Anda di halaman 1dari 66

Atresia ani (malformasi anorektal/anus imperforate) adalah bentuk kelainan bawaan yang

menunjukan keadaan tidak ada anus, atau tidak sempurnanya bentuk anus.

Bentuk-bentuk kelainan atresia ani:


Lubang anus sempit atau salah letak di depan tempat semestinya.
Terdapat selaput pada saat pembukaan anus sehingga mengganggu
proses pengeluaran feses
Rektum (saluran akhir usus besar) tidak terhubung dengan lubang
anus.
Rektum terhubung dengan saluran kemih (kencing) atau sistem
reproduksi melalui fistula (lubang), dan tidak terdapat pembukaan
anus.

Faktor penyebab terjadinya atresia ani belum diketahui secara pasti:


Secara pasti belum diketahui
Merupakan (kegagalan perkembangan) anomaly gastrointestinal (sistem pencernaan) dan
genitourinary (sistem perkemihan)
Kelainan kloaka pada saat embrionik
Gangguan pertumbuhan fusi dan pembentukkan anus dari tonjolan embrionik
Pada atresia anus, diduga ada keterlibatan kelainan genetik pada kromosom 21

Kelainan bentuk anus akan menyebabkan gangguan buang air besar.


- Ketika lubang anus sempit, bayi kesulitan BAB menyebabkan konstipasi dan
ketidaknyamanan.
- Jika terdapat selaput pada akhiran jalan keluar anus, bayi tidak bisa BAB.
- Ketika rektum tidak berhubungan dengan anus tetapi terdapat fistula, feses akan keluar
melalui fistula tersebut sebagai pengganti anus. Hal ini dapat menyebabkan infeksi.
- Jika rektum tidak berhubungan dengan anus dan tidak terdapat fistula sehingga feses tidak
dapat dikeluarkan dari tubuh dan bayi tidak dapat BAB.

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-
48 jam setelah kelahiran. Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah (cairan muntahan berwarna hijau karena cairan empedu atau berwarna hitam
kehijauan )
3. Bayi tidak bisa buang air besar
4. Tidak ada atau tampak kelainan anus

Penatalaksanaan Medis
Kolostomi (pembuatan lubang anus di bagian perut)
Dilatasi Anal (pelebaran lubang anus)
Eksisi membran anal (pelepasan selaput anus)
Anoplasty (perbaikan organ anus)
Penatalaksanaan Non Medis
Toilet Training
Dimulai pada usia 2-3 tahun.
Menggunakan strategi yang sama dengan anak normal.
Bowel Management
Menjaga kebersihan kantung kolostomi, meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk
membersihkan kolon.
Diet makanan termasuk pengaturan asupan laktasi (ASI)

Penanganan secara preventif antara lain:


1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati-hati terhadap
obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.
2. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari
tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan
tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.

Daftar pustaka
Staf pengajar ilmu kesehatan anak. (1985). Buku kuliah 1: Ilmu kesehatan anak. Jakarta:
EGC.
Suriadi, Skp. & Yulianti , Rita, Skp. (2001). Buku pegangan praktek klinik: Asuhan
keperawatan pada anak. Edisi 1. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Wong, D. L. (1995). Nursing care of infant and children. 5th ed. St.louis: Mosby Year Book,
Inc.
Wong, D. L. (1996). Clinical manual of pediatric nursing. 4th ed. St.louis: Mosby Year Book,
Inc.
Wong, D. L., Eaton, M.H. (2001). Essentials of pediatric nursing. 6th ed. St.louis: Mosby
Year Book, Inc.

ASKEP ATRESIA ANI

TINJAUAN TEORI

1. Pengertian Atresia Ani

Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate
meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)

Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM)

Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau
saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau
makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga
clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau
buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau
terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi
pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya
dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka
hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan
normalnya

Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:

1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus


2. Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-

macam jarak dari peritoneum


4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung

2. Etiologi

Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur

2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan

3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,


rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.

3. Patofisiologi

Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :


1) Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik

2) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur

3) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan

4) Berkaitan dengan sindrom down

5) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan

Terdapat tiga macam letak

Tinggi (supralevator) rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan


jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak upralevator
biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital

Intermediate rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya

Rendah rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung
rectum paling jauh 1 cm.
Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum
Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius

4. Manifestasi Klinis

1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.

3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.

4) Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).

5) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.


6) Pada pemeriksaan rectal touch terdapat adanya membran anal.

7) Perut kembung.

(Betz. Ed 7. 2002)

5. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :

a. Asidosis hiperkioremia.

b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.

c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).

d. Komplikasi jangka panjang.

- Eversi mukosa anal

- Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)

e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)

g. Prolaps mukosa anorektal.

h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)

(Ngustiyah, 1997 : 248)

6. Klasifikasi

Klasifikasi atresia ani :

1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat
keluar.

2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.


3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.

4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum

(Wong, Whaley. 1985).

7. Penatalaksanaan Medis

a. Pembedahan

Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan
kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya.
Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal
yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan
pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan
dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-
otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan
menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila
ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan
yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel

b. Pengobatan

1) Aksisi membran anal (membuat anus buatan)

2) Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan


dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen)

(Staf Pengajar FKUI. 205)

8. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang


umum dilakukan pada gangguan ini.
b) Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel
mekonium.

c) Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat


menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada
mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.

d) Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.

e) Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum


tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat
jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.

f) Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan

a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah


tersebut.

b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan
gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus
impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-
tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.

c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala
dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga
pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan
udara tertinggi dapat diukur.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN ATRESIA ANI

1. Pengkajian

1) Biodata klien

2) Riwayat keperawatan

a. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang


b. Riwayat kesehatan masa lalu

3) Riwayat psikologis

Koping keluarga dalam menghadapi masalah

4) Riwayat tumbuh kembang

a. BB lahir abnormal

b. Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang


pernah mengalami trauma saat sakit

c. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal

d. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium

5) Riwayat sosial

Hubungan sosial

6) Pemeriksaan fisik

2. Diagnosa Keperawatan

Dx Pre Operasi

1) Konstipasi berhubungan dengan aganglion.

2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,


muntah.

3) Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.

Dx Post Operasi

1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari


kolostomi.
2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

3. Rencana Keperawatan

a. Diagnosa Pre Operasi

Dx. 1 Konstipasi berhubungan dengan aganglion

Tujuan : Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.

Kriteria Hasil :

Penurunan distensi abdomen.

Meningkatnya kenyamanan.

Intervensi :

1. Lakukan enema atau irigasi rectal sesuai order

R/ Evaluasi bowel meningkatkan kenyaman pada anak.

2. Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam

R/ Meyakinkan berfungsinya usus

3. Ukur lingkar abdomen

R/ Pengukuran lingkar abdomen membantu mendeteksi terjadinya distensi

Dx. 2 Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,


muntah

Tujuan : Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan

Kriteria Hasil :

Output urin 1-2 ml/kg/jam

Capillary refill 3-5 detik


Turgor kulit baik

Membrane mukosa lembab

Intervensi :

1. Monitor intake output cairan

R/ Dapat mengidentifikasi status cairan klien

2. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV

R/ Mencegah dehidrasi

3. Pantau TTV

R/ Mengetahui kehilangan cairan melalui suhu tubuh yang tinggi

Dx 3 Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit


dan prosedur perawatan.

Tujuan : Kecemasan orang tua dapat berkurang

Kriteria Hasil :

Klien tidak lemas

Intervensi :

1. Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan
fisiologi saluran pencernaan normal. Gunakan alay, media dan gambar

R/ Agar orang tua mengerti kondisi klien

2. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua

R/ Pengetahuan tersebut diharapkan dapat membantu menurunkan


kecemasan
3. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi

R/ Membantu mengurangi kecemasan klien

b. Diagnosa Post Operasi

Dx 1 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari


kolostomi.

Tujuan : Klien tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.

Intervensi :

1. Gunakan kantong kolostomi yang baik

2. Kosongkan kantong ortomi setelah terisi atau 1/3 kantong

3. Lakukan perawatan luka sesuai order dokter

Dx 2 Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

Tujuan : Orang tua dapat meningkatkan pengetahuannya tentang perawatan di


rumah.

Intervensi :

1. Ajarkan pada orang tua tentang pentingnya pemberian makan tinggi kalori
tinggi protein.

2. Ajarkan orang tua tentang perawatan kolostomi.

4. Evaluasi

Pre Operasi Post operasi


1. Tidak terjadi konstipasi 1. Kerusakan integritas kulit tidak
terjadi
2. Defisit volume cairan tidak
terjadi 2. Klien memiliki pengetahuan
perawatan di rumah
3. Lemas berkurang

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisike-3.
Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri Kurnianianingsih (ed),
Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.

ATRESIA ANI
Jan 20

Posted by herrysyu

ATRESIA ANI

Etiologi
Kelainan bawaan anus yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi dan pembentukan
anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan
rektum, sfingter dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter
internus mungkin tidak memadai.
Kelainan bawaan rektum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan
sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal
yang memisahkannya. Dalam hal ini terjadi fistula antara saluran kemih dan saluran genital.

Atresia ani (imperforate anus)


Penatalaksanaan atresia ani dilakukan sesuai dengan letak ujung atresia terhadap otot
panggul. Untuk itu dibuat pembagian sebagai berikut:
Atresia ani letak rendah (translevator)
Rektum menembus m. Levator anus sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh
1 cm. Dapat berupa stenosis anus yang hanya membutuhkan dilatasi membran atau
merupakan membran anus tipis yang dapat dibuka segera setelah anak lahir. Agenesis anus
yang disertai fistula perineum juga dapat ditangani segera setelah anak lahir.
Atresia ani letak tinggi (supralevator)
Rektum tidak mencapai m. Levator anus, dengan jarak antara ujung buntu rektum sampai
kulit perineum lebih dari 1 cm. Biasanya disertai dengan fistula kesaluran kencing atau
genital.
Untuk menentukan golongan malformasi anorektal digunakan cara invertogram. Invertogram
adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak puntung distal rektum terhadap marka
anus dikulit peritonium. Pada teknik bayi diletakkan terbalik (kepala dibawah) atau tidur
terlungkup (prone), dengan sinar horizontal diarahkan ke trohanter mayor. Dinilai ujung
udara yang ada didistal rektum ke marka anus.
Klasifikasi (Wingspread 1981)
Penggolongan anatomis malformasi anorektal:

Laki laki
Golongan I: Tindakan:
1. Fistel urine Kolostomi neonatus pada usia
2. Atresia rekti 4 6 bulan
3. Perineum datar
4. Tanpa fistel udara> 1cm dari kulit
pada invertogram

Golongan II: Tindakan:


1. Fistel perineum Operasi definitif neonatus tanpa
2. Membran anal kolonostomi
3. Stenosis ani
4. Bucket handle
5. Tanpa fistel, udara 1cm dari kulit
pada invertogram

Golongan II: Tindakan:


1. Fistel perineum Operasi definitif neonatus tanpa
2. Stenosis ani kolonostomi
3. Tanpa fistel, udara 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi.

Golongan II
1. Fistel perineum
Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana lokasi anus normal. Dapat berbentuk anus
anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marka anus yang rapat ada diposteriornya.
Umumnya menimbulkan obstipasi.
2. Stenosis ani
Lubang anus terletak dilokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar
sebaiknya cepat dilakukan operasi definitif.
3. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.

b. Laki laki
Perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut:
- Perineum : bentuk dan adanya fistel
- Urine : dicari ada tidaknya butir butir mekonium diurin
Golongan I
1. Fistel urine
Tampak mekonium keluar dari orificium urethra eksternum. Fistula dapat terjadi keuretra
maupun vesika urinaria.
Cara praktis untuk membedakan lokasi fistel ialah dengan memasang kateter urine. Bila
kateter terpasang dan urine jernih, berarti fistel terletak diuretra yang terhalang kateter. Bila
kateter urine mengandung mekonium, berarti fistel kevesika urinaria. Evakuasi feses tidak
lancar dan penderita memerlukan kolostomi segara.
2. Atresia rekti
Kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok dubur jari tidak dapat
masuk lebih dari 1 2 cm, sehingga tidak ada evakuasi feses sehingga perlu segera dilakukan
kolostomi.
3. Perineum datar
Menunjukkan bahwa otot yang berfungsi untuk kontinensi tidak terbentuk sempurna.
4. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.

Golongan II
1. Fistel perineum
Sama dengan wanita
2. Membran anal
Anus tertutup selaput tipis dan sering tampak bayangan jalan mekonium dibawah kulit.
Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.
3. Stenosis ani
Lubang anus terletak dilokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar
sebaiknya cepat dilakukan operasi definitif.
4. Bucket handle
Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember. Evakuasi feses tidak
ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.
5. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
Pada 10 20% penderita fistula harus dilakukan pemeriksaan radiologis invertogram.

Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan operatif pada malformasi anorektal dengan tindakan bedah yang
disebutkan diseksi postero sagital atau plastik anorektal posterosagital. Kolostomi merupakan
perlindungan sementara. Ada dua tempat kolostomi yang dianjurkan dipakai pada neonatus
dan bayi yaitu transversokolostomi (kolostomi dikolon transversum) dan sigmoidostomi
(kolostomi disigmoid). Bentuk kolostomi yang mudah dan aman adalah stoma laras ganda
(Double barrel).

Teknik operatif definitif (Posterior Sagital Ano-Rekto-Plasti)


Prinsip operasi:
1. Bayi diletakkan tengkurap
2. Sayatan dilakukan diperineum pada garis tengah, mulai dari ujung koksigeus sampai batas
anterior marka anus.
3. Tetap bekerja digaris tengah untuk mencegah merusak saraf.
4. Ahli bedah harus memperhatikan preservasi seluruh otot dasar panggul.
5. Tidak menimbulkan trauma struktur lain.

Prognosis
1. Dengan menggunakan kalsifikasi diatas dapat dievaluasi fungsi klinis:
a. Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar
b. Sensibilitas rektum
c. Kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur
2. Evaluasi psikologis
Fungsi kontinensia tidak hanya tergantung pada kekuatan sfingter atau sensasi saja, tetapi
tergantung juga pada bantuan orang tua dan kooperasi serta keadaan mental penderita.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidayat R (2000), Anorektum, Buku Ajar Bedah, Edisi revisi, EGC, Jakarta, hal 901
908.

Moritz M.Z (2003), Operative Pediatric Surgery, Mc. Grow Hill Professional, United State.

Lawrence W (2003), Anorectal Anomalies, Current Diagnosis & Treatment, edisi 11, Mc.
Graw Hill Professional, United States, hal 1324 1327.

Reksoprodjo S, Malformasi Anorektal, Kumpulan Ilmu Bedah, FKUI, Jakarta hal 134 139.

ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ANI

A. Pengertian
Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara congenital
(Dorland, 1998).
Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai inperforata. Ladd dan Gross (1966)
membagi anus inperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus menetap
3. Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari
peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita yang sering ditemukan fisula
rektovaginal (bayi buang air besar lewat vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektobrinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir
dikandung kemih atau uretra serta jarang rektoperineal.

B. Pathofisiologi

C. Ganbaran Klinik
Pada sebagian besar anomati ini neonatus ditemukan dengan obstruksi usus. Tanda berikut
merupakan indikasi beberapa abnormalitas:
1. Tidak adanya apertura anal
2. Mekonium yang keluar dari suatu orifisium abnormal
3. Muntah dengan abdomen yang kembung
4. Kesukaran defekasi, misalnya dikeluarkannya feses mirip seperti stenosis
Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus dilakukan colok
anus dengan menggunakan termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam
anus. Atau dapat juga dengan jari kelingking yang memakai sarung tangan. Jika terdapat
kelainan, maka termometer atau jari tidak dapat masuk. Bila anus terlihat normal dan
penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum. Gejala akan timbul dalam 24-48 jam
setelah lahir berupa perut kembung, muntah berwarna hijau.
artikel disini :http://blog.ilmukeperawatan.com
D. Pemeriksaan Penunjang
1. X-ray, ini menunjukkan adanya gas dalam usus
2. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius, misalnya suatu
sistouretrogram mikturasi akan memperlihatkan hubungan rektourinarius dan kelainan
urinarius
3. Pemeriksaan urin, perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat mekonium

E. Penatalaksanaan
? Medik:
1. Eksisi membran anal
2. Fistula, yaitu dengan melakukan kolostomi sememtara dan setelah umur 3 bulan dilakukan
koreksi sekaligus
? Keperawatan
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut
dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama
hanya dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain
itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah
infeksi. Serta memperhatikan kesehatan bayi.

F. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi BAK b.d Dysuria
2. Gangguan rasa nyaman b.d vistel rektovaginal, Dysuria
3. Resti infeksi b.d feses masuk ke uretra, mikroorganisme masuk saluran kemih
4. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia
5. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d trauma jaringan post operasi
6. Resti infeksi b.d perawatan tidak adekuat, trauma jaringan post operasi
7. Resti kerusakan integritas kulit b.d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak terkontrol

G. Intervensi
DP Tujuan Intervensi
Gangguan eliminasi BAK b.d vistel rektovaginal, Dysuria

Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d vistel rektovaginal, Dysuria

Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia

Nyeri b.d trauma jaringan post operasi (Kolostomi)


Resti kerusakan integritas kulit b.d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak terkontrol

Tidak terjadi perubahan pola eliminasi BAK setelah dilakukan tindakan keperawatan
dengan KH:
? Pasien dapat BAK dengan normal
? idak ada perubahan pada jumlah urine

Pasien merasa nyaman setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan
KH:
? Nyeri berkurang
? Pasien merasa tenang

Tidak terjadi kekurangan nutrisi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
dengan KH :
? Pasien tidak mengalami penurunan berat badan
? Turgor pasien baik
? Pasien tidak mual, muntah
? Nafsu makan bertambah
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam pertama dengan
KH:
? Nyeri berkurang
? Pasien merasa tenang
? Tidak ada perubahan tanda vital

Tidak terjadi kerusakan integritas kulit setalah dilakukan tindakan keperawatan 24 jam
pertama dengan KH:
? Mempertahankan integritas kulit
? Tidak terdapat tanda-tanda kerusakan integritas kulit
? Mengindentifisikasi faktor resiko individu Kaji pola eliminasi BAK pasien
Awasi pemasukan dan pengeluaran serta karakteristik urine
Selidiki keluhan kandung kemih penuh
Awasi/observasi hasil laborat
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi

kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien


Ajarkan teknik relaksasi distraksi
Berikan posisi yang nyaman pada pasien
Jelaskan penyebab nyeri dan awasi perubahan kejadian
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi

Kaji KU pasien
Timbang berat badan pasien
Catat frekuensi mual, muntah pasien
Catat masukan nutrisi pasien
Beri motivasi pasien untuk meningkatkan asupan nutrisi
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pengaturan menu
Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien
Berikan penjelasan pada pasien tentang nyeri yang terjadi
Berikan tindakan kenyamanan, yakinkan pada pasien bahwa perubahan posisi tidak
menciderai stoma
Ajarkan teknik relaksasi, distraksi
Bantu melakukan latihan rentang gerak
Awasi adanya kekakuan otot abdominal
Kolaborasi pemberian analgetik

Lihat stoma/area kulit peristomal pada setiap penggantian kantong


Ukur stoma secara periodik misalnya tia perubahan kantong
Berikan perlindungan kulit yang efektif
Kosongkan irigasi dan kebersihan dengan rutin
Awasi adanya rasa gatal disekitar stoma
Kolaborasi dengan ahli terapi.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. (1996). Text book of Medical-Surgical Nursing. EGC. Jakarta.
Doengoes Merillynn. (1999) (Rencana Asuhan Keperawatan). Nursing care plans.
Guidelines for planing and documenting patient care. Alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made
Sumarwati. EGC. Jakarta.
Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25.
Jakarta: EGC
Prince A Sylvia. (1995). (patofisiologi). Clinical Concept. Alih bahasa : Peter Anugrah EGC.
Jakarta.
Long, Barbara. C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Terjemahan: Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan. USA: CV Mosby
[ad#tak-usah-bingung]

ATRESIA ANI
ATRESIA ANI

Atresia ani atau anus imperforata disebut sebagai malformasi anorektal, adalah suatu kelainan
kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, termasuk Agenesis ani, Agenesis rekti dan
Atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai penyakit tersering yang
merupakan syndrom VACTRERL ( Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb).

Soper 1975 memberikan terminologi untuk atresia anorektal meliputi sebagian besar malformasi
kongenital dari daerah anorektal. Kanalis anal adalah merupakan bagian yang paling sempit tetapi
normal dari ampula rekti. Menurut definisi ini maka sambungan anorektal terletak pada permukaan
atas dasar pelvis yang dikelilingi muskulus sfingter ani eksternus. 2/3 bagian atas kanal ini derivat
hindgut, sedang 1/3 bawah berkembang dari anal pit. Penggabungan dari epitilium disini adalah
derivat ectoderm dari anal pit dan endoderm dari hindgut dan disinilah letak linea dentate. Garis ini
adalah tempat anal membrana dan disini terjadi perubahan epitelium columner ke stratified
squamous cell. Pada bayi normal, susunan otot serang lintang yang berfungsi membentuk bangunan
seperti cerobong yang melekat pada os pubis, bagian bawah sacrum dan bagian tengah pelvis.
Kearah medial otot-otot ini membentuk diafragma yang melingkari rectum, menyusun kebawah
sampai kulit perineum. Bagian atas bangunan cerobong ini dikenal sebagai m levator dan bagian
terbawah adalah m sfingter externus. Pembagian secara lebih rinci, dari struktur cerobong ini adalah:
m. ischiococcygeus, illeococcygeus, pubococcygeus, puborectalis, deep external spincter externus
dan superficial external sfingter. M sfingter externus merupakan serabut otot para sagital yang saling
bertemu didepan dan dibelakang anus. Bagian diantara m. levator dan sfingter externus disebut
muscle complex atau vertikal fiber.

Kanal anal dan rectum mendapat vaskularisasi dari arteria hemoroidalis superior, a hemoroidalis
media dan a hemoroidalis inferior. Arteri hemoroidalis superior merupakan akhir dari arteria
mesenterika inferior dan melalui dinding posterior dari rectum dan mensuplai dinding posterior, juga
ke kanan dan ke kiri dinding pada bagian tengah rectum, kemudian turun ke pectinate line. Arteria
hemoroidalis media merupakan cabang dari arteria illiaca interna. Arteria hemoroidalis inferior
cabang dari arteri pudenda interna, ia berjalan di medial dan vertical untuk mensuplai kanalis anal di
bagian distal dari pectinate line. Inervasi para simpatis berasal dari nervus sacralis III, V yang
kemudian membentuk N Epiganti, memberikan cabang ke rectum dan berhubungan dengan pleksus
Auerbach. Saraf ini berfungsi sebagai motor dinding usus dan inhibitor sfingter serta sensor distensi
rectum. Persarafan simpatis berasal dari ganglion Lumbalis II, III, V dan pleksus para aurticus,
kemudian membentuk pleksus hipogastricus kemudian turun sebagai N pre sacralis. Saraf ini
berfungsi sebagai inhibitor dinding usus dan motor spingter internus. Inervasi somatic dari m levator
ani dan muscle complex berasal dari radix anterior N sacralis III, V. 1

Embriologi
Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut dan Hindgut. Forgut akan
membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati
dan sistem bilier serta pancreas. Mid gut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum,
appendik, kolon ascenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut
hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ectoderm dari
protoderm / analpit . Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan
perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra
levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan
proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak
normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter .1

Patofisiologi
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
1. Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
dubur
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan
4. Berkaitan dengan sindrom down
5. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
Atresia ani yang terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan
distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui
fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya
fese mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya
akan terbentuk fistula antara rectum dengan organ sekitarnya.

Atresia Ani ini mempunyai 3 macam letak, yaitu :


Tinggi (supralevator) yaitu, rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak
antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. letak supralevator biasanya disertai dengan
fistel ke saluran kencing atau saluran genital
Intermediate. Dimana kelainan ini mempunyai ciri rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak
menembusnya
Rendah yaitu, rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum
paling jauh 1 cm.
Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki2
biasanya letak tinggi , umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika) .
pada letak rendah fistula menuju ke urethra (rektourethralis).2

Tanda dan gejala


Tanda dan gejala dari Atrsia Ani ini antara lain adalah : Mekonium tidak keluar dalam waktu 24 - 48
jam setelah lahir; Tinja keluar dari vagina atau uretra; Perut menggembung; Muntah; Tidak bisa
buang air besar; Tidak adanya anus, dengan ada/tidak adanya fistula; Pada atresia ani letak rendah
mengakibatkan distensi perut, muntah, gangguan cairan elektrolit dan asam basa.2

Diagnosis
Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis perut membuncit seluruhnya
merupakan kunci diagnosis pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis
ialah pemeriksaan radiologik dengan enema barium. disini akan terlihat gambaran klasik seperti
daerah transisi dari lumen sempit kedaerah yang melebar. pada foto 24 jam kemudian terlihat retensi
barium dan gambaran makrokolon pada hirschsprung segmen panjang. Pemeriksaan biopsi hisap
rektum dapat digunakan untuk mencari tanda histologik yang khas yaitu tidak adanya sel ganglion
parasimpatik dilapisan muskularis mukosa dan adanya serabut syaraf yang menebal pada
pemeriksaan histokimia, aktifitas kolinaterase meningkat.
Atresia ani biasanya jelas sehingga diagnosis sering dapat ditegakkan segera setelah bayi lahir dengan
melakukan inspeksi secara tepat dan cermat pada daerah perineum. Diagnosis kelainan anurektum
tipe pertama dan keempat dapat terlewatkan sampai diketahui bayi mengalami distensi perut dan
tidak mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium.

PENA menggunakan cara sebagai berikut:


1. Bayi LAKI-LAKI dilakukan pemeriksaan perineum dan urine bila :
a. Fistel perianal (+) , bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak
rendah maka dapat dilakukan Minimal PSARP tanpa kolostomi.
b. Mekoneum (+), ini merupakan tanda daripada atresia letak tinggi, oleh karena itu dilakukan
kolostomi terlebih dahulu dan 8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitive.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila :
a. Akhiran rectum < 1 cm dari kulit maka disebut dengan atresia letak rendah.
b. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi.
Pada laki-laki fistel dapat berupa rectovesikalis, rektourethralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel. Bila ditemukan :
a. Fistel perineal (+) minimal, dilakukan PSARP tanpa kolostomi.
b. Jika terdapat Fistel rektovaginal atau rektovestibuler maka dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan, dilakukan invertrogram. Bila :
a. Akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti.
b. Akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
LEAPE (1987) menyatakan :
a) Bila mekonium di dapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka mungkin terdapat
kelainan letak rendah .
b) Bila Pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya fistel, maka mungkin terdapat kelainan letak tinggi
atau rendah.

Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar ususterisis udara, dengan cara
Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertical dengan kepala dibawah) atau knee
chest position (sujud), cara ini bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat
fistula lakukan fistulografi.2

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan
kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur
Abdomino Perineal Poli Through (APPT), tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan
prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries (1982) memperkenalkan metode operasi
yang baru, yaitu PSARP (Postero Sagital Ano Recto Plasty). Yaitu dengan cara membelah muskulus
sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan
pemotongan fistel. Tekhnik dari PSARP ini mempunyai akurasi yang sangat tinggi dibandingkan
dengan APPT yang mempunyai tingkat kegagalan yang tinggi.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi
anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Sebagai Goalnya
adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya baik.

Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rectum yang dapat
ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak
kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta
ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rectum dan ada tidaknya
fistula.

Leape (1987) menganjurkan pada :


a) Atresia letak tinggi & intermediet sebaiknya dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah
6 12 bulan baru dikerjakan tindakan definitive (PSARP).
b) Atresia letak rendah sebaiknya dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untukidentifikasi batas otot sfingter ani ekternus,
c) Bila terdapat fistula sebaiknya dilakukan cut back incicion.
d) Stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin , berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal
PSARP tanpa kolostomi.

Pena secara tegas menjelaskan bahwa, atresia ani letak tinggi dan intermediet sebaiknya dilakukan
kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitive setelah 4 8 minggu.
Saat ini tehnik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorectoplasti, baik minimal, limited
atau full postero sagital anorektoplasti

Adapun dalam penatalaksanaan aterisa ani ini bisa dilakukan juga secara preventif, yaitu dengan cara
antara lain :
a. Memberikan nasihat kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati-
hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.
b. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak
diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun
hingga mendesak paru-parunya.
c. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.

Pengertian Atresia Ani

Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara kongenital
(Dorland, 1998).

Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus,
rektum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)

Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia Ani

Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan.
Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata
lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau
rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena
proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh,
misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama
lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan
operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya

Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai inperforata. Ladd dan Gross (1966)
membagi anus inperforata dalam 4 golongan, yaitu:

1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus


2. Membran anus menetap
3. Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak
dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu

Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita yang sering ditemukan fisula
rektovaginal (bayi buang air besar lewat vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektobrinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir
dikandung kemih atau uretra serta jarang rektoperineal

Etiologi Atresia Ani

Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:


1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur

2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan

3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum


bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam
usia kehamilan.

Patofisiologi Atresia Ani

Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :

1) Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik

2) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur

3) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan

4) Berkaitan dengan sindrom down

5) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan

Terdapat tiga macam letak

Tinggi (supralevator) rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis)


dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital
Intermediate rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya
Rendah rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rectum paling jauh 1 cm.
Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum
Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius

Gambaran Klinik Atresia Ani

Pada sebagian besar anomati ini neonatus ditemukan dengan obstruksi usus. Tanda berikut
merupakan indikasi beberapa abnormalitas:

1. Tidak adanya apertura anal

2. Mekonium yang keluar dari suatu orifisium abnormal

3. Muntah dengan abdomen yang kembung


4. Kesukaran defekasi, misalnya dikeluarkannya feses mirip seperti stenosis

Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus dilakukan colok
anus dengan menggunakan termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam
anus. Atau dapat juga dengan jari kelingking yang memakai sarung tangan. Jika terdapat
kelainan, maka termometer atau jari tidak dapat masuk. Bila anus terlihat normal dan
penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum. Gejala akan timbul dalam 24-48 jam
setelah lahir berupa perut kembung, muntah berwarna hijau.

Pemeriksaan Penunjang Atresia Ani

1. X-ray, ini menunjukkan adanya gas dalam usus


2. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius, misalnya suatu
sistouretrogram mikturasi akan memperlihatkan hubungan rektourinarius dan kelainan
urinarius
3. Pemeriksaan urin, perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat mekonium

Penatalaksanaan Atresia Ani

Medik:

1. Eksisi membran anal

2. Fistula, yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah umur 3 bulan
dilakukan koreksi sekaligus

Keperawatan :

Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut
dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama
hanya dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain
itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah
infeksi. Serta memperhatikan kesehatan bayi.

Diagnosa Keperawatan Atresia Ani

1. Gangguan eliminasi BAK b.d Dysuria

2. Gangguan rasa nyaman b.d vistel rektovaginal, Dysuria

3. Resti infeksi b.d feses masuk ke uretra, mikroorganisme masuk saluran kemih

4. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia

5. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d trauma jaringan post operasi

6. Resti infeksi b.d perawatan tidak adekuat, trauma jaringan post operasi
7. Resti kerusakan integritas kulit b.d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak
terkontrol

Path Ways

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Atresia Ani

1. Gangguan eliminasi BAK b.d vistel rektovaginal, dysuria

Tujuan :

Tidak terjadi perubahan pola eliminasi BAK setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan
kriteria evaluasi: Pasien dapat BAK dengan normal, tidak ada perubahan pada jumlah urine.
Intervensi :

Kaji pola eliminasi BAK pasien


Awasi pemasukan dan pengeluaran serta karakteristik urine
Selidiki keluhan kandung kemih penuh
Awasi/observasi hasil laboratorium
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d vistel rektovaginal, dysuria

Tujuan :

Pasien merasa nyaman setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan
KH:

Nyeri berkurang
Pasien merasa tenang

Intervensi :

kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien


Ajarkan teknik relaksasi distraksi
Berikan posisi yang nyaman pada pasien
Jelaskan penyebab nyeri dan awasi perubahan kejadian
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi

3. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia

Tujuan :

Tidak terjadi kekurangan nutrisi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
dengan KH :

Pasien tidak mengalami penurunan berat badan


Turgor pasien baik
Pasien tidak mual, muntah
Nafsu makan bertambah

Intervensi :

Kaji KU pasien
Timbang berat badan pasien
Catat frekuensi mual, muntah pasien
Catat masukan nutrisi pasien
Beri motivasi pasien untuk meningkatkan asupan nutrisi
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pengaturan menu

4. Nyeri b.d trauma jaringan post operasi (Kolostomi)

Tujuan :

Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam pertama dengan KH:

Nyeri berkurang
Pasien merasa tenang
Tidak ada perubahan tanda vital

Intervensi :

Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien


Berikan penjelasan pada pasien tentang nyeri yang terjadi
Berikan tindakan kenyamanan, yakinkan pada pasien bahwa perubahan posisi tidak
menciderai stoma
Ajarkan teknik relaksasi, distraksi
Bantu melakukan latihan rentang gerak
Awasi adanya kekakuan otot abdominal
Kolaborasi pemberian analgetik

5. Resti kerusakan integritas kulit b.d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak
terkontrol

Tujuan :

Tidak terjadi kerusakan integritas kulit setalah dilakukan tindakan keperawatan 24 jam
pertama dengan KH:

Mempertahankan integritas kulit


Tidak terdapat tanda-tanda kerusakan integritas kulit
Mengindentifisikasi faktor resiko individu

Intervensi :

Lihat stoma/area kulit peristomal pada setiap penggantian kantong


Ukur stoma secara periodik misalnya tiap perubahan kantong
Berikan perlindungan kulit yang efektif
Kosongkan irigasi dan kebersihan dengan rutin
Awasi adanya rasa gatal disekitar stoma
Kolaborasi dengan ahli terapi.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. (1996). Text book of Medical-Surgical Nursing. EGC. Jakarta.

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisike-3.
Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta : EGC.

Doengoes Merillynn. (1999) (Rencana Asuhan Keperawatan). Nursing care plans. Guidelines
for planing and documenting patient care. Alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati.
EGC. Jakarta.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri Kurnianianingsih (ed),
Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.

Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25.
Jakarta: EGC

Prince A Sylvia. (1995). (patofisiologi). Clinical Concept. Alih bahasa : Peter Anugrah EGC.
Jakarta.

Long, Barbara. C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Terjemahan: Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan. USA: CV Mosby

ATRESIA ANI

A.DEFINISI ATRESIA ANI


Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang berarti tidak ada dan trepsis yang
berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak
adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar
(Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal
(Suriadi,2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi
gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus
tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan
kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa
terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

B.ETIOLOGI ATRESIA ANI


Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan
bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya tidak ada kelainan rectum,
sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier
penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan.
30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital
lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi
karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya
disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.

Faktor predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti :
1.Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung,
trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
2.Kelainan sistem pencernaan.
3.Kelainan sistem pekemihan.
4.Kelainan tulang belakang.

C.KLASIFIKASI ATRESIA ANI


Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
1.Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai
melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau
rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka
bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2.Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan
kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan
lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
a.Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.
b.Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.
c.Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhungan dengan fistuls genitourinarius retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan).
Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan yang
dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan
yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan fistel tidak ada. Jika ada fistel
urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke
uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan
memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra
karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke
vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera.
Pada atresia rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel
tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan
kolostomi.

Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka,
fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina,
mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga
sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai
etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila
penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara
traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna
sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi
pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi
mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat
invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II pada laki laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal,
stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat
anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di
bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat
mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan definitive harus dilakukan.
Bila tidak ada fistel dan udara < 1 cm darikulit pada invertogram, perlu juga dilakukan
pembedahan. Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat
diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya,
tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan
terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1cm dari kulit dapat sgera
dilakukan pembedahan definitive. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi. D.PATOFISIOLOGI ATRESIA ANI Anus dan rectum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka
yang merupakan bakal genitoury dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya
penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi
dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal.
Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada
uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal
tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstrksi. E.TANDA DAN GEJALA
ATRESIA ANI Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya
mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan
fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah
jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal,
pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)
Bayi muntah muntah pada usia 24 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu
manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan
empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium. F.PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK ATRESIA ANI Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut : 1.Pemeriksaan radiologis Dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya obstruksi intestinal. 2.Sinar X terhadap abdomen Dilakukan untuk menentukan
kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari
sfingternya. 3.Ultrasound terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal
terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi
oleh karena massa tumor. 4.CT Scan Digunakan untuk menentukan lesi. 5.Pyelografi intra
vena Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter. 6.Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7.Rontgenogram abdomen dan pelvis Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya
fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius. G.PENATALAKSANAAN ATRESIA
ANI 1.Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi
posterosagital atau plastik anorektal posterosagital. 2.Colostomi sementara PENGKAJIAN
ATRESIA ANI Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah
pasien dengan tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan. Dan
keberhasilan proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang difunakan
penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat
dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi : 1.Persepsi Kesehatan Pola Manajemen
Kesehatan Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.
2.Pola nutrisi Metabolik Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien
dengan atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh
mual dan munta dampak dari anestesi. 3.Pola Eliminasi Dengan pengeluaran melalui saluran
kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi
kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang
pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi (Whaley &
Wong,1996). 4.Pola Aktivitas dan Latihan Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk
menhindari kelemahan otot. 5.Pola Persepsi Kognitif Menjelaskan tentang fungsi
penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam
menjawab pertanyaan. 6.Pola Tidur dan Istirahat Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur
terganggu karena nyeri pada luka inisisi. 7.Konsep Diri dan Persepsi Diri Menjelaskan
konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi perilaku distraksi,
gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi (Doenges,1993). 8.Peran dan Pola
Hubungan Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.
Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran (Doenges,1993). 9.Pola Reproduktif dan Sexual Pola ini bertujuan
menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,1993). 10.Pola Pertahanan Diri,
Stress dan Toleransi Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah
(Doenges,1993). 11.Pola Keyakinan dan Nilai Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien
dalam melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini
diharapkan perawat dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya
pelaksanaan ibadah (Mediana,1998). PEMERIKSAAN FISIK ATRESIA ANI Hasil
pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak merah, usus
melebar, kadang kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus
tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24
jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996). DIAGNOSA
ATRESIA ANI Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan
diagnosa keperawatan, sehingga dapat diperoleh diagnosa keperawatan yang spesifik.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani yaitu: a. Inkontinen
bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan
anus (Suriadi,2001). b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia (Doenges,1993). c.Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
(Doenges,1993). d.Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan
(Doenges,1993). 5.Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi
bayi (Suriadi,2001). 6.Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi
(Doenges,1993). 7.Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan
(Doenges,1993). 8.Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan penumpuksan secket
berlebih (Doenges,1993). 9.Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan
perawatan di rumah (Whaley & Wong,1996). INTERVENSI Fokus intervensi keperawatan
pada atresia ani adalah sebagai berikut : 1.Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik)
berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus (Suriadi,2001). Tujuan yang
diharapkan yaitu terjadi peningkatan fungsi usus, dengan kriteria hasil : pasien akan
menunjukkan konsistensi tinja lembek, terbentuknya tinja,tidak ada nyeri saat defekasi, tidak
terjadi perdarahan. Intervensi : 1).Dilatasikan anal sesuai program. 2).Pertahankan puasa dan
berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus normal. 2.Gangguan integritas kulit
berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1996). Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi
gangguan integritas kulit, dengan kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi
kerusakan di daerah sekitar anoplasti. Intervensi : 1).Kaji area stoma. 2).Anjurkan pasien
untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma. 3).Sebelum terpasang
colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma. 4).Yakinkan lubang bagian belakang kantong
berperekat lebih besar sekitar 1/8 dari ukuran stoma. 5).Selidiki apakah ada keluhan gatal
sekitar stoma. 3.Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi infeksi, dengan kriteria hasil : tidak ada tanda
tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal. Intervensi : 1).Pertahankan teknik septik dan
aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau perawatan. 2).Amati lokasi invasif terhadap
tanda-tanda infeksi. 3).Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih. 4).Pantau dan batasi
pengunjung , beri isolasi jika memungkinkan. 5).Beri antibiotik sesuai advis dokter.
4.Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan sekret berlebih
(Doenges,1993). Tujuan yang diharapkan adalah mempertahakan efektif jalan nafas,
mengeluarkan sekret tanpa bantuan dengan kriteria hasil : bunyi nafas bersih, menunjukkan
perilaku perbaikan jalan nafas misalnya, batuk efektif dan mengeluarkan sekret. Intervensi :
1).Kaji fungsi pernafasan, contoh : bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman dan
penggunaan otot tambahan. 2).Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk
efektif, catat karakter, jumlah spuntum, adanya hemaptoe. 3).Berikan posisi semi fowler dan
Bantu pasien untuk batuk efektif dan latihan nafas dalam. 4).Bersihkan secret dari mulut dan
trakea, penghisapan sesuai keperluan. 5).Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
kecuali kontra indikasi. 6).Kolaborasi pemberian mukolitik dan bronkodilator. 5.Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia (Doenges,1993). Tujuan
yang diharapkan adalah kebutuhan nurtisi tubuh tercukupi, dengan kriteria hasil :
menunjukkan peningkatan BB, nilai laboratorium normal, bebas tanda mal nutrisi.
Intervensi : 1).Pantau masukan/ pengeluaran makanan / cairan. 2).Kaji kesukaan makanan
anak. 3).Beri makan sedikit tapi sering. 4).Pantau berat badan secara periodik. 5).Libatkan
orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak untuk makan. 6).Beri
perawatan mulut sebelum makan. 7).Berikan isirahat yang adekuat. 8).Pemberian nutrisi
secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan kalori sesuai program diit. 6.Kecemasan
keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi.(Suriadi,2001;159)
Tujuan yang diharapkan adalah memberi support emosional pada keluarga, dengan kriteria
hasil : keluarga akan mengekspresikan perasaan dan pemahaman terhadap kebutuhan
intervensi perawatan dan pengobatan. Intervensi : 1).Ajarkan untuk mengekspresikan
perasaan. 2).Berikan informasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan di rumah.
3).Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien. 4).Berikan pujian pada
keluarga saat memberikan perawatan pada pasien. 5).Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT,
pengukuran tanda tanda vital dan pengkajian. 7.Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan
dengan trauma saraf jaringan (Doenges,1996). Tujuan yang diharapkan adalah pasien akan
melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, pasien akan tampak rileks, dengan kriteria hasil :
ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal. Intervensi : 1).Tanyakan pada pasien tentang
nyeri. 2).Catat kemungkinan penyebab nyeri. 3).Anjurkan pemakaian obat dengan benar
untuk mengontrol nyeri. 4).Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi. 8.Resiko tinggi terhadap
konstipasi berhubungan dengan ketidakadekuatan masukan diit (Doenges,1993). Tujuan yang
diharapkan adalah pola eliminasi sesuai kebutuhan, dengan kriteria hasil : BAB 1x/hari, feses
lunak, tidak ada rasa nyeri saat defekasi. Intervensi : 1).Auskultasi bising usus. 2).Observasi
pola diit dan itake cairan 9.Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi
(Doenges,1996). Tujuan yang diharapkan adalah pasien mau menerima kondisi dirinya
sekarang, dengan kriteria hasil : pasien mentatakan menerima perubahan ke dalam konsep
diri tanpa harga diri rendah, menunjukkan penerimaan dengan merawat stoma tersebut,
menyatakan perasaannya tentang stoma. Intervensi : 1).Kaji persepsi pasien tentang stoma.
2).Motivasi pasien untuk megungkapkan perasaannya. 3).Kaji ulang tentang alasan
pembedahan. 4).Observasi perilaku pasien. 5).Berikan kesempatan pada pasien untuk
merawat stomanya. 6).Hindari menyinggung perasaan pasien atau pertahankan hubungan
positif. 10.Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di
rumah (Walley & Wong,1996). Tujuan yang diharapkan adalah pasien dan keluarga
memahami perawatan di rumah, dengan kriteria hasil keluarga menunjukkan kemampuan
untuk memberikan perawata untuk bayi di rumah. Intervensi : 1).Ajarkan perawatan
kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat melakukan perawatan.
2).Ajarkan untuk mengenal tanda tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.
3).Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal
secara tepat. 4).Ajarkan cara perawatan luka yang tepat. 5).Latih pasien untuk kebiasaan
defekasi. 6).Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat) DAFTAR
PUSTAKA Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan :Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta :EGC Nettina, Sandra M.
(1996). Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta :EGC Long, B. C.(1996). Perawatan Madikal
Bedah. Jilid 2. Bandung :Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Soeparma,
Sarwono Waspadji. (1991). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta :Balai Penerbit FKUI
Sylvia A. Price, Lorraine Mc Carty Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta :EGC

Makalah Atresia Ani


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia ani atau anus imperforata disebut sebagai malformasi anorektal, adalah suatu kelainan
kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, termasuk Agenesis ani, Agenesis rekti dan
Atresia rekti. Insiden 1 : 5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai penyakit tersering yang
merupakan syndrom VACTRERL ( Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb).
Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat kongenital pada anus dimana
anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka
yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi
kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
Kelainan kongenital pada anus ini biasanya disebabkan karena putusnya saluran pencernaan dari atas
dengan daerah dubur, kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu /3
bulan, dan adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum
bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia
kehamilan.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswi Akademi Kebidanan mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada neonatus
sakit dengan atresia ani secara menyeluruh dan terdapat keterpaduan dengan pendekatan
manajement kebidanan menurut Varney.

1.2.2 Tujuan Khusus


Diharapkan mahasiswi Akademi Kebidanan mampu :
1. Melakukan penkajian pada neonatus dengan atresia ani
2. Mampu merumuskan diagnosa pada neonatus dengan atresia ani
3. Mengantisipasi masalah potensial pada neonatus atresia ani
4. Mengidentifikasi kebutuhan segera pada neonatus dengan atresia ani
5. Mengembangkan rencana sesuai rencana
6. Melakukan tindakan sesuai rencana
7. Mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Dalam asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan atresia ani ini diharapkan dapat memperoleh
informasi dalam mengembangkan teori dalam penanganan bayi baru lahir dengan atresia ani yang
lebih maksimal.
1.3.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Ibu Bersalin
Merupakan tambahan pengetahuan ibu tentang bayi baru lahir dengan atresia ani sehingga ibu
dapat menerapkannya dalam perawatan bayi sehari-hari.
2. Bagi Institusi
Untuk memperbanyak dan memperluas ilmu pengetahuan khususnya pada mata kuliah asuhan pada
bayi baru lahir dengan atresia ani.
3. Bagi Tenaga Kesehatan ( Bidan )
Memberikan masukan pada bidan untuk dapat memberikan informasi sesuai hasil asuhan pada bayi
baru lahir dengan atresia ani kepada bayi baru lahir yang diasuhnya.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Bayi Baru Lahir Normal (BBL)
Bayi baru lahir adalah bayi yang baru lahir selama satu jam pertama kelahiran. ( Saifuddin, 2002)
Bayi baru lahir adalah bayi dari lahir sampai usia 4 minggu. Lahirrnya biasanya dengan usia gestasi 38
42 minggu. (Donna L. Wong, 2003)
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu
dan berat lahir 2500 gram sampai 4000 gram. (Dep. Kes. RI, 2005)
Bayi baru lahir normal adalah berat lahir antara 2500 4000 gram, cukup bulan, lahir langsung
menangis, dan tidak ada kelainan congenital (cacat bawaan) yang berat. (M. Sholeh Kosim, 2007)

2.2 Ciri-Ciri Bayi Baru Lahir Normal


a. Berat badan 2500 4000 gram
b. Panjang badan 48 52 cm
c. Lingkar dada 30 38 cm
d. Lingkar kepala 33 35 cm
e. Frekuensi jantung 120 160 kali/menit
f. Pernafasan 30 - 60 kali/menit
g. Kulit kemerah merahan dan licin karena jaringan sub kutan cukup
h. Rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala biasanya telah sempurna
i. Kuku agak panjang dan lemas

j. Genitalia :
- Perempuan labia mayora sudah menutupi labia minora
- Laki laki testis sudah turun, skrotum sudah ada
Eliminasi baik, mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama, mekonium berwarna hitam kecoklatan

2.3 Nilai APGAR score


Nilai APGAR score 1/5/10, 20
No Aspek yang dinilai 1 5 10 20
1.
2.
3.
4.
5. Pernafasan
Denyut Jantung
Refleksi
Tonus otot
Warna kulit 2
2
2
2
22
2
2
2
22
2
2
2
22
2
2
1
2
Jumlah 10 10 10 9

Penilaian hasil
Asfiksia ringan : 7 8
Asfiksia sedang : 4 6
Asfiksia berat : 1 3

2.4 Pengukuran Antropometri


a. Pengukuran antropometri
- Cirkumferensia :
o C. Fronto occipitalis : 34 cm
o C. Mento occipitalis : 35 cm
o C. Suboksipito- bregma : 32 cm
- Ukuran diameter
o D. Occipito Frontalis : 12 cm
o D. Mento occipito : 13,5 cm
o D. Suboccipito bregma : 9,5 cm
o D. Biparietalis : 9,25 cm
o D. Bitemporalis : 8 cm
- LIDA : 30 38 cm
- LIKA : 33 35 cm

2.5 Refleks Refleks Fisiologis Pada BBL Normal


a. Mata
1. Berkedip atau reflek corneal
Bayi berkedip pada pemunculan sinar terang yang tiba tiba atau pada pandel atau obyek kearah
kornea, harus menetapkan sepanjang hidup, jika tidak ada maka menunjukkan adanya kerusakan
pada saraf cranial.
2. Pupil
Pupil kontriksi bila sinar terang diarahkan padanya, reflek ini harus sepanjang hidup.
3. Glabela
Ketukan halus pada glabela (bagian dahi antara 2 alis mata) menyebabkan mata menutup dengan
rapat.
b. Mulut dan tenggorokan
1. Menghisap
Bayi harus memulai gerakan menghisap kuat pada area sirkumoral sebagai respon terhadap
rangsangan, reflek ini harus tetap ada selama masa bayi, bahkan tanpa rangsangan sekalipun, seperti
pada saat tidur.
2. Muntah
Stimulasi terhadap faring posterior oleh makanan, hisapan atau masuknya selang harus
menyebabkan bayi mengalami reflek muntah, reflek ini harus menetap sepanjang hidup.
3. Rooting
Menyentuh dan menekan dagu sepanjang sisi mulut akan menyebabkan bayi membalikkan kepala
kearah sisi tersebut dan mulai menghisap, harus hilang pada usia kira kira 3 -4 bulan
4. Menguap
Respon spontan terhadap panurunan oksigen dengan maningkatkan jumlah udara inspirasi, harus
menetap sepanjang hidup
5. Ekstrusi
Bila lidah disentuh atau ditekan bayi merespon dengan mendorongnya keluar harus menghilang pada
usia 4 bulan
6. Batuk
Iritasi membrane mukosa laring menyebabkan batuk, reflek ini harus terus ada sepanjang hidup,
biasanya ada setelah hari pertama lahir
c. Ekstremitas
1. Menggenggam
Sentuhan pada telapak tangan atau telapak kaki dekat dasar kaki menyebabkan fleksi tangan dan jari
2. Babinski
Tekanan di telapak kaki bagian luar kearah atas dari tumit dan menyilang bantalan kaki menyebabkan
jari kaki hiperektensi dan haluks dorso fleksi
3. Masa tubuh
a) Reflek moro
Kejutan atau perubahan tiba tiba dalam ekuilibrium yang menyebabkan ekstensi dan abduksi
ekstrimitas yang tiba tiba serta mengisap jari dengan jari telunjuk dan ibu jari membentuk C
diikuti dengan fleksi dan abduksi ekstrimitas, kaki dapat fleksi dengan lemah.
b) Startle
Suara keras yang tiba tiba menyebabkan abduksi lengan dengan fleksi siku tangan tetap
tergenggam

c) Tonik leher
Jika kepala bayi dimiringkan dengan cepat ke salah sisi, lengan dan kakinya akan berekstensi pada sisi
tersebut dan lengan yang berlawanan dan kaki fleksi.
d) Neck righting
Jika bayi terlentang, kepala dipalingkan ke salah satu sisi, bahu dan batang tubuh membalik kearah
tersebut dan diikuti dengan pelvis
e) Inkurvasi batang tubuh (gallant)
Sentuhan pada punggung bayi sepanjang tulang belakang menyebabkan panggul bergerak kea rah
sisi yang terstimulasi.

2.6 Penanganan Bayi Baru Lahir


Menurut JNPK-KR/POGI, APN, (2007) asuhan segera, aman dan bersih untuk bayi baru lahir ialah :
a. Pencegahan Infeksi
Cuci tangan dengan seksama sebelum dan setelah bersentuhan dengan bayi
Pakai sarung tangan bersih pada saat menangani bayi yang belum dimandikan
Pastikan semua peralatan dan bahan yang digunakan, terutama klem, gunting, penghisap lendir
DeLee dan benang tali pusat telah didesinfeksi tingkat tinggi atau steril.
Pastikan semua pakaian, handuk, selimut dan kain yang digunakan untuk bayi, sudah dalam
keadaan bersih. Demikin pula dengan timbangan, pita pengukur, termometer, stetoskop.
b. Melakukan penilaian
Apakah bayi menangis kuat dan/atau bernafas tanpa kesulitan
Apakah bayi bergerak dengan aktif atau lemas
Jika bayi tidak bernapas atau bernapas megap megap atau lemah maka segera lakukan tindakan
resusitasi bayi baru lahir.

c. Pencegahan Kehilangan Panas


Mekanisme kehilangan panas
Evaporasi
Penguapan cairan ketuban pada permukaan tubuh oleh panas tubuh bayi sendiri karena setelah lahir,
tubuh bayi tidak segera dikeringkan.
Konduksi
Kehilangan panas tubuh melalui kontak langsung antara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin,
co/ meja, tempat tidur, timbangan yang temperaturnya lebih rendah dari tubuh bayi akan menyerap
panas tubuh bayi bila bayi diletakkan di atas benda benda tersebut
Konveksi
Kehilangan panas tubuh terjadi saat bayi terpapar udara sekitar yang lebih dingin, co/ ruangan yang
dingin, adanya aliran udara dari kipas angin, hembusan udara melalui ventilasi, atau pendingin
ruangan.
Radiasi
Kehilangan panas yang terjadi karena bayi ditempatkan di dekat benda benda yang mempunyai
suhu tubuh lebih rendah dari suhu tubuh bayi, karena benda benda tersebut menyerap radiasi
panas tubuh bayi (walaupun tidak bersentuhan secara langsung)
Mencegah kehilangan panas
Cegah terjadinya kehilangan panas melalui upaya berikut :
Keringkan bayi dengan seksama
Mengeringkan dengan cara menyeka tubuh bayi, juga merupakan rangsangan taktil untuk membantu
bayi memulai pernapasannya.
Selimuti bayi dengan selimut atau kain bersih dan hangat
Ganti handuk atau kain yang telah basah oleh cairan ketuban dengan selimut atau kain yang baru
(hanngat, bersih, dan kering)
Selimuti bagian kepala bayi
Bagian kepala bayi memiliki luas permukaan yg relative luas dan bayi akan dengan cepat kehilangan
panas jika bagian tersebut tidak tertutup.
Anjurkan ibu untuk memeluk dan menyusui bayinya
Pelukan ibu pada tubuh bayi dapat menjaga kehangatan tubuh dan mencegah kehilangan panas.
Sebaiknya pemberian ASI harus dimulai dalam waktu satu (1) jam pertama kelahiran
Jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru lahir
Karena bayi baru lahir cepat dan mudah kehilangan panas tubuhnya, sebelum melakukan
penimbangan, terlebih dahulu selimuti bayi dengan kain atau selimut bersih dan kering. Berat badan
bayi dapat dinilai dari selisih berat bayi pada saat berpakaian/diselimuti dikurangi dengan berat
pakaian/selimut. Bayi sebaiknya dimandikan sedikitnya enam (^) jam setelah lahir.
Praktik memandikan bayi yang dianjurkan adalah :
Tunggu sedikitnya 6 jam setelah lahir sebelum memandikan bayi (lebih lama jika bayi mengalami
asfiksia atau hipotermi)
Sebelum memandikan bayi, periksa bahwa suhu tubuh stabil (suhu aksila antara 36,5 C 37 C).
Jika suhu tubuh bayi masih dibawah 36,5 C, selimuti kembali tubuh bayi secara longgar, tutupi
bagian kepala dan tempatkan bersama ibunya di tempat tidur atau lakukan persentuhan kuli ibu
bayi dan selimuti keduanya. Tunda memandikan bayi hingga suhu tubuh bayi tetap stabil dalam
waktu (paling sedikit) satu (1) jam.
Tunda untuk memandikan bayi yang sedang mengalami masalah pernapasan
Sebelum bayi dimandikan, pastikan ruangan mandinya hangat dan tidak ada tiupan angin. Siapkan
handuk bersih dan kering untuk mengeringkan tubuh bayi dan siapkan beberapa lembar kain atau
selimut bersih dan kering untuk menyelimuti tubuh bayi setelah dimandikan.
Memandikan bayi secara cepat dengan air bersih dan hangat
Segera keringkan bayi dengan menggunakan handuk bersih dan kering
Ganti handuk yang basah dengan selimut bersih dan kering, kemudian selimuti tubuh bayi secara
longgar. Pastikan bagian kepala bayi diselimuti dengan baik
Bayi dapat diletakkan bersentuhan kulit dengan ibu dan diselimuti dengan baik
Ibu dan bayi disatukan di tempat dan anjurkan ibu untuk menyusukan bayinya
Tempatkan bayi di lingkungan yang hangat
Idealnya bayi baru lahir ditempatkan di tempat tidur yang sama dengan ibunya, untuk menjaga bayi
tetap hangat dan mendorong ibu untuk segera memberikan ASI
d. Membebaskan Jalan Nafas nafas
Dengan cara sebagai berikut yaitu bayi normal akan menangis spontan segera setelah lahir, apabila
bayi tidak langsung menangis, penolong segera membersihkan jalan nafas dengan cara sebagai
berikut :
Letakkan bayi pada posisi terlentang di tempat yang keras dan hangat.
Gulung sepotong kain dan letakkan di bawah bahu sehingga leher bayi lebih lurus dan kepala tidak
menekuk. Posisi kepala diatur lurus sedikit tengadah ke belakang.
Bersihkan hidung, rongga mulut dan tenggorokkan bayi dengan jari tangan yang dibungkus kassa
steril.
Tepuk kedua telapak kaki bayi sebanyak 2-3 kali atau gosok kulit bayi dengan kain kering dan kasar.
Alat penghisap lendir mulut (De Lee) atau alat penghisap lainnya yang steril, tabung oksigen
dengan selangnya harus sudah ditempat
Segera lakukan usaha menghisap mulut dan hidung
Memantau dan mencatat usaha bernapas yang pertama (Apgar Score)
Warna kulit, adanya cairan atau mekonium dalam hidung atau mulut harus diperhatikan.
e. Merawat tali pusat
Setelah plasenta dilahirkan dan kondisi ibu dianggap stabil, ikat atau jepitkan klem plastik tali pusat
pada puntung tali pusat.
Celupkan tangan yang masih menggunakan sarung tangan ke dalam larutan klonin 0,5 % untuk
membersihkan darah dan sekresi tubuh lainnya.
Bilas tangan dengan air matang atau disinfeksi tingkat tinggi
Keringkan tangan (bersarung tangan) tersebut dengan handuk atau kain bersih dan kering.
Ikat ujung tali pusat sekitar 1 cm dari pusat bayi dengan menggunakan benang disinfeksi tingkat
tinggi atau klem plastik tali pusat (disinfeksi tingkat tinggi atau steril). Lakukan simpul kunci atau
jepitankan secara mantap klem tali pusat tertentu.
Jika menggunakan benang tali pusat, lingkarkan benang sekeliling ujung tali pusat dan dilakukan
pengikatan kedua dengan simpul kunci dibagian tali pusat pada sisi yang berlawanan.
Lepaskan klem penjepit tali pusat dan letakkan di dalam larutan klonin 0,5%
Selimuti ulang bayi dengan kain bersih dan kering, pastikan bahwa bagian kepala bayi tertutup
dengan baik..(Dep. Kes. RI, 2002)
f. Mempertahankan suhu tubuh bayi
Pada waktu lahir, bayi belum mampu mengatur tetap suhu badannya, dan membutuhkan pengaturan
dari luar untuk membuatnya tetap hangat. Bayi baru lahir harus di bungkus hangat. Suhu tubuh bayi
merupakan tolok ukur kebutuhan akan tempat tidur yang hangat sampai suhu tubuhnya sudah stabil.
Suhu bayi harus dicatat (Prawiroharjo, 2002).
Bayi baru lahir tidak dapat mengatur temperatur tubuhnya secara memadai dan dapat dengan cepat
kedinginan jika kehilangan panas tidak segera dicegah. Bayi yang mengalami kehilangan panas
(hipotermi) beresiko tinggi untuk jatuh sakit atau meninggal, jika bayi dalam keadaan basah atau
tidak diselimuti mungkin akan mengalami hipoterdak, meskipun berada dalam ruangan yang relatif
hangat. Bayi prematur atau berat lahir rendah sangat rentan terhadap terjadinya hipotermia.
Pencegah terjadinya kehilangan panas yaitu dengan :
Keringkan bayi secara seksama
Selimuti bayi dengan selimut atau kain bersih, kering dan hangat
Tutup bagian kepala bayi
Anjurkan ibu untuk memeluk dan menyusukan bayinya
Lakukan penimbangan setelah bayi mengenakan pakaian
Tempatkan bayi di lingkungan yang hangat. (Dep. Kes. RI, 2002)
g. Pencegahan infeksi
Memberikan vitamin K
Untuk mencegah terjadinya perdarahan karena defisiensi vitamin K pada bayi baru lahir normal atau
cukup bulan perlu di beri vitamin K per oral 1 mg / hari selama 3 hari, dan bayi beresiko tinggi di beri
vitamin K parenteral dengan dosis 0,5 1 mg IM.
Memberikan obat tetes atau salep mata
Untuk pencegahan penyakit mata karena klamidia (penyakit menular seksual) perlu diberikan obat
mata pada jam pertama persalinan, yaitu pemberian obat mata eritromisin 0.5 % atau tetrasiklin 1 %,
sedangkan salep mata biasanya diberikan 5 jam setelah bayi lahir.
Perawatan mata harus segera dikerjakan, tindakan ini dapat dikerjakan setelah bayi selesai dengan
perawatan tali pusat
Yang lazim dipakai adalah larutan perak nitrat atau neosporin dan langsung diteteskan pada mata
bayi segera setelah lahir
Bayi baru lahir sangat rentan terhadap infeksi, pastikan untuk melakukan tindakan pencegahan
infeksi berikut ini :
Cuci tangan secara seksama sebelum dan setelah melakukan kontak dengan bayi.
Pakai sarung tangan bersih pada saat menangani bayi yang belum dimandikan.
Pastikan bahwa semua peralatan, termasuk klem gunting dan benang tali pusat telah didinfeksi
tingkat tinggi atau steril, jika menggunakan bola karet penghisap, pakai yang bersih dan baru.
Pastikan bahwa semua pakaian, handuk, selimut serta kain yang digunakan untuk bayi telah dalam
keadaan bersih.
Pastikan bahwa timbangan, pipa pengukur, termometer, stetoskop dan benda-benda lainnya yang
akan bersentuhan dengan bayi dalam keadaan bersih (dekontaminasi dan cuci setiap setelah
digunakan). (Dep.kes.RI, 2002)
h. Identifikasi bayi
Alat pengenal untuk memudahkan identifikasi bayi perlu di pasang segera pasca persalinan. Alat
pengenal yang efektif harus diberikan kepada bayi setiap bayi baru lahir dan harus tetap ditempatnya
sampai waktu bayi dipulangkan.
Peralatan identifikasi bayi baru lahir harus selalu tersedia di tempat penerimaan pasien, di kamar
bersalin dan di ruang rawat bayi
Alat yang digunakan, hendaknya kebal air, dengan tepi yang halus tidak mudah melukai, tidak
mudah sobek dan tidak mudah lepas
Pada alat atau gelang identifikasi harus tercantum nama (bayi, nyonya), tanggal lahir, nomor bayi,
jenis kelamin, unit, nama lengkap ibu
Di setiap tempat tidur harus diberi tanda dengan mencantumkan nama, tanggal lahir, nomor
identifikasi. (Saifudin,, 2002)

