Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PENERAPAN ASKEP PADA ANAK DENGAN GANGGUAN SISTEM


DARAH,IMUNITAS & SISTEM NEOROLOGI

(KEJANG DEMAM)

Disusun Oleh :

KELOMPOK 4

Dewi Kusuma Wardani P07220219085

Florentina Theresia Rinny P07220219090

Liga Eltalia P07220219100

Said Ahmad Farid Rahman P07220419018

Zumrotus Sholikah P07220219124

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES KALTIM

PRODI PENDIDIKAN NERS

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Makalah yang berjudul “Penerapan
Askep Pada Anak Dengan Gangguan Sistem Darah,Imunitas & Sistem Neurologi” ini, disusun
sebagai salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Ns.Andi Lis AG.,S.Kep.,M.Kep.Yang
telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini serta berbagai sumber referensi
dan anggota yang ikut membantu baik langsung maupun tidak langsung.

Setelah mempelajari makalah ini, diharapkan mahasiswa keperawatan dapat memahami


dan dapat menerapkan konsep yang telah dijelaskan dalam makalah ini. Kami menyadari bahwa
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharap kritik dan saran
dari berbagai pihak yang bersifat membangun sehingga makalah ini akan sempurna.

Samarinda,6 Maret 2021

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................ i


Daftar Isi ............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN KONSEP
A. Definisi ......................................................................................................... 3
B. Etiologi ......................................................................................................... 3
C. Anatomi Fisiologi ................................................................................................... 4
D. Patoofisiologi ......................................................................................................... 16
E. Manifestasi Klinis ................................................................................................... 16
F. Komplikasi ......................................................................................................... 18
G. Uji Laboratorium dan Diagnostik ........................................................................... 18
H. Penatalaksanaan Medis ........................................................................................... 19
I. Klasifikasi ......................................................................................................... 20
J. Pencegahan ......................................................................................................... 20
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian ......................................................................................................... 22
B. Diagnosa Keperawatan ........................................................................................... 24
C. Intervensi Keperawatan .......................................................................................... 24
D. Evaluasi ......................................................................................................... 27
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 28
B. Saran ....................................................................................................................... 28
Daftar Pustaka .................................................................................................................. 29

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Temperatur tubuh normal adalah antara 36,0–37,7°C di axilla. Peningkatan temperatur
tubuh ini diinduksi oleh pusat termoregulator di hipotalamus sebagai respons terhadap
perubahan tertentu. Demam didefinisikan sebagai peningkatan suhu tubuh menjadi
>38,0°C.Kejang demam merupakan kejang yang terjadi karena rangsangan demam, tanpa
adanya proses infeksi intrakranial; terjadi pada sekitar 2-4% anak berusia 3 bulan sampai 5
tahun.
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam merupakan
kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan, yang berhubungan dengan penyakit
demam tanpa disebabkan infeksi sistem saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak
berhubungan dengan kejang simptomatik lainnya. Definisi ber-dasarkan konsensus
tatalaksana kejang demam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia/IDAI, kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Menurut Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) tahun 2016, kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berusia 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami peningkatan suhu tubuh di atas 38⁰C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun,yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Kejang demam biasanya merupakan episode tunggal dan tidak berbahaya. Kejadian kejang
demam merupakan jenis kejang tersering yang dialami oleh anak. Kejang demam dibagi
menjadi dua jenis yaitu kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam
kompleks (complex febrile seizure). Sebanyak 80% kasus kejang demam merupakan kejang
demam sederhana. Kasus kejang demam di Indonesia ditemukan pada 2-4% anak berusia 6
bulan hingga 5 tahun. Sekitar 30% pasien kejang demam mengalami kejadian kejang demam
berulang dan kemudian meningkat menjadi 50% jika kejang pertama terjadi pada usia kurang
dari satu tahun. Kejang demam paling sering ditemukan pada usia 1 hingga kurang dari 2
tahun. Selain itu, anak laki-laki dengan kejang demam lebih banyak (66%) dibandingkan
dengan anak perempuan (34%).

3
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Teori Asuhan Keperawatan Anak Kejang Demam?


2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Anak Kejang Demam?
3. Bagaimana Asuhan Keperawatan Kasus Pada Anak Kejang Demam?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan proses asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan kejang demam
2. Tujuan Khusus
Melaksanakan pengkajian keperawatan pada anak dengan Kejang Demam
Merumuskan diagnosa keperawatan pada anak dengan Kejang Demam
Merumuskan intervensi keperawatan pada anak dengan Kejang Demam
Mengimplementasikan asuhan keperawatan pada anak dengan Kejang Demam
Mengevaluasi dan mendokumentasikan asuhan keperawatan pada anak dengan Kejang
Demam

4
BAB II
PEMBAHASAN TEORI ASKEP ANAK
(KEJANG DEMAM)
A. DEFINISI
Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari
38,40°c tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak
berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya (IDAI, 2009). Kejang demam
dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks (Schwartz, 2005). Di Asia sekitar 70% - 90% dari seluruh kejang
demam merupakan kejang demam sederhana dan sisanya merupakan kejang demam
kompleks (Karemzadeh, 2008).
Kejang demam adalah kejang yang timbul pada saat bayi atau anak mengalami
demam akibat proses diluar intrakranial tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang perlu
diwaspadai karena dapat terjadi berulang dan dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak
(Tikoalu J.R, 2009). pengertian diatas penulis menyimpulkan Kejang demam adalah
kejadian pada bayi atau anak yang mengalami peningkatan suhu tubuh diatas rentang
normal yaitu ≥ 38,8°C dan disertai dengan kejang

B. ETIOLOGI

Infeksi ekstrakranial , misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas


Menurut Mansjoer, dkk (2000: 434) Lumban Tobing (1995: 18-19) dan Whaley and
Wong (1995: 1929)
1. Demam itu sendiri
Demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang tidak selalu timbul pada suhu yang
tinggi.
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme
3. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak diketahui atau
enselofati toksik sepintas.
Menurut staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI (1985: 50), faktor presipitasi
kejang demam: cenderung timbul 24 jam pertama pada waktu sakit demam atau dimana
demam mendadak tinggi karena infeksi pernafasan bagian atas. Demam lebih sering
disebabkan oleh virus daripada bakteria.

5
C. ATANOMI FISIOLOGI

Sistem saraf manusia adalah suatu jalinan-jalinan saraf yang kompleks, sangat
khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistem saraf mengkoordinasi,
menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya.
A. Otak
Otak dibagi 2 yaitu otak besar (serebrum) dan otak kecil (serebelum). Otak besar
terdiri dari lobus frontalis, lobus parientalis, lobus oksipitalis dan lobus temporalis.
Permukaan otak bergelombang dan berlekuk-lekuk membentuk seperti sebuah lekukan
yang disebut girus.
a. Otak besar (serebrum)
Otak besar merupakan pusat dari :
a). Motorik : impuls yang diterima diteruskan oleh sel-sel saraf kemudian menuju ke
pusat kontraksi otot
b). Sensorik : setiap impuls sensorik dihantarkan melalui akson sel-sel saraf yang
selanjutnya akan mencapai otak antara lain ke korteks serebri.
c). Refleks : berbagai kegiatan refleks berpusat di otak dan batang otak sebagian lain
dibagian medulla spinalis.
d). Kesadaran : bagian batang otak yang disebut formasio retikularis bersama bagian lain
dari korteks serebri menjadi pusat kesadaran utama
e). Fungsi luhur : pusat berfikir, berbicara, berhitung dan lain-lain.
b. Otak Kecil (Serebelum)
Otak kecil yang merupakan pusat keseimbangan dan koordinasi gerakan.Pada daerah
serebelum terdapat sirkulus willisi, pada dasar otak disekitar kelenjar hipofisis, sebuah
lingkaran arteri terbentuk diantara rangkaian arteri carotis interna dan vertebral, lingkaran
inilah yang disebut sirkulus willisi yang dibentuk dari cabang-cabang arteri carotis
interna, anterior dan arteri serebral bagian tengah dan arteri penghubung anterior dan
posterior. Arteri pada sirkulus willisi memberi alternative pada aliran darah jika salah
satu aliran darah arteri mayor tersumbat.
B. Cairan Serebrospinal
Merupakan cairan yang bersih dan tidak berwarna dengan berat jenis 1,007
diproduksi didalam ventrikel dan bersirkulasi disekitar otak dan medulla spinalis melalui
sistem ventrikular. Cairan Serebrospinal atau Liquor Cerebro Spinalis (LCS) diproduksi
di pleksus koroid pada ventrikel lateral ketiga dan keempat, secara organik dan non
organik LCS sama dengan plasma tetapi mempunyai perbedaan konsentrasi. LCS
mengandung protein, glukosa dan klorida, serta immunoglobulin.Secara normal LCS

6
hanya mengandung sel darah putih sedikit dan tidak mengandung sel darah merah.Cairan
LCS didalam tubuh diserap oleh villiarakhnoid.

