Anda di halaman 1dari 50

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

HIPERBILIRUBINEMIA

A. Definisi

Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar bilirubin total pada


minggu pertama kelahiran. Kadar normal maksimal adalah 12-13 mg% (205-220
mikromol/L). Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin di dalam darah melampui
1 mg/dL (17,1umol/L). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi
bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk mengekskresikannya, atau
dapat terjadi karena kegagalan hati yang rusak untuk mengekskresikan bilirubin
yang di hasilkan dengan jumlah normal. Pada semua keadaan ini, bilirubin
bertumpuk di dalam darah dan ketika mencapai suatu konsentrasi tertentu ( yaitu
sekitar 2-2,5 mg/dL ), bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
warnanya berubah menjadi kuning. Keadaan ini dinamakan jaundice atau ikterus.
Istilah jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune, yang berarti “kuning”) atau
ikterus (dari bahasa Yunani icteros) menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit,
sklera atau membran mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang
berlebihan pada jaringan. 1,2

Gejala paling relevan dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk
tersebut adalah ikterus, yang didefinisikan sebagai “kulit dan selaput lender
menjadi kuning.” Pada neonatus,ikterus yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5
mg/dl. Hiperbilirubinemia fisiologis yang terjadi pada bayi adalah ketika kadar
bilirubin indirek tidak melebihi 12 mg/dL pada hari ketiga dan bayi premature
pada 15 mg/dL pada hari kelima. 1,2

Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang


ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin
tidak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada

1
bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Ikterus dibagi menjadi dua
yaitu ikterus fisiologis dan ikterus non-fisiologis. 1,2

Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang,
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada
bayi cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk
kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan.
Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh factor tunggal tapi kombinasi dari
berbagai factor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir.
Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru
lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan
penurunan clearance bilirubin. Umumnya kadar bilirubin tak terkonjugasi pada
minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula
kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 samapi 2 minggu. 1,2.3

B. Patofisiologi
1. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan


bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi –
reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari
heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian
besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat
besi yang digunakan kembali untuk pembentukan haemoglobin dan karbon
monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam
air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin
reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. 1,2,3

2
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari,
sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi
bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih
pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan
degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorpsi bilirubin
dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik). 1,2,3,4

2. Transportasi Bilirubin

Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial,


selanjutnya dilapaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi
baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin
karena konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas ikatan molar yang
kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar
dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar.
Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat
dan bersifat nontoksik. 1,2.3.4

Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat –
obatan yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut
akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga

3
bersifat competitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
1,2.3.4

Obat – obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:

 Analgetik, antipiretik ( Natrium salisilat, fenilbutazon )


 Antiseptik, desinfektan ( metal, isopropyl )
 Antibiotik dengan kandungan sulfa ( Sulfadiazin, sulfamethizole,
sulfamoxazole )
 Penicilin ( propicilin, cloxacillin )
 Lain – lain ( novabiosin, triptophan, asam mendelik, kontras x – ray )

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:


1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk
sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
3) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui
ginjal.
4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum.

3. Asupan Bilirubin

Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membrane plasma


hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di
transfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin ( protein y ),
mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya.

4. Konjugasi Bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi


yang larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine
diphospate glukuronosyl transferase (UDPG – T). Katalisa oleh enzim ini akan
merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan
dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian dieksresikan

4
kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi
akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya. 1,2,3,4,5

5. Eksresi Bilirubin

Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam


kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui
feses. Setelah berada dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung
dapat diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak
terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi
kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi
kembali disebut sirkulasi enterohepatik. 1,2.3.4.5

Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada
mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase
yang dapat menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi
bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain
itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi
tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat
diabsorbsi). 1,2.3.4.5

5
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada
neonatus cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa
sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin.
Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram berat badan karena massa
eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek. 1,2,3,4,5,6

Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya
kelebihan bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau
kerusakan duktus biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan
ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu
ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan hepatoseluler memperpendek
umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan proses
ambilan bilirubin olah hepatosit. 1,2,3,4,5

C. Etiologi

Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat


terjadi : pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan

6
bilirubin tak terkonjugasi oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan
ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik yang
bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme
yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi. 1,2,3,4,6

1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan

Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah


merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus
yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsungnormal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin
abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah abnormal
(sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian
beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan
peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh
peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang
(talasemia, anemia persuisiosa, porviria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis
tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada
bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus. 1,2.3.6

2. Gangguan pengambilan bilirubin

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh
terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk
mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus
sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam
pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di

7
temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap
sebagai cacat konjugasi bilirubin. 1,2,3,4

3. Gangguan konjugasi bilirubin

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang


mulai terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada
Neonatus. Ikterus Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya
enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat
beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus
akan menghilang. 1,2,5,6

Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak
di obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan
pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi adalah dengan fototerapi. 1,2

Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang
yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang.
Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi)
menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan
dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi terlebih dahulu.
Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil transferase sering
kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini. 1,2

4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi

Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor


Fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi .Karena bilirubin terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat
di ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna
gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga
terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti

8
kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam
empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang
diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di
bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar
dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total
aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik
( mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai
saluran empedu di luar hati ). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan niokimia
yang sama. 1,2,3,6,7

Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :

a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah


merah, penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel
darah merah (inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah
merah pada defisiensi G6PD atau sferositosis, polisetemia, sekuester
darah, infeksi)
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital
yang jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia,
pemberian ASI yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empede : infeksi intrauterine, sepsis,
hepatitis, sindrom kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik).