2.7 Pengertian Atresia Ani


Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum
atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan
bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata
atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung
dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM)
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna
L. Wong, 520 : 2003).

2.8 Etiologi Atresia Ani


Penyebab atresia ani belum diketahui secara pasti tetap ini merupakan penyakit anomaly kongenital
(Bets. Ed tahun 2002)
Akan tetapi atresia juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang
dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian
distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
2.9 Patofisologi Atresia Ani
a. Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
dubur
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan
d. Berkaitan dengan sindrom down
e. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan

2.10 Manifestasi Klinis Atresia Ani


a. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
b. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
d. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
e. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
f. Pada pemeriksaan rectal touch terdapat adanya membran anal.
g. Perut kembung.
(Betz. Ed 7. 2002)
Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus dilakukan colok anus
dengan menggunakan termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam anus. Atau
dapat juga dengan jari kelingking yang memakai sarung tangan. Jika terdapat kelainan, maka
termometer atau jari tidak dapat masuk. Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih
tinggi dari perineum. Gejala akan timbul dalam 24-48 jam setelah lahir berupa perut kembung,
muntah berwarna hijau.

2.11 Diagnosisis
a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir
b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula
c. Bila ada fistula pada perineum(mekoneum +) kemungkinan letak rendah
Untuk menegakkan diagnosis Atresia Ani adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan perineum yang
teliti .

2.12 Komplikasi Atresia Ani


Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
a. Asidosis hiperkioremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang.
- Eversi mukosa anal
- Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
(Ngustiyah, 1997 : 248)
2.13 Klasifikasi Atresia Ani
Klasifikasi atresia ani :
a. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.
b. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
c. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
d. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum
(Wong, Whaley. 1985).

2.14 Penatalaksanaan Medis Atresia Ani


a. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin tinggi
gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa
lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum
abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan
dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah
baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai
lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan
tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel
b. Pengobatan
1. Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
2. Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi
sekaligus (pembuat anus permanen)
c. Keperawatan
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut dapat
diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya
dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu perlu
diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi serta
memperhatikan kesehatan bayi
(Staf Pengajar FKUI. 205)

2.15 Pemeriksaan Penunjang Atresia Ani


a. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada
gangguan ini.
b. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
c. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya
kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai
keujung kantong rectal.
d. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
e. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai
melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut
dianggap defek tingkat tinggi.
f. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
- Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.
- Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus
dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara
berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
- Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas
pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan
dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.

BAB III
TINJAUAN KASUS

I. Pengkajian
Pengkajian Data Tanggal 28 Desember 2010 Pukul 14.00 WIB
1.1 Data Subyektif
1. Identitas
- Nama Pasien : Bayi S
- Umur : 2 jam
- Jenis kelamin : Perempuan
2. Identitas Orang Tua
Ibu Ayah
- Nama : Ny. R Tn. F
- Umur : 22 th 26 th
- Agama : Islam Islam
- Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Guru
- Alamat : Ds. D, Kec P, Kab P

3. Anamnese
a. Keluhan utama pada bayi
Petugas mengatakan bayi mengalami atresia ani dengan hasil pemeriksaan fisik setelah 2 jam
pertama setelah lahir tidak ditemukaan adanya lubang anus, serta perut bayi kembung
b. Riwayat obstetri
Riwayat kehamilan terakhir :
- TT : ibu mengatakan selama hamil mendapatkan imunisasi TT sebanyak 2 kali, imunisasi TT1
diberikan oleh bidan R sejak ibu diketahui positif hamil. Sedangkan imunisasi TT2 diberikan pada 4
minggu setelah mendapatkan imunisasi TT1
- Obat/jamu yang diminum : ibu mengatakan selama hamil hanya mengkonsumsi obat tablet Fe
sebanyak 90 tablet selama hamil sesuai anjuran bidan. Tidak mengkonsumsi obat dan jamu lain
- Triwulan I : ibu mengatakan pada kehamilan selama 3 bulan pertama melakukan 3 kali kunjungan di
BPS bidan R dengan keluhan mual dan muntah berlebihan selama 2 bulan pertama kehamilan.
- Triwulan II : ibu mengatakan pada kehamilan 4 bulan hingga 6 bulan melakukan 2 kali kunjungan di
BPS bidan R dengan tidak ada keluhan apapun.
- Triwulan III : ibu mengatakan pada usia kehamilan 7 bulan hingga 9 bulan melakukan 4 kali
kunjungan di BPS R dengan keluhan sering kencing.
c. Riwayat Persalinan
Tanggal 28 Desember 2010 pukul 08.00 WIB. Bayi lahir normal spontan belakang kepala, ditolong leh
bidan, lama persalinan kala I 7 jam, kala II 30 menit, kala III 5 menit, plasenta lahir lengkap, jenis
kelamin bayi perempuan tidak ada lilitan tali pusat, BB : 3200 gr, PB : 50 cm, 2 jam post partum
perdarahan 200 cc

1.2 Data Obyektif


b. Keadaan bayi
Nilai APGAR score 1/5/10, 20
No Aspek yang dinilai 1 5 10 20
1.
2.
3.
4.
5. Pernafasan
Denyut Jantung
Refleksi
Tonus otot
Warna kulit 2
2
2
2
22
2
2
2
22
2
2
2
22
2
2
1
2
Jumlah 10 10 10 9

BB lahir / sekarang : 3200 gr / 3200 gr


PB lahir / sekarang : 50 cm / 50 cm
LK lahir / sekarang : 34 cm / 34 cm
Keadaan sekarang : dengan atresia ani
Pernapasan : 45x / menit
Nadi : 140x / menit
Suhu : 36,7 C
Tonus otot : pada nilai AS 1
c. Keadaan umum
TTV :
- Pernapasan : 45x / menit
- Nadi : 140x / menit
- Suhu : 36,7 C
- BB : 3200 gr
- TB : 50 cm

d. Pola kebutuhan sehari-hari


1. Nutrisi : bayi belum sudah sedikit minum ASI
Masalah : tidak ada masalah pada menyusui
2. Istirahat dan tidur : bayi belum tidur selama 2 jam setelah lahir
3. Eliminasi : BAK : bayi 1 kali BAK
BAB : bayi belum BAB
Masalah : bayi mengalami atresia ani
4. Aktivitas : bayi melakukan dengan gerakan beberapa
gerakan halus
5. Personal higiens :
Mandi : bayi belum dimandikan semenjak lahir
Ganti baju : ganti baju setiap baju/kain basah
Perawatan mata : selama lahir baru diberikan profilaksis mata
Mulut : dibersihkan dengan kapas DTT
Hidung : dibersihkan dengan kapas DTT
Telinga : belum dilakukan perawatan
Perawatan kulit : belum dilakukan perawatan
Perawatan genetalia : dibersihkan dengan menggunakan kapas DTT
Mencuci rambut : belum dilakukan perawatan rambut
Perawatan tali pusat : dibalut dengan kasa steril
e. Pemeriksaan fisik
- Kepala
Inspeksi : penyebaran rambut rata, tidak ada kelainan bentuk kepala seperti makroshepal /
hidrosephalus, mikrosephalus, sephal, warna rambut hitam
Palpasi : pada ubun-ubun besar terdapat 4 sutura diantaranya S. Frontalis, S. Sagitalis, 2 S. Koronalis.
Pada ubun-ubun kecil terdapat 3 sutura diantaranya S. Lamboideus kanan & kiri dan S. Sagitalis, tidak
ada molase / penyimpangan kepala
- Muka
Inspeksi : bentuk muka bulat, tekstur kulit halus
- Mata
Inspeksi : kedudukan mata simetris, sklera ichterus, pupil bulat kecoklatan, tidak ada kelainan
kongenital pada mata, tidak ada perdarahan pada konjungtiva, refleks cahaya (+) ishokor.
Palpasi : refleks glabella (+)
- Telinga
Inspeksi : kedudukan antara telinga kanan dan telingan kiri simetris dan sejajar, daun telinga
terbentuk sempurna, telinga bersih, tidak ada serumen, refleks moro (+)
- Hidung
Inspeksi : septumnasi lurus, hidung bersih, lubang hidung kanan dan kiri simetris, pernapasan melalui
hidung
- Mulut dan gigi
Inspeksi : mulut bersih, bibir atas dan bibir bawah simetris, mukosa lembab, tidak ada kelainan pada
bibir seperti labioschisis dan labiopalatoschisis (pada palatum), lidah bersih
Palpasi : refleks rooting (+)
- Leher
Inspeksi : bentuk leher pendek, bersih
Palpasi : tidak ada pembesaran vena jugularis, teraba denyut nadi karotis, tidak ada pembesaran
kelenjar tyroid, tidak ada pembesaran kelenjar limfe, refleks tonik leher (+)
- Dada
Inspeksi : bentuk dada menonjol, kedudukan puting susu simetris, tampak denyut jantung, RR
45x/menit, tidak ada tarikan pada intercostalis
Palpasi : tidak ada benjolan pada area dada
Auskultasi : terdengar BJ1 Lup BJ2 Dup
Perkusi : suara paru-paru sonor
- Abdomen
Inspeksi : bentuk datar, tidak ada kelainan pada dinding perut seperti omfalokel, hernia
diafragmatika.
Perkusi : tympani (kembung)
- Tali pusat
Inspeksi : warna putih, tidak ada tanda-tanda infeksi
- Genetalia
Inspeksi : terdapat lubang uretra, terdapat lubang vagina, labia mayora sudah menutupi labia minora
- Anus
Inspeksi : anus tidak terbentuk sempurna
- Ekstremitas atas
Inspeksi : tidak ada kelainan pada jumlah jari pada tangan kanan dan kiri seperti sindaktil atau
polidaktil, refleks greps (+), nadi 140x/menit
- Ekstremitas bawah
Inspeksi : antara kaki kanan dan kiri simetris, tidak ada kelainan kongenital, tidak ada kelainan jumlah
jari antara kaki kanan dan kaki kiri seperti sindaktil dan polidaktil, refleks babinski (+)
- Punggung
Inspeksi : tidak ada tanda lahir, tidak terdapat spina bifida
Palpasi : refleks gallans (+)
f. Pemeriksaan refleks
- Refleks morrow : (+)
- Refleks rooting : (+)
- Refleks sucking : (+)
- Refleks tonik : (+)
- Refleks graps : (+)
- Refleks gallans : (+)
- Refleks babinski : (+)
g. Pengukuran antropometri
- Cirkumferensia :
o C. Fronto occipitalis : 34 cm
o C. Mento occipitalis : 35 cm
o C. Suboksipito- bregma : 32 cm
- Ukuran diameter
o D. Occipito Frontalis : 12 cm
o D. Mento occipito : 13,5 cm
o D. Suboccipito bregma: 9,5 cm
o D. Biparietalis : 9,25 cm
o D. Bitemporalis : 8 cm
- LIDA : 34 cm
- LIKA : 34 cm
h. Pemeriksaan penunjang
Belum dilakukan pemeriksaan penunjang

II. Interprestasi Data ( Tanggal 28 Desember 2010, Pukul : 14.15 WIB )


Diagnosa : Bayi baru lahir perempuan umur 2 jam dengan atresia ani
Data subyektif : Petugas mengatakan bayi mengalami atresia ani dengan hasil pemeriksaan fisik
setelah 2 jam pertama setelah lahir tidak ditemukaan adanya lubang anus

Data obyektif :
- TTV :
RR : 45 x/menit
Suhu : 36,7 C
Nadi : 140 x/menit
- Perut kembung
- Tidak ditemui adanya lubang anus

III. Identifikasi Masalah Potensial


Atresia ani

IV. Identifikasi Kebutuhan Segera


- Colok anus
- Lakukan rujukan dengan BAKSOKU

V. Perencanaan
Tanggal : 28 Desember 2010 Pukul : 14.25 WIB
Diagnosa : Bayi baru lahir perempuan umur 2 jam dengan atresia ani
Tujuan : Selama dilakukan asuhan kebidanan selama 3 jam setelah lahir, keadaan bayi tetap baik.
Kriteria hasil :
- RR : 30 - 60 kali/menit
- Suhu : 36,5 37,5 C
- Nadi : 120 - 160 x/menit
- Perut tympani
- Bayi memiliki organ anal yang lengkap

Intervensi :
- Bina hubungan saling percaya dengan keluarga klien
R/ Keluarga bisa bersikap kooperatif dengan bidan dalam melakukan tindakan asuhan kebidanan
yang akan diberikan pada bayinya
- Jelaskan kepada keluarga tentang kondisi anaknya
R/ Keluarga mengetahui dan memahami tentang kondisi patologis yang sedang dialami bayinya, dan
dapat mengambil keputusan asuhan yang baik yang dapat diberikan pada bayinya, terutama bila
dilakukan rujukan.
- Berikan dukungan emosional dan keyakinan pada ibu
R/ Ibu sebagai orang tua bisa besar hati dan tidak cemas dengan keadaan bayinya yang mengalami
atresia ani (kelainan pada anus/organ analnya)
- Jelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada keluarga pasien
R/ Keluarga mengetahui tindakan-tindakan asuhan kebidanan apa saja yang berikan oleh bidan untuk
menangani bayinya
- Tetap lakukaan asuhan pada bayi baru lahir dan kaji ulang indikasi keadaan bayi
R/ Bidan dapat memberi penilaian terhadap kondisi dan perkembangan yang dialami bayi, dan bayi
bisa mendapatkan asuhan atau penangan sesuai dengan kebutuhan
- Lakukan pemeriksaan colok anus
R/ Jika kelainan terjadi pada letak membran anal, dengan pemerikasaan ini jari yang dimasukkan ke
dalam anal bayi akan terjepit, dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan
mekonium atau tinja yang menyemprot dari anus
- Jangan berikan makanan apapun melalui mulut
R/ Bayi tidak mengalami inkontinen bowel akibat dari asupan makanan yang telah dicerna tidak
mampu dikeluarkan melalui proses eliminasi alvinya
- Tutup organ yang menonjol dengan kasa steril yang dibasahi dengan salin normal.
R/ Organ anal yang tidak terbentuk dengan normal terhindar dari benda asing yang dapat
menyebabkan terjadinya kontraindikasi dari kelainan tersebut
- Jaga bayi agar tetap hangat
R/ Pada waktu lahir, bayi belum mampu mengatur tetap suhu badannya, dan membutuhkan
pengaturan dari luar untuk membuatnya tetap hangat dan tidak menyebabkan hipotermi sesaat
setelah bayi lahir
- Lakukan persiapan untuk merujukan dan rujuk ke rumah sakit rujukan tersier atau Rumah Sakit
Khusus Bedah dengan BAKSOKU
R/ Karena atresia ani merupakan kelainan cacat kongenital yang mana diperlukan asuhan
penanganan medis untuk tindakan operatif selanjunya dalam perbaikan organ anal pada bayi

VI. Pelaksanaan ( Tanggal 28 Desember 2010, Pukul : 14.40 WIB )


Diagnosa : Bayi baru lahir perempuan umur 6 jam dengan atresia ani
Implementasi :
- Membina hubungan saling percaya dengan keluarga klien
- Menjelaskan kepada keluarga tentang kondisi anaknya
- Memberikan dukungan emosional dan keyakinan pada ibu
- Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada keluarga pasien
- Melakukaan asuhan pada bayi baru lahir dan kaji ulang indikasi keadaan bayi
o Melakukan penilaian (pemeriksaan fisik dan APGAR score)
o Pencegahan Infeksi,
pemberian neo K pada paha kiri bayi 0,5 1 mg IM
pemberian obat mata eritromisin 0.5 %
o Merawat tali pusat
Pemotongan tali pusat
Penalian tali pusat
Membungkus tali pusat dengan kasa steril

- Melakukan pemeriksaan colok anus


- Tidak memberikan makanan apapun melalui mulut
- Menutup organ yang menonjol dengan kasa steril yang dibasahi dengan salin normal.
- Menjaga bayi agar tetap hangat
o Keringkan bayi dengan seksama
o Selimuti bayi dengan selimut atau kain bersih dan hangat
o Selimuti bagian kepala bayi
o Jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru lahir
- Melakukan persiapan untuk merujukan dan rujuk ke rumah sakit rujukan tersier atau Rumah Sakit
Khusus Bedah dengan BAKSOKU

VII. Evaluasi
S : Ibu atau keluarga memahami tentang kondisi bayinya
O:
o KU : Lemah
o TTV :
- RR : 50 kali/menit
- Suhu : 36,6 C
- Nadi :140 x/menit
o Perut tympani
o Anus : tidak ditemui lubang anus ( pola pemeriksaan : dilihat apakah ada lubang atau tidak
P : Motivasi keluarga untuk melakukan rujukan
Lakukan rujukan dengan BAKSOKU

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Setelah meninjau kembali asuhan kebidanan yang sudah dilakukan dapat disimpulkan :
Diagnosa : Bayi baru lahir perempuan umur 6 jam dengan atresia ani
Implementasi :
- Membina hubungan saling percaya dengan keluarga klien
- Menjelaskan kepada keluarga tentang kondisi anaknya
- Memberikan dukungan emosional dan keyakinan pada ibu
- Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada keluarga pasien
- Melakukaan asuhan pada bayi baru lahir dan kaji ulang indikasi keadaan bayi
- Melakukan pemeriksaan colok anus
- Tidak memberikan makanan apapun melalui mulut
- Menutup organ yang menonjol dengan kasa steril yang dibasahi dengan salin normal.
- Menjaga bayi agar tetap hangat
- Melakukan persiapan untuk merujukan dan rujuk ke rumah sakit rujukan tersier atau Rumah Sakit
Khusus Bedah dengan BAKSOKU
Setelah dilakukan evaluasi asuhan kebidanan bahwa keluarga klien bersifat koperatif sehingga tidak
ada hambatan dalam melakukan tindakan asuhan kebidanan pada bayi dan menindaklanjutinya
dengan rujukan

4.2 Saran
4.2.1 Bagi petugas
- Membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan tentang cacat/ kelainan
kongenital pada bayi baru lahir dengan atresia ani
- Lebih komprehensif dalam melaksanakan asuhan kebidanan dan mampu memberikan pelayanan
kebidanan dengan menggunakan asuhan sesuai prosedure
- Dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
- Dapat saling kerja sama antara petugas kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan
4.2.2 Bagi ibu klien
- Dapat lebih kooperatif dengan petugas kesehatan
- Mendukung dan berperan aktif dalam asuhan kebidanan yang diberikan

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisike-3. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6. Jakarta : EGC.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri Kurnianianingsih (ed), Monica Ester
(Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.
Atresia Ani _ Ilmu Bedah_files/tracker.htm ( diunduh pada hari Kamis tanggal 17 Desember 2010,
pukul 14.15 WIB)

A. KONSEP MEDIK

DEFINISI

Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti
makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan normal.

Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar
(Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi,2001).
Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan
kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak
mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang
terjadi saat kehamilan.

Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila
tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

KLASIFIKASI

Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :

1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui
saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula
rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi.
maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.

2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar tinja. Pada
kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon,
memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut
menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :

a. Anomali rendah

Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter internal dan
eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius.

b. Anomali intermediet

Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal
berada pada posisi yang normal.

c. Anomali tinggi

Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan
dengan fistuls genitourinarius retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung
buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.

Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan
menurut jenis kelamin. Pada laki laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin,
atresia rectum, perineum datar dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari
orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis
menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin
jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin
mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita
memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus
dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi.

Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina,
fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar
dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel
vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya
minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat
direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan
antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna
sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi pada
pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm
dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II pada laki laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis
anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari
letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila
evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus,
sama dengan perempuan, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis
anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak
anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang
anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga
biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara

ETIOLOGI

Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan
anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan
embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot
dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai.
Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi
penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang
sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom
genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani.
Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan
sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang
memisahkannya

PATOFISIOLOGI

Malformasi anorektal terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional.Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian
belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakaal genitoury dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena
tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu dalam
perkembangan fekal. Kegagalan migarasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan
abnormalitas pada uretraa dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin
mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang.
Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya.

TANDA & GEJALA

Secara klinik pada bayi ditemukan tidak adanya mekonium yang keluar dalam waktu 24-48 jam
setelah kelahiran atau tidak tampak adanya lubang anus. Untuk mengetahui kelainan ini secara dini,
pada semua bayi baru lahir harus dilakukan pemasukan thermometer melalui anus.

Tindakan ini tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tetapi juga untuk mengetahui apakah
terdapat anus imperforata atau tidak. Bila anus terlihat normal dan terdapat penyumbatan yang
lebih tinggi dari perineum maka gejala akan timbul dalam 24-48 jam , berupa perut kembung,
muntah, tidak bisa buang air besar dan ada yang mengeluarkan tinja dari vagina atau ureter.

FAKTOR PREDISPOSISI

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti :

a. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung, trachea,
esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).

b. Kelainan sistem pencernaan.

c. Kelainan sistem pekemihan.

d. Kelainan tulang belakang

MANIFESTASI KLINIS

Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir

Tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula

Bila ada fistula pada perineum(mekoneum +) kemungkinan letak rendah

kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya
membran anal (Suriadi,2001).
bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran
abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)

Bayi muntahmuntah pada usia 2448 jam setelah lahir.

KOMPLIKASI

Semua pasien yang mempunyai malformasi anorectal dengan komorbiditas yang tidak jelas
mengancam hidup akan bertahan. Pada lesi letak tinggi, banyak anak mempunyai masalah
pengontrolan fungsi usus dan juga paling banyak menjadi konstipasi. Pada lesi letak rendah, anak
pada umumnya mempunyai control usus yang baik, tetapi masih dapat menjadi konstipasi.

Komplikasi operasi yang buruk berkesempatan menjadi kontinensia primer, walaupun akibat ini sulit
diukur. Reoperasi penting untuk mengurangi terjadinya kontinensia. Kira-kira 90% anak perempuan
dengan fistula vestibulum, 80% anak laki-laki dengan fistula ureterobulbar, 66% anak laki-laki dengan
fistula ureteroprostatic, dan hanya 15% anak laki-laki dengan fistula bladder-neck mempunyai
pergerakan usus yang baik. 76% anak dengan anus imperforata tanpa fistula mempunyai pergerakan
usus yang baik.

Selain itu, komplikasi lain yang dapat muncul yaitu :

Asidosis hiperkloremia

Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan

Komplikasi jangka pendek :

Eversi mukosa anal

Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)

Masalah atau kelambatan yang baerhubungan dengan toilet training

Inkontinensia (akibat stenosis anal atau impaksi)

Prolaps mukosa anorektal (menyebabkan inkontinensia dan rembesan persisten)

Fistula kambuhan (karena tegangan di area pembedahan dan infeksi).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

a. Pemeriksaan radiologis. Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.


b. Sinar X terhadap abdomen. Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.

c. Ultrasound terhadap abdomen. Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.

d. CT Scan. Digunakan untuk menentukan lesi.

e. Pyelografi intra vena. Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter

f. Pemeriksaan fisik rectum. Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.

g. Rontgenogram abdomen dan pelvis. Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula
yang berhubungan dengan traktus urinarius.