C. Medula Spinalis
Merupakan pusat refleks-refleks yang ada disana
Penerus sensorik ke otak sekaligus tempat masuknya saraf sensorik
Penerus impuls motorik dari otak ke saraf motorik
Pusat pola gerakan sederhana yang telah lama dipelajari contoh melangkah.
D. Saraf Somatik
Merupakan saraf tepi berupa saraf sensorik dari perifer ke pusat dan saraf motorik dari
pusat ke perifer. Berdasarkan tempat keluarnya dibagi menjadi saraf otak dan saraf
spinal.
E. Saraf Spinal
Dari medulla spinalis keluar pasangan saraf kiri dan kanan vertebra :
Saraf servikal 8 pasang
Saraf torakal 12 pasang
Saraf lumbal 5 pasang
Saraf sacrum/sacral 5 pasang
Saraf koksigeal 1 pasang
Saraf spinal mengandung saraf sensorik dan motorik, serat sensorik masuk medula
spinalis melalui akar belakang dan serat motorik keluar dari medula spinalis melalui akar
depan kemudian bersatu membentuk saraf spinal. Saraf-saraf ini sebagian berkelompok
membentuk pleksus (anyaman) dan terbentuklah berbagai saraf (nervus) seperti saraf
iskiadikus untuk sensorik dan motorik daerah tungkai bawah. Daerah torakal tidak
membentuk anyaman tetapi masing-masing lurusdiantara tulang kosta (nervus inter
kostalis). Umumnya didalam nervus ini juga berisi serat autonom, terutama serat simpatis
yang menuju ke pembuluh darah untuk daerah yang sesuai. Serat saraf dari pusat di
korteks serebri sampai ke perifer terjadi penyeberang (kontra lateral) yaitu yang berada di
kiri menyeberang ke kanan, begitu pula sebaliknya. Jadi apabila terjadi kerusakan di
pusat motorik kiri maka yang mengalami gangguan anggota gerak yang sebelah kanan.
F. Saraf Otonom
Sistem saraf ini mempunyai kemampuan kerja otonom, seperti jantung, paru, serta alat
pencernaan. Sistem otonom dipengaruhi saraf simpatis dan parasimpatis.

7
Peningkatan aktifitas simpatis memperlihatkan :
Kesiagaan meningkat
Denyut jantung meningkat
Pernafasan meningkat
Tonus otot-otot meningkat
Gerakan saluran cerna menurun
Metabolisme tubuh meningkat
Saraf simpatis ini menyiapkan individu untuk bertempur atau lari, semua itu tampak pada
manusia apabila menghadapi masalah, bekerja, olahraga, cemas, dan lain-lain.
Peningkatan aktifitas parasimpatis memperlihatkan :
Kesiagaan menurun
Denyut jantung melambat
Pernafasan tenang
Tonus otot-otot menurun
Gerakan saluran cerna meningkat
Metabolisme tubuh menurun
G. Saraf kranial :
1. Saraf Olfaktorius
Sistem olfaktorius dimulai dengan sisi yang menerima rangsangan olfaktorius. Sistem ini
terbagi dari bagian berikut : mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila
olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf
sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan
menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius,
dari sini traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal
bagian medial sisi yang sama.
Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang impulsnya mencapai
korteks tanpa dirilei disalurkan di talamus. Bau-bauan yang dapat merangsang timbulnya
nafsu makan dan induksi salivasi serta bau busuk yang dapat menimbulkan rasa mual dan
muntah menunjukkan bahwa sistem ini ada kaitannya dengan emosi.
Serabut utama yang menghubungkan sistem penciuman dengan area otonom adalah
medial forebrain bundle dan stria medularis talamus. Emosi yang menyertai rangsangan
olfaktorius mungkin berkaitan ke serat yang berhubungan dengan talamus, hipotalamus
dan sistem limbik.

8
2. Saraf Optikus
Saraf optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di retina.Serabut-serabut
saraf ini, ini melewati foramen optikum di dekat arteri optalmika dan bergabung dengan
saraf dari sisi lainnya pada dasar otak untuk membentuk kiasma optikum. Orientasi
spasial serabut-serabut dari berbagai bagian fundus maih utuh sehingga serabut-serabut
dari bagian bawah retina ditemukan pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya.
Serabut-serabut dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina) menyilang
kiasma, sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal tidak menyilang. Serabut-
serabut untuk indeks cahaya yang berasal dari kiasma optikum berakhir di kolikulus
superior, dimana terjadi hubungan dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa serabut
yang meninggalkan kiasma berhubungan dengan penglihatan dan berjalan didalam trakus
optikus menuju korpus genikulatum lateralis.
Dari sini serabut-serabut yang berasal dari radiasio optika melewati bagian posterior
kapsula interna dan berakhir dikorteks visual lobus oksipital. Dalam perjalanannya
serabut-serabut tersebut memisahkan diri sehingga serabut-serabut untuk kuadran bawah
melalui lobus parietal sedangkan untuk kuadran atas melalui lobus temporal. Akibat dari
dekusasio serabut-serabut tersebut pada kiasma optikum serabut-serabut yang berasal dari
lapangan penglihatan kiri berakhir di lobus oksipital kanan dan sebaliknya.
3. Saraf Okulomotorius
Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia grisea periakuaduktal
(Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea (Nukleus otonom).
Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-otot rektus medialis, superior,
dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator palpebra superior. Nukleus otonom atau
nukleus Edinger-westhpal yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata
inferior yaitu spingter pupil dan otot siliaris.

4. Saraf Troklearis
Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan substansia grisea
periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-
satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak.Saraf troklearis
mempersarafi otot oblikus superior untuk menggerakkan mata bawah, kedalam dan
abduksi dalam derajat kecil.
5. Saraf Trigeminus
Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut-
serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis.
Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yaitu saraf
oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit,
dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa

9
kranii anterior dan tengah bagian anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian
membran timpani.
6. Saraf Abdusens
Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat
medula oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf abdusens mempersarafi
otot rektus lateralis.
7. Saraf Fasialis
Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik fungsi motorik berasal dari
Nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari tegmentum pontin bawah
dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari Nukleus sensorik yang muncul
bersama nukleus motorik dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam
kanalis akustikus interna.
Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot
orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot
stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar
persepsi pengecapan bagian anterior lidah.
8. Saraf Vestibulokoklearis
Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang
mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengndung serabut-serabut aferen yang
mengurusi keseimbangan.
Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan berjalan menuju inti
koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan
kemudian menuju girus superior lobus temporalis.
9. Saraf Glosofaringeus
Saraf glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada waktu
meninggalkan kranium melalui foramen tersebut, saraf glosofaringeus mempunyai dua
ganglion, yaitu gonglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah
melewati foramen, saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna
ke otot stilofaringeus. Diantara otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah
dan mempersarafi mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah.
10. Saraf Vagus
Saraf Vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau jugulare dan
ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah foramen ugularis, saraf
vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari
dinding usus, jantung dan paru-paru.

10
11. Saraf Asesorius
Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis.Radiks kranialis adalah akson
dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari saraf vagus. Saraf
aksesorius adalah saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus
berfungsi memutar kepala ke samping dan otot trapezius memutar skapula bila lengan
diangkat ke atas.
12. Saraf Hipoglosus
Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi garis tengah dan
depan ventrik el ke empat dimana semua menghasilkan trigonum hipoglosus. Saraf
hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah dan mempersarafi otot lidah yaitu otot
stiloglosus, hipoglosus dan genioglosus.
H. Aktivitas Saraf
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks
hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
= Tidak ada respon
= Hypoactive/penurunan respon, kelemahan (+)
= Normal (++)
= Lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)
= Hyperaktif, dengan klonus (++++)
I. Refleks-refleks pada sistem persyarafan
a. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat keatas sampai fleksi kurang lebih 30°.
Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks
hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu, ekstensi dari lutut.
b. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90°, supinasi dan lengan bawah ditopang
pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon, biceps (diatas
lipatan siku) kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian
dengan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi
pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
c. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900, tendon triceps diketok dengan refleks
hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon)

11
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan
dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau
mungkin ada klonus yang sementara.
d. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang
diperiksa bisa diletakkan/disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral. Tendon achilles
dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.
e. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores
seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah yang digores.
f. Refleks babinski
Merupakan refleks yang paling penting. Refleks ini hanya dijumpai pada penyakit traktus
kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki
dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon
babinski timbul bila ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya
tersebar.Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.
J. Pemeriksaan Khusus Sistem Persarafan
Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan
pemeriksaan :
a. Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel
pada dada berarti kaku kuduk positif (+).
b. Tanda brudzinski I
Letakan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien untuk
mencegah badab tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan dedada secara pasif.
Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan
sendi lutut.
c. Tanda brudzinski II
Tanda brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggung secara pasif
akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.
d. Tanda kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.
Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 135° terhadap tungkai atas. Kernig + bila
ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan

12
e. Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang m.
Ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
a). Kejang pada posisi Dekortikasi (Decorticate posturing), terjadi jika ada lesi pada
traktus corticospinal. Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua
pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan memutar kedalam dan
kaki plantar fleksi.
b).Kejang pada posisi Deserebrasi (Decerebrate posturing), terjadi jika ada lesi pada
midbrain, pons atau diencephalon.
c).Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi, ekstensi dan menutup
kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki plantar fleksi.

D. PATOFISIOLOGI

Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1º C akan menyebabkan kenaikan


kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat sebanyak 20%.
Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dari membran sel
neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, akibatnya terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan muatan
listrik ini dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung pada tinggi atau rendahnya ambang kejang seseorang anak pada
kenaikan suhu tubuhnya. Kebiasaannya, kejadian kejang pada suhu 38ºC, anak tersebut
mempunyai ambang kejang yang rendah, sedangkan pada suhu 40º C atau lebih anak
tersebut mempunyai ambang kejang yang tinggi. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah
(Latief et al., 2007).

13
E. MANIFESTASI KLINIS

1. Kejang parsial (fokal, lokal)


a. Kejang parsial sederhana :
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
a). Tanda-tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tubuh; umumnya
gerakan setiap kejang sama.
b). Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
c). Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan
jatuh dari udara, parestesia.
d). Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
b. Kejang parsial kompleks
a) Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial
simpleks
b) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap–ngecapkan
bibir, mngunyah, gerakan menongkel yang berulang–ulang pada tangan dan
gerakan tangan lainnya.
c) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku

2. Kejang umum (konvulsi atau non konvulsi)


a. Kejang absens
a) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
b) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15
detik
c) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
a) Kedutan–kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi
secara mendadak.
b) Sering terlihat pada orang sehat selama tidur tetapi bila patologik berupa
kedutan kedutan sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
c) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok

14
d) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
a) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot
ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
b) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
c) Saat tonik diikuti klonik pada ekstremitas atas dan bawah.
d) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
a) Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata
turun, kepala menunduk, atau jatuh ke tanah.
b) Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

F. KOMPLIKASI
a. Aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental

G. UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK


- Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari
kejang.
- Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
- Magnetic Resonance Imaging (MRI) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah–daerah
otak yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT
- Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau aliran
darah dalam ota
Uji laboratorium
a. Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
15
e. AGD
f. Kadar kalsium darah
g. Kadar natrium darah
h. Kadar magnesium darah

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Memberantas kejang secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan
kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan
ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui
intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
b. Pengobatan penunjang
Sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan perlunya pengobatan
penunjang
a) Semua pakaian ketat dibuka
b) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
c) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen, bila
perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
d) Penhisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
c. Pengobatan rumat
Profilaksis intermiten
Untuk mencegah kejang berulang, diberikan obat campuran anti konvulsan dan
antipietika. Profilaksis ini diberikan sampai kemungkinan sangat kecil anak
mendapat kejang demam sederhana yaitu kira-kira sampai anak umur 4 tahun.
d. Profilaksis jangka panjang
Diberikan pada keadaan
a). Epilepsi yang diprovokasi oleh demam
b). Kejang demam yang mempunyai ciri :

16
1. Terdapat gangguan perkembangan saraf seperti serebral palsi, retardasi
perkembangan dan mikrosefali
2. Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau diikuti kelainan
saraf yang sementara atau menetap
3. Riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
4. Kejang demam pada bayi berumur dibawah usia 1 bulan
5. Mencari dan mengobati penyebab

I. KLASIFIKASI
Menurut Ngastiyah ( 1997: 231), klasikfikasi kejang demam adalah

1) Kejang demam sederhana


yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum. Adapun pedoman
untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat diketahui melalui criteria
Livingstone, yaitu :

 umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun


 kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
 Kejang bersifat umum
 Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
 Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kjang normal
 Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukan kelainan.
 Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2) Kejang kompleks
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari ketujuh criteria
Livingstone. Menurut Mansyur ( 2000: 434) biasanya dari kejang kompleks
diandai dengan kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multiple (
lebih dari 1 kali dalam 24jam). Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai
kelainan neurology atau riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat
keluarga.

