Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan kasihnya, Sehinggga penyusun akhirnya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ASKEP PADA ANAK DENGAN KELAINAN ATRESIA ANI”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas KEPERAWATAN ANAK dari
“IBU MASYITAH” Sebagai dosen pembimbing. Penyusun menyadari masih banyak
kekurangan dan hal-hal yang perlu ditambahkan pada tugas makalah ini , Kesempurnaan
hanya milik Allah SWT, olehnya itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari para
pembaca.

Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang
telah membantu penyusunan makalah ini dan besar harapan penyusun, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan tentang masalah kesehatan. Semoga
Ridha Allah senantiasa bersama kita. Amin Ya Rabbil Alamin.

Polewali 13 Desember 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................................i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5

C. Tujuan ............................................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi ..............................................................................................................................6

B. Etiologi .............................................................................................................................6

C. Klasifikasi ……………………………………………………………………………..7

D. Patofisiologi ..............................................................................................................8

E. Tanda dan gejala..............................................................................................................9

F. Pemeriksaan penunjang………………………………………………………………….9

G. Penatalaksanaan……………………………………………………………………….10

H. Komplikasi……………………………………………………………………11

BAB III ASKEP TEORI

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan .........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan
atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat muncul
sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih
banyak ditemukan dari pada pasien perempuan.
Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup dengan sedikit
lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20 % -75 % bayi yang menderita atresia ani juga
menderita anomali lain. Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus
imperforata dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada
perempuan (Alpers, 2006).
Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90 %. Berdasarkan dari data yang didapatkan
penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah khususnya Semarang yaitu sekitar 50%
dari tahun 2007-2009. Menyikapi kasus yang demikian serius akibat dari komplikasi penyakit
atresia ani, maka penulis mengangkat kasus atresia ani untuk lebih memahami perawatan
pada pasien dengan atresia ani.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan atresia Ani?
2. Apa etiologi dari atresia ani?
3. Apa saja klasifikasi dari atresia ani?
4. Bagaimana patofisiologi dari atresia ani?
5. Apa saja tanda dan gejala atresia ani?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari atresia ani?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari atresia ani?
8. Apa saja komplikasi dari atresia ani?
9. Apa saja isi pengkajian asuhan keperawatan pada atresia ani?
10. Apa saja diagnosa asuhan keperawatan pada atresia ani?
11. Bagaimana intervensi asuhankeperawatan pada atresia ani?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari atresia ani
2. Mengetahui etiologi dari atresia ani
3. Mengetahui klasifikasi dari atresia ani
4. Mengetahui patofisiologi dari atresia ani
5. Mengetahui tanda dan gejala dari atresia ani
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari atresia ani
7. Mengetahui penatalaksanaan dari atresia ani
8. Mengetahui komplikasi dari atresia ani
9. Mengetahui pengkajian dari asuhan keperawatan pada atresia ani
10. Mengetahui diagnosa keperawatan dari asuhan keperawatan atresia ani
11. Mengetahui intervensi dari asuhan keperawatan atresia ani

BAB II
5
ISI

A. Definisi dan Anatomi


Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang
keluar (Walley, 1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak
lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara
abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana
rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi
gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan. Jadi menurut
kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus
tidakmempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan
kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti
saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau
pemeriksaan perineum. Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai
anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002).
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM).

B. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan
kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan pembentukan anus
dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan
rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter
internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi
bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang
mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan
pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan

6
kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani.
Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi
rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan
septum urorektal yang memisahkannya.
 Faktor predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir
seperti :
1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal,
jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
2. Kelainan sistem pencernaan.
3. Kelainan sistem pekemihan.
4. Kelainan tulang belakang.

C. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar
yaitu:
1. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai
melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau
rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi,
maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi
spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
a. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat
sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal
dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
b. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan
sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.

7
c. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini
biasanya berhubungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau
rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum
lebih dari 1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi
2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I
dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar
dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara
praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter
terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter.
Bila dengan kateter urin mengandung mekonium maka fistel ke vesikaurinaria. Bila
evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia
rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak
ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan
kolostomi.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak
ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi
tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara
fistel terdapat divulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu.
Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi
dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka
tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna.
Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan
kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok
dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram.
Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada
wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal

8
biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada
sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan
perempuan, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1
cm dari kulit pada invertogram, perlu juga dilakukan pembedahan.
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat
diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang
seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus
segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara <
1cm dari kulit dapat segera dilakukan pembedahan definitive. Dalam hal ini evakuasi
tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

D. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan.
Berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.
Terdapat tiga macam letak :
1. Tinggi (supralevator) : Rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis)
dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel kesaluran kencing atau saluran
genital.
2. Intermediate : Rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : Rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rectum paling jauh 1 cm.

9
E.Pathway

-Gangg. Pertumbuhan ATRESIA ANI Vistel rektovaginaal


-Fusi

-Pembentukan anus dari Fases tidak keluar Fases masuk ke uretra


tonjolan embriogenik

Fases menumpuk Mikroorganisme masuk


ke saluran kemih
Kelainan konginetal

Dysuria

Reabsorsi sisa Peningkatan tekanan


metabolisme oleh tubuh intraabdominal Gang. Rasa nyaman

Keracunan Operasi Anoplasti Gang. Eliminasi urine


nyeri

Mual, muntah

Ketidakseimbangan ANSIETAS Perubahan defekasi:


nutrisi kurang dari -pengeluaran tak
kebutuhan tubuh terkontrol
Resiko kerusakan
-iritasi mukosa
integritas kulit

Nyeri gangguan rasa Abnomalitas spingter Trauma jaringan


nyaman rektal

Perawatan tidak
Inkontinesia defekasi adekuat

Resiko infeksi

10
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya
mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal
dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi, 2001). Gejala lain yang nampak diketahui
adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan
intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat
menonjol (Adele,1996).
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah
satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena
cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.

G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui
jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
3. USG terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan
dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang
disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
b. Colostomi sementara

11
BAB III
ASKEP TEORI

a. Pengkajian
- Lakukan pengkajian fisik
- Kaji pemahaman anak tentang rencana pengobatan dan apa yang akan terjadi
pada pasca operasi
- Kaji adanya bukti infeksi pada anak
- Tinjau ulang hasil tes lab untuk temuan abnormal

b. Perawatan Pascaoperasi
Diagnosa 1 : Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur bedah, anestesi
Tujuan :
1. Pasien menunjukkan tanda-tanda penyembuhan luka tanpa bukti infeksi luka
2. Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti komplikasi
Kriteria :
1. Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi luka
2. Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti komplikasi
Intervensi :
 Gunakan teknik mencuci tangan yang tepat dengan kewaspadaan universal
lain,terutama bila terdapat drainase luka
 Lakukan perawatan luka dengan hati-hati untuk meminimalkan resiko infeksi
 Jaga agar luka bersih dan balutan utuh
 Pasang balutan yang meningkatkan kelembapan penyembuhan luka (mis, balutan
hidrokoloid)
 Ganti balutan bila diindikasikan, jika kotor, buang balutan yang kotor dengan
hati-hati
 Lakukan perawatan luka khusus sesuai dengan ketentuan
 Bersihkan dengan preparat yang ditentukan
 Berikan larutan antimicobial dan atau salep sesuai intruksi untuk mencegah
infeksi
 Laporkan adanya tampilan tak umum atau drainase untuk deteksi dini adanya
infeksi

12
 Ambulansi sesuai ketentuan untuk menurunkan komplikasi yang berhubungan
dengan imobilitas
Diagnosa 2 : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah
Tujuan : Pasien tidak mengalami nyeri atau penurunan nyeri sampai tingkat yang
dapat diterima anak
Kriteria : Anak beristirahat tenang dan menunjukkan bukti-bukti nyeri yang minimal
atau tidak ada
Intervensi :
 Jangan menunggu sampai anak mengalami nyeri hebat untuk intervensi untuk
mencegah terjadinya nyeri
 Hindari mempalpasi area operasi kecuali jika diperlukan
 Pasang selang rectal jika diindikasikan untuk menghilangkan gas
 Lakukan aktivitas dan prosedur keperawatan (mis, menggangti balutan,napas
dalam,ambulansi) setelah analgesia
 Berikan analgesic sesuai ketentuan untuk nyeri
Diagnosa 3 : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status puasa
sebelum dan atau sesudah pembedahan, kehilangan nafsu makan,muntah
Tujuan : Pasien mendapat hidrasi yang adekuat
Kriteria : Anak tidak menunjukkan dehidrasi
Intervensi :
 Pantau infuse IV pada kecepatan yang ditentukan untuk memastikan hidrasi
yang adekuat
 Berikan cairan segera setelah diinstruksikan atau ditoleransi anak
 Dorong anak untuk minum
Diagnosa 4 : Resiko tinggi cedera berhubungan dengan ketidakmampuan
mengevakuasi rectum, pembedahan
Tujuan : Pasien tidak mengalami komplikasi praoperasi dan pasca operasi
Kriteria : Pasien tidak mengalamani komplikais praoperasi dan pasca operasi
Intervensi :
 Hindari mengukur suhu rectal pada masa praoperasi dan pascaoperasi
 Pertahankan penghisapan nasogatrik bila diimplementasikan
 Observasi pola defekasi
 Beri posisi miring pada bayi dengan panggul ditinggikan atau telentang degan

13
kaki disokong pada sudut 90 derajat
Diagnosa 5 : nutrisi kurang dari kebutuhan
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Hasil : Pasien mengkonsumsi nutrisi yang adekuat
Intervensi :
 Pantau cairan intravena sesuai kebutuhan
 Beri formula atau diet sesuai

c. Implementasi
Adalah tahap pelaksanaan atau implementasi terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah dibuat atau ditetapkan untuk perawat bersama klien
ataupun tenaga kesehatan lainnya guna mengatasi masalah klien. Pelaksanaan
dilakukan sesuai dengan rencana tindakan yang telah divalidasi sesuai dengan
kebutuhan klien
d. Evaluasi
Merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Kegiatan ini adalah
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah tahap pelaksanaan tindakan
keperawatan dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan dalam tahap
perencanaan. Perawat mempunyai 3 alternatif dalam mengevaluasi atau
menentukan sejauh mana tujuan tersebut tercapai, diantaranya adalah :
• Tujuan tercapai : jika data subjektif dan objektif ditemukan pada saat
evaluasi telah memenuhi kriteria hasil.
• Tujuan teratasi sebagian : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan hanya
sebagian yang sesuai dengan kriteria hasil.
• Tujuan belum tercapai : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan tidak
sesuai dengan kriteria hasil.

14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rectum tidak mempunyai lubang
keluar (Walley, 1996). Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan
pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Secara fungsional, atresia ani dibagi
menjadi 2 yaitu tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis
dan tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja.
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan Sinar X terhadap abdomen, Ultrasound terhadap abdomen, CT Scan dan
Pemeriksaan fisik rektum. Penatalaksanaan Medis yang sering dilakukan pada pasien
atresia ani yaitu pada Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang
disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital dan Colostomi
sementara.

B. Saran
Sebagai seorang perawat yang professional, maka seharusnya kita bisa melakukan
pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir terutama pada anggota badan yang rentan
mengalami kelainan kongenital seperti anus. Hal yang harus dilakukan adalah bayi
dilakukan colok dubur untuk mengetahui apakah bayi mempunyai anus atau tidak. Lalu
dianjurkan bayi untuk menginap di klinik atau RS dalam waktu 24 jam untuk mengetahui
apakah bayi sudah mengeluarkan mekonium atau tidak, kalau dalam jangka waktu
tersebut bayi sudah mengeluarkan mekonium maka bayi tidak mengalami kelainan.
Untuk ibu bayi yang mengalami atresia ani sebaiknya bias berkolaborasi dengan tim
medis dalam melakukan perawatan bayinya tersebut. Bayi terkadang dilakukan
pembedahan kolostomi dan harus dirawat secara ekstra agar kolostomi tersebut tidak
mengalami infeksi.

15
DAFTAR PUSTAKA

 Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. “Buku Saku Keperawatan Pediatrik”. Edisi
ke-3. Jakarta : EGC.
 jtptunimus-gdl-sriwenidew-5112-2-bab2.pdf
 http://hidayat2.wordpress.com/2009/04/11/askep-atresia ani/
 http://ainicahayamata.wordpress.com/nursing-only/keperawatan-anak/askep-atresia-
ani/
 http://www.kapukonline.com/2010/03/askepatresiaani.html

16

Anda mungkin juga menyukai