PENATALAKSANAAN

a. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit maformasi anorektal ada dua macam
yaitu dengan tindakan sementara dan tindakan definitive, sebagai berikut:

1.Tindakan Sementara

a.Tindakan spontan tergantung tinggi rendahnya atresia. Anak segera dipuasakan untuk
pembedahan. Bila diduga ada malformasi rektum, bayi harus segera dikirim ke ahli bedah yaitu
dilakukan kolostomi transversum akut. Ada 2 tempat yang kolostomi yang dianjurkan dipakai pada
neonatus dan bayi yaitu transversokolostomi dan sigmoidkolostomi. Khusus untuk defek tipe kloaka
pada perempuan selain kolostomi juga dilakukan vaginostomi dan diversi urine jika perlu (setelah
anak lebih besar 1 1,5 tahun).

b.Pada malformasi anus laki-laki tipe covered anal dilakukan insisi/ diiris hanya pada garis hitam di
kulitnya, kemudian diperlebar perlahan-lahan dan apabila ada lubang dilanjutkan dengan kelingkin
yang dilapisi vaselin didorong masuk sampai teraba/ menonjol ujung rektum kemudian ujung rektum
di insisi tanpa dijahit. Pada defek letak rendah langsung dilakukan terapi definitif yaitu anorektoplasti
posterior sagital (PSARP), sisanya dilakukan kolostomi sementara.

2.Tindakan Definitif

a.Pembedahan definitif ini dimaksudkan untuk menghilangkan obstruksi dan mempertahankan


kontak kontinensi. Untuk malformasi rectum setelah bayi berumur 6 bulan dilakukan ano-rekto-
vagina-uretroplasti posterior sagital (PSAVURP).
b.Pada malformasi anus tindakan koreksi lebih lanjut tergantung pada defek ;
1) Pada malformasi anus yang tidak ada fistel tetapi tampak ada anal dimple dilakukan insisi dianal
dimple melalui tengah sfingter ani eksternus.
2) Jika fistel ano uretralis terapi anal dimple tidak boleh langsung ditembus tapi lebih dulu fistel ano
uretralis tersbeut diikat. Bila tidak bisa kasus dianggap dan diperlakukan sebagai kasus malformasi
rektum.

c.Pada agenesis anorektal pada kelainana tinggi setelah bayi berat badan mencapai 10 kg tersebut
harus diperbaiki dengan operasi sakroperineal atau abdomino perineal dimana kolon distal ditarik ke
aneterior ke muskulus puborektalis dan dijahitkan ke perinuem. Pada anomali ini, sfingter ani
eksternus tidak memadai dan tidak ada sfingter internus, sehingga kontinensi fekal tergantung pada
fungsi muskulus pubo rektalis. Sebagai hasil dari anak dengan kelainan tinggi tanpa muskulatur atau
muskolatur yang buruk, kontinensia mungkin didapat secara lambat tetapi dengan pelatihan intensif
dengan menggunakan otot yang ada, pengencangan otot kemudian dengan levator plasti, nasihat
tentang diet dan memelihara "neorektum" tetap kosong, kemajuan dapat dicapai.
(Wong, 1999)

b. Penatalaksanaan Keperawatan

Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah pasien dengan tepat, sebab
pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan. Dan keberhasilan proses keperawatan
tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang difunakan penulis adalah model konseptual
keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang
meliputi :

Persepsi Kesehatan Pola Manajemen Kesehatan

Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.

Pola nutrisi Metabolik

Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani post kolostomi.
Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta dampak dari anestesi.

Pola Eliminasi

Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan dari
bahan bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena pada atresia ani
tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi
(Whaley & Wong,1996).

Pola Aktivitas dan Latihan

Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.


Pola Persepsi Kognitif

Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan
ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.

Pola Tidur dan Istirahat

Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi.

Konsep Diri dan Persepsi Diri

Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi perilaku
distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi (Doenges,1993).

Peran dan Pola Hubungan

Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa
dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran (Doenges,1993).

Pola Reproduktif dan Sexual

Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,1993).

Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi

Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah (Doenges,1993).

Pola Keyakinan dan Nilai

Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk dan
konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam memberikan motivasi dan
pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah (Mediana,1998).

B. KONSEP KEPERAWATAN

PENGKAJIAN

1. Pemeriksaan fisik terhadap daerah penutupan kolostomi:

- Keadaan luka: tanda kemerahan, pengeluaran cairan

- Adanya pembengkakan dan menutup sempurna

- Lakukan pengkajian kepatenan lubang anal pada bayi baru lahir


2. Pemeriksaan daerah rektum:

- Pengeluaran feses

- Observasi adanya pasase mekonium. Perhatikan bila mekonium tampak pada orifisium yang tidak
tepat.

- Observasi feses yang seperti karbon pada bayi yang lebih besar atau anak kecil yang mempunyai
riwayat kesulitan defekasi atau distensi abdomen

- Bantu dengan prosedur diagnostik mis : endoskopi, radiografi

3. Kecemasan

4. Nyeri

DIAGNOSA

Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan. intake tidak adekuat

Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen

Konstipasi berhubungan dengan gangguan pasase feses, feses lama dalam kolon dan rectum

Distres pernafasan berhubungan dengan distensi abdomen

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan colostomy

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya kolostomi

Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber informasi

INTERVENSI

1. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak adekuat

o Tujuan : Mempertahankan Berat Badan stabil / menunjukkan kemajuan peningkatan Berat Badan
mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal

o Intervensi :

Pertahankan potensi selang Naso-gastrik. Jangan mengembalikan posisi selang bila terjadi
perubahan posisi.

Rasional: Memberikan istirahat pada traktus GI. Selama fase pasca operasi akut sampai kembali
berfungsi normal

Berikan perawatan oral secara teratur

Rasional: Mencegah ketidaknyamanan karena mulut kering dan bibir pecah

Kolaborasi pemberian cairan IV,

Rasional: Memenuhi kebutuhan nutrisi sampai masukan oral dapat dimulai

Awasi pemeriksaan laboratorium. Misalnya Hb / Ht dan elektrolit.

Rasional: Indikator kebutuhan cairan / nutrisi dan keaktifan terapi dan terjadinya konstipasi.

2. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen

o Tujuan :

Menyatakan nyeri hilang

Menunjukkan rileks, mampu tidur, dan istirahat dengan tepat

o Intervensi:

Catat keluhan nyeri, durasi, dan intensitasn nyeri

Rasional: Membantu mendiagnosa etiologi perdarahan dan terjadinya komplikasi

Catat petunjuk nonverbal. Mis: gelisah, menolak untuk bergerak

Rasional: Bahasa tubuh / petunjuk non verbal dapat secara prikologis dan fisiologis dapat digunakan
sebagai petunjuk untuk mengidentifikasi masalah

Kaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan / menghilangkan nyeri

Rasional: Menunjukkan faktor pencetus dan pemberat dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi

Berikan tindakan nyaman, seperti pijat penggung atau ubah posisi

Rasional: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan perhatian, dan meningkatkan koping

Kolaborasi pemberian analgetik

Rasional: Memudahkan istirahat dan menurunkan rasa sakit


3. Konstipasi berhubungan dengan. gangguan pasase feses, feses lama dalam kolon dan rectum

o Tujuan :

Menormalkan fungsi usus

Mengeluarkan feses melalui anus

o Intervensi:

Kaji fungsi usus dan karakteristik tinja

Rasional: Memperoleh informasi tentang kondisi usus

Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi peristaltik usus

Rasional: Distensi dan hilangnya peristaltic usus menunjukkan fungsi defekasi hilang

Berikan enema jika diperlukan

Rasional: Mungkin perlu untuk menghilangkan distensi

4. Distres pernafasan berhubungan dengan distensi abdomen

o Tujuan: Pola nafas efektif, tidak ada gangguan pernafasan

o Intervensi:

Observasi frekuensi / kedalaman pernafasan

Rasional: Nafas dangkal, distress pernafasan, menahan nafas, dapat menyebabkan hipoventilasi

Dorong latihan napas dalam

Rasional: Meningkatkan ekspansi paru maksimal dan alat pembersihan jalan napas, sehingga
menurunkan resikoatelektasis

Berikan oksigen tambahan

Rasional: memaksimalkan sediaan O2 untuk pertukaran dan peningkatan kerja nafas

Tinggikan kepala tempat tidur 300

Rasional: Mendorong pengembangan diafragma / ekspansi paru optimal dan meminimalkan isi
abdomen pada rongga thorax
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan colostomy

o Tujuan : Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu dan bebas tanda infeksi

o Intervensi:

Observasi luka, catat karakteristik drainase

Rasional: Perdarahan pasca operasi paling sering terjadi selama 48 jam pertama, dimana infeksi
dapat terjadi kapan saja

Ganti balutan sesuai kebutuhan, gunakan teknik aseptik

Rasional: Sejumlah besar drainase serosa menuntut pergantian dengan sering untuk menurunkan
iritasi kulit dan potensial infeksi

Irigasi luka sesuai indikasi, gunakan cairan garam faali

Rasional: Diperlukan untuk mengobati inflamasi infeksi praap / post op

6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya kolostomi

o Tujuan:

Menyatakan penerimaan diri sesuai situasi

Menerima perubahan kedalam konsep diri

o Intervensi:

Dorong pasien/orang terdekat untuk mengungkapkan perasaannya


Rasional: Membantu pasien untuk menyadari perasaannya yang tidak biasa

Catat perilaku menarik diri. Peningkatan ketergantungan

Rasional: Dugaan masalah pada penilaian yang dapat memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih
kuat

Gunakan kesempatan pada pasien untuk menerima stoma dan berpartisipasi dan perawatan

Rasional: Ketergantungan pada perawatan diri membantu untuk memperbaiki kepercayaan diri

Berikan kesempatan pada anak dan orang terdekat untuk memandang stoma
Rasional: Membantu dalam menerima kenyataan
Jadwalkan aktivitas perawatan pada pasien

Rasional: Meningkatkan kontrol dan harga diri

Pertahankan pendekatan positif selama tindakan perawatan

Rasional: Membantu pasien menerima kondisinya dan perubahan pada tubuhnya

7. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber informasi

o Tujuan : Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi / proses penyakit, tindakan dan prognosis

o Intervensi:

Tentukan persepsi anak tentang penyakit

Rasional: Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadaran kebutuhan belajar individu

Kaji ulang obat, tujuan, frekuensi, dosis

Rasional: Meningkatkan pemahaman dan kerjasama

Tekankan pentingnya perawatan kulit pada orang tua

Rasional: Menurunkan penyebaran bakteri

IMPLEMENTASI

Seperti tahap lainnya dalam proses keperawatan fase pelaksanaan terdiri dari :

a. Validasi rencana keperawatan

Suatu tindakan untuk memberikan kebenaran. Tujuan validasi data adalah menekan serendah
mungkin terjadinya kesalahpahaman, salah persepsi. Karena adanya potensi manusia berbuat salah
dalam proses penilaian.

b. Dokumentasi rencana keperawatan

Agar rencana perawatan dapat berarti bagi semua pihak, maka harus mempunyai landasan kuat, dan
bermanfaat secara optimal. Perawat hendaknya mengadakan pertemuan dengan tim kesehatan lain
untuk membahas data, masalah, tujuan serta rencana tindakan.

c. Tindakan keperawatan
Meskipun perawat sudah mengembangkan suatu rencana keperawatan yang maksimal, kadang
timbul situasi yang bertentangan dengan tindakan yang direncanakan, maka kemampuan perawat
diuji untuk memodifikasi alat maupun situasi.

EVALUASI

Evaluasi adalah suatu kegiatan yang terus menerus dengan melibatkan klien, perawat dan anggota
tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan keehatan dan strategi evaluasi. Tujuan
dari evaluasi adalah menilai apakah tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Afhy, F. 2011. Askep Atresia Ani . (Online). (http:// www.guvenatasoy.com.art pen.html, diakses 20
Mei 2011)

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC

Dafis 2011. Kumpulan Artikel Ilmu Bedah. (Online). (http:// www. atresia-ani-anus-imperforata-
malformasi-anorektal-20110202.html, diakses 20 Mei 2011)

Doenges, Marilynn E., Moorhouse, Mary Frances & Geissler, Alice C. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.

Price, Sylvia A & Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai