2.1 Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu
‘a’ yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau nutrisi”.
Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama lain yaitu “anus
imperforata”.
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai
lubang keluar. (Walley, 1996)
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran
yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus
yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum. (Purwanto,
2001)
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal
anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi, 2001)
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2002)
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya lubang
atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2003)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan
(kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna
(abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi
pada masa kehamilan.
2.2 Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1
1) Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom
genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
4) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1
dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani
dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat
multigenik (Levitt M, 2007).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1) Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan
yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus
arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
2
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan
atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri
sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae,
Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and
Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).
2.3 Klasifikasi
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu
rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran
kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga
jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1
cm.
3
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul:
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)
2.5 Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
a) Eversi mukosa anus
b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet
training
e) Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f) Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g) Fistula kambuhan
2.6 Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian
belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang
4
merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena
adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada
kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam
agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan
usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat
dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran
pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang
anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika
urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada
letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a)
diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk berhati-
hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol
karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan lubang dubur/anus
bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai diagnosis awal adanya
atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui bayi menderita ani atresia
ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses yang tertimbun dapat mendesak
paru-paru bayi dan organ yang lain.
5
2. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap kelainan tipe I
dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan
tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara pada stenosis yang
berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra, dilatasi
Hegar, atau speculum hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat
melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan
beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah stenosis
melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat
dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose.
Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula,
adalah anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus
slama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator Hegar
selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang tua penderita dapat
memakai jari tangan di rumah sampai tepi anus lunak serta mudah
dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum uang buntu ke
lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan
melalui anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III
biasanya perlu dilakukan pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan.
Kolostomi bermanfaat untuk:
a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif
dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi dapat dilakukan pada
kolon transversum atau kolon sigmoideum. Beberapa metode
pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan adalah operasi
abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun, anorektoplasti sagital
posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode
Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa
dilakukan 10 hari setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh
orang tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking kemudian dengan
6
jari telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan definitif. Sedangkan
pada penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian
dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through seperti kasus pada
megakolon congenital.
Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah
infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.
7
2.9 Pathways
Kelainan kogenital
Gangguan Pertumbuhan
Fusi
Pembentukan anus dari
tonjolan embrionik
ATRESIA ANI
Mikroorganisme masuk
Reabsorbsi sisa Peningkatan Tekanan ke saluran kemih
metabolisme Intraabdominal
Dysuria
Keracunan Operasi Anoplasti
Resiko Infeksi
8
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Klien
b. Identitas Penanggung Jawab
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama:
Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar,
meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu:
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran
d. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/penyakit menurun sehingga
belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan:
Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi kejadian atresia ani
9
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan baik
pada orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang lain
secara mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon terhadap
adanya suatu masalah
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien lemah
b. Tanda-tanda vital
Nadi : 120 – 140 kali per menit
10
PB : normal
c. Data sistematik
1) Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah normal
Denyut nadi normal (120 – 140 kali per menit )
2) Sistem respirasi dan pernafasan
Klien tidak mengalami gangguan pernapasan
3) Sistem gastrointestinal
Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit
4) Sistem musculosceletal
Klien tidak mengalami gangguan sistem muskuloskeletal
5) Sistem integumen
Klien tidak mengalami gangguan sistem integumen
6) Sistem perkemihan
Terdapat mekonium di dalam urin.