D. Klasifikasi ikterus pada neonatus

Ikterus fisiologis : terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan
nilai puncak 6-8 mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5.
Pada bayi kurang bulan nilainya 10-12 mg/dL, bahkan
sampai 15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin serum <
5 mg/dL/hr.

9
Ikterus patologis : terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi
bilirubin serum > 5 mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI,
kadar bilirubin total serum > 17mg/dL. Ikterus menetap
setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2 mg/dL.

Sebagai neonatus , terutama bayi prematur, menunjukkan gejala ikterus


pada hari pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari kedua, kemudian
menghilang pada hari ke sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan
gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak memerlukan pengobatan,kecuali dalam
pengertian mencegah terjadinya penumpukan bilirubin tidak langsung yang
berlebihan. 1,2,6,7

Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan


pemeriksaan yang mendalam antara lain :

 Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama


 Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % per
hari
 Bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan
 Bilirubin melebihi 15mg% pada bayi prenatur
 Ikterus yang menetap sesudah minggu pertama
 Ikterus dengan bilirubin langsung melebihi 1mg
%pada setiap waktu.
 Ikterus yang berkaitan dengan penyakit
hemoglobin, infeksi, atau suatu keadaan patologik lain yang telah diketahui.

E. Pembagian derajat ikterus

10
Berdasarkan Kramer dapat dibagi :

Derajat ikterus Daerah Ikterus Perkiraan kadar


Bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg%
II Sampai badan atas (diatas 9,0 mg%
umbilicus)
III Sampai badan bawah 11,4 mg%
(dibawah umbilicus
sampai tungkai atas diatas
lutut)
IV Seluruh tubuh kecuali 12,4 mg%
telapak tangan dan kaki
V Seluruh tubuh 16,0 mg%

Bilirubin Ensefalopati Dan kernikterus

11
Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis
yang mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu
basal ganglia dan pada berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus
adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin
pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons, dan serebelum.

Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati

 Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargi, hipotonik, dan
reflek hisap buruk.

 Pada fase intermediate dan moderate, bayi akan mrngalami stupor, iritabilitas
dan hipertoni.

 Selanjutnya bayi akan demam, high – pitched cry, kemudian akan menjadi
drowsiness dan hipotoni.

Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup,
akan berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan
pendengaran, displasia dental – enamel, paralysis upward gaze.

F. Manifestasi klinik
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain:
 Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar
 Letargi
 Kejang
 Tidak mau menghisap
 Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
 Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis
yang disertai ketegangan otot
 Perut membuncit
 Pembesaran pada hati
 Feses berwarna seperti dempul
 Muntah, anoreksia, fatigue,
 Warna urin gelap.

12
G. Diagnosis
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.

1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)

2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan ‘Coombs test’ positip)

3. Usia kehamilan < 38 minggu

4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, ‘end tidal’ CO)

5. Ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya

6. Hematoma sefal, ‘bruising’

7. ASI eksklusif (bila berat badan turun > 12 % BB lahir)

8. Ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki, usia ibu < 25 tahun

9. Ikterus sebelum bayi dipulangkan

10. ‘Infant Diabetic Mother’, makrosomia

11. Polisitemia

Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)

2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi

3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya

4. Riwayat inkompatibilitas darah

5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.

13
Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi
sinar. 1,2
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit
dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula
dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut. 1,2,4,5

H. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun
pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin,

14
jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum
bilirubin
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya
valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’
pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain :
• Golongan darah dan ‘Coombs test’
• Darah lengkap dan hapusan darah
• Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
• Bilirubin direk

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia
bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.

I. Penatalaksanaan

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk


mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan

15
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan
pemberian obat-obatan (luminal). 1,2,4,6,7
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin
(plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian
kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga
dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-
obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai
dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi
bilirubin.

1. Strategi Pencegahan

a. Pencegahan Primer

 Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari


untuk beberapa hari pertama.

 Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

b. Pencegahan Sekunder

 Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

 Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap


timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang

16
harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari
setiap 8 – 12 jam.

2. Penggunaan Farmakoterapi

a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan


rhesus yang berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun
dan menurunkan tindakan transfusi tukar. 1,2

b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG – T dan


ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga
konjugasi bilirubin berlangsung lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk
mengobatan hiperbilirubenemia pada neonatus selama tiga hari baru dapat
menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak
memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan
dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian
dilanjutkan secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan
dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah.
Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil
yang berarti.

c. Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.

d. Tin – Protoporphyrin ( Sn – Pp ) dan Tin – Mesoporphyrin ( Sn – Mp )


dapat menurunkan kadar bilirubin serum. 1,2

e. Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L – aspartikdan


kasein holdolisat dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis – 6 kali/hari ) pada bayi sehat
cukup bulan yang mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses
dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi control. 1,2

3. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan
dilaporkan oleh seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat

17
Ward melihat bahwa bayi – bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya
ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi – bayi lainnya.
Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penyelidikan
mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya
terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga
mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi – bayi
prematur lainnya.6
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler
superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat
diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti
bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi
menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti
molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama
dengan molekul obat yang terikat pada reseptor. 1,2,6

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami


reaksi fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan
merubah bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk
bilirubin 4Z, 15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer
nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang
berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam

18
empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus
untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin
serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam
mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi
melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana
lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin
diekskresikan melalui empedu dan urin karena bersifat larut dalam air. 1,2,5,6

Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5%


neonatus kurang bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan
membutuhkan fototerapi. 1,2,5,6

Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai


dengan umur pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada
neonatus kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi American Academy of
Pediatrics (AAP). 1,2,5,6

Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang
merupakan suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik

19
bervariasi menurut frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan
spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah,
oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang
gelombang yang berbeda beda. 1,2,5,6
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar
bilirubin adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru
lebih baik dalam menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-
hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang
diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang
diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka
semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan
sebagai W/cm2/nm. 1,2,5,6

Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi.


Intensitas sinar diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer
fototerapi.28,36 Intensitas sinar ≥ 30 μW/cm2/nm cukup signifikan dalam
menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi. Intensitas sinar yang
diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar,
maka akan lebih besar pula efikasinya.

20
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah
jenis sinar, panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan
luas permukaan tubuh neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan
sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan
permukaan tubuh. Cara mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah
menggeser sinar lebih dekat pada bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali
dengan menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar
bila diletakkan terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan
dengan sinar fototerapi berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari
tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di pusat sinar, tempat di mana
intensitas sinar paling tinggi.

Tabel 2.1. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat


dan cukup bulan.
Usia Pertimbangan Terapi sinar Transfusi Transfusi
( jam ) terapi sinar tukar tukar dan
terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 µmol/L) ( >250 µmol/L) (>340 (425 µmol/L)
µmol/L)
49-72 >15mg/dl >18 mg/dl >25mg/dl >30 mg/dl
(>250 µmol/L) (>300µmol/L) (425 (510µmol/L)
µmol/L)
>72 >17 mg/dl >20mg/dl >25mg/dl >30mg/dl
(>290 µmol/L) (>340µmol/L (>425 (>510
µmol/L) µmol/L)

Tabel 2.2 Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan
Sakit ( >37 minggu )

Neontaus kurang bulan Neontaus kurang bulan sakit

21
sehat :Kadar Total :Kadar Total Bilirubin
Bilirubin Serum (mg/dl) Serum (mg/dl)
Berat Terapi Transfusi Terapi sinar Transfusi
sinar tukar tukar
Hingga 1000 g 5-7 10 4-6 8-10
1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1501-2000 g 10 17 8-10 15
>2000 g 10-12 18 10 17

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan


kadar bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive
jaundice.
Komplikasi terapi sinar

Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam


penggunaan terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak
memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik
komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama ini ebrsifat sementara
yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara
pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.

Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :

1. Peningkatan “insensible water loss” pada bayi


Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurnag bulan. Oh dkk (1972)
melaporkan kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari
keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan
terapi sinar perlu diperhatikan dengan sebaiknya.
2. Frekuensi defekasi yang meningkat
Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan
karena meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken
(1976) mengemukakan bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang
terjadi pada pembentukan enzim lactase karena meningkatnya bilirubin
indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan
mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum dapat dipertentangkan.

22
3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah
muka, badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi
dihentikan. Pada beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya
bronze baby syndrome (Kopelman dkk, 1976). Hal ini terjadi karena tubuh
tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan
warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses
tumbuh kembang bayi.

4. Gangguan retina
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk
1966). Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya
perubahan fungsi mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan
selanjutnya masih diteruskan.
5. Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics
1970). Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat
menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi
sinar. Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan
dengan indikasi yang tepat selama waktu yang diperlukan.
6. Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan
kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan
mematikan sebagian lampu yang dipergunakan.
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas
kadang-kadang ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat
sementara dan akan menghilang dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti
adalah kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan
metabolisme lain.

Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada
bayi. Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan
dengan manfaat penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi

23
sinar mempunyai tempat tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia
pada bayi baru lahir.

Tranfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah


yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama
yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar
(Friel, 1982).

Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya


ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi.
Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan,
karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga
mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar

1. Darah yang digunakan golongan O.

2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter
kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi
yang membutuhkan tranfusi tukar.

3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah
disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.

4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau
rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan
bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya
menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan
bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.

5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi
antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

24
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched
terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.

7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ----
160 mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

Teknik Transfusi Tukar

a. SIMPLE DOUBLE VOLUME

Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena


umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan
bergantian.

b. ISOVOLUMETRIC

Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri


umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang
sama.

c. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION

Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.

Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan


golongan darah O rhesus positif.

Pelaksanaan tranfusi tukar:

25
1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu
persiapan, pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.

2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan


penerangan dan pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi
yang lengkap serta terjaga sterilitasnya.