17
J. PENCEGAHAN
Menurut Ngastiyah ( 1997: 236-239) pencegahan difokuskan pada pencegahan
kekambuhan berulang dan penegahan segera saat kejang berlangsung.

Pencegahan berulang

i. Mengobati infeksi yang mendasari kejang


ii. Penkes tentang
iii. Tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter
iv. Tersedianya obat pengukur suhu dan catatan penggunaan termometer, cara
pengukuran suhu tubuh anak, serta keterangan batas-batas suhu normal
pada anak ( 36-37ºC)
v. Anak diberi obat anti piretik bila orang tua mengetahuinya pada saat
mulai demam dan jangan menunggu sampai meningkat
vi. Memberitahukan pada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah
mengalami kejang demam bila anak akan diimunisasi.
Mencegah cedera saat kejang berlangsung kegiatan ini meliputi :
i. Baringkan pasien pada tempat yang rata
ii. Kepala dimiringkan unutk menghindari aspirasi cairan tubuh
iii. Pertahankan lidah untuk tidak menutupi jalan napas
iv. Lepaskan pakaian yang ketat
v. Jangan melawan gerakan pasien guna menghindari cedera

18
BAB III
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
(KEJANG DEMAM)
A. PENGKAJIAN
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan kejang demam menurut Greenberg (1980 :
122 – 128)

1. Riwayat Keperawatan
a. Adanya riwayat kejang demam pada pasien dan keluarga
b. Adanya riwayat infeksi seperti saluran pernafasan atis, OMA, pneumonia,
gastroenteriks, Faringiks, brontrope, umoria, morbilivarisela dan campak.
c. Adanya riwayat peningkatan suhu tubuh
d. Adanya riwayat trauma kepala
2. Pengkajian fisik
a. Adanya peningkatan : suhu tubuh, nadi, dan pernafasan, kulit teraba hangat
b. Ditemukan adanya anoreksia, mual, muntah dan penurunan berat badan
c. Adanya kelemahan dan keletihan
d. Adanya kejang
e. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan kalium, jumlah
cairan cerebrospiral meningkat dan berwarna kuning
3. Riwayat Psikososial atau Perkembangan
a. Tingkat perkembangan anak terganggu
b. Adanya kekerasan penggunaan obat – obatan seperti obat penurun panas
c. Pengalaman tantang perawatan sesudah/ sebelum mengenai anaknya pada waktu
sakit.
4. Pengetahuan keluarga
a. Tingkatkan pengetahuan keluarga yang kurang

19
b. Keluarga kurang mengetahui tanda dan gejala kejang demam
c. Ketidakmampuan keluarga dalam mengontrol suhu tubuh
d. Keterbatasan menerima keadaan penyakitnya
Pengkajian neurologik :
1. Tanda – tanda vital
a.Suhu
b. Pernapasan
c.Denyut jantung
d. Tekanan darah
e.Tekanan nadi
2. Hasil pemeriksaan kepala
a.Fontanel : menonjol, rata, cekung
b. Lingkar kepala : di bawah 2 tahun
c.Bentuk Umum
3. Reaksi pupil
a.Ukuran
b. Reaksi terhadap cahaya
c.Kesamaan respon
4. Tingkat kesadaran
a.Kewaspadaan : respon terhadap panggilan
b. Iritabilitas
c.Letargi dan rasa mengantuk
d. Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
5. Afek
a.Alam perasaan
b. Labilitas
6. Aktivitas kejang
a.Jenis
b. Lamanya
7. Fungsi sensoris
a.Reaksi terhadap nyeri

20
b. Reaksi terhadap suhu
8. Refleks
a.Refleks tendo superfisial
b. Reflek patologi
9. Kemampuan intelektual
a.Kemampuan menulis dan menggambar
b. Kemampuan membaca

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doengoes, dkk (1999 : 876), Angram (1999 : 629 – 630) dan carpenito (2000 :
132), diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan kejang demam

1. Resiko tinggi terhadap cidera b.d aktivitas kejang


2. Hipertermi bd efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus
3. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif bd reduksi aliran darah ke otak
4. Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis, penatalaksanaan dan
kebutuhan pengobatan bd kurangnya informasi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
DX 1 : Resiko tinggi terhadap cidera b.d aktivitas kejang

Tujuan: NOC NIC


Setelah dilakukan Pengendalian Resiko Mencegah jatuh
tindakan keperawatan
a.Pengetahuan tentang a.identifikasi faktor
selama poroses
resiko kognitif atau psikis dari
keperawatan
b. Monitor pasien yang dapat
diharapkan resiko
lingkungan yang dapat menjadiakn potensial
cidera dapat di hindari
menjadi resiko jatuh dalam setiap
c.Monitor kemasan keadaan
personal b. identifikasi
d. Kembangkan mkarakteristik dari
strategi efektif lingkungan yang dapat

21
pengendalian resiko menjadikan potensial
e.Penggunaan sumber jatuh
daya masyarakat untuk c.monitor cara berjalan,
pengendalian resiko keseimbangan dan tingkat
Indkator skala : kelelahan dengan
ambulasi
1 = tidak adekuat
d. instruskan
2 = sedikit adekuat pada pasien untuk

3 = kadang-kadan adekuat memanggil asisten kalau


mau bergerak
4 = adekuat

5 = sangat adekuat

DX 2 : Hipertermi b.d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus

Tujuan: NOC NIC


Setelah dilakukan Themoregulation Temperatur regulation
tindakan keperawatan
a. Suhu tubuh dalam a.Monitor suhu minimal
suhu dalam rentang
rentang normal tiap 2 jam
norma
b. Nadi dan RR dalam b. Rencanakan monitor
rentang normal suhu secara kontinyu
c. Tidak ada perubahan c.Monitor tanda –tanda
warna kulit dan tidak hipertensi
warna kulit dan tidak d. Tingkatkan intake
pusing cairan dan nutrisi
Indicator skala e.Monitor nadi dan RR

1. : ekstrem
2 : berat
3 : sedang
4 : ringan

22
5 : tidak ada gangguan

DX 3 : Perfusi jaringan cerebral tidakefektif berhubungan dengan reduksi aliran darah ke


otak

Tujuan: NOC NIC


Setelah dilakukan Status sirkulasi NIC I: Monitor TTV:
tindakan keperawatan
a. TD sistolik dbn a.monitor TD, nadi, suhu,
selama proses
b. TD diastole dbn respirasi rate
keperawatan
c. Kekuatan nadi dbn b. catat
diharapkan suplai
d. Tekanan vena sentraldbn adanya fluktuasi TD
darah ke otak dapat
e. Rata- rata TD dbn c.monitor jumlah dan irama
kembali normal
Indicator skala : jantung
d. monit
1 = Ekstrem
or bunyi jantung
2 = Berat
e.monitor TD pada saat
3 = Sedang
klien berbarning, duduk,
4 = Ringan
berdiri
5 = tidak terganggu
NIC II: Status neurologia

a.monitor tingkat kesadran


b. monit
or tingkat orientasi
c.monitor status TTV
d. monit
or GCS

DX 4 : Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis, penatalaksanaan

dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi

23
Tujuan: NOC NIC
Setelah dilakukan Knowledge : diease proses Teaching : diease process
tindakan keperawatan
a. Keluarga menyatakan a.Berikan penilaian tentang
keluarga mengerti
pemahaman tentang penyakit pengetahuan
tentang kondisi pasien
penyakit kondisi pasien tentang proses
prognosis dan program penyakit yang spesifik
pengobatan b. Jelas
b. Keluarga mampu kan patofisiologi dari
melaksanakan prosedur penyakit dan bagaimana
yang dijelaskan secara hal ini berhubungan
benar dengan anatomi fisiologi
c. Keluarga mampu dengan cara yang tepat
menjelaskan kembali apa c.Gambarkan tanda dan
yang dijelaskan perawat/ gejala yang biasa muncul
tim kesehatan lainya pada penyakit, dengan
Indicator skala : cara yang tepat
d. Identi
1. Tidak pernah
fikasikan kemungkinan
dilakukan
dengan cara yang tepat
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan

D. EVALUASI

Dx Kriteria hasil Keterangan skala


1 a. Pengetahuan tentang resiko 1 = tidak adekuat
b. Monitor lingkungan yang dapat menjadi
2 = sedikit adekuat
resiko

24
c. Monitor kemasan personal 3 = kadang-kadan adekuat
d. Kembangkan strategi efektif pengendalian
4 = adekuat
resiko
e. Penggunaan sumber daya masyarakat untuk 5 = sangat adekuat

pengendalian resiko

2 a. Suhu tubuh dalam rentang normal 1. : ekstrem


b. Nadi dan RR dalam rentang normal 2 : berat
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak 3 : sedang
warna kulit dan tidak pusing 4 : ringan
5 : tidak ada gangguan
3 a. TD sistolik dbn 1 = Ekstrem
b. TD diastole dbn 2 = Berat
c. Kekuatan nadi dbn 3 = Sedang
d. Tekanan vena sentral dbn 4 = Ringan
e. Rata- rata TD dbn 5 = tidak terganggu
4 a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang 1. Tidak pernah
penyakit kondisi prognosis dan program dilakukan
pengobatan 2. Jarang dilakukan
b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur 3. Kadang dilakukan
yang dijelaskan secara benar 4. Sering dilakukan
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa
5. Selalu dilakukan
yang dijelaskan perawat/ tim kesehatan
lainya

25
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kejang demam adalah perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan
akibat kenaikan suhu dimana suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan
renjatan kejang yang biasanya terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5
tahun.
Data yang didapat dari pengkajian berupa ibu klien mengtakan ankanya
panas, tubuh klien teraba hangat, hasil pengukuran tanda-tanda vital klien yaitu
nadi : 125x/menit, suhu : 38,8°C, RR: 30x/menit, ibu klien mengatakan anaknya
tidak nafsu makan, klien mengatakan mulutnya pahit dan malas makan. Klien
makan hanya habis ¼ porsi karena klien tidak suka, klien lebih suka makan
pisang, kklien tampak lemah dan pucat, konjungtiva tampak anemis, BB Klien
turin 2 kg.
Diagnosa keperawtan yang muncul : a. Peningkatan suhu tubuh :
hipertermi berhubungan dengan proses infeksi. b. Perubahan pola nutrisi :
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang tidak
adekuat : adanya anoreksia. c. Resiko tinggi kejang berulang berhubungan
dengan hipertermi 75
Tindakan keperawatan yang telah dilakukan yaitu mengukur TTV,
memotivasi klien banyak minum, menimbang BB klien, memberi motivasi
danpendidikan kesehatan tentang nutrisi, membantu gosok gigi, dan mengajak
klien dalam aktivitas seperti terapi bermain.
Ketiga diagnosa pada An.S telah dilakukan tindakan keperawtan oleh
penulis dan semuanya telah teratsi, baik secra penuh maupun sebgaian.

B. SARAN
Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang manajemen
demam pada anak untuk mencegah kejang demam.
Anjurkan orang tua untuk melakukan manajemen anak demam untuk
mencegah terjadinya kejang demam

26
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif & Kusuma, (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan NANDA
Nic-Noc. Yogyakarta

Soetomenggolo TS. Kejang Demam. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting.


Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: BP IDAI; 1999.h.244-51.
Widodo DP. Kejang demam : apa yang perlu diwaspadai dalam penanganan demam pada
anak secara profesional? Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
XLVII. Jakarta. 2005.h.58-66.
Johnston MV. Seizures in childhood. Dalam: Behrman. RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia. WBSaunders Co.
2007.h.2457-71.
Arzimanoglou A, Guerrini R, Acicardi J, penyunting : Aicardi’s epilepsy in children. Edisi
ke-3. Philadelphia : Lippincott William dan Wilkins. 2004. h-220-34.
Lumbantobing, S, M. Kejang Demam (Febrile Convulsion). Cetakan Ketiga. Balai Penerbit.
2004. FKUI: Jakarta.
Tjipta Bahtera. Faktor risiko kejang demam berulang sebagai predictor bangkitan ulang
kejang demam. Kajian mutasi gen pintu kanal voltase ion Natrium. Semarang 2007

27

Anda mungkin juga menyukai