11
Data Masalah Etiologi
DS: Ketidakseimbangan Kegagalan intake
Ibu klien mengatakan bahwa nutrisi kurang dari makanan (ASI)
ananknya sering muntah kebutuhan tubuh
DO:
Anak menangis, mual, perut
kembung, menolak pemberian
ASI
DO : Gangguan eliminasi Feses masuk ke
Feses keluar bersamaan dengan urine uretra (dysuria)
urine
DS : Cemas orang tua Kurangnya
Ibu klien mengatakan bahwa pengetahuan terkait
dirinya bingung melihat kondisi penyakit anak
sang anak
DO: Kerusakan Integritas Pemasangan
Terpasang kolostomi pada klien Kulit Kolostomi
12
DS: Resiko Infeksi Trauma jaringan
Ibu klien mengatakan bahwa post operasi
luka pada anaknya memerah dan
seperti terjadi peradangan
DO:
Ada tanda-tanda radang pada
daerah post operasi antara lain:
rubor, dolor, calor, tumor
Pasien terlihat tidak nyaman
13
14
3.3 Perencanaan
Nama Klien : An. Mawar
No. Register : 0123
Ruang : Teratai
Intervensi
Tujuan dan NOC Tindakan Rasional TTD
No Dx. Kep
Keperawatan/NIC
1. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Memonitor mual dan 1. Mengetahui berapa
kurang dari kebutuhan b.d. keperawatan selama 1x24 jam muntah output yang keluar
ketidakmampuan diharapkan kebutuhan nutrisi 2. Kaji kemampuan klien 2. Memberikan makanan
mencerna makanan klien terpenuhi dengan kriteria untuk mendapatkan sesuai kemampuan
hasil: nutrisi yang dibutuhkan (oral atau NGT)
Mampu 3. Memonitor status gizi 3. Mengetahui status gizi
mengidentifikasikan 4. Kolaborasi dengan dan meminimali-sir
kebutuhan nutrisi (4) dokter malnutrisi
Tidak ada tanda-tanda 4. Terkait pemasangan
malnutrisi (4) NGT
2 Gangguan eliminasi urine Setelah dilakukan asuhan 1. Memantau tanda-tanda 1. Mengetahui tingkat
b.d. obstruksi anatomik keperawatan selama 1x24 jam vital dan tingkat distensi distensi kandung kemih
(atresia ani), dysuria diharapkan gangguan kandung kemih dengan klien
elimnasi urine dapat teratasi palpasi dan perkusi 2. Mengetahui jumlah
kriteria hasil: 2. Periksa dan timbang output (urine) dan ada
Kandung kemih pasien popok klien tidaknya feses yang
kosong secara penuh (4) 3. Melakukan penilaian bercampur
Intake cairan dalam pada fungsi kognitif 3. Memastikan apakah
rentang normal (4) 4. saluran kemih normal
Bebas dari ISK (4)
3 Kecemasan orang tua Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji status mental dan 1. Derajat ansietas akan
berhubungan dengan keperawatan 1x24 jam diharapkan tingkat ansietas dari dipengaruhi bagaimana
rasa cemas orangtua dapat hilang informasi tersebut diterima.
kurang pengetahuan klien dan keluarga.
atau berkurang. 2. Menjadi pendengar yang
tentang penyakit dan 2. Dengarkan dengan
Kriteria Hasil: baik dapat mengurangi rasa
prosedur perawatan penuh perhatikan
1.) Ansietas berkurang cemas orangtua
2.) Ibu klien tidak gelisah 3. Jelaskan dan persiapkan 3. Membuat orang tua lebih
untuk tindakan prosedur mengerti keadaan anaknya
sebelum dilakukan 4. Dapat meringankan
operasi. ansietas terutama ketika
4. Beri kesempatan klien tindakan operasi tersebut
untuk mengungkapkan dilakukan.
isi pikiran dan bertanya. 5. Mengungkapkan rasa
5. Ciptakan lingkungan takut dan bertanya secara
yang tenang dan terbuka dimana rasa
nyaman. takut dapat ditujukan.
6. Lingkungan nyaman
dapat mengurangi cemas
4 Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan asuhan 1. Hindari kerutan pada 1. Untuk mencegah
b.d. pemasangan keperawatan selama 1x24 jam tempat tidur perlukaan pada kulit
kolostomi diharapkan kerusakan 2. Jaga kebersihan kulit agar 2. Untuk menjaga ketahanan
integritas kulit dapat tetap bersih dan kering kulit
berkurang kriteria hasil: 3. Monitor kulit akan adanya 3. Untuk mengetahui adanya
Integritas kullit yang kemerahan tanda kerusakan jaringan
Perfusi jaringan baik (3) 5. Monitor status nutrisi klien kelembaban kulit
Menunjukan pemahaman 5. Untuk menjaga
dalam proses perbaikan keadekuatan nutrisi guna
terjadinya cedera
berulang (4)
5 Nyeri akut b.d trauma Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi reaksi 1. Untuk mengetahui
jaringan (post operasi) keperawatan selama 1x24 jam nonverbal dari bagian mana yang nyeri
diharapkan nyeri akut dapat ketidaknyamanan klien 2. Dengan dukungan orang
berkurang kriteria hasil: 2. Bantu klien dan keluarga tua disekitar klien bisa
Klien tampak nyaman untuk mencari dan mengurangi nyeri
dan tenang (4) menemukan dukungan 3. Lingkungan yang
3. Kontrol lingkungan yang nyaman dapat
dapat memengaruhi mengurangi rasa nyeri
nyeri 4. Analgesik dapat
4. Kolaborasi dengan mengurangi nyeri
dokter terkait pemberian
analgesik
6 Inkontinensia defekasi b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Intruksikan keluarga 1. Untuk mengetahui
abnormalitas sfingter rektal keperawatan 1x24 jam untuk mencatat keluaran bentuk fisik feses yang
diharapkan pengeluaran feses keluar
defekasi terkontrol dengan 2. Jaga kebersihan baju dan 2. Mencegah terjadinya
kriteria hasil: tempat tidur resiko infeksi
Defekasi lunak, feses 3. Evaluasi status BAB 3. Mengetahui
berbentuk (4) secara rutin perkembangan
perubahan defekasi
7 Resiko infeksi b.d trauma Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda dan gejala 1. Untuk mengetahui tanda
jaringan, perawatan tidak keperawatan selama 1x24 jam infeksi sistemik dan lokal infeksi lebih dini
adekuat diharapkan klien bebas dari 2. Batasi pengunjung 2. Untuk menghindari
tanda-tanda infeksi dengan 3. Pertahankan teknik cairan kontaminasi dari
kriteria hasil: asepsis pada klien yang pengunjung
Klien bebas dari tanda beresiko 3. Untuk mencegah
dan gejala infeksi (4) 4. Inspeksi kondisi luka/insisi penyebab infeksi
batas normal (4) 5. Ajarkan keluarga klien kebersihan luka dan tanda
tentang tanda dan gejala infeksi
infeksi 5. Agar gejala infeksi dapat di
6. Laporkan kecurigaan infeksi deteksi lebih dini
6. Agar gejala infeksi dapat
segera teratasi
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital) dimana terjadi
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak rata
maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa kehamilan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Putusnya
saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur; (2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu atau 3 bulan; (3) Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan
embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang
terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan; (4) Berkaitan
dengan sindrom down.
Penanganan pada atresia ani tergantung bagaimana kondisi klien apabila
atresia ani terlalu tinggi maka dilakukan operasi anoplasti dan pemasangan
kolostomi sedangkan pada yang rendah dilakukan dilatasi rutin.
4.2 Saran
Atresia ani merupakan kelainan bawaan yang diderita oleh bayi.
Biasanya terjadi ketika organgenesis pada trisemester I. Sebagai perawat, kita
harus senantiasa untuk memingatkan kepada ibu untuk selalu berpola hidup
sehat, menjaga pola makan, dan memeriksakan masalah kehamilan kepada
ahli kesehatan. Dan ketika bayi lahir dalam keadaan atresia ani, maka perawat
harus dapat melakukan asuhan keparatan sebagaimana mestinya agar dapat
mengatasi masalah yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/29526794/Askep_Atresia_Ani_doc