ditandai
dengan klien berespon saat dipanggil
8. Hidung : Tidak ada kelainan
9. Mulut : Tidak ada kelainan
10. Dada : tidak ada kelainan bentuk thorax (dada),
pengembangan dada simetris.
11. Paru-paru : bunyi nafas vesikuler, ronchi (-),
wheezing (-) stridor (-)
12. Jantung : Auskultasi : terdengar suara S1 normal, S2
normal, tidak ada bunyi jantung tambahan, murmur (-), gallop
(-)
13. Perut : Distensi (+), Simetris
14. Punggung : tidak ada kelainan
15. Genitalia : tidak ada kelainan
16. Ekstremitas
Ekstremitas atas : tidak ada kelainan, clubbing finger (-) dan
sianosis (-)
Ekstremitas bawah : sianosis (-), clubbing finger (-) dan tidak ada
17. Tanda vital
a. RR : 48 x/i
b. HR : 110 x/i
c. Suhu : 36,4 oC
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Konstipasi (D.0049)
2. Gangguan Rasa Nyama (D.0074)
3. Gangguan Citra Tubuh (D.0083)
C. PERENCANAAN
A. SIMPULAN
Atresia ani adalah salah satu malformasi kongenital yang lebih umum di
sebabkan oleh perkembangan abnormal. Formasi mal ini dapat berkisar dari
stenosis anal sederhana hingga mencangkup anomali komplek genitourinari dan
organ pelvis yang mungkin memerlukan perawatan ekstensif untuk tinja, kemih
dan fungsi seksual. Atresia ani dapat terjadi dalam isolasi atau sebagian dari
asosiasi VACTREL (vertebra, anal, cardial, eshopagus, renal, limb). (Wong,
2013).
Sampai saat ini penyebab dari atresia ani belum di ketahui secara pasti,
adapaun tanda gejalanya adanya lesi tinggi, rendah, kloaka persisten dan atresia
rektum.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC
Fadhilah, Harif; PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia Edisi 1. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Fadhilah, Harif; PPNI, Tim Pokja SLKI DPP. 2019. Standart Luaran Keperawatan
Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Fadhilah, Harif; PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. 2018. Standart Intervensi Keperawatan
Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2012. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-
3. Jakarta: EGC
Sachlos, E., & Auguste, D. (2011). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gastroenteritis. Biomaterials, 6–30.