Anda di halaman 1dari 34

ATRESIA ANI PADA ANAK

Dosen Pengampu Mata Kuliah Keperawatan Anak II:

Oleh :

Kelompok 4/Kelas 3A:

1. Melisa Oktiani (201601006)


2. Nurul Aini Agustin (201601009)
3. Wisnu Aji Nugroho (201601029)
4. Dinilah Ayu Wandari (201601033)
5. Raina Resty Nur Ramadhani (201601035)
6. Sovia Fitria Tunizan (201601038)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Keperawatan Anak II. Makalah ini berisikan tentang Perilaku,
diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.

Dalam menyelesaikan makalah ini, banyak kesulitan yang kami hadapi.


Namun berkat bimbingan dari Dosen, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.kami menyadari, sebagai seorang
mahasiswa yang pengetahuannya belum seberapa dan masih banyak belajar
dalam membuat makalah. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan
berdaya guna. Harapan kami, mudah-mudahan makalah ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi kita semua.

Mojokerto,September2018

Penyusun
Kelompok 4 Kelas 3A

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
2.1 Pengertian ................................................................................................. 3
2.2 Klasifikasi ................................................................................................. 4
2.3 Anatomi dan Fisiologi .............................................................................. 5
2.4 Etiologi ................................................................................................... 13
2.5 Patofisiologi............................................................................................ 15
2.6 Manifestasi Klinik .................................................................................. 15
2.7 Komplikasi ............................................................................................. 17
2.8 Penatalaksanaan ...................................................................................... 17
2.9 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 18
2.10 Pengkajian Fokus ................................................................................... 19
2.11 Pathways Keperawatan ........................................................................... 22
2.12 Fokus Intervensi ..................................................................................... 23
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 30
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 30
3.2 Saran-saran .............................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia ani atau anus imperforata disebut sebagai malformasi anorektal, adalah
suatu kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, termasuk
Agenesis ani, Agenesis rekti dan Atresia rekti. Insiden 1 : 5000 kelahiran yang
dapat muncul sebagai penyakit tersering yang merupakan syndrom VACTRERL (
Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb).
Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat
kongenital pada anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan
feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan
bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan
perineum.
Kelainan kongenital pada anus ini biasanya disebabkan karena putusnya
saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, kegagalan pertumbuhan saat
bayi dalam kandungan berusia 12 minggu /3 bulan, dan adanya gangguan atau
berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta
traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia
kehamilan.

1.2 Rumusan masalah

1. Apakah definisi atresia ani?


2.Bagaimana patofisiologi dari penyakit atresia ani ?
3.Bagaimana perawatan atresiani ?

1
1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi dan istilah atresia ani.


2. Mengetahui patofisiologi dari penyakit atresia ani.
3. Mengetahui perawatan pada penyakit atresia ani.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya
tidak ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah
kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang yang normal.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz,
2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya
lubang atau saluran anus (Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak
lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus
secara abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus imperforata adalah
tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm
mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus
tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).
Penulis menyimpulkan bahwa, atresia ani adalah kelainan kongenital dimana
anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi
gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Atresia ani adalah kondisi yang biasanya terjadi pada bayi, di mana
usus besar atau bagian dari usus besar bayi belum terbentuk sempurna,
sehingga menjadi tersumbat dan sangat sempit. Beberapa anak tidak
memiliki bukaan anus. Usus besar adalah lokasi atresia yang paling jarang
terjadi pada saluran pencernaan. Diperlukan penanganan segera karena
kondisi ini sangat serius. Kebanyakan bayi memerlukan operasi untuk
memperbaiki kondisi cacat ini. Namun sayangnya, penyebab atresia ani pada
bayi belum diketahui.
Atresia ani pada bayi cukup umum ditemui (sekitar 1/5000 bayi yang
baru lahir). Kondisi ini lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dibanding

3
dengan bayi perempuan. Atresia ani dapat sangat mempengaruhi
perkembangan anak. Atresia ani dapat ditangani dengan mengurangi fator-
faktor risiko. Diskusikan dengan dokter untuk informasi lebih lanjut.

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :


1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga
feses tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.

Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis,
terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi
normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal
dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal
ini biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius – retrouretral (pria)
atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit
perineum lebih dari1 cm.

4
2.3 Anatomi dan Fisiologi

Gambar : Susunan Saluran Pencernaan (Syaifuddin, 2006).

5
Susunan saluran pencernaan terdiri dari :

1. Mulut
Mulut atau oris adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri
atas 2 bagian yaitu :
a. Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi,
bibir dan pipi.
b. Bagian rongga mulut bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi
sisinya oleh tulang maksilaris, palatum mandibularis, di sebelah
belakang bersambung dengan faring.
Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis, di bawahnya
terletak kelenjar-kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini kaya
akan pembuluh darah dan juga memuat banyak ujung akhir saraf sensoris.
Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam ditutupi
oleh selaput lendir (mukosa). Otot orbikularis oris menutupi bibir. Levator
anguli oris mengangkat dan depresor anguli oris menekan ujung mulut.
Palatum, terdiri atas 2 bagian yaitu :
a. Palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum
dan sebelah depan tulang maksilaris dan lebih ke belakang terdiri dari
2 tulang palatum.
b. Palatum yang dapat bergerak, terdiri mole (palatum lunak) terletak di
belakang yang merupakan lipatan menggantung atas jaringan fibrosa
dan selaput lendir.
Gerakannya dikendalikan oleh ototnya sendiri, di sebelah kanan dan
kiri dari tiang fauses terdapat saluran lendir menembus ke tonsil.

2. Lidah
Lidah terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja
otot lidah ini dapat digerakkan ke seluruh arah.
Lidah dibagi atas tiga bagian, radiks lingua (pangkal lidah), dorsum
lingua (punggung lidah), dan apeks lingua (ujung lidah). Pada pangkal lidah
yang belakang terdapat epiglotis yang berfungsi untuk menutup jalan nafas
pada waktu kita menelan makanan, supaya makanan jangan masuk ke jalan

6
nafas. Punggung lidah (dorsum lingua) terdapat puting-puting pengecap atau
ujung saraf pengecap. Frenulum lingua merupakan selaput lendir yang
terdapat pada bagian bawah kira-kira di tengah, jika lidah digerakkan ke atas
nampak selaput lendir. Flika sublingua terdapat di sebelah kiri dan kanan
frenulum lingua, di sini terdapat pula lipatan selaput lendir. Pada
pertengahan flika sublingua ini terdapat saluran dari grandula parotis,
submaksilaris, dan glandula sublingualis.
Fungsi lidah yaitu mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat
pengecap dan menelan, serta merasakan makanan.

3. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan
kerongkongan (esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat tonsil
(amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit
merupakan pertahanan terhadap infeksi. Di sini terletak bersimpangan
antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya di belakang rongga mulut
dan rongga hidung, di depan ruas tulang belakang, ke atas bagian depan
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantara lubang bernama
koana. Keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan
perantaraan lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian
superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang
menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut
orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai di akar lidah, sedangkan
bagian inferior disebut laringofaring yang menghubungkan orofaring
dengan laring.
Menelan (deglutisio), jalan udara dan jalan makanan pada faring terjadi
penyilangan. Jalan udara masuk ke bagian depan terus ke leher bagian depan
sedangkan jalan makanan masuk ke belakang dari jalan napas dan di depan
dari ruas tulang belakang. Makanan melewati epiglotis lateral melaui ressus
piriformis masuk ke esophagus tanpa membahayakan jalan udara. Gerakan
menelan mencegah masuknya makanan masuk ke jalan udara, pada waktu
yang sama jalan udara ditutup sementara.

7
4. Esofagus
Esophagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan
lambung, panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk
kardiak di bawah lambung. Lapisan dinding dari dalam keluar, lapisan
selaput lendir (mukosa), lapisan submukosa, lapisan otot melingkar sirkuler,
dan lapisan otot memanjang longitudinal.
Esophagus terletak di belakang trakea dan di depan tulang punggung.
Setelah melalui thorak menembus diafragma masuk ke dalam abdomen
menyambung dengan lambung.

5. Hati
Hati atau hepar adalah organ yang paling besar di dalam tubuh kita,
warnanya coklat dan beratnya kira-kira 1 ½ kg. Letaknya di bagian atas
dalam rongga abdomen di sebelah kanan bawah diafragma. Hati terdiri atas
2 lapisan utama : permukaan atas berbentuk cembung, terletak di bawah
diafragma, dan permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan
fisura transverses. Hati mempunyai 2 jenis peredaran darah yaitu arteri
hepatika dan vena porta.
Arteri hepatika, keluar dari aorta dan member 1/5 darah pada hati, masuk
ke hati akan membeku jaringan kapiler setelah bertemu dengan kapiler vena,
akhirnya keluar sebagai vena hepatika. Vena porta yang terbentuk dari
lienalis dan vena mesentrika superior menghantarkan 4/5 darahnya ke hati.
Fungsi hati :
a. Mengubah zat makanan yang di absorpsi dari usus dan yang
disimpan di suatu tempat dalam tubuh.
b. Mengubah zat buangan dan penawar racun untuk disekresi dalam
empedu dan urine.
c. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.
d. Sekresi empedu, garam empedu dibuat di hati, dibentuk dalam
sistem retikuloendotelium.
e. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat.

8
6. Lambung
Lambung atau gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat
mengembang paling banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri
dari bagian atas fundus uteri berhubungan dengan esophagus melalui
orifisium pilorik, terletak di bawah diafragma di depan pankreas dan limpa,
menempel di sebelah kiri fundus uteri.
Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. Bila
melihat makanan dan mencium bau makanan maka sekresi lambung akan
terangsang. Rasa makanan merangsang sekresi lambung karena kerja saraf
menimbulkan rangsang kimiawi yang menyebabkan dinding lambung
melepaskan hormon yang disebut sekresi getah lambung. Getah lambung di
halangi oleh sistem saraf simpatis yang dapat terjadi pada waktu gangguan
emosi seperti marah dan rasa takut. Fungsi lambung :
1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan
oleh peristaltik lambung dan getah lambung.
2. Getah cerna lambung yang dihasilkan :
a. Pepsin, fungsinya memecah putih telur menjadi asam amino
(albumin dan pepton).
b. Asam garam (HCL), fungsinya mengasamkan makanan, sebagai
antiseptic dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada
pepsinogen sehingga menjaddi pepsin.
c. Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan
membentuk kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).
d. Lapisan lambung jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi
asam lemak yang merangsang sekresi getah lambung.
7. Pankreas
Panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari deudenum sampai ke
limpa. Bagian dari pankreas : kaput pankreas, terletak di sebelah kanan
rongga abdomen dan di dalam lekukan deudenum yang melingkarinya.
Korpus pankreas, merupakan bagian utama dari organ ini, letaknya
dibelakang lambung dan di depan vertebra umbalis pertama. Ekor pankreas,
bagian runcing di sebelah kiri menyentuh limpa.

9
8. Usus halus
Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan
makanan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum
panjangnya ± 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat proses
pencernaan dan absorpsi hasil pencernaan yang terdiri dari lapisan usus
halus (lapisan mukosa (sebelah di dalam), lapisan otot melingkar
(M.sirkuler), lapisan otot memanjang (M. longitudinal), dan lapisan serosa
(sebelah luar)).
Absorpsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung di dalam
usus halus melalui 2 saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan
seluruh limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vilus berisi
lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama
oleh jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh
epitelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan
makanan cair dan lemak yang diabsorpsi ke dalam lakteal kemudian
berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di
vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa
perubahan.
Fungsi usus halus :
a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap
melalui kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.

c. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.

9. Duodenum
Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk
sepatu kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas.
Pada bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir, yang membukit
disebut papilla vateri. Pada papilla vateri ini bermuara saluran empedu
(duktus koledokus) dan saluran pankreas (duktus pankreatikus).
Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus

10
koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase.
Pankreas juga menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang
menjadi disakarida, dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi
asam amino atau albumin dan polipeptida.
Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak
mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar-kelenjar Brunner,
berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.

10. Jejunum dan ileum


Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima bagian
atas adalah jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan panjang 4-5
m. Lekukan jejunum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior
dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal
sebagai mesenterium.
Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas yang
tegas. Ujung bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan perantaraan
lubang yang bernama orifisium ileosekalis. Orifisium ini diperkuat oleh
sfingter ileosekalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula sekalis
valvula baukhini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon
asenden tidak masuk kembali ke ileum.

11. Usus besar


Usus besar atau intestinum mayor panjangnya ± 1 ½ m, lebarnya 5- 6
cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan
otot melingkar, lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus besar
adalah menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri.

12. Sekum
Dibawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti
cacing sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya
ditutupi oleh peritoneum mudah bergerak walaupun tidak mempunyai
mesenterium dan dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang

11
masih hidup.

13. Kolon asendens

Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan, membujur


ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri,
lengkungan ini disebut fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon
transversum.

14. Apendiks (usus buntu)

Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum,
mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat
dilewati oleh beberapa isi usus. Apendiks tergantung menyilang pada linea
terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor, terletak horizontal
dibelakang sekum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang
apendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan
perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.

15. Kolon transversum


Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada dibawah
abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat
fleksura lienalis.

16. Kolon desendens


Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur
dari atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri,
bersambung dengan kolon sigmoid.

17. Kolon sigmoid


Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak
miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S,

12
ujung bawahnya berhubungan dengan rektum.

18. Rektum
Rektum terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan
intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os
sacrum dan os koksigis. Organ ini berfungsi untuk tempat penyimpanan
feses sementara.

19. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan
rektum dengan dunia luar (udara luar). Terletak didasar pelvis, dindingnya
diperkuat oleh sfingter :
a) Sfingter ani interus (sebelah atas), bekerja tidak menurut
kehendak.
b) Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.
c) Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut
kehendak.

Defekasi (buang air besar) didahului oleh transport. Feses ke dalam rektum
yang mengakibatkan ketegangan dinding rektum mengakibatkan rangsangan
untuk reflex defekasi sedangkan otot usus lainnya berkontraksi. M. Levator
ani relaksasi secara volunter dan tekanan ditimbulkan oleh otot-otot
abdomen.

2.4 Etiologi

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun
ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh
:
a. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.

13
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang anus.
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada
kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau
3 bulan.
d. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga
beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
Faktor Predisposisi

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital


saat lahir, seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali
pada gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.

Faktor-faktor risiko
Apa yang meningkatkan risiko saya untuk atresia ani?
Ada banyak faktor risiko untuk atresia ani pada bayi, yaitu:
a) Jenis kelamin: Atresia ani pada bayi terjadi lebih banyak, sekitar 2
kali, pada bayi laki-laki dibanding bayi perempuan
b)Adanya cacat lahir lainnya
c) Penggunaan steroid inhalers oleh ibu selama kehamilan.

14
2.5 Patofisiologi

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal


secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan
struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal.
Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral
dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar
yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat
dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran
pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa
lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
a) Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan
kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya
disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
b) Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani
tetapi tidak menembusnya.
c) Rendah : rektum berakhir di bawah M.
levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling
jauh 1 cm.

2.6 Manifestasi Klinik

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering

15
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir
di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal.

Gejala yang akan timbul :


1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

Tanda-tanda & gejala


Gejala umum dari atresia ani pada bayi adalah:
1. Tidak memiliki lubang anus
2. Memiliki lubang anus di tempat yang tidak semestinya, misalnya
terlalu dekat dengan vagina
3. Ada selaput yang menutupi lubang anus
4. Usus tidak tersambung dengan anus
5. Sambungan antara usus dan sistem urinasi tidak normal, tinja bisa
melewati sistem urinasi, seperti uretra, vagina, skrotum atau dasar
penis
6. Tidak mengeluarkan tinja dalam 24 – 48 jam pertama setelah lahir
7. Memiliki perut yang bengkak
8. Memiliki sambungan yang tidak normal, atau fistula, antara rektum
dan sistem reproduksi atau saluran urinasi
9. Muntah

Bayi dengan atresia ani sering kali memiliki kelainan lainnya, seperti:
1. Cacat pada ginjal atau saluran urinasi
2. Kelainan pada tulang belakang
3. Cacat pada batang tenggorok atau trakhea
4. Cacat pada kerongkongan
5. Cacat pada lengan atau paha
6. Down syndrome

16
7. Duodenal atresia, yaitu perkembangan tidak sempurna pada bagian
pertama dari usus kecil
8. Cacat jantung kongenital

3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4.) Perut kembung.
5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
(Ngastiyah, 2005)

2.7 Komplikasi

1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.


2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
Komplikasi jangka panjang :
a) Eversi mukosa anal.
b) Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c) Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d) Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet
training.
e) Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f) Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan
infeksi.
(Betz, 2002)

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :

a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli
bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang

17
biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk
anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir.

b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)


Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai
12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk
membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik
status nutrisinya.

c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan
sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan
agak padat.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai


berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.

2. Sinar X terhadap abdomen


Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

3. Ultrasound terhadap abdomen


Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.

18
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.

5. Pyelografi intra vena


Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

6. Pemeriksaan fisik rektum


Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang
atau jari.

7. Rontgenogram abdomen dan pelvis


Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

2.10 Pengkajian Fokus

a. Pengkajian
Konsep teori yang digunakan penulis adalah model konseptual
keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan
menjadi 11 konsep yang meliputi :
i. Pola Persepsi Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di
rumah.
ii. Pola Nutrisi dan Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umumnya terjadi pada
pasien dengan atresia ani post tutup kolostomi. Keinginan pasien untuk
makan mungkin terganggu oleh mual dan muntah dampak dari anastesi.
iii. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru
maka tubuh dibersihkan dari bahan-bahan yang melebihi kebutuhan dan
dari produk buangan. Oleh karena itu pada pasien atresia ani tidak
terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan

19
dalam defekasi.
iv. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menghindari
kelemahan otot.
v. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman
dan daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab
pertanyaan.
vi. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada
luka insisi.
vii. Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image,
body comfort. Tidak terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena
dampak luka jahitan operasi.
viii. Pola Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan
sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab atau
perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
ix. Pola Reproduksi dan Seksual
Pola ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi sosial sebagai alat
reproduksi.
x. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, dan
rumah.
xi. Pola Keyakinan
Untuk menerapkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan
agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini
diharapkan perawat memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien
dalam upaya pelaksanaan ibadah.

b. Pemeriksaan Fisik

20
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani
biasanya anus tampak merah, usus melebar, termometer yang dimasukkan
melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengar
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam waktu 24 jam setelah bayi lahir,
tinja dalam urine dan vagina.

21
2.11 Pathways Keperawatan

(Price, Sylvia A 2000)

22
2.12 Fokus Intervensi

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :


1. Pre Operasi
a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya
pembentukan anus.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.
c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang penyakit dan prosedur perawatan.

2. Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi
pembedahan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan
perawatan dirumah.

Intervensi keperawatan :
1. Pre Operasi
a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya
pembentukan anus.
Tujuan : Terjadi peningkatan fungsi usus.
KH :
1.) Pasien menunjukkan konsistensi tinja lembek
2.) Terbentuknya tinja
3.) Tidak ada nyeri saat defekasi
4.) Tidak terjadi perdarahan
Intervensi :

23
a.) Lakukan dilatasi anal sesuai program.
Rasional : Meningkatkan kenyamanan pada anak.
b.) Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam.
Rasional : Menyakinkan berfungsinya usus.
c.) Ukur lingkar abdomen klien.
Rasional : Membantu mendeteksi terjadinya distensi.
d.) Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai
fungsi usus normal.
Rasional : Memulihkan dan mengembalikan fungsi usus.

b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.


Tujuan : Volume cairan terpenuhi Kriteria Hasil :
1.) Turgor kulit baik dan bibir tidak kering
2.) TTV dalam batas normal
Intervensi :
a.) Awasi masukan dan keluaran cairan.
Rasional : Untuk memberikan informasi tentang
keseimbangan cairan.
b.) Kaji tanda-tanda vital seperti TD, frekuensi jantung, dan
nadi. Rasional : Kekurangan cairan meningkatkan frekuensi
jantung, TD dan nadi turun.
c.) Observasi tanda-tanda perdarahan yang terjadi post operasi.
Rasional : Penurunan volume menyebabkan kekeringan
pada jaringan.
d.) Kolaborasi dalam pemberian cairan elektrolit sesuai
indikasi.
Rasional : Untuk pemenuhan cairan yang hilang.

c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


penyakit dan prosedur perawatan.

24
Tujuan : Rasa cemas dapat hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil :
1.) Ansietas berkurang
2.) Klien tidak gelisah
Intervensi :
a.) Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien dan keluarga.
Rasional : Derajat ansietas akan dipengaruhi
bagaimana informasi tersebut diterima.
b.) Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur
sebelum dilakukan operasi.
Rasional : Dapat meringankan ansietas terutama ketika
tindakan operasi tersebut dilakukan.
c.) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan isi pikiran dan
perasaan takutnya.
Rasional : Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana
rasa takut dapat ditujukan.
d.) Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi
ansietas.

2. Post Operasi

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan


insisi pembedahan.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang dan skala nyeri berkurang

Kriteria Hasil :
1.) Klien mengatakan nyeri berkurang 2.) Skala nyeri 0-1
3.) Ekspresi wajah terlihat rileks

25
Intervensi :
a.) Kaji karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, dan kualitas
nyeri.
Rasional : Bantu klien untuk menilai nyeri dan sebagai
temuan dalam pengkajian.
b.) Ajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi dan
distraksi.
Rasional : Membantu dalam menurukan atau mengurangi
persepsi atau respon nyeri.
c.) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan anjurkan klien untuk
istirahat.
Rasional : Memberikan kenyamanan untuk klien agar dapat
istirahat.
d.) Kolaborasi untuk pemberian analgetik sesuai advis dokter.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan anoreksia.
Tujuan : Asupan nutrisi dapat terpenuhi dan
menuunjukkan perbaikan usus.
Kriteria Hasil :
1.) Tidak terjadi penurunan BB.
2.) Klien tidak mual dan muntah

Intervensi :
a.) Kaji kemampuan klien untuk menelan dan menguyah
makanan.

Rasional : Menentukan pemilihan jenis makanan sehingga


mencegah terjadinya aspirasi.

26
b.) Timbang berat badan sesuai indikasi.

Rasional : Mengevaluasi keadekuatan rencana pemenuhan


nutrisi.
c.) Jaga keamanan saat memberikan makan klien seperti kepala
sedikit fleksi saat menelan.

Rasional : Menurunkan resiko terjadinya aspirasi dan


mengurangi rasa nyeri pada saat menelan.

d.) Berikan makanan lembut dalam porsi sedikit tapi sering.

Rasioanl : Meningkatkan pemasukan dan menurunkan


distress gaster.

c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.

Tujuan : Tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi


Kriteria Hasil :
1.) Tidak ada tanda-tanda infeksi

2.) Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan


peningkatan leukosit.

3.) Luka post operasi bersih


Interversi :
a.) Pantau suhu tubuh klien (peningkatan suhu).

Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi.

27
b.) Ajarkan keluarga teknik mencuci tangan dengan benar dan
menggunakan sabun anti mikroba.

Rasional : Faktor ini paling sederhana tetapi paling penting


untuk mencegah infeksi di rumah sakit.
c.) Pertahankan teknik aseptik pada perawatan luka.

Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.

d.) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.


Rasional : Mencegah terjadinya infeksi luka.

e.) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.

Rasional : Peningkatan leukosit menunjukkan adanya


infeksi.

d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan


kebutuhan perawatan dirumah.
Tujuan : Pasien dan keluarga memahami perawatan di
rumah
Kriteria Hasil :
1.) Kelurga menunjukkan kemampuan untuk
memberikan perawatan untuk bayi di rumah.
2.) Keluarga tahu dan memahami dalam memberikan perawatan
pada klien.

Intervensi :
a.) Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam
perawatan.

28
Rasional : Agar keluarga dapat melakukannya.

b.) Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu


dilaporkan perawat.
Rasional : Agar segera dilakukan tindakan.

c.) Ajarkan keluarga cara perawatan luka yang tepat.

Rasional : Dapat memberikan pengetahuan keluarga

d.) Latih keluarga untuk kebiasaan defekasi.

Rasional : untuk melatih pasien.

e.) Ajarkan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).

Rasional : Membantu klien memperlancar defekasi.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Atresia anus artinya anus tidak ada atau tidak berada pada tempatnya.Atresia
anus merupakan kelainan dalam perkembangan bayi saat masih dalam kandungan,
penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga factor genetic sedikit
berperanan.diagnosis dibuat segera setelah bayi dilahirkan (rutinitas/SOP, dimana
tiap bayi baru lahir diperiksa anusnya ada atau tidak,trsumbat atau tidak.
Namun demikian terjadi juga keadaan ini tidak terdeteksi, dan baru diketahui
setelah bayi tidak bias BAB dan terlihat gejala sumbatan diusus. Untuk memastikan
jenis atresia dan posisinya pastinya, dilakukan pemeriksaan ronsen plus zat kontras.
MRI atau CT Scan dan juga bisa menentukan jenis dan ukuran atresia.
Tindakan pembedahan merupakan satu-satunya cara pengobatan atresia ani.
Yaitu berupa membuat saluran darurat di dinding perut bayi (colostomy) untuk
menyalurkan feses, beberapa bulan kemudian baru dipindahkan ke bagian anusnya.

3.2 Saran-saran
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
wawasan pembaca. Selanjutnya kami pembuat makalah mengharapkan kritik dan
saran pembaca demi kesempurnaan makalah ini untuk kedepannya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Sudarti.2010. KELAINAN DAN PENYAKIT PADA BAYI DA ANAK.


YOGYAKARTA : Nuha Medika
Muslihatun, Wafi Nur. 2010. ASUHAN NEONATUS, BAYI DAN
BALITA.Yogyakarta : Fitramaya

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-babii.pdf
http://dokteryudabedah.com/atresia-ani-bayi-lahir-tanpa-anus/
http://sufyannanank.blogspot.com/2012/11/atresia-anus.html
http://ilmubedah.wordpress.com/2010/02/23/atresia-ani/

31

Anda mungkin juga menyukai