Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

IKTERUS NEONATORUM



Disusun Oleh :
M. Nurman Ariefiansyah 0910312002
Syandrez Prima Putra 0910311020


Preseptor:
dr. Rahmiyetti, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUP DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
BUKITTINGGI
2014
1

BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin
darah sebesar 5-7 mg/dl.
1


1.2 Klasifikasi
1.2.1 Ikterus Fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin
serum, namun kurang dari 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya, dan ini dipertimbangkan
sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir antara lain kadar
bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar
5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang
dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi
< 2 mg/dL.
2
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor
lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih
tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa
minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada
hari ke-4 dan 5 setelah lahir.
2
Pada kebanyakan bayi, masalah ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan.
Ikterus masih dianggap fisiologis jika:
2
2

- Terjadi setelah 24 jam pertama
- Pada bayi baru lahir kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama
kehidupannya <2 mg/dL
- Pada bayi cukup bulan yang mendapatkan susu formula, kadar bilirubinnya
sebanyak 6-8 mg/dL
- Pada bayi cukup bulan yang mendapatkan ASI, kadar bilirubinnya sebanyak 7-14
mg/dL
- Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubinnya sebesar 10-12 mg/dL
- Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dL/hari

1.2.2 Ikterus Patologis
Disebut sebagai hiperbilirubinemia patologis apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus > presentil 95 sesuai standar Normogram Bhutani.
2
Ikterus juga
dapat dicurigai patologis jika:
2-4
-
Terjadi sebelum 24 jam kehidupan bayi

-
Peningkatan total bilirubin serum > 5 mg/dL/hari

-
Bilirubin total serum > 17 mg/dL pada bayi baru lahir yang mendapat ASI

-
Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.

-
Disertai tanda-tanda penyakit lain seperti muntah, letargi, bayi malas menyusu,
penurunan berat badan, apneu, takipneu, dan suhu yang tidak stabil.


3


Gambar 1. Normogram Bhutani
2

1.2.3 Ikterus Terkait ASI
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice, yaitu early
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI).
Early neonatal jaundice (breast feeding jaundice/ BFJ) ialah ikterus yang
disebabkan oleh produksi ASI yang belum banyak pada hari hari pertama. Biasanya timbul
pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak. Bayi mengalami kekurangan
asupan makanan sehingga bilirubin direk yang sudah mencapai usus tidak terikat oleh
makanan dan tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan. Di dalam usus, bilirubin
direk ini diubah menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke dalam darah dan
mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
5

4

Late neonatal jaundice (breast milk jaundice/ BMJ) mempunyai karakteristik
kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini
berlangsung lebih lama daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12
minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Penyebab BMJ
berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu, dan biasanya akan timbul
pada setiap bayi yang disusukannya. Selain itu, ikterus karena ASI juga bergantung kepada
kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek (misalnya bayi prematur akan lebih
besar kemungkinan terjadi ikterus).
5

1.3 Epidemiologi
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat
Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi
ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3%
dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan.
6

RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai
kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL.
Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3, dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap
hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup
bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal
(8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
6




5

1.4 Metabolisme Bilirubin
1.4.1 Pembentukan Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga kekuningan yang sebagian besar
merupakan bentuk akhir dari katabolisme heme melalui proses reaksi oksidari-reduksi, dan
sedikit dari heme bebas ataupun proses eritropoesis yang tidak efektif. Dengan bantuan
enzim heme oksigenase yang banyak di sel hati, heme diubah menjadi biliverdin, karbon
monoksida yang akan dieksresikan melalui paru, dan zat besi yang akan digunakan untuk
pembentukan hemoglobin lagi. Biliverdin yang bersifatnya larut dalam air kemudian akan
mengalami reduksi oleh enzim biliverdin reduktase menjadi bilirubin. Bilirubin ini bersifat
lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut, sehingga
untuk mengekresikannya diperlukan proses tranportasi dan eliminasi.
2
Satu gram hemoglobin menghasilkan 34 mg bilirubin. Pada bayi baru lahir tiap
harinya dibentuk 8-10 mg/kgbb, lebih banyak dari orang dewasa yang hanya menghasilkan
3-4 mg/kgbb/hari. Hal ini disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek yaitu
berkisar antara 70-90 hari, adanya peningkatan jumlah dari degradasi heme, turn over
sitokrom yang tinggi, serta besarnya reabsorbsi bilirubin di usus.
3

1.4.2 Transportasi Bilirubin
Bilirubin yang terbentuk pada sistem retikuloendotelial, akan dilepaskan ke
sirkulasi. Di sini, bilirubin akan berikatan dengan albumin. Ikatan ini merupakan zat non-
polar dan tidak larut dalam air, yang kemudian akan dibawa ke sel hati. Bilirubin yang
terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non
toksik.
1,7
Albumin mempunyai afinitas yang tinggi, sehingga obat-obatan yang bersifat
asam seperti penisilin dan sulfonamid akan mudah menempati perlekatan utama antara
6

albumin dan bilirubin. Obat golongan ini bersifat kompetitor. Sedangkan obat-obatan lain
yang dapat menurunkan afinitas albumin, dapat melepaskan ikatan albumin-bilirubin,
seperti digoksin, gentamisin, furosemide, dan lain-lain.
1-3

1.4.3 Asupan Bilirubin/ Bilirubin I ntake
Saat ikatan albumin-bilirubin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan
terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditranspor melalui membran sel
yang berikatan dengan ligandin (protein Y). Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang
masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, sirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin
antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan konjugasi bilirubin, akan
menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal
ataupun tidak normal.
2,7

1.4.4 Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bilirubin terkonjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diposphat glukuronil
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi bilirubin menjadi
bilirubin monoglukoronida. Kemudian zat ini akan di konjugasikan kembali menjadi
bentuk bilirubin diglukoronida dengan bantuan enzim monoglukoronida. Enzim ini akan
menyatukan dua molekul bilirubin monoglukoronida untuk menghasilkan satu molekul
bilirubin diglukoronida.
5,7
Pada bayi baru lahir didapatkan defisiensi aktifitas enzim monoglukoronida.
Namun setelah 24 jam kehidupan, aktifitas enzim ini meningkat melebihi bilirubin yang
masuk ke hati, sehingga konsentrasi bilirubin serum akan turun. Kapasitas kerja enzim ini
akan sama dengan orang dewasa pada hari ke 4 kehidupan bayi.
2
7

1.4.5 Eksresi Bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi akan dieksresikan melalui kandung empedu sebelum
di keluarkan ke saluran cerna. Saat mencapai usus halus, bilirubin terkonjugasi akan
diubah oleh bakteri usus menjadi bentuk urobilinogen. Sebagian urobilinogen ini akan
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim -glukoronidase agar
dapat diresorbsi dan kembali ke hati untuk dikonjugasikan lagi, yang disebut sirkulasi
enterohepatik. Sekitar 5 % urobilinogen akan dialirkan ke ginjal. Saat terpapar dengan
udara di dalam urin, urobilinogen akan teroksidasi menjadi urobilin, yang akan mewarnai
urin. Sedangkan urobilinogen yang tidak terserap di usus, akan dibuang melalui feses
melalui reaksi oksidasi menjadi sterkobilin, suatu produk yang tidak dapat direabsorbsi
kembali dan akan mewarnai feses.
2,8


Gambar 2. Metabolisme Pemecahan Hemoglobin dan Pembentukan Bilirubin
8

1.5 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.
8

1.5.1 Produksi yang berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab
tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan, disebut ikterus hemolitik.
9

1. Hemolytic Disease of the Newborn (HDN)
HDN atau eritroblastosis fetalis merupakan suatu penyakit darah yang terjadi
apabila tipe darah ibu dan anak tidak kompatibel. Jika tipe darah bayi masuk ke darah ibu
sewaktu dalam kandungan atau sewaktu kelahiran, sistem imun ibu akan melihat darah
bayi sebagai suatu bahan dari luar dan akan menghasilkan antibodi untuk menyerang dan
menghapuskan sel darah merah bayi.
10
Keadaan ini akan mengakibatkan komplikasi dari
ringan ke berat. Sistem imun ibu menyimpan antibodi yang dihasilkannya tadi dan jika
terjadi inkompatibilitas lagi, hal yang sama akan terjadi kepada sel darah merah bayinya.
Oleh karena itu, HDN sering terjadi pada ibu yang mengandung kedua kalinya atau
kandungan setelah yang pertama, atau juga setelah keguguran atau aborsi. Inkompatibilitas
Rh lebih sering terjadi daripada ABO. Tiga kali lebih rentan pada bayi Kaukasia
dibandingkan bayi Afrika-Amerika.
7,9
Hemolytic Disease of the Newborn dipengaruhi oleh golongan darah ABO dan
Rhesus ibu, sehingga dibedakan atas:

a. Inkompatibilitas Rh
HDN dengan inkompatibilitas Rh adalah HDN yang selalu terjadi apabila ibu
dengan Rh-negatif mengandung anak Rh-positif karena berasal dari ayah yang Rh-positif.
Ibu dengan Rh-negatif dapat terpapar dengan antigen Rh melalui transfusi fetomaternal.
Pada paparan pertama, sebanyak 0.1 ml darah Rh-positif sudah dapat memicu
terbentuknya anti-Rh, yang sebagian besar berupa IgG. Terjadinya sensitisasi ulang
memicu terbentuknya lebih banyak IgG. IgG tersebut dapat melewati plasenta dan
9

kemudian masuk kedalam peredaran darah janin, sehingga sel-sel eritrosit janin akan
diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis.
Hemolisis yang terjadi pada inkompatibilitas Rh lebih berat terjadi pada kehamilan
berikutnya setelah terjadi sensitisasi.
5,11

b. Inkompatibilitas ABO
HDN karena inkompatibilitas ABO tidak selalu terjadi. HDN ini terjadi bila
seorang ibu dan bayinya mempunyai tipe darah yang tidak sama. Misalnya pada ibu
dengan golongan darah O yang mendapat sensitisasi maternal oleh antigen A atau B janin,
akan memproduksi anti-A dan anti-B berupa IgG. Antibodi itu dapat menembus plasenta
dan masuk ke sirkulasi janin sehingga menimbulkan hemolisis.
5,11

2. Defisiensi G6PD (Glucose 6 Phosphat Dehydrogenase)
Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia, yang
terkait kromosom sex (x-linked). Kelainan dasar biokimiadefisiensi G6PD disebabkan
mutasi pada gen G6PD. Peranan enzim G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah
merah serta menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalur
pentosa fosfat 13. Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk
mempertahankan bentuk, volume, kelenturan dan menjaga keseimbangan potensial
membran melalui regulasi pompa natrium-kalium. Fungsi enzim G6PD adalah
menyediakan NADPH yang diperlukan untuk membentuk kembali GSH, yang berfungsi
menjaga keutuhan sel darah merahsekaligus mencegah hemolitik.
10



10

3. Defisiensi Piruvat Kinase
Defisiensi piruvat kinase, walaupun jarang, merupakan defisiensi enzim kedua
yang tersering. Penyakit ini diwariskan sebagai sifat resesif autosom. Enzim ini berfungsi
melisis perubahan 2 fosfoenol piruvat menjadi piruvat dan merupakan tahap akhir
pembentukan energi pada jalur glikolitik. Efek defisiensi enzim ini terlihat pada sel-sel
darah merah tua yang tidak memiliki kemampuan fosfoliperasi oksidatif metabolik yang
merupakan sumber utama pembentukan energi untuk sel darah merah non retikulosit,
dimana tahap ini berkaitan dengan pembentukan ATP. Sel-sel eritrosit dengan defisiensi
piruvat kinase lebih mudah dihancurkan dilimpa dan pasien mengalami anemia hemolitik
kronis yang ditandai dengan meningkatnya hemolisis dan peningkatan bilirubin indirek.
8

4. Penyakit Hemolitik Karena Kelainan Eritrosit Kongenital
Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang menyerupai
eritroblastosis fetalis akibat iso-imunisasi. Pada penyakit ini coombs test biasanya negatif.
Beberapa penyakit lain yang dapat disebut ialah thalasemia, anemia sel sabit (sickle-cell
anemia), dan sferositosis kongenital. Pada pasien sferositosis terdapat peningkatan
fragilitas eritrosit oleh karena itu waktu daya tahan hidup eritrosit menurun. Pada pasien
ini mengalami ikterus ringan, jika waktu hemolisis cepat biasanya disertai meningkatnya
ikterus awitan yang cepat.
8


5. Adanya Darah Ekstravaskuler
Dapat berupa ptekie, hematoma, perdarahan pulmonal dan cerebral. Darah yang
dipecah oleh makrofag di luar sirkulasi akan meningkatkan produksi bilirubin I. Biasanya
jarang menunjukkan anemia yang berarti maupun retikulosis. Tertelannya darah ibu
11

selama proses kelahiran juga dapat menyebabkan icterus neonatorum. Darah ini akan di
katabolisme di dalam mukosa intestinal sehingga menjadi sumber bilirubin tambahan.
9

6. Polisitemia
Banyaknya jumlah darah merah akan meningkatkan jumlah produksi bilirubin.
Polisitemia biasanya diikuti dengan hiperviskositas yang akan menambah beban karena
akan mengganggu perfusi dari sinusoid-sinusoid hepar.
7
Polisitemia sering terjadi karena:
a. Hipoksia Janin. Kekurangan oksigen pada janin merangsang pembentukan sel
darah merah, sehingga meningkatkan produksi bilirubin.
7

b. Transfusi Maternal-Fetal. Dalam perdarhan transplasental ibu-janin, darah bayi
memiliki hemoglobin dewasa > 30% atau konsentrasi IgA yang tinggi untuk
usianya. Hal ini menyebabkan peningkatan destruksi eritrosit.
9

c. Transfusi Fetofetal. Terjadi pada bayi kembar. Kecurigaan akan adanya transfusi
fetofetal dipikirkan bila berat badan bayi berbeda secara signifikan. Salah satu akan
menderita anemia, dan yang lain akan mengalami polisitemia.

7. Peningkatan Sirkulasi Enterohepatik
Dapat terjadi pada obstruksi di saluran cerna atau penurunan peristaltik usus. Hal
ini akan meningkatkan reabsorbsi bilirubin dan menurunkan jumlah bilirubin yang akan
dikeluarkan melalui feses. Biasa terjadi pada pengeluaran mekonium yang terlambat.
7


1.5.2 Gangguan dalam Eksresi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor fungsional
maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Karena
bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih,
12

sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan
urobilinogen kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin
terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti
peningkatan kadar alkali fostafe dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu.
Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.
Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di
bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari
kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu
perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari
ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau
kolangiola) atau ekstra hepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada ke dua
keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.
3,8

1.5.3 Gangguan Kombinasi Produksi dan Ekskresi
1. Infeksi Prenatal dan Perinatal
Dapat berupa toksoplasmosis, rubella, penyakit sitomegalovirus, herpes simpleks,
sifilis, dan hepatitis. Semua infeksi ini dapat ditularkan melalui plasenta, dan sebagian
diantaranya juga didapat saat persalinan. Infeksi prenatal dapat meningkatkan kadar IgM
darah dan menghambat pertumbuhan janin. Bayi dengan infeksi tersebut dapat mengalami
hepatosplenomegali, anemia hemolitik, trombositopenia, dan trauma hepatoseluler. Semua
hal tersebut akan meningkatkan jumlah bilirubin.
9

2. Sepsis
Peningkatan bilirubin I pada sepsis terjadi karena proses inflamasi yang akan
merusak sel darah merah dan gangguan konjugasi oleh kerusakan hepar. Peningkatan
13

bilirubin II pada sepsis dihubungkan dengan kolestasis, yang dapat terjadi karena
sumbatan pada jalur pengeluaran bilirubin terkonjugasi oleh inflamasi.
7

3. Ikterus Pada Bayi dengan Ibu Diabetes
Dapat disebabkan oleh peningkatan sirkulasi enterohepatal, polisitemia, masalah
pada konjugasi bilirubin. Proses konjugasi melebihi kapasitas hepar untuk mengeksresikan
bilirubin terkonjugasi karena kecepatan produksi bilirubin yang sangat tinggi.
9

1.6 Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Ikterus biasanya terlihat menyebar secara sefalokaudal, dimulai dari wajah
dan menyebar ke perut dan kemudian ke kaki seiring peningkatan kadar bilirubin serum.
2

Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih
jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama
pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita
sedang mendapatkan terapi sinar.
12

Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan
jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis
dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat
dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
12

Gambar 3. Pemeriksaan ikterus pada kulit bayi. (A) tidak ikterik (B) ikterik
13
14

Dari pemeriksaan fisik, penentuan perkiraan kadar bilirubin dapat dilakukan
menurut kriteria Kramer (Tabel 2).

Tabel 2. Kriteria Kramer
1


1.7 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan bilirubin serum (bilirubin total, direk, dan indirek) harus dilakukan
pada neonatus yang mengalami ikterus, terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-
bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi
yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda
terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum. Pemeriksaan
serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya
kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi
sinar ataukah tranfusi tukar.
1,3
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain:
14


Derajat
Ikterus
Daerah Ikterus
Perkiraan
Kadar
Bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg/dL
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg/dL
III
Sampai badan bawah (di bawah
umbilikus) hingga tungkai atas (di atas
lutut)
11,4 mg/dL
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dL
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dL
15

1. Golongan darah
2. Coombs test
3. Darah lengkap dan hapusan darah. Pemeriksaan hapusan darah diperlukan untuk
membedakan kelainan hemolitik.
4. Hitung retikulosit. Jumlah retikulosit yang > 6% setelah tiga hari kehidupan bayi,
biasanya menandakan proses hemolitik yang abnormal.
5. Skrining G6PD
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, alur diagnosis ikterus neonatorum dapat
dijabarkan pada gambar 4 dan Tabel 3.

Gambar 4. Alur diagnosis ikterus neonatorum berdasarkan hasil laboratorium.
2


16

Tabel 3. Diagnosis banding ikterus neonatorum berdasarkan gambaran bilirubin serum


1.8 Penatalaksanaan
1.8.1 Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat ditatalaksana
melalui rawat jalan dengan nasehat untuk kembali jika ikterus berlangsung lebih dari 7 hari
pada bayi cukup bulan, atau 14 hari pada kurang bulan. Jika bayi dapat menghisap,
anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan ASI ekslusif lebih sering minimal setiap 2
jam. Jika bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI melalui pipa nasogastrik atau dengan
gelas dan sendok. Letakkan bayi ditempat yang cukup mendapat sinar matahari pagi
selama 30 menit selama 3-4 hari dan jaga agar bayi tetap hangat.
13

1.8.2 Ikterus Patologis
Setiap Ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca kelahiran adalah patologis dan
membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut; minimal kadar bilirubin serum total, serta
pemeriksaan ke arah adanya penyakit hemolisis oleh karena itu selanjutnya harus dirujuk.
17

Selain itu pada bayi dengan ikterus Kremer III atau lebih perlu dirujuk ke fasilitas yang
lebih lengkap setelah keadan bayi stabil.
13

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan
kern-ikterus/ ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi.
Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi
bilirubin dapat lebih cepat berlangsung.
1

Prinsipnya dalam penanganan ikterus ada 3 cara untuk mencegah dan mengobati,
yaitu:
1,12

1. Mempercepat metabolisme dan pengeluran bilirubin
2. Mengubah bilirubin menjadi bentuk yang tidak toksik agar dapat dikeluarkan
melalui ginjal dan usus, misalnya dengan terapi sinar (fototerapi)
3. Mengeluarkan bilirubin dari peredaran darah, yaitu dengan tranfusi tukar darah

Tabel 4. Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin
4,14
Usia
Terapi sinar Transfusi tukar
Bayi sehat Faktor Risiko* Bayi sehat Faktor Risiko*
mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L
Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220
Hari 2 15 260 13 220 25 425 15 260
Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340
Hari 4 dst 20 340 17 290 30 510 20 340

*Faktor risiko:

- usia kehamilan < 37 minggu, berat badan lahir < 2.500 g
- penyakit hemolitik
- bayi tampak kuning sebelum usia 24 jam
- infeksi berat (sepsis)
- saat lahir tidak bernafas spontan (memerlukan tindakan resusitasi)


18

1. Fototerapi
Fototerapi pada ikterus neonatorum adalah pemberian sinar berspektrum biru
berintensitas tinggi (420-470 nm) pada bayi. Sinar ini diketahui efektif mengurangi ikterik
secara klinis dan menurunkan kadar bilirubin indirek dalam serum. Bilirubin di dalam kulit
akan menyerap energi cahayanya, menyebabkan serangkaian reaksi fotokimia. Produk
utama yang dihasilkan dari fototerapi adalah adanya reaksi foto-isomerisasi yang
reversibel yang mengubah bilirubin indirek yang bersifat toksik menjadi bilirubin indirek
yang non toksik yang dapat diekskresikan melalui kandung empedu tanpa melalui
konyugasi. Produk fototerapi lainnya adalah lumirubin, sebuah isomer struktural yang
dihasilkan dari bilirubin yang dapat dieksresi melalui ginjal. Terapi penyinaran ini
menggunakan tabung fluorensens biru spesial, yang diletakkan 15-20 cm dari bayi dan
kain fiberoptik fototerapi diletakkan di punggung bayi untuk meningkatkan area kulit bayi
yang terkena. Indikasi fototerapi tergambar pada gambar 5.
2

Gambar 5. Indikasi fototerapi pada neonatus berdasarkan kadar bilirubin serum
2
19

2. Transfusi Tukar
Transfusi tukar dilakukan jika fototerapi intensif gagal mengurangi kadar
bilirubin dan jika ditakutkan akan menyebabkan komplikasi kernikterus. Transfusi
dilakukan dengan teknik aseptik.
2
Indikasi transfus tukar:
9

1. Diberikan kepada semua kasus ikterus dengan kadar bilirubin indirek > 20 mg/dL
2. Pada bayi prematur tranfusi tukar darah dapat diberikan walaupun kadar albumin
kurang dari 3,5 gram per 100 ml.
3. Pada kenaikan yang cepat bilirubin indirek serum bayi pada hari pertama (0,31
mg/dL/jam). Hal ini terutama terdapat pada inkompatibilitas golongan darah.
4. Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda-tanda dekompensasi jantung.
5. Bayi penderita ikterus dan kadar hemoglobin darah tali pusat kurang dari 14 mg/dL
dan Coombs test langsung positif.

Gambar 6. Indikasi Transfusi Tukar berdasarkan kadar bilirubin serum
2
20

3. Metalloporfirin
Metalloporfirin sn-mesoporfirin (SnMP) adalah obat yang dapat diberikan pada
hiperbilirubinemia neonatus. Mekanisme kerjanya adalah sebagai inhibitor enzimatik
kompetitif dari enzim heme-oksigenase yang merubah protein-heme menjadi biliverdin.

1.9 Komplikasi
Jika bayi kuning patologis tidak mendapatkan pengobatan, maka dapat terjadi
penyakit kernikterus. Kernikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai
akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi dalam sel-sel otak. Kern ikterus dapat
menimbulkan kerusakan otak dengan gejala gangguan pendengaran, keterbelakangan
mental dan gangguan tingkah laku.
1,8
Pada neonatus cukup bulan dengan kadar bilirubin yang melebihi 20 mg/dL
sering keadaan berkembang menjadi kernikterus. Pada bayi prematur batasnya ialah 18
mg/dL, kecuali bila kadar albumin serum lebih dari 3 g/dL. Pada neonatus yang menderita
asidosis dan hipoglikemia, kern ikterus dapat terjadi walaupun kadar bilirubin < 16 mg/dL.
Pencegahan kern ikterus ialah dengan melakukan transfusi tukar darah bila kadar bilirubin
I mencapai 20 mg/dL .
1,8

1.10 Prognosis
Prognosis tergantung pada penyebab utama ikterik. Biasanya baik jika ditangani
secara tepat dan cepat. Namun jika komplikasi telah terjadi, prognosis memburuk.
8

21

BAB 2
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : By. NDA
MR : 37.69.54
Jenis Kelamin : Laki-laki
Anak ke : 1
Umur : 7 hari
Alamat : Birugo, Bungo No.145 Bukittinggi

ANAMNESIS
Telah dirawat seorang bayi laki-laki berusia 7 hari pada tanggal 29 April 2014
pukul 21.30 WIB di ruang rawat inap Perinatologi RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi dengan:
Keluhan Utama: Kuning yang bertambah sejak usia 5 hari
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Neonatus berat badan lahir cukup 3300 gram, panjang badan 49 cm, lahir SC atas
indikasi partus lama, ditolong dokter spesialis, langsung menangis (partus luar), ibu
baik ketuban jernih, kelainan kongenital tidak ada, jejas persalinan tidak ada.
- Kuning sejak usia 2 hari, bertambah kuning sejak usia 5 hari. Awalnya kuning
hanya tampak di muka, kemudian menyebar sampai ke tungkai.
- Demam tidak ada
- Sesak napas tidak ada, kebiruan tidak ada
- Bayi telah diberi ASI sejak hari pertama setelah lahir, kuat menyusu
22

- Injeksi vitamin K sudah diberikan setelah lahir
- Kejang tidak ada
- Muntah tidak ada
- Buang air kecil sudah keluar, warna dan jumlah biasa
- Buang air besar sudah keluar, warna dan konsistensi biasa, dempul tidak ada
- Bayi awalnya dibawa ke praktek dokter spesialis anak dan dirujuk ke RSUD Dr.
Achmad Mochtar untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium dan fototerapi.
- Riwayat ibu sering demam selama hamil ada pada usia kehamilan trimester
pertama, pernah dirawat di Rumah Sakit sebanyak 3 kali, demam disertai mual dan
muntah.
- Riwayat ibu keputihan yang banyak, berbau dan gatal selama hamil dan menjelang
persalinan tidak ada
- Riwayat ibu nyeri saat buang air kecil selama hamil dan menjelang persalinan tidak
ada.

Riwayat Kehamilan Sekarang:
- Hamil sekarang : G1, P0, A0
- Pemeriksaan antenatal ke dokter spesialis kandungan, teratur 1x sebulan
- Riwayat anemia, hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit ginjal
selama kehamilan tidak ada
- Tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol
- Kualitas dan kuantitas makanan baik
- Kehamilan cukup bulan
- Kontrol teratur ke dokter spesialis kandungan dan kebidanan

23

Riwayat Persalinan:
Persalinan di RS Ibnu Sina Bukittinggi, dipimpin oleh dokter. Lahir tanggal 22
April 2014 dengan sectio caesaera atas indikasi partus lama. Kelahiran tunggal, kondisi
saat lahir hidup, A/S langsung menangis (partus luar).

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum:
Keadaan umum : cukup aktif
Frekuensi jantung : 135 x /menit
Frekuensi nafas : 50 x/ menit
Suhu : 36,9 C
Panjang badan : 49 cm
Berat badan : 3060 gram
Sianosis : tidak ada
Ikterik : ada sampai telapak kaki

Pemeriksaan Khusus:
Kepala : normochepal
- Ubun-ubun besar : 1,5 x 1,5 cm
- Ubun-ubun kecil : 0,5 x 0,5 cm
- Jejas persalinan : tidak ada
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik
Mulut : sianosis sirkum oral tidak ada
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : napas cuping hidung tidak ada
24

Leher : tidak ditemukan kelaianan
Toraks :
Bentuk : normochest, retraksi epigastrium tidak ada
Jantung : irama teratur, bising tidak ada, gallop tidak ada
Paru : bronkovesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen :
Permukaan : datar
Kondisi : lemas
Hati : 1/4x1/4
Limpa : S
0
Tali Pusat : Sudah puput
Umbilikus : tidak ditemukan kelainan
Genitalia : testis desensus bilateral
Ekstremitas : Atas : akral hangat, refilling kapiler baik
Bawah : akral hangat, refilling kapiler baik
Kulit : ikterik ada, sianosis tidak ada
Anus : ada
Tulang-tulang : tidak ditemukan kelainan
Refleks neonatal:
Moro : +
Rooting : +
Isap : +
Pegang : +
Ukuran :
Lingkaran kepala : 34 cm
25

Lingkaran dada : 33 cm
Lingkaran perut : 31 cm
Kepala-simpisis : 32 cm
Simpisis-kaki : 17 cm
Panjang lengan : 17 cm
Panjang kaki : 19 cm

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Darah
- Hb : 14,6 g/dL
- Hematokrit : 38,9 %
- Leukosit : 7.530/mm
3

- Trombosit : 324.000/mm
3


DIAGNOSIS KERJA
NBBLC BBL 3260 gr, panjang badan 48 cm, cukup bulan
Lahir SC atas indikasi partus lama
Ibu baik, ketuban jernih
Apgar Skor langsung menangis (partus luar)
Kelainan kongenital tidak ada, jejas persalinan tidak ada
Penyakit sekarang ikterus neonatorum grade V ec. Susp. Neonatal hepatitis

ANJURAN PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan bilirubin darah (bilirubin total, direk, indirek)
26

- Pemeriksaan faal hepar
- HbsAg

PENATALAKSANAAN
- ASI OD
- Foto terapi

FOLLOW UP
TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT TATALAKSANA
29 April 2014

Pasien masuk ruang bayi RSAM Bukittinggi melalui
IGD, kiriman dari Spesialis Anak dengan
Hiperbilirubinemia.
Keadaan saat diterima:
S/ : demam ada
Kuning ada, sampai telapak kaki
Anak menyusu kuat pada ibu
sesak napas tidak ada
kejang tidak ada
BAK ada, warna dan jumlah biasa
Mekonium ada, warna dan konsistensi biasa
O/ : KU : Cukup aktif
HR 144 x/ menit, RR 48 x /menit, T 36,5
o
C
BB: 3060 gram, PB: 49 cm
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera
Ikterik
Kulit: ikterus kremer grade V
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Toraks : simetris, retraksi (-)
- cor : irama teratur, bising (-)
- pulmo : bronkhovesikuler, ronkhi (-),
wheezing (-)
Abdomen: distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstemitas: akral hangat, refilling kapiler baik
Kesan/ Ikterus neonatorum grade V
ec.susp.neonatal hepatitis
R/ pemeriksaan bilirubin dan faal hepar
ASI OD
Foto terapi

30 April 2014

S/ : demam ada
Kuning ada, sampai tungkai
Anak menyusu kuat pada ibu
sesak napas tidak ada
kejang tidak ada
BAK ada, warna dan jumlah biasa
Mekonium ada, warna dan konsistensi biasa
ASI OD
Foto terapi

27

O/ : KU : Cukup aktif
HR 135 x/ menit, RR 50 x /menit, T 36,7
o
C
BB: 3050 gram, PB: 49 cm
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera
Ikterik
Kulit: ikterus kremer grade V
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Toraks : simetris, retraksi (-)
- cor : irama teratur, bising (-)
- pulmo : bronkhovesikuler, ronkhi (-),
wheezing (-)
Abdomen: distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstemitas: akral hangat, refilling kapiler baik

Hasil pemeriksaan laboratorium
SGOT : 25 U/L
SGPT : 93 U/L
Gamma-GT : 127,1 U/L
Bilirubin Direk : 0,49 mg/dl
Bilirubin Total : 19,93 mg/dl

Kesan/ Ikterus neonatorum grade V
ec.susp.neonatal hepatitis

28

BAB 3
DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien bayi laki-laki umur 7 hari dirawat di ruangan
perinatologi RS Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 29 April 2014 dengan
diagnosis kerja Ikterus neonatorum grade V ec. suspect neonatal hepatitis. Diagnosis
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari anamnesis didapatkan bayi kuning sejak umur 2 hari dan bertambah kuning
sejak umur 5 hari. Kuning awalnya hanya terdapat di wajah kemudian menyebar sampai ke
telapak kaki semenjak umur 5 hari. Bayi lahir cukup bulan secara sectio caesarea atas
indikasi partus lama, ditolong dokter, apgar skor langsung menangis (partus luar) dengan
berat badan lahir 3300 gram dan panjang badan 49 cm. Tidak ditemukan jejas persalinan
dan kelainan kongenital. Tidak ditemukan demam, sesak napas, kebiruan, dan kejang. Bayi
menyusu kuat pada ibu, buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal. Injeksi
vitamin K sudah diberikan. Pada ibu ditemukan riwayat demam disertai mual dan muntah
pada usia kehamilan trimester pertama dan dirawat di rumah sakit sebanyak 3 kali. Pada
usia kehamilan 8 bulan ibu kembali dirawat di rumah sakit karena demam dan mencret
dengan frekuensi lebih dari 10 kali perhari. Riwayat keputihan dan nyeri saat buang air
kecil ketika hamil dan menjelang persalinan tidak ada. Riwayat hipertensi dan diabetes
melitus pada ibu tidak ada. Selama hamil ibu kontrol teratur ke dokter spesialis kebidanan
1 kali sebulan. Tidak ditemukan riwayat penyakit tertentu pada keluarganya.
Dari pemeriksaan fisik keadaan umum cukup aktif, tanda-tanda vital dalam batas
normal. Pemeriksaan mata ditemukan konjungtiva tidak anemis dan sklera tampak ikterik.
Kulit teraba hangat, turgor baik, dan tampak ikterus hingga ke telapak kaki. Pada
pemeriksaan toraks tidak ditemukan retraksi epigastrium, cor dan pulmo dalam batas
29

normal, sementara abdomen dan ekstrimitas tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 14,6 g/dL, hematokrit: 38,9 %, leukosit 7.530/mm
3
, trombosit
324.000/mm
3
. Selain itu terdapat gambaran gangguan faal hepar dengan SGPT: 93 U/L
dan Gamma-GT: 127,1 U/L serta hiperbiliriubinemia dengan bilirubin direk : 0,49 mg/dL
dan bilirubin total: 19,93 mg/dL.
Berdasarkan literatur, ikterus pada bayi cukup bulan yang muncul lebih dari 24
jam setelah lahir dengan kadar bilirubin total < 12 mg/dL dan peningkatan laju bilirubin
total < 5 mg/dL/hari masih dianggap sebagai ikterus yang fisiologis. Ikterus fisiologis akan
memuncak pada hari ke 2-3 dan menghilang pada hari ke-5 setelah lahir.
2
Pada pasien
ditemukan kuning mulai tampak umur 2 hari, namun pada umur 5 hari kuning semakin
bertambah hingga hari ke-7 sehingga hal ini mengarah kepada ikterus yang patologis. Pada
pasien ditemukan peningkatan bilirubin total serum hingga 19,93 mg/dL, peningkatan
bilirubin direk dan fungsi hepar yang abnormal. Selain itu tidak terdapat tanda-tanda
pemecahan eritrosit yang khas dimana tidak ditemukan adanya anemia. Ibu memiliki
riwayat demam yang berulang kali pada trimester pertama dan ketiga, sehingga
meningkatkan kemungkinan risiko infeksi fetomaternal. Kemungkinan obstruksi
ekstrahepatal masih kecil karena tidak ada riwayat BAB berwarna dempul.
Diagnosis yang paling mungkin adalah ikterus neonatorum akibat kolestasis
intrahepatal suspek neonatal hepatitis idiopatik. Menurut literatur, kolestasis neonatal
adalah apabila secara biokimia terdapat peningkatan konsentrasi bilirubin terkonyugasi
selama 14 hari pertama kehidupan. Kolestasis intrahepatal dipikirkan karena tidak terdapat
tanda-tanda peningkatan produksi bilirubin dan obstruksi ekstrahepatal. Selain itu, pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan hepatomegali dan splenomegali yang sering ditemukan
pada pasien dengan hemolisis dan atresia biliaris. Diagnosis banding pada pasien ini antara
lain kolestasis intrahepatal akibat penyakit metabolik dan penyakit virus lainnya.
15

30

Pasien ini ditatalaksana dengan pemberian ASI on demand dan terapi penyinaran/
foto terapi. Pemberian foto terapi dipertimbangkan jika kadar bilirubin total serum bayi
>17 mg/dL dan tergantung keadaan klinis.
4
Observasi dilakukan selama beberapa hari
sampai keadaan klinis pasien membaik.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim, M. Sholeh, Dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI. 2010;147-169.
2. Ambalavanan N, Carlo WA. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn; in
Kliegman, et al (Ed): Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier
Inc.; 2011. Chapter 96.3;603-8.
3. Asil A. Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus; dalam A.H. Markum (Ed):
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid I. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
1999;313-317.
4. Garna H, Nataprawira HMD. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak.
Edisi ke-3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad. 2005; Ikterus
Neonatorum;102-8.
5. Suradi, Nurina, et al. The Association Of Neonatal Jaundice And Breast-Feeding.
Paediatrica Indonesiana. 2001;41:69-75.
6. Badan Litbangkes Depkes RI. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2002;8-10.
7. Crawford, James R. Hati Dan Saluran Empedu; dalam Robbins: Buku Ajar Patologi,
volume 2. Jakarta: Penerbit Buku EGC. 2007;665-670.
8. Hasan R, Alatas H. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, 3. Edisi IV. Jakarta: Bagian
IKA FKUI. 1996;1095-100.
9. Poland R, Ostrea EM. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus; dalam Fanaroff AA (Ed);
Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi. Edisi 4. Jakarta: EGC. 1998;367-389.
10. Wibowo, Satrio. Perbandingan Kadar Bilirubin Neonatus Dengan Dan Tanpa
Defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase pada Infeksi Dan Tidak Infeksi. Tesis
pada Program Pendidikan Dokter SpesialisI Ilmu Kesehatan Anak Universitas
Diponegoro Semarang. 2007.
11. Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC. 2007;906-907.
12. Sulaiman, Ali. Pendekatan Klinis Pada Pasien Ikterus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I Edisi IV. Balai Penerbit FKUI. 2007. H. 420-423.
13. Lubis G. Hiperbilirubinemia. Slide Presentasi. FK Unand. Diakses dari
http://repository.unand.ac.id/18516/2/HYPERBILIRUBINEMIA%20KUL008print.pp
t pada 1 Mei 2014.
14. Maisels, Jeffrey M. Phototherapy For Neonatal Jaundice. The New English and
Journal of Medicine. 2008;358.
15. A-kader HH, Balistreri WF. Neonatal Cholestasis; in Kliegman, et al (Ed): Nelson
Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2011. Chapter
348.1;1381-88.

Anda mungkin juga menyukai