Anda di halaman 1dari 46

TUGAS MAKALAH PATOFISIOLOGI DAN ASKEP PADA

ANAK DENGA ATRESIA ANI

Disusun Oleh :

1. Dani Irawan

2. Gali Raka Siwi

3. Soeharto

4. Triyani

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

TAHUN AJARAN 2018/2019


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

limpahan rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Atresia Ani” dapat

terselesaikan dengan baik. Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklain

untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban Mata Kuliah Keperawatan

Anak II serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang

diberikan.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada Ns. Murniati, M.Kep. selaku dosen pengampu serta semua pihak yang

telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami

harapkan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi referensi bagi

pembaca.

Terimakasih.

WassalamualaikumWr. Wb

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. .............................................................................. i

DAFTAR ISI. ............................................................................................. ii

BAB 1. PENDAHULUAN. ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang. ................................................................................... 1

1.2 Tujuan. ................................................................................................. 2

1.3 Implikasi Keperawatan. ..................................................................... 2

BAB 2. TINJAUAN TEORI. .................................................................... 4

2.1 Pengertian. ........................................................................................... 4

2.2 Epidemiologi. ....................................................................................... 4

2.3 Etiologi. ................................................................................................ 5

2.4 Klasifikasi. ........................................................................................... 6

2.5 Tanda dan gejala. ................................................................................ 10

2.6 Patofisiologi.......................................................................................... 11

2.7 komplikasi dan prognosis. .................................................................. 12

2.8 Pengobatan. ......................................................................................... 14

2.9 Pencegahan. ......................................................................................... 16

BAB 3. PATHWAYS. ............................................................................... 17

BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN...................................................... 19

4.1 Pengkajian. .......................................................................................... 20

4.2 Diagnosa. .............................................................................................. 28

4.3 Intervensi dan Implementasi. ............................................................. 30

4.4 Evaluasi. ............................................................................................... 38

ii
BAB 5. PENUTUP. .................................................................................... 40

5.1 Kesimpulan. ......................................................................................... 40

5.2 Saran. ................................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA. ............................................................................... 41

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Atresia ani adalah kelainan congenital dimana lubang anus tertutup

secara abnormal. Atresia ani atau anus imperforate memiliki anus tampak rata,

cekung ke dalam, atau kadang berbentuk anus tetapi lubang anus yang ada tidak

terbentuk secara sempurna sehingga lubang tersebut tidak terhubung dengan

saluran rectum. Rectum yang tidak terhubung dengan anus maka feses tidak

dapat dikeluarkan dari dalam tubuh secara normal. Tidak adanya lubang anus

ini karena terjadi gangguan pemisahan kloaka pada saat kehamilan.

Indonesia memiliki angka kejadian atresia ani sangat tinggi yaitu 90%.

Masyarakat pada daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan kepadatan

penduduk dan lingkungan yang kumuh. Lingkungan yang kumuh dapat

menjadi factor pendukung terjadinya atresia ani. Tingkat pendidikan dan

pengetahuan yang rendah dan pola nutrisi yang kurang baik memungkinkan

bahwa keluarga dengan ibu hamil kurang memperoleh informasi mengenai

kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan.

Lingkungan yang terpapar dengan zat zat racun seperti asap rokok, alcohol dan

nikotin dapat mempengaruhi perkembangan janin. Atresia ani merupakan

suatu penyakit yang terjadi karena factor genetic, lingkungan dan atau

keduanya. Kelainan ini harus segera ditangani, jika tidak maka akan terjadi

komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi dan inkontinensia feses.

1
Maka dari itu untuk menambah wawasan khususnya keluarga dengan ibu

hamil penulis mengangkat tema atresia ani ini untuk mengurangi angka

kejadian atresia ani di Indonesia. Makalah ini ditulis bertujuan untuk

mengetahui komplikasi, penatalaksanaan, dan asuhan keperawatan mengenai

atresia ani.

1.2 Tujuan

1.2.1Mengetahui definisi atresia ani.

1.2.2Mengetahui epidemiologi atresia ani.

1.2.3Mengetahui etiologi atresia ani.

1.2.4Mengetahui tanda dan gejala atresia ani.

1.2.5Mengetahui patofisiologi atresia ani.

1.2.6Mengetahui komplikasi dan prognosis atresia ani.

1.2.7Mengetahi cara pengobatan pada atresia ani.

1.2.8Mengetahui pencegahan atresia ani.

1.2.9Mengetahui asuhan keperawatan pada klien atresia ani.

1.3 Implikasi keperawatan

Penerapan asuhan keperawatan pada penyakit atresia ani dapat menyajikan

suatu lingkup praktik keperawatan secara professional. Penggunaan asuhan

keperawatan pada penderita atresia ani sangat bermanfaat bagi pasien dan

keluarga. Dalam hal ini pasien dan keluarga diharapkan dapat berpartisipasi

secara aktif dalam proses keperawatan. Bagi perawat, proses keperawatan ini

dapat meningkatankan kepuasan dalam bekerja dan meningkatkan

2
perkembangan profesionalisme dan meningktkan suatu pengembangan dan

kreatifitas dalam menangani masalah atresia ani.

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian

Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus.

Merupakan kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada

anorektal di saluran gastrointestinal. Atresia ani atau anus imperforata adalah

malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang ke luar

(Wong,2004). Pada Atresia ani bentuk anus tampak rata, cekung ke dalam,

kadan berbentuk seperti anus tetapi tidak ada lubang atau lubang abnormal

sehingga tidak terhubung dengan rectum. Atresia ani terjadi karena gangguan

pemisahan kloaka pada saat kehamilan.

2.2 Epidemiologi

Atresia Ani adalah kegagalan pemisahan kloaka saat embrional dalam

kandungan ibu yang sehungga tidak terbentuknya lubang anus. Sebenarnya

kelainan ini sangat mudah diketahui, tetapi bisa juga terlewatkan karena

kurangnya pemeriksaan pada perineum. Malformasi anorektal lebih banyak

ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Dengan angka kejadian rata-rata

malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 pada setiap

kelahiran.

Dari data yang ditemukan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi

laki-laki adalah Fistula rektouretra lalu diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan

pada bayi perempuan, jenis malformasi anorektal yang paling banyak ditemui

4
adalah anus imperforate kemudian diikuti fistula rektovestibular dan fistula

perineal.

Pada Orang tua yang mempunyai gen karier terhadap Atresia ani

mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan kepada anaknya dan 30%

Anak dengan kelainan genetik, kelainan kromosom atau kelainan kongenital

lain yang juga beresiko untuk menderita atresia ani.

Pada umumnya gambaran atresia ani yang terjadi pada 1,5%-2% atresia

ani adalah Atresia rektum, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4:0.

Kejadian yang tinggi terjadi pada daerah India selatan (M Kisra, 2005).

Malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan

malformasi anorektal letak tinggi itu adalah hasil penelitian Boocock dan

Donna di Manchester.

2.3 Etiologi

Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa

penelitian, atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor

lingkungan yang terpapar oleh zat-zat beracun, lingkungan yang kumuh dan

pola nutrisi bayi selama dalam kandungan.

Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :

1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir

tanpa lubang dubur.

2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena

gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan

embrionik.

5
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan

pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.

4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua

menjadi carier maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia ani,

kemudian adanya kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal

dan kelainan congenital lainnya juga dapat beresiko menderita atresia ani.

5. Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus

urogenital, biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital

pada minggu ke-5 sampai ke-7 pada usia kehamilan,

2.4Klasifikasi

Menurut klasifikasi Wingspread (1984) dijelaskan bahwa, atresia ani dibagi

2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.

a. Golongan I yaitu pada anak penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi

menjadi 4 kelainan yaitu

1. Kelainan pada fistelurin

2. Atresia rectum,

3. Perineum yang datar

4. Tidak adanya Fistel.

Namun jika ada fistelurin, tampak mekonium keluar dari orifisium

eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria.

Cara menentukan letak fistelnya adalah dengan memasang kateter urin. Dan

jika kateter telah terpasang kemudian urin yang keluar jernih, itu pertanda

bahwa fistel terletak di uretra karena fistel tersebut tertutup kateter. Bila dengan

6
kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesika urinaria kemudian

pengeluaran feses tersebut tidak lancar, itu pertanda penderita memerlukan

kolostomi segera agar fases keluar dengan semestinya. Pada perempuan

penderita atresia rectum, tindakannya sama seperti laki-laki yaitu harus dibuat

kolostomi dan Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada

invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi juga.

b. Golongan II yaitu pada penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi 4

kelainan yaitu

1. Kelainan pada fistel perineum

2. Membran anal

3. Stenosis anus

4. Fisteltidakada.

Fistel perineum yang ada pada laki-laki ini sama dengan pada wanita

yaitu lubangnya terdapat anterior dari letak anus yang normal. Sedangkan

pada membran anal, biasanya terlihat bayangan mekonium di bawah

selaput. Saat evakuasi feses sedang tidak ada sebaiknya dilakukan terapi

definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan yaitu

tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara.

c. Golongan I pada perempuang dibagi 5 kelainan yaitu :

1. Kelainan kloaka

2. Fistel vagina

3. Fistel rektovestibular

4. Atresia rectum

7
5. Fistel tidak ada

6. Invertogram : udara >1 cm dari kulit

Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi

fecesnya menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.

Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi

feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat

saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan

bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak perlu

ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cernanya.

Evakuasi pengeluaran feses yang umumnya tidak sempurna sehingga perlu

segera dilakukan kolostomi. Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi

pada pemerikasaan dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Dan

tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu juga segera dilakukan

kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuatin vertogram.

d. Golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu

 Kelainan pada fistel perineum,

 Stenosis anus

 Fistel tidak ada

 Invertogram : udara <1 cm dari kulit.

Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat

letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan

obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang

seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga

8
biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan

pada invertogram udara.

Selanjutnya klasifikasi atresia ani juga dibagi menjadi ada 4 yaitu :

1. Anal stenosis yaitu terjadinya penyempitan anus sehingga feses tidak dapat

keluar pada semestinya.

2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.

3. Anal agenesis yaitu penderita masih memiliki anus tetapi ada daging

diantara rectum dengan anus.

4. Rectal atresia adalah penderita yang tidak memiliki rektum.

Kemudian Kalsifikasi pasien penderita Atresia ani diklasifikasikan lebih

lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :

1. Anomali rendah / infralevator

Pada anomaly rendah, rektum mempunyai jalur desenden yang normal

melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang

berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan

saluran genitourinarius.

2. Anomali intermediet

Pada anomaly intermediet, rektum berada pada atau di bawah tingkat otot

puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang

normal.

9
3. Anomali tinggi / supralevator

Pada anomaly tinggi ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter

internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula

genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak

antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

Gambaran malforasi anorektal pada perempuan

2.5 Tanda dan gejala

1. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula

2. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran bayi.

3. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam

4. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.

5. Pengukuran suhu rektal pada bayi tidak dapat dilakukan.

10
6. Adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula) dan distensi

bertahap

7. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.

8. Lebih dari 50% pasien dengan atresia ani mempunyai kelainan congenital

lain.

9. Perut kembung 4-8 jam setelah lahir. (Betz. Ed 7. 2002)

2.6 Patofisiologi

Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum

anorektal pada embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik

bagian belakang. Kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan

struktur anorektal berkembang awalnya dari ujung ekor dari bagian

belakang. Penyempitan pada kanal anorektal menyebabkan terjadinya

stenosis anal. Atresia ani sendiri terjadi karena tidak ada kelengkapan

migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu dalam

perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga diakibatkan karena

kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.

Di usus besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan sehingga

menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami

obstruksi. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya

fistula. Obstruksi tersebut berakibat distensi abdomen, sekuestrasi cairan,

muntah dengan segala akibatnya.

Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan

diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses

11
mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada

keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ

sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau

perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya

fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak

rendah fistula menuju ke uretra (rektourethralis).

2.7 Komplikasi & prognosis

2.7.1 Komplikasi

a. Asidosis hiperkloremia.

b. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).

c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

d. Komplikasi jangka panjang yaitu

a) eversi mukosa anal,

b) stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis).

c) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan

d) Prolaps mukosa anorektal.

e) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)

f) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan

dan infeksi).(Ngastiyah, 2005).

Factor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi pada

atresia ani adalah kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan

operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, dan

12
keterampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang

buruk.

2.7.2Prognosis

Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki

dengan pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk

kontinensia fekal. Sedangkan beda dengan kelainan anorektal letak

tinggi diperbaiki dengan pembedahan sakroperineal atau

abdominoperineal. Adapun pada kelainan ini, sfingterani eksternus

tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus, maka kontinensia

fekal tergantung fungsi otot puborektalis (DeLorimer 1981 ; Iwai et

al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan hasil penelitian

klinis, dalam jangka panjang dari kelainan anorektal letak rendah

yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90% penderita mencapai

kontrol anorektal yang secara sosial dapat diterima. Insidensi

“soiling” pada penderita umur lebih 10 tahun lebih rendah dibanding

penderita yang lebih muda. Pada kelainan anorektal letak tinggi

hasilnya hanya 1/3 yang baik, 1/3 lagi dapat mengontrol kontinensia

fekal. Pada wanita hasilnya lebih baik daripada laki-laki karena pada

wanita lesi seringkali intermediet. Kebanyakan lesi supralevator

dengan tindakan PSARP dapat dikerjakan melalui perineum tanpa

membuka abdomen (Smith, 1990). masalah-masalah kontinensia

biasanya terjadi pada beberapa penderita dengan kelainan anorektal

13
letak tinggi terutama ketika dilakukan pembedahan dibanding letak

rendah.

2.8 Pengobatan

Penatalaksanaan atresia ani ini berbeda, tergantung pada letak ketinggian

akhiran rectum dan ada tidaknya fistula. Leape (1987) menganjurkan pada:

1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD

dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)

2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya

dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot

sfingter ani ekternus

3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion yaitu tindakan pembedahan

untuk membuat lubang anus pada anus malformasi fistel rendah misalnya

pada anocutan fistel, anus vestibular yang tidak adekuat dan pada anus

membranaseus

4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin

Pelaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu sebagai berikut:

a. Kolostomi

Kolostomi adalah suatu tindakan membuat lubang pada dinding

abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya

sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Saat ini

tatalaksana atresia ani yang paling ideal adalah divided descending

colostomy karena kolostomi ini memungkinkan terjadinya dekompresi

14
yang adekuat, dan segmen kolon distal non-fungsional yang pendek

namun tidak mengganggu proses pull-through pada tahap terapi definitive.

Kolostomi pada sigmoid juga dianggap lebih menguntungkan dibanding

dengan kolostomi transversal, karena proses pembersihan kolon distal

pada proses kolostomi menjadi lebih mudah. Loop colostomy

memungkinkan masuknya feses dari stoma proksimal ke distal, dan dapat

menyebabkan terjadinya infeksi, dilatasi rektal, dan impaksi feses.

Kolostomi pada rektosigmoid bagian bawah sering terjadi kesalahan

karena proses ini membuat segmen distal menjadi terlalu pendek dan sulit

untuk dimobilisasi pada proses pull through.

b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)

PSARP adalah suatu tindakan membelah muskulus sfingter

eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi

kantong rectum dan pemotongan fistel. PSARP umumnya ditunda 9

sampai 12 bulan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada

otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk

menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.

c. Tutup kolostomi

Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari

setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan

sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan

agak padat.

15
d. Perawatan Postoperasi

Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani

anal dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur

pasien dan saat businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian

dilakukan tappering businasi dengan menurunkan frekuensi sampai

beberapa bulan, biasanya sekitar 6 bulan. Orang tua pasien harus

diikutsertakan dalam program ini karena orang tua yang menjalankan dan

orang yang paling dekat dengan anak.

2.9 Pencegahan

1. Melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil

mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan perkembangan

janin dalam kandungan.

2. Promosi kesehatan mengenai sanitasi lingkungan.

3. Menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun seperti asap rokok, nikotin, dan

zat yang berbahaya lainnya.

16
BAB III

PATHWAYS

Kelainan kongengital  Gangguan pertumbuhan Factor lingkungan


 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik

Feses menumpuk Feses tidak Atresia Ani


keluar Vistel rektrovaginal

Feses masuk uretra


Reabsorbsi sisa Peningkatan tekanan
metabolism tubuh intra abdominal
Mikroorganisme masuk
Keracunan Operasi kolostomi ke saluran kemih

Mual, muntah Perubahan Dysuria Gangguan eliminasi urin


anxietas
defekasi:
- pengeluar
Ketidakseimba an tak
ngan nutrisis Gangguan rasa nyaman
terkontrol
kurang dari - iritasi
kebutuhan mukosa
tubuh
17
Trauma jaringan Abnormalitas
Resiko kerusakan
spinter rektal
integritas kulit
Perawatan tidak
adekuat
Nyeri

Resiko infeksi

18
BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian

4.1.1IDENTITAS PASIEN

Nama: -

Demografi: lingkungan yang kumuh dan pemukiman yang padat

dapat mempengaruhi terjadinya atresia ani

Umur: 1 hari

Jenis Kelamin: laki-laki

Atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki laki

daripada perempuan

No. Reg: -

Tanggal Masuk RS: -

Diagnosa Medis: Atresia Ani

4.1.2RIWAYAT KESEHATAN

a. Keluhan Utama

Pasien tidak memiliki anus sejak lahir

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pasien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama

kelahiran, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air

besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat

dalam urin

19
c. Riwayat Kesehatan Dahulu

Kedua orang tua merupakan carier dari atresia ani, adanya

kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan

kelainan congenital lainnya. Riwayat penggunaan obat-obatan

tanpa resep, konsumsi jamu-jamuan, riwayat jatuh, trauma pada

perut disangkal.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Adanya riwayat keluarga yang juga memiliki kelainan tidak

memiliki anus sejak lahir.

e. Riwayat Kesehatan Lingkungan

umumnya kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi secara

langsung kasus atresia ani ini. Hanya saja, lingkungan yang

kumuh dan padat tidak menutup kemungkinan menyebabkan

awalan terjadinya penyakit atresia ani pada janin yang masih

didalam kandungan.

4.1.3 POLA FUNGSI KESEHATAN

a. Pola persepsi terhadap kesehatan

Pasien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang

apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan karena pasien

merupakan bayi.

b. Pola aktifitas kesehatan/latihan

20
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri

karena masih bayi.

c. Pola istirahat/tidur

Pasien merasakan nyeri sehingga mengganggu waktu

istirahatnya. Diperoleh dari keterangan ibu bayi atau keluarga

yang lainnya, ketika saat jam istirahat, pasien gelisah dan rewel.

d. Pola nutrisi metabolik

Pasien yang merupakan bayi hanya minum ASI atau susu kaleng,

namun bisa saja dimuntahkan kembali ketika perut terasa penuh,

dan akibat terhambatnya melakukan konstipasi.

e. Pola eliminasi

Pasien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium

yang seharusnya dikeluarkan melalui anus.

f. Pola kognitif perseptual

Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi

dengan baik pada orang lain dikarenakan masih bayi. Keluarga

pasien pun belum terlalu paham mengenai penyakit yang diderita

pasien.

g. Pola konsep diri

1) Identitas diri : belum bisa terkaji

2) Ideal diri : belum bisa terkaji

3) Gambaran diri : belum bisa terkaji

4) Peran diri : belum bisa terkaji

21
5) Harga diri : belum bisa terkaji

h. Pola seksual Reproduksi

Pasien masih bayi dan belum menikah

i. Pola nilai dan kepercayaan

Belum bisa dikaji karena pasien belum mengerti tentang

kepercayaan.

j. Pola peran hubungan

Belum bisa dikaji karena pasien belum mampu berinteraksi

dengan orang lain secara mandiri.

k. Pola koping

Belum bisa dikaji karena pasien masih bayi dan belum mampu

berespon terhadap adanya suatu masalah.

4.1.4PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Fisik Head to toe

1. Tanda-tanda vital

• Nadi : 110 X/menit.

• Respirasi : 32 X/menit.

• Suhu axila :37º Celsius.

2. Kepala

Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada

benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal

hematom.

22
3. Mata

Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan

subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus,

conjungtiva tampak agak pucat.

4. Hidung

Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada

pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.

5. Mulut

Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak

macroglosus, tidak cheilochisis.

6. Telinga

Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago

berbentuk sempurna

7. Leher

Tidak ada webbed neck.

8. Thorak

Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel

shest, pernafasan normal

9. Jantung

Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur

10.Abdomen

Inspeksi : datar, lemas, tampak stoma kesan vital, produksi feses

positif.

23
Auskultasi : bising usus positif, normal

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.

Perkusi : timpani

11. Genetalia

Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak

ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.

12. Anus

Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-

kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan

kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar

peristaltic.

13. Ektrimitas atas dan bawah

Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan

maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat.

14. Punggung

Tidak ada penonjolan spina gifid

15. Pemeriksaan Reflek

a. Suching +

b. Rooting +

c. Moro +

d. Grip +

e. Plantar +

24
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa

menggunakan cara sebagai berikut:

1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila:

a) Jika Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau

anal membran berarti atresia ini termasuk atresia letak

rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital

Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi.

b) Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan

kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian

dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas

meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1

cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1

cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa

rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.

2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal

PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau

rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila

fistel (-) maka dilakukan invertrogram. Apabila akhiran < 1

cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti,

apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi

terlebih dahulu.

25
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila

mekonium didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel

perianal maka kelainan adalah letak rendah. Bila Pada pemeriksaan

fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan

foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisi oleh

udara, dengan cara Wangenstein Reis yaitu kedua kaki dipegang

posisi badan vertikal dengan kepala dibawah atau knee chest

position yaitu posisi sujud yang bertujuan agar udara berkumpul

didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi

(Faradilla, 2009).

Pada pemeriksan klinis, pasien dengan atresia ani tidak selalu

menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Pada pemeriksaan

klinis harus segera ditegakkan diagnosis setelah lahir dengan

inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer

melalui anus. (Levitt M, 2007)

Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi

dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen

tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan

mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau

fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi

tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum

tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi

untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena

26
itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia

ani pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy

atau anoplasty (Levitt M, 2007).

Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat

perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple

mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang

sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi

dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).

Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan

atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum,

"bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan

adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt

M, 2007).

4.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diketahui sebagai berikut:

1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan

diagnostik yang umum.

2. Pemeriksaan urin, jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk

memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.

3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice)

dapat menunjukkan adanya gas dalam ujung rectum yang buntu

27
pada mekonium yang mencegah gas sampai keujung kantong

rectal.

4. Ultrasound terhadap abdomen, dapat digunakan untuk

menentukan letak rectal kantong. Digunakan juga untuk melihat

fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan

mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena

massa tumor.

5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan

menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika

mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm

Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.

6. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius,

misalnya suatu sistrouretrogram mikturasi akan memperlihatkan

hubungan rektrourinarius dan kelainan urinarius.

7. CT Scan digunakan untuk menentukan lesi.

4.2 Diagnosa

a. Gangguan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan abnormalitas

organ.

b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan feses masuk ke uretra.

c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan mencerna makanan.

28
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi

f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit, vistel

retrovaginal, dysuria, trauma jaringan post operasi.

g. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan tidak adekuat, trauma

jaringan post operasi.

h. Ansietas berhubungan dengan pembedahan dan mempunyai anak yang

tidak sempurna.

29
4.3 Perencanaan dan pelaksanaan

No Diagnosa Tujuan dan NIC NOC

Kriteria hasil

1 Gangguan Setelah 1. Monitor tanda 1. Memonitor

pola dilakukan 3x24 dan gejala tanda dan

eliminasi jam pola konstipasi gejala

konstipasi eliminasi 2. Monitor feses: konstipasi

b.d pasien cuku frekuensi, 2. Memonitor

abnormalit baik. konsistensi dan feses:

as organ Kriteria Hasil: volume frekuensi,

Eliminasi 3. Monitor bising konsistensi

konstipasi bayi usus dan volume

bisa, walau 4. Monitor tanda 3. Memonitor

hanya melalui dan gejala bising usus

anus buatan peritonitis(di 4. Memonitor

usus) tanda dan

5. Pantau tanda dan gejala

gejala konstipasi peritonitis(di

6. Jelaskan usus)

rasionalisasi dari 5. Memantau

tindakan yang tanda dan

dilakukan

30
kepada keluarga gejala

pasien (bayi) konstipasi

7. Dukung intake 6. Menjelaskan

cairan rasionalisasi

dari tindakan

yang

dilakukan

kepada

keluarga

pasien (bayi)

7. Mendukung

intake cairan

2 Nyeri akut Setelah 1. Lakukan 1. Melakukan

b.d trauma dilakukan pengkajian nyeri pengkajian

jaringan perawatan secara nyeri secara

1x24 jam nyeri komprehensif, komprehensif,

pasien termasuk lokasi, termasuk

berkurang karakteristik, lokasi,

Kriteria Hasil: durasi, frekuensi, karakteristik,

Nyeri pada kualitasnya. durasi,

pasien(bayi) 2. Observasi reaksi frekuensi,

berkurang pada nonverbal dari kualitasnya

31
skala nyeri1 ketidaknyamanan 2. Mengobservas

setelah (misalnya: bayi i reaksi

dilakukan menangis) nonverbal dari

penanganan 3. Kontrol ketidaknyama

nyeri yang lingkungan yang nan (misalnya:

tepat serta dapat bayi

didampingi mempengaruhi menangis)

dengan nyeri seperti suhu 3. Mengontrol

lingkungan ruangan, lingkungan

yang bersih pencahayaan,dll yang dapat

4. Pilih dan mempengaruh

lakukan i nyeri seperti

penanganan suhu ruangan,

nyeri pencahayaan,

dll

4. Memilih dan

melakukan

penanganan

nyeri

3 Gangguan Setelah 1. Dorong 1. Mendorong

rasa dilakukan keluarga untuk keluarga

nyaman perawatan menemani untuk

b.d gejala pasien (bayi)

32
terkait 1x24 jam nyeri 2. Jaga kebersihan menemani

penyakit, berkurang daerah pasien (bayi)

vistel Kriteria hasil: penyakit/trauma 2. Menjaga

retrovagin  Pasien , pantau respon kebersihan

al, dysuria, (bayi) tidak pasien daerah

trauma lagi rewel 3. Beri pendidikan penyakit/trau

jaringan karena kesehatan pada ma, pantau

post area/lokasi keluarga pasien respon pasien

operasi penyakit (bayi) 3. Beri

dan trauma pendidikan

bersih dan kesehatan

selalu pada keluarga

dipantau pasien (bayi)

4 Ketidaksei Selama 1. Kolaborasi 1. Melakukan

mbangan dilakukan dengan ahli gizi kolaborasi

nutrisi perawatan untuk dengan ahli gizi

kurang 2x24 jam menentukan untuk

dari kebutuhan jumlah nutrisi menentukan

kebutuhan nutrisi pasien yang dibutuhkan jumlah nutrisi

tubuh b.d tercukupi pasien (bayi) yang

ketidakma Kriteria Hasil: 2. Monitor jumlah dibutuhkan

mpuan nutrisi pasien (bayi)

33
mencerna Nutrisi pasien 3. Kaji kemampuan 2. Memonitor

makanan sedikit demi pasien untuk jumlah nutrisi

sedikit mendapatkan 3. Mengkaji

terpenuhi nutrisi yang kemampuan

dibutuhkan pasien untuk

4. Berikan informasi mendapatkan

tentang nutrisi yang

kebutuhan nutrisi dibutuhkan

kepada keluarga 4. Memberikan

pasien informasi

tentang

kebutuhan

nutrisi kepada

keluarga pasien

5 Resiko Selama 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga

kerusakan dilakukan dan pantau kebersihan dan

integritas perawatan didaerah yang di pantau didaerah

kulit b.d selama 3x24 kolostomi pada yang di

kolostomi jam tidak ada pasien (bayi) kolostomi pada

kerusakan 2. Oleskan lotion pasien (bayi)

jaringan pada atau minyak/baby 2. Mengoleskan

kulit. lotion atau

34
Criteria hasil: oil pada daerah minyak/baby oil

1. Tidak yang beresiko pada daerah

ada 3. Monitor status yang beresiko

tanda- nutrisi pasien 3. Memonitor

tanda 4. Monitor tanda status nutrisi

infeksi dan gejala infeksi pasien

pada pada area insisi 4. Memonitor

kulit tanda dan gejala

2. Ketebal infeksi pada

an dan area insisi

tekstur

jaringa

normal

6 Resiko Setelah 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga

tinggi dilakukan lingkungan kebersihan

infeksi b.d perawatan 2. Pertahankan lingkungan

perawatan 3x24 jam teknik isolasi 2. Mempertahank

tidak resiko tinggi 3. Berikan terapi an teknik isolasi

adekuat, infeksi pasien antibiotic bila 3. Memberikan

trauma berkurang perlu infection terapi antibiotic

jaringan Kriteria Hasil: protection bila perlu

35
post Resiko infeksi 4. Monitor tanda infection

operasi berkurang dan gejala infeksi protection

karena sistemik dan local 4. Memonitor

lingkungan 5. Berikan tanda dan gejala

yang bersih perawatan pada infeksi sistemik

serta penangan lokasi infeksi dan local

cepat yang 6. Inspeksi kondisi 5. Memberikan

dilakukan. luka perawatan pada

7. Inspeksi kulit dan lokasi infeksi

membran mukosa 6. Melakukan

terhadap inspeksi kondisi

kemerahan, luka

panas, drainase 7. Melakukan

8. Dorong inspeksi kulit

masukkan nutrisi dan membran

yang cukup mukosa

9. Ajarkan keluarga terhadap

pasien (bayi) kemerahan,

tanda dan gejala panas, drainase

infeksi 8. Mendorong

masukkan

nutrisi yang

cukup

36
9. Mengajarkan

keluarga pasien

(bayi) tanda dan

gejala infeksi

7 Ansietas Selama 1. Gunakan 1. Menggunakan

b.d dilakukan pendekatan yang pendekatan

pembedah perawatan menenangkan yang

an dan 1x24 jam 2. Jelaskan semua menenangkan

mempunya ansietas prosedur 2. Menjelaskan

i anak yang keluarga pasien 3. Pahami prespektif semua prosedur

tidak teratasi Kriteria keluarga pasien 3. Memahami

sempurna Hasil: terhadap situasi prespektif

Keluarga stress keluarga pasien

pasien sedikit 4. Bantu keluarga terhadap situasi

berkurang rasa pasien mengenal stress

cemas setelah situasi yang 4. Membantu

diberi penkes menimbulkan keluarga pasien

yang kecemasan mengenal

berhubungan 5. Dorong keluarga situasi yang

dengan pasien untuk menimbulkan

penyakit sang mengungkapkan kecemasan

anak perasaan,

37
ketakutan, 5. Mendorong

persepsi keluarga pasien

untuk

mengungkapka

n perasaan,

ketakutan,

persepsi

4.4 Evaluasi

Evaluasi dalam asuhan keperawatan merupakan respon pasien terhadap

intervensi yang telah dilakukan. Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan,

dan perbaikan. Penulis menggunakan evaluasi SOAP dalam asuhan

keperawatan atresia ani sebagai berikut :

S: subjectiv

O: objektif

A: assesment

P: plan

Berikut evaluasi dari 3 diagnosa yang kami ambil:

DX 1: Gangguan pola eliminasi konstipasi b.d abnormalitas organ

S: Bayi rewel ketika tidak dapat melakukan konstipasi

O: Keringat dingin, suhu tubuh tinggi, bising usus pekak

A: Masalah teratasi

38
P: Hentikan intervensi

DX 2: Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit, vistel retrovaginal,

dysuria, trauma jaringan post operasi

S: Bayi gelisah dan rewel

O: Kebersihan area penyakit/trauma belum terpenuhi, tidak ada keluarga

yang mendampingi saat itu

A: Masalah teratasi

P: Hentikan intervensi

DX 3:Nyeri akut b.d trauma jaringan

S: Bayi menangis ketika bergerak atau lokasi penyakit tersentuh

O : Skala nyeri bayi di angka 4

A : Masalah teratasi sebagian

P : Lanjutkan intervensi

39
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Atresia ani merupakan suatu penyakit dimana tidak ada lubang anus

pada tempat yang seharusnya. Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi

baru lahir. Atresia ani ini dapat disebabkan oleh kelainan genetic dan

lingkungan. Untuk mencegah terjadinya atresia ani ini dapat dilakukan

melalui pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil

mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan

perkembangan janin dalam kandungan, promosi kesehatan mengenai

sanitasi lingkungan, dan menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun

seperti asap rokok, nikotin, dan zat yang berbahaya lainnya. Untuk

penanganannya dapat dilakukan dengan kolostomi, yaitu pembuatan

lubang pada abdomen yang fungsinya sebagai pengganti anus.

5.2 Saran

Untuk mencegah penyakit atresia ani ini sebaiknya keluarga dengan ibu

hamil memperbaiki pola nutrisi saat kehamilan, serta menjaga kebersihan

lingkungan sekitar. Dan bagi perawat, sebaiknya dapat memberikan

asuhan keperawatan secara professional.

40
Daftar Pustaka

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediarik” Edisi

ke-3. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6.

Jakarta: EGC

Sri Kurnianingsih (ed), Monica Ester (Alih bahasa). Pedoman Klinis Keperawatan

Pediatrik.. Edisi ke-4. Jakarta: EGC

Faradilla, dkk. 2009. Anastesi pada tindakan posterosagital anorektoplasti pada

kasus malforasi anorektal. Faculty of Medicine – University of Riau

Pekanbaru. [serial online]

https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/malformasi_anorektal_file

s_of_drsmed.pdf

Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba

Medika

[serial online]

41
https://www.academia.edu/8685826/ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_ANI

[diakses pada tanggal 29 Februari 2016]

[serial online]

http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?se

quence=6 [diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

[serial online]

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-

babii.pdf [diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

[serial online]

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf

[diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

42

Anda mungkin juga menyukai