3. Persiapan Alat.

a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap

b.Lampu pemanas dan alat monitor

c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril

d.Masker, tutup kepala dan gaun steril

e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah

f. Set tranfusi 2 buah

g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath

h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2


buah

i. Selang pembuangan

j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis

k.Meja tindakan

Indikasi

26
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan
transfusi tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan
keputusan WHO tercantum dalam tabel 2.

Tabel 2. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum

Bayi Cukup Bulan


Usia Dengan Faktor Risiko
Sehat

Hari mg/dL mg/Dl

Hari ke-1 15 13

Hari ke-2 25 15

Hari ke-3 30 20

Hari ke-4 dan 30 20


seterusnya

Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi


bisa dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah
mencapai kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.

Tabel 3. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan (gram)


KadKadar Bilirubin
(mg/dL)

> > 1000 10-12

1000-1500 12-15

1500-2000 15-18

2000-2500 18-20

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada


indikasi:

27
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>

b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang


mendapatkan terapi sinar

c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11


– 13 gr/dL

d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol


secara adekuat dengan terapi sinar.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

 Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis

 Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

 Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

 Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar

1) Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

2) Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

3) Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

4) Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

5) Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis


nekrotikan

6) Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

Perawatan pasca tranfusi tukar

 Lanjutkan dengan terapi sinar

28
 Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar:

a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan


tertulis dari orang tua penderita

b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus
segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya

c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering
kompres dengan NaCl fisiologis

d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika


kadar albumin <>

e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit,


dekstrostik, Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek,
albumin, golongan darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD
dan enzim eritrosit lainnya serta kultur darah

f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai


tranfusi tukar

g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek
label darah).

29
TINJAUAN PUSTAKA
HIPOGLIKEMI

a. Definisi dan Faktor Penyebab Hipoglikemia


Hipoglikemia pada bayi disebabkan oleh kurangnya simpanan glikogen
hepatik dan lemak tubuh, gangguan glukoneogenesis, penurunan oksidasi asam
lemak bebas, produksi kortisol yang rendah, peningkatan kadar insulin, serta
penurunan pengeluaran epinefrin sebagai respons terhadap hipoglikemia. Risiko
hipoglikemia ini makin besar apabila bayi tersebut mengalami penyakit (seperti
asfiksia perinatal, SGN, sepsis) atau stress (misal hipotermia, syok) sehingga
makin meningkatkan penggunaan glukosayang tidak sebanding dengan simpanan
glukosa dan suplai nutrisi pada bayi tersebut. Hingga saat ini batasan kadar gula
darah yang berbahaya bagi perkembangan otak bayi belum dapat ditentukan
namun sebagian besar ahli menetapkan kadar <47 mg/dL sebagai batasan
hipoglikemia yang membutuhkan intervensi pada bayi premature maupun matur.
Pada praktiknya kadar gula <50 mg/dL umum digunakan dalam definisi
hipoglikemia.
Pemeriksaan kadar gula darah pada bayi yang memiliki faktor resiko
hipoglikemi harus diakukan segera setelah lahir (dalam 30-60 menit pasca
kelahiran) memegang peranan penting karena hipoglikemia dapat terjadi tanpa
disertai gejala. Pemeriksaan ini dapat diulang setiap 1-3 jam tergantung kondisi
klinis bayi. Pemeriksaan kadar gula darah juga perlu dilakukan apabila bayi
memperlihatkan manifestasi klinis yang mengarah pada hipoglikemia (jitteriness,
iritabilitas, hipotonia, letargi, menangis lemahatau melengking, hipotermia,
refleks hisap buruk, takipne, sianosis, apne, atau kejang). Kadar gula darah yang
rendah rentan dialami bayi prematur hinggausia 36 jam atau lebih terutama jika
pemberian minum regular atau pemasangan infus belum tercapai. Pemeriksaan
kadar gula darah dapat dilakukan dengan menggunakan strip atau melalui
pemeriksaan laboratorium. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan
dengan strip memberikan hasil 15% lebih rendah dibandingkan pemeriksaan

30
laboratorium. Apabila pemeriksaan dengan strip memberikan hasil kadar gula
darah yang rendah maka sebaiknya dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium. Selama menunggu hasil pemeriksaan laboratorium, terapi
hipoglikemia tetap diberikan. Bayi prematur dengan kadar gula darah <50 mg/dL,
terutama jika disertai manifestasi hipoglikemia dan dipuasakan harus segera
dievaluasi dan mendapat terapi glukosa intravena. Terapi glukosa diberikan dalam
bentuk bolus cairan dekstrosa 10% sebanyak 2-3 mL/kg diikuti dengan pemberian
infus cairan dekstrosa 10% (glucose infusion rate / GIR 6-8 mg/kg/menit).
Kecepatan infusdititrasi hingga tercapai kadar gula darah normal (60-120 mg/dL).
Kadar guladarah dipantau setiap 30-60 menit setelah pemberian bolus atau
peningkatankecepatan infus. Intervensi farmakologis dengan glukagon,
hidrokortison, diazoxide, octreotide, dan hidroklorotiazid, dapat dipertimbangkan
pada kasus hipoglikemia yang berat, persisten, atau berulang. Pencegahan
hipoglikemia sangat penting dilakukan pada bayi. Upaya pencegahan
hipoglikemia meliputi pencegahan hipotermia, pemberian minum secara dini dan
teratur, serta pemberian infus glukosa intravena, apabila pemberian nutrisi secara
enteral tidak memungkinkan. Tahapan peñata laksanaan bayi yang berisiko
hipoglikemia dapat dilihat pada Gambar 1.
 Bila dibutuhkan >12 mg/kgBB/menit, pertimbangkan obat-obatan:
glukagon, kortikosteroid, diazoxide dan konsul Divisi Endokrinologi
 ** Bila ditemukan hasil GD 36 – < 47 mg/dL 2 kali berturut – turut
berikan infus dekstrosa 10%, sebagai tambahan asupan per oral
 *** Bila 2 kali pemeriksaan berturut – turut GD >47 mg/dL setelah 24jam
terapi infus glukosa
o GIR dapat diturunkan bertahap 2 mg/kg/menit setiap 6 jam
o Periksa GD setiap 6 jam
o Asupan per oral ditingkatkan

31
Gambar 3. Tatalaksana hipoglikemia pada neonatuss

32
TINJAUAN PUSTAKA

GANGGUAN PERTUMBUHAN

a. Definisi
Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan
jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat di
ukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter),
umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek
fisik.
Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan
anak secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya
yang berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2
SD kurva pertumbuhan WHO 2005.
Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak. Secara garis besar
faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu faktor dalam
(internal) yang terdiri dari dari perbedaan ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur,
jenis kelamin, kelainan genetik, dan kelainan kromosom dan faktor luar
(eksternal/lingkungan) yang terdiri dari gizi, stimulasi, psikologis, dan sosial
ekonomi.
Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses
pertumbuhan anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang terdapat
dalam darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan
dan kemampuan saluran cerna. Hasil penelitian tentang pertumbuhan anak
Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan pertumbuhan paling gawat terjadi pada
usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut adalah keadaan gizi ibu selama
hamil, pola makan bayi yang salah, dan penyakit infeksi.
Penilaian gangguan pertumbuhan dapat dilakukan sedini mungkin sejak
anak dilahirkan. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan pertumbuhan
anak secara dini, sehingga upaya pencegahan dapat diberikan dengan indikasi

33
yang jelas pada masa-masa kritis proses pertumbuhan sesuai dengan umur anak,
dengan demikian dapat tercapai kondisi pertumbuhan yang optimal. Penilaian
pertumbuhan dapat dilakukan melalui penilaian pertumbuhan fisik salah satunya
adalah melalui pemantauan tinggi badan anak. Dengan mengukur tinggi badan
anak, pertumbuhan anak dapat dinilai dan dibandingkan dengan standar
pertumbuhan yang bertujuan untuk menentukan apakah anak tumbuh secara
normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah
pertumbuhan yang perlu ditangani.
Penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri. Dasar
utama dalam menilai pertumbuhan fisik anak adalah penilaian menggunakan alat
baku (standar). Untuk menjamin ketepatan dan keakuratan penilaian harus
dilakukan dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun waktu
tertentu untuk menilai kecepatan pertumbuhan.
Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian
pertumbuhan fisik adalah tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lipatan kulit,
lingkar lengan atas, panjang lengan, proporsi tubuh, dan panjang tungkai. Menurut
Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita macam-macam penilaian
pertumbuhan fisik yang dapat digunakan adalah:
1. Pengukuran Berat Badan (BB)
Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan
keadaan gizi balita. Balita ditimbang setiap bulan dan dicatat dalam Kartu Menuju
Sehat Balita (KMS Balita) sehingga dapat dilihat grafik pertumbuhannya dan
dilakukan interfensi jika terjadi penyimpangan.
2. Pengukuran Tinggi Badan (TB)
Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan dengan
berbaring sedangkan di atas umur 2 tahun dilakukan dengan berdiri. Hasil
pengukuran setiap bulan dapat dicatat pada dalam KMS yang mempunyai grafik
pertumbuhan tinggi badan.
3 Pengukuran Lingkar Kepala Anak (PLKA)
PLKA adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti

34
perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak
maka perkembangan otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada
diameter occipitofrontal dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai
standar. Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan di atas
normal dan gangguan pertumbuhan di bawah normal. Pemantauan berat badan
menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat) dapat dilakukan secara mudah untuk
mengetahui pola pertumbuhan anak. Menurut Soetjiningsih (2003) bila grafik
berat badan anak lebih dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau
kelainan hormonal. Sedangkan, apabila grafik berat badan di bawah normal
kemungkinan anak mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis, atau
kelainan hormonal. Anak yang kurang gizi akan berpotensi mengalami gangguan
pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya.

b. Faktor-faktor yang Memengaruhi Gangguan Pertumbuhan Anak


Banyak faktor yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan. Dari seluruh
siklus kehidupan, masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan
kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan
oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat
bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh
sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian seterusnya status
gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi saat
lahir dan balita.
Kehidupan manusia dimulai sejak masa janin dalam rahim ibu. Sejak itu,
manusia kecil telah memasuki masa perjuangan hidup yang salah satunya
menghadapi kemungkinan kurangnya zat gizi yang diterima dari ibu yang
mengandungnya. Jika zat gizi yang diterima dari ibunya tidak mencukupi maka
janin tersebut akan mengalami kurang gizi dan lahir dengan berat badan rendah
yang mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan
berikutnya. Krisis ekonomi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 - 2000 telah
menjadikan asupan zat gizi ibu hamil dari masyarakat kurang mampu khususnya
menurun secara signifikan dan menjadikan mereka mengalami Kurang Energi

35
Kronis (KEK) yang didefinisikan dengan Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5 cm.
Meskipun tidak ada penelitian khusus yang mendokumentasikan efek dan krisis
ekonomi terhadap outcome kehamilan, tetapi penelitian yang dilakukan akhir-
akhir ini menunjukkan dengan jelas bahwa bayi yang lahir dari ibu-ibu yang
mengalami KEK mempunyai rata-rata berat badan lahir 2.568 gram atau 390,9
gram lebih rendah dibandingkan rata-rata berat badan lahir bayi yang lahir dari
ibu-ibu yang tidak mengalami KEK. Ibu Hamil yang mengalami KEK
mempunyai risiko melahirkan bayi dengan BBLR 5 kali lebih besar dibandingkan
ibu hamil yang tidak KEK (Mustika 2004). Tingginya angka kurang gizi pada ibu
hamil ini mempunyai kontribusi terhadap tingginya angka BBLR di Indonesia
yang diperkirakan mencapai 350.000 bayi setiap tahunnya. Anemia merupakan
masalah kesehatan lain yang paling banyak ditemukan pada ibu hamil. Kurang
lebih 50% atau 1 diantara 2 ibu hamil di Indonesia menderita anemia yang
sebagian besar karena kekurangan zat besi. Konsekuensi lain dari anemia pada ibu
hamil adalah tingginya risiko melahirkan bayi prematur dan bayi BBLR. Selain
KEK dan anemia defisiensi besi, ibu hamil juga rawan terhadap kekurangan zat
gizi lain seperti vitamiin A, yodium, dan zinc. Kekurangan zat-zat gizi ini secara
bersama-sama akan membawa dampak yang lebih serius baik bagi ibunyamaupun
bagi bayi yang dikandungnya. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah
umumnya akan mengalami kehidupan masa depan yang kurang baik. Bayi BBLR
mempunyai risiko lebih tinggi untuk meninggal dalam lima tahun pertama
kehidupan. Mereka yang dapat bertahan hidup dalam lima tahun pertama akan
mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami hambatan dalam kehidupan
jangka panjangnya. Bagi bayi non BBLR, pada umumnya mereka mempunyai
status gizi saat lahiryang kurang lebih sama dengan status gizi bayi di negara lain.
Akan tetapi seiring dengan bertambahnya umur, disertai dengan adanya asupan
zat gizi yang lebih rendah dibandingkan kebutuhan serta tingginya beban penyakit
infeksi pada awal-awal kehidupan maka sebagian besar bayi Indonesia terus
mengalami penurunan status gizi dengan puncak penurunan pada umur kurang
lebih 18-24 bulan. Pada kelompok umur inilah prevalensi balita kurus (wasting)
dan balita pendek (stunting) mencapai tertinggi. Setelah melewati umur 24 bulan,

36
status gizi balita umumnya mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna. Balita
yang kurang gizi mempunyai risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita
yang tidak kurang gizi. Kekurangan gizi pada balita ini meliputi kurang energi dan
protein serta kekurangan zat gizi seperti vitamin A, zat besi, yodium dan zinc.
Masa balita menjadi lebih penting lagi oleh karena merupakan masa yang
kritis dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Terlebih
lagi 6 bulan terakhir masa kehamilan dan dua tahun pertama pasca kelahiran
merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada
masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit
diperbaiki. Anak yang menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata
IQ 11 point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted.
Masalah kurang gizi lain yang dihadapi anak usia balita adalah kekurangan
zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya. Lebih dan 50%
anak balita mengalami defisiensi vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum
retinol <20 mcg/dl dan satu diantara dua (48.1%) dari mereka menderita anemia
kurang zat besi. Seperti telah diketahui bahwa anak-anak yang kurang vitamin A
meskipun pada derajat sedang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
gangguan pertumbuhan, menderita beberapa penyakit infeksi seperti campak, dan
diare.
Sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka BBLR dan kurang gizi
pada masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up
growth) yang sempurna pada masa berikutnya, maka tidak heran apabila pada usia
sekolah banyak ditemukan anak yang kurang gizi. Lebih dari sepertiga (36,1%)
anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah
yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini
semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan baik
pada laki-laki maupun perempuan. Jika diamati perubahan prevalensi anak
pendekdari tahun ke tahun maka prevalensi anak pendek ini praktis tidak
mengalami perubahan oleh karena perubahan yang terjadi hanya sedikit sekali
yaitu dan 39,8% pada tahun 1994 menjadi 36,1% pada tahun 1999.

37
BAB II

LAPORAN KASUS

Tanggal Masuk RSUD Provinsi NTB: 11 Januari 2018

Nomor RM : 006832

Diagnosis masuk :Hiperbilirubinemia, Dermatitis, Gangguan


Pertumbuhan

Waktu Pemeriksaan : Kamis, 11 Januari 2018

2.1 IDENTITAS PASIEN


 Nama lengkap : Rafif Faeyza
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Tempat tanggal lahir : Mataram, 5 Januari 2018
 Usia : 6 Hari
 Status : Anak kandung
 Anak ke- : 1 (satu)
 Alamat : Sesele, Lombok Barat
 Suku : Sasak
 Agama : Islam

2.2 IDENTITAS KEDUA ORANG TUA PASIEN


Ibu Ayah
Nama Ny. Sumiati Tn. Basri Rahmat
Usia 27 tahun 26 tahun
Pendidikan terakhir SMA SMA
Pekerjaan Wiraswasta Wiraswasta

2.3 HETEROANAMNESIS
Heteronamnesis dilakukan pada hari Kamis, 11 Januari 2018

a. Keluhan utama : Warna Kulit Bayi Kuning


b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RS Kota Mataram dengan ikterus
neonatorum+dermatitis. Bayi lahir SC di RS Kota Mataram atas indikasi
CPD+KPD pada tanggal 5 Januari 2018 pukul 10.15 WITA dengan
G1P0A0H0 UK 38 minggu. Pasien lahir langsung menangis, berat badan
lahir 2800 gram, panjang badan 43 cm, lingkar kepala 34 cm.

38
Saat ini pasien berusia 6 hari. Pasien dibawa Ibu pasien ke RS
Kota Mataram untuk kontrol. Ibu pasien mengeluhkan pasien tampak
kuning sejak 3 hari yang lalu, awalnya hanya di muka sampai dada, namun
sejak tadi pagi meluas sampai telapak kaki dan telapak tangan pasien. Ibu
pasien mengaku rajin menjemur pasien dibawah sinar matahari pagi pada
jam 7-8 pagi sejak hari ke 2 kelahiran. Selain itu pasien juga dikeluhkan
muncul bintil-bintil dan sempat demam saat keluar dari RS pada hari ke 2
kelahiran awalnya bintil muncul tanpa berisi cairan disekitar lipatan leher
dan selangkangan, namun pada hari ke 4 bintil tersebut sedikit membesar
dan berisikan cairan nanah. Demam dirasakan pada hari kedua (Minggu
7/1/2018) dan keempat namun turun dengan sendirinya tanpa diobati. Ibu
pasien mengatakan tidak pernah menderita demam, batuk, tekanan darah
tinggi dan riwayat diabetes melitus selama hamil. Pasien
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Tidak ada
d. Riwayat penyakit keluarga yang diturunkan
Penyakit yang diturunkan yang dialami oleh keluarga pasien antara
lain tidak ada, keluhan serupa (-)

e. Riwayat keluarga (ikhtisar keturunan)

pasien

Keterangan: : Pasien

f. Riwayat kehamilan dan persalinan


i. Riwayat kehamilan
Ibu pasien mengaku tidak pernah mengalami keguguran dan ini
merupakan hamil yang pertama. Saat hamil ibu tidak pernah sakit berat,

39
ibu pasien mengatakan tidak pernah mengalami mual muntah
berlebihan. Ibu pasien mengalami kenaikan berat badan dari 37,5 Kg
menjadi 48 Kg.
Ibu pasien mengaku selama hamil sering memeriksakan
kehamilannya ke puskesmas dan ke dokter spesialis kandungan.
Menurut penuturan sang ibu, ia pergi ke puskesmas setiap bulan, serta
sudah 2x memeriksakan kehamilannya ke dokter spesialis kandungan
sekaligus untuk dilakukan pemeriksaan USG pada umur kehamilan 3,5
bulan dan 7 bulan dan hasil USG dinyatakan normal tidak ada masalah.
ii. Riwayat persalinan
Ibu pasien melahirkan secara SC di RS Kota Mataram atas
indikasi CPD+KPD pada tanggal 5 Januari 2018 pukul 10.15 WITA
dengaN G1P0A0H0 UK 38 minggu. Pasien lahir langsung menangis,
berat badan lahir 2800 gram, panjang badan 43 cm, lingkar kepala 34
cm.

b. Riwayat nutrisi
Ibu pasien mengaku langsung memberikan ASI kepada bayinya
saat setelah 2 hari kelahiran.
c. Tatalaksana setelah lahir sebelum dirujuk
Amoxixilin 3 x 30 mg
Gentamisin Cream
d. Riwayat imunisasi
Hepatitis B
e. Riwayat ekonomi dan lingkungan
Ibu pasien mengatakan bahwa ia dan suami tinggal bersama satu
anaknya. Jadi satu rumah ditempati oleh 3 orang.Rumah pasien berada di
perkampungan padat penduduk dengan jarak antar rumah sekitar 3
meter.Sumber air didapatkan dari sumur dan PDAM. Ayah pasien bekerja
sebagai wiraswasta dengan pendapatan yang tidak menetap setiap
bulannya. Penghasilan ayah pasien selama ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarga. Dari keluarga tidak ada riwayat penyakit
keturunan seperti alergi (-) asma (-) hipertensi (-) DM (-)
2.4 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Kamis, 11 Januari 2018
a. Keadaan umum :
- Cukup

40
- Warna kulit kuning kecoklatan
- Kelainan bawaan (-)
b. Kesadaran :
- E4V5M6 (compos mentis)
c. Tanda vital
i. Frekuensi nafas : 42 kali/menit, tipe thorakoabdominal
ii. DJJ : 132 kali/menit, isi dan tegangan cukup, teratur
iii. Suhu tubuh : 37,2 oC
iv. SpO2 : 99 %

b. Penilaian status gizi


Berat badan sekarang : 2400 gram
Panjang badan badan : 43 cm
Lingkar kepala : 36 cm
c. Pemeriksaan lokalis
 Kepala
Bentuk kepala : nomochepaly, simetris, lecet (-), ubun – ubun
besar terpisah, teraba datar, sutura normal, craniosynostosis (-),
molding (-), caput sucendaneum (-), dan cephal hematom (-),wajah
dismorfik seperti down syndrome (-)
 Leher

Rooting refleks (+), hematome pada m. SCM (-), pembesaran kel.


Tiroid (-), leher pendek (-), pustul (+), ikterik (+)

 Muka

Mata : Anemis (-/-) conjunctivitis (-), sklera ikterik (+/+), refleks


cahaya (+/+)
Hidung : atresia choana (-/-), napas cuping hidung (-/-), rhinorae
(-/-)
Mulut : palatoschizis (-), frenulum pendek (-), makroglossia (-).
Telinga : simetris (+/+), low set ears (-/-)
 Thoraks

Inspeksi : dinding dada simetris, retraksi dinding dada (-),


ikterik (+)

Palpasi : gerakan dinding dada simetris

41
Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi :

 Cor
 Jantung berada di sebelah kiri
 Suara jantung S1 S2 (+), tunggal, regular, dan irama
teratur
 Suara murmur (-)
 Suara gallop (-)
 Pulmo
 Suara nafas bronkovesikuler (+/+)
 Suara tambahan rhonki (-/-)
 Suara tambahan wheezing (-/-)
 Abdomen

Inspeksi : distensi (-), organomegali (-), kelainan congenital


(-), ikterik (+)

Auskultasi : bising usus Normal

Palpasi : massa (-), supel (+), hepar-lien tidak teraba.

Perkusi : timpani (+) diseluruh lapang abdomen

 Umbilicus

Tampak basah dan mulai mongering, warna kuning


kehijauan (-), edema (-), kemerahan (-) pada pangkal
umbilicus.

 Kulit
Kulit ikterik (+)
 Genitalia

Normal, Jenis kelamin jelas (+), kelainan kongenital (-)

42
 Anus dan rektum
Anus (+), mekoninum (+) 24 jam pertama.
 Inguinal
Pustul (+)
 Ekstremitas

Normal. Syndactyli (-), polidactyli (-), talipes equinovarus


(-/-), edema (-), hangat (+)

 Vertebrae
Pinggul dan system syaraf dalam batas normal

2.5 RESUME

Subjektif
 Bayi Laki-laki usia 6 hari ( Lahir tanggal 5/1/2018 ), lahir SC dengan BBL
2800 gr, PB 43 cm, LK 36 cm, BBS ; 2400 gram
 Usia kehamilan Ibu 38 minggu, dengan ketuban pecah dini > 12 jam
 Demam selama hamil (-) Hipertensi selama hamil (-) DM (-)
 Dari heteroanamnesis didapatkan pasien kuning sejak ± 3 hari yang lalu
awalnya di muka dan leher dan sejak tadi pagi pasien kuning diseluruh tubuh.
Selain itu muncul bintil berisi cairan nanah, dan pernah dua kali demam saat
usia pasien 2 hari dan 4 hari namun demam turun dengan sendiri.
Objektif
 KU : Sedang
 ATR Cukup.
 Tanda vital:
- Normal (+)
- HR : 132x/menit
- RR ; 42x/menit
- T: 37,2 C
- BBL : 2800 gram
- BBS : 2400 gram
 Kepala-leher : ikterik (+), pustul (+), refleks moro sell (-)
 Thorax : ikterik (+)
 Abdomen : ikterik (+)
 Inguina : pustul (+)
 Ekstremitas atas: ikterik (+)
 Ekstremitas bawah: ikterik (+)
 Kulit : ikterik (+)

43
2.6 ASSESSMENT AWAL
Hiperbillirubinemia
Dermatitis
Hipoglikermi
Gangguan Pertumbuhan

2.7 PLANNING DIAGNOSTIK

Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap, Glukosa Darah Sewaktu, Bilirubin direk, Bilirubin Total,


Golongan Darah

2.8 ASSESSMENT AKHIR


 NCB SMK 38 minggu 2800 gram
 Hiperbilirubinemia
 Dermatitis
 Gangguan Pertumbuhan
 Hipoglikemi

2.9 TERAPI
 Observasi minum 8 x 20 cc
 Gentamisin cream
 Amoxisilin puyer 3 x 30 g
 Fototerapi 24 jam
 D10% 15 tpm
FOLLOW UP

Hari/