Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN HISPRUNG DAN ATRESIA ANI

MATA KULIAH : KEPERAWATAN ANAK

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 8 ( TINGKAT 2B )

1. ROSINA KOLOHUWEY
2. WA SITI SANIA KARIM

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALUKU

PRODI KEPERAWATAN MASOHI

T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nyalah
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN
HISPRUNG DAN ATRESIA ANI”, tepat pada waktunya.

Penulisan makalah ini juga merupakan penugasan dari mata kuliah KEPERAWATAN ANAK.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dalam pembuatan makalah
ini dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dan membantu dalam pembuatan
makalah ini, serta rekan-rekan lain yang membantu pembuatan makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca guna memberikan sifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna mengingat
penulis masih tahap belajar dan oleh karna itu mohon maaf apabila masih banyak kesalahan
dan kekurangan di dalam penulisan makalah ini.

Masohi, februari 2019


DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

Konsep Medis

A. Definisi Atresia Ani dan Hisprung

B. Klasifikasi atresi ani dan Hisprung

C. Epidemologi atresia ani dan Hisprung

D. Patofisiologi atresia ani dan Hisprung

E. Manifestasi klinis atresia ani dan Hisprung

F. Pemeriksaan diagnostic atresia ani dan hisprung

G. Penatalaksanaan medis atresia ani dan hisprung

Konsep Asuhan Keperawatan

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah atresia berasal dari yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis
yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.

Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai


lubang keluar (Walley, 1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani
adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan
atresia ani adalah kondisi dimana terjadi gangguan pemisahan kloaka selama
pertumbuhan dalam kandungan.

Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab


gangguan pasase usus, yang diperkenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun
1886. Zuelser dan Wilson, 1984 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang
menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai
persarafan (aganglionik). Karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus ke
arah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi
“kelumpuhan” usus besar dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk
setiap individu.

B. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menambah


pengetahuan kepada para pembaca khususnya kepada mahasiswa ilmu
keperawatan mengenai penyakit hisprung dan atresia ani . makalah ini juga
dibuat untuk memenuhi syarat dalam proses pembelajaran pada mata kuliah
keperawatan anak.
BAB II

PEMBAHASAN

 Konsep Medis

A. Definisi Atresia Ani

Istilah atresia berasal dari yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis
yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.

Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai


lubang keluar (Walley, 1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani
adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan
atresia ani adalah kondisi dimana terjadi gangguan pemisahan kloaka selama
pertumbuhan dalam kandungan.

Jadi kesimpulannya, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus
tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.

Walaupun kelainan lubang anus mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa
terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
B. Klasifikasi Atresia Ani
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok
besar yaitu :
a Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis
dicapai melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina
atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan
bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate
sementara waktu.
b Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar
tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan
dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah
segera.
Klasifikasi menurut Melbourne yang membagi berdasarkan garis
pubokoksigeus dan garis yang melewati ischii :

a. Letak tinggi apabila rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus
pubokoksigeus)
b. Letak intermediate apabila akhiran rektum terletak di muskulus levator ani.
c. Letak rendah apabila akhiran rektum berakhir di bawah muskulus levator ani.

Gambaran malformasi anorektal pada perempuan.

C. Epidemiologi Atresia Ani

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1


dalam 5000 kelahiran (Grosfeld J, 2006) . Secara umum, atresia ani lebih banyak
ditemukan pada laki - laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan
kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki -laki, diikuti oleh fistula
perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak
ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal
(Oldham K, 2005)Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester
menunjukkan bahwa atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan
dibandingkan atresia letak tinggi( Boocock G, 1987).

D. Patofisiologi Atresia Ani


 Gangguan pertumbuhan saat kehamilan usia 12 minggu
 Fusi
 Pembentukan anus dari tonjolan embriogenik
 Putusnya saluran pencernaan dari atas dg daerah dubur

ATRESIA ANI

Feses tidak keluar vistelrektovaginal

Feses menumpuk feses masuk uretra

Peningkatan tekanan reabsorbsi metabolisme mikroorganism masuk

intra abdominal oleh tubuh salurankemih

anoplasti mualmuntah keracunan dysuria

resiko nutrisi kurang dari keb G3 rasa nyaman nyeri G3


eliminasi BAK

perubahan defekasi trauma jaringan

pengeluaran tdk terkontrol nyeri perawatan tidak adekuat

iritasi

E. Faktor Risiko Atresia Ani


a. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang anus.
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani,
karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu atau 3 bulan.
d. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain
juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
e. Faktor Predisposisi.
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital
saat lahir seperti :
 Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada
vertebral, anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar
limfe).
 Kelainan sistem pencernaan.
 Kelainan sistem pekemihan.
 Kelainan tulang belakang.
F. Manifestasi Klinis Atresia Ani
a. Mekonium tidak keluar dalam 24jam pertama setelah kelahiran
b. Tidak dapat mengukur suhu rectal pada bayi
c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
d. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus bila tidak ada fistula
e. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
f. Perut kembung

G. Pemeriksaan Diagnostik Atresia Ani


Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut:
a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui
jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
c. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
d. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
e. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan
traktus urinarius.
f. Pemeriksaan rectal digital dan visual
Pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini. Pemeriksaan fisik
rectum kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang
atau jari.
g. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel
mekonium.
h. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong. Ultrasound
terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
i. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut
sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah
masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak
rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa
kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih dahulu,
setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas
meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut
letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat
berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel
(-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero
sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium didadapatkan pada
perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada
pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto
abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara
Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah)
atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling
distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009). Pada pemeriksan klinis,
pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu,
diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi
daerah perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula rektoperineal
hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam pertama
setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula
urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur
otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal
harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena
itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk
menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007). Inspeksi
perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan tidak adanya
garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum
yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus
dilakukan colostomy (Levitt M, 2007). Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien
dengan atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-
handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus
(tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).
H. Penatalaksanaan Medis Atresia Ani
 Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara
atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Pada kelainan anorektal letak tinggi
atau intermediet, setelah diagnosis ditegakkan, segera dilakukan kolostomi selanjutnya
dibuatkan lopogram untuk mengetahui macam fistula.
 PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan.
Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya. Pada kelainan anorektal letak
rendah, penderita laki-laki dilakukan anoplasty perineal dengan prosedur V-Y plasti,
sedangkan untuk wanita dilakukan “cut back” atau prosedur V-Y seperti laki-laki (Bisset
1977 dan Filston, 1986).
 Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak
akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah
operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.

 Konsep Asuhan Keperawatan Atresia Ani


1. Pengkajian
a. Biodata klien
b. Riwayat keperawatan
1. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
2. Riwayat kesehatan masa lalu
c. Riwayat psikologis
Koping keluarga dalam menghadapi masalah
d. Riwayat tumbuh kembang anak
1. BB lahir abnormal
2. Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang
pernah mengalami trauma saat sakit.
3. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.
e. Riwayat social
f. Pemeriksaan fisik
g. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internatl terutama dalam system
pencernaan dan mencari adanya factor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan sel.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa pre operasi :
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat, muntah.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
dan prosedur perawatan.
Diagnosa post operasi :
a. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme terhadap luka
kolostomi.
d. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan dirumah.

3. Perencenaan keperawatan
Perencanaan keperawatan pada diagnosa pre operasi :
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Tujuan : klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
Kriteria hasil :
1. Penurunan distensi abdomen.
2. Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi :
1. Lakukan enema atau irigasi rectal.
2. Kaji bising usus dan abdomen.
3. Ukur lingkar abdomen.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunya intake,
muntah.
Tujuan : klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
Kriteria hasil :
1. Output urin 1-2 ml/kg/jam.
2. Capillary refill 3-5 detik
3. Turgor kulit baik
4. Membrane mukosa lembab
Intervensi :
1. Pantau TTV
2. Monitor intake-output cairan
3. Lakukan pemasangan infuse dan berikan cairan IV
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
dan prosedur perawatan.
Tujuan : kecemasan orang tua dapat berkurang.
Kriteria hasil : klien tidak lemas
Intervensi :
1. Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi
dan fisiologi saluran pencernaan normal.
2. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.
3. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.
Perencanaan keperawatan pada diagnosa post operasi :
a. Nyeri berhubungan dengan teruma pembedahan/insisi luka.
Tujuan : rasa nyeri teratasi/berkurang.
Kriteria hasil :
1. Klien tampak tenang dan merasa nyaman
2. Klien tidak meringis kesakitan.
Intervensi :
1. Kaji skala nyeri
2. Kaji lokasi, waktu dan intensitas nyeri
3. Berikan lingkungan yang tenang
4. Atur posisi klien
5. Kolaborasi dalam pemberian anibiotik
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
Tujuan : tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Kriteria hasil :
1. Penyembuhan luka tepat waktu
2. Tidak terjadi kerusakan didaerah sekitar anoplasti
Intervensi :
1. Kaji area stoma
2. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar
pada area stoma
3. Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma
4. Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi ¼ atau 1/3 kantong.
5. Lakukan perawatan luka kolostomi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder
terhadap luka kolostomi.
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi
2. TTV normal
3. Leukosit normal
Intervensi :
1. Kaji adanya tanda-tanda infeksi
2. Pantau TTV
3. Pantau hasil laboratorium
4. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium
5. Kolaborasi dalam pemberian antibiotic
d. Perubahan eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
Tujuan : gangguan pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil :
1. BAB normal
2. Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari
Intervensi :
1. Kaji pola kebiasaan buang air besar
2. Kaji factor penyebab konstipasi/diare
3. Anjurkan orang tua banyak dan mengandung tinggi serat jika
konstipasi.
4. Lakukan perawatan kolostomi.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan dirumah.
Tujuan : pasien dan keluarga memahami perawatan dirumah.
Kriteria hasil : menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan
kolostomi dirumah.
Intervensi :
1. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai
mereka dapat melakukan perawatan.
2. Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan
perawat.
3. Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan
dilatasi pada anal secara tepat.
4. Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
5. Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
6. Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit ( misalnya serat ).
 Konsep Medis

A. Definisi Hisprung
Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab
gangguan pasase usus, yang diperkenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun
1886. Zuelser dan Wilson, 1984 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang
menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai
persarafan (aganglionik). Karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus ke
arah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi
“kelumpuhan” usus besar dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk
setiap individu.

B. Klasifikasi Hisprung

Klasifikasi penyakit hisprung dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu :

- Tipe kolon spastik, biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi


berkala (konstipasi periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih
berganti dengan diare. Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa berupa
serangan nyeri tumpul atau kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut
terasa kembung, mual, sakit kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit
untuk berkonsentrasi. Buang air besar sering meringankan gejala-gejalanya.
- Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi yang
relatif tanpa rasa nyeri. Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan.
Yang khas adalah diare timbul segera setelah makan. Beberapa penderita
mengalami perut kembung dan konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.
Menurut segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :

 Megakolon kongenital segmen pendek, bila segmen aganglionik meliputi


rektum sampai sigmoid (70-80%)
 Megakolon kongenital segmen panjang, bila segmen aganglionik lebih
tinggi dari sigmoid (20%)
 Kolon aganglionik total, bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon
(5-10%)
 Kolon aganglionik universal, bila segmen aganglionik meliputi seluruh
usus sampai pylorus (5%).

C. Epidemiologi Hisprung

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1


diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Menurut catatan Swenson, 81,1%
dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown
menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus
dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan
dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka
yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%).
Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti
refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3
kasus) (Swenson dkk, 1990).

D. Patofisiologi Hisprung
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan di
sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot otot yang melapisi usus
(kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltic). Kontraksi otot otot tersebut
dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah
lapisan otot. Pada penyakit hirschsprung, ganglion atau/pleksus yang memerintahkan
gerakan peristaltic tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter.
Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltic tidak dapat mendorong bahan
bahan yang dicerna sehingga terjadi penyumbatan( Dasgupta, 2004).
Dengan kondisi tidak adanya ganglion, maka akan memberikan manifestasi
gangguan atau tidak adanya peristaltis sehingga akan terjadi tidak adanya evakuasi
usus spontas. Selain itu sfingter rectum tudak dapat berelaksaksi secara optoman,
kondisi ini dapat mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus kemuadian
terdorong ke segmen aganglionik dan terjadi akumulasi feses di daerah tersebut
sehingga memberikan manifestasi klisin dilastasi usus pada bagian proksimal.
Penyakit Hirscprung, atau megakolon kongenital adalah tidak adanya sel-sel
gangliondalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalanatau tidak adanya peristalsis serta tidak adanya evakuasi
usus spontan.Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya
feses secaranormal. Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul
di daerah tersebut,menyebabkan dilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap
daerah itu. Penyakithirscprung diduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor
lingkungan, namun etiologisebanarnya tidak diketahui. Penyakit hairscprung dapat
muncul pada sembarang usia,walaupun sering terjadi pada neonatus.

E. Faktor Risiko Hisprung

Diduga terjadi karena faktor genetic sering terjadi pada anak dengan down
syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus (budi, 2010)

F. Manifestasi Klinis Hisprung


Masa Neonatal :
a. Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul : distensi abdomen dan bilious
emesis. Tidak keluarnya mekonium (tinja pertama pada bayi baru lahir)
pada 24jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan
mengarah pada diagnosis ini.
b. Muntah berisi empedu, karena makanan terlalu banyak dicolon sehingga
makanan naik
c. Distensi abdomen, karena makanan tertahan di sigmoid colon
d. Nggan menyusui
e. Demam
f. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda
yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotikans, terjadi distensi
abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dap;at berdarah

 Masa bayi dan kanak-kanak

1. Konstipasi karena tidak berfungsinya pleksus submukosa meisner dan


pleksus mienterik aurbach
2. Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang
berumur kurang dari 3 bulan.
Dimana beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah
enterocolitis ringan
3. Tinja seperti pita, berbau busuk
4. Gagal tumbuh

G. Pemeriksaan Diagnostik Hisprung


a) Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa
ditemukan :
a. Daerah transisi
b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang
menyempit
c. Entrokolitis padasegmen yang melebar
d. Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam
( Darmawan K, 2004 : 17 )
b) Biopsi isap, yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap
dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :
17 ).
c) Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
d) Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada
penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase
( Darmawan K, 2004 : 17 ).
e) Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus ( Betz, cecily &
Sowden, 2002 : 197 ).
f) Pemeriksaan colok anus. Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan
dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu
bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian
bawah dan akan terjadi pembusukan.

H. Penatalaksanaan Medis Hisprung

Penatalaksanaan medis yang dpat dilakukan pada klien dengan penyakit


Hisprung, antara lain :
1. Tindakan konservative
Tindakan konservative yaitu tindakan darurat untuk menghilangkan
tanda-tanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube dengan atau
tanpa disertai pembilasan dengan air garam hangat secara teratur.(FKUI
halaman 207). Penatalaksanaan tanpa pembedahan dengan melakukan
irigasi kolon berulang hingga bayi mencapai ukuran yang memuaskan tidak
dianjurkan karena beresiko terjadi enterokolitis fatal (Nelson halaman 428).
2. Intervensi bedah
Pembedahan pada penyakit hisprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-
mula dilakukan kolostomi sementara (1) untuk mendekompresi usus dan
mengalihkan feses, dan (2) untuk memungkinkan bagian usus yang
berdilatasi dan hipertrofi kembali ke tonus dan ukuran normalnya
(memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan). Bila umur bayi itu antara 6
dan 12 bulan (atau bila beratnya 8 sampai 10 kg), prosedur penyambungan
ke rectum dilakukan bila semua usus aganglionik sudah dibuang dan usus
normal disambung kembali dengan anus. Kolostomi juga ditutup (Betz, 2009).
Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat dan dimaksudkan untuk
menghilangkan gejala obstruksi usus dan memperbaiki keadaan umum
penderita sebelum operasi. (FKUI halaman 207).
Persiapan prabedah :
1. Lavase kolon
2. Antibiotika
3. Infuse intravena
4. Tuba nasogastrik
5. Perawatan prabedah rutin

Pembedahan hisprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop


atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi
dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari
3 prosedur berikut :
1. Prosedur Duhamel
Penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang
usus aganglionik.
2. Prosedur Swenson
Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan saluran anal
yang dibatasi.
3. Prosedur soave
Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal
ditarik sampai ke anus. Prosedur soave merupakan salah satu prosedur yang paling
sering dilakukan.
4. Intervensi bedah
Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami obstruksi.
Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat dicapai
dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi di
dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua.

Pelaksanaan pasca bedah


1. Perawatan luka kolostomi
2. Perawatan kolostomi
3. Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan
peningkatan suhu.
4. Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk
diterima. Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu
kolostomi. Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan
bagaimana memakaikan kantong kolostomi.(Betz, 2002 : 198)

 Asuhan Keperawatan Hisprung

1. Pengkajian

a. Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama,


alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.

b. Keluhan utama

Masalah yang dirasakan klien yang sangat menganggu pada saat


dilakukan pengkajian, pada klien hisprung misalnya, sulit BAB, distensi
abdomen, kembung, muntah.

c. Riwayat kesehatan sekarang

Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam


setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fektal. Tanyakan
sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana
upaya klien mengatasi masalah tersebut.

d. Riwayat kesehatan masa lalu

Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,


persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.

e. Riwayat nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak

f. Riwayat psikologi

Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada


perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya

g. Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang
menderita hisprung

h. Riwayat social

Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam


mempertahankan hubungan dengan orang lain
i. Riwayat tumbuh kembang

Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB

j. Riwayat kebiasaan sehari-hari

Meliputi, kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas

2. Pemeriksaan Fisik

a. System integument

Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat
dilihat capillary refill, warna kulit, edema kulit.

b. System respirasi

Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan

c. System kardiovaskuler

Kaji adanya kelainan bunyi jantung ( mur-mur, gallop ), irama denyut nadi
apical, frekuensi denyut nadi/apical.

d. System penglihatan

Kaji adanya konjungtiva, rhinitis pada mata

e. System gastrointestinal

Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus,
adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah
( frekuensi dan karakteristik muntah ) adanya keram, tendemes.

3. Diagnosa Keperawatan

Pre operasi

a. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhungan dengan spastic usus dan tidak
adanya daya dorong.

b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.

c. Kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan muntah dan diare

d. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.


Post operasi

a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi dan perbaikan


pembedahan

b. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan

c. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kebutuhan irigasi, pembedahan


dan perawatan kolostomi.

4. Intervensi Keperawatan

Pre operasi

a. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastic usus dan tidak
adanya distensi abdomen.

Tujuan : klien tidak mengalami gangguan eliminasi dengan kriteria defekasi normal,
tidak distensi abdomen.

Intervensi :

1. Monitor cairan yang keluar dari kolostaomi.

Rasional : mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana


selanjutnya.

2. Pantau jumlah cairan kolostomi

Rasional : jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk penggantian


cairan.

3.Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.

Rasional : untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi terganggu.

b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.

Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet sesuai
kebutuhan secara parenteral atau per oral.

Intervensi ::

1. Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.


Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan

2. Panatau pemasukan makanan selama perawatan

Rasional : mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan.

3. Pantau atau timbang berat badan

Rasional : untuk mengetahui perubahan berat badan.

c. Kekurangn cairan tubuh berhubungan dengan muntah dan diare

Tujuan : kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami dehidrasi,
turgor kulit normal.

Intervensi :

1. Monitor tanda-tanda dehidrasi

Rasional : mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya.

2. Monitor cairan yang masuk dan keluar

Rasional : untuk mengetahui keseimbabgan cairan tubuh

3. Berikan cairan sesuai kebutuhan dan yang diprogramkan

Rasional : mencegah terjadinya dehidrasi.

d. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen

Tujuan : kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis,
tidak mengalami gangguan pola tidur.

Intervensi :

1. Kaji terhadap rasa nyeri

Rasional : mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya.

2. Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan.

Rasional : upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri.

3. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat analgesic sesuai program.

Rasional : mengurangi persepsi terhadap nyeri yang kerjanya pada system saraf
pusat.
Post operasi

a. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan

Tujuan : memberikan perawatan perbaikan kulit setelah dilakukan operasi

1. Kaji insisi pembedahan, bengkak dan drainage.

2. Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.

3. Oleskan krim jika perlu.

b. Nyeri b/d insisi pembedahan

Tujuan : kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis,
tidak mengalami gangguan pola tidur.

1. Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.

Rasional : mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya.

2.Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung dan sentuhan.

Rasional : upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri.

3. Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila dimungkinkan.

Rasional : mengurangi persepsi terhadap nyeri yang kerjayanya pada system


saraf pusat.

c. Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi.

Tujuan : pengetahuan keluarga pasien tentang cara menangani kebutuhan irigasi,


pembedahan dan perawatan kolostomi adekuat.

Intervensi :

Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi yang dialami perawatan dirumah dan
pengebotan.

1. Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan dan


perhatian tentang irigasi rectal dan perawatan ostomi.

2. Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.

3. Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi misalnya,


bagaimana dilakukan irigasi dan kolostomi.
4. Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan lakukan supervise saat
orang tua melakukan perawatan ostomi.

5. Evaluasi

Pre operasi Hisprung

a. Pola eliminasi berfungsi normal

b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi

c. Kebutuhan cairan dapat terpenuhi

d. Nyeri pada abdomen terasi

Post operasi

a. Integritas kulit lebih baik

b. Nyeri berkurang atau hilang

c. Pengetahuan meningkat tentang perawatan pembedahan terutama pembedahan


kolon.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang
untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat
kehamilan.

Penyakit ini ( Hisprung ) merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak
mempunyai persarafan (aganglionik). Karena ada bagian dari usus besar (mulai dari
anus ke arah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi
“kelumpuhan” usus besar dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap
individu.

B. Saran

Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang


penyakit Atresia ani dan penyakit Hisprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3.
Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta ; EGC.

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hisprung. Jakarta : Sagung Seto.

Daengaoes, Maryllin E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.

Syamsuhidajat, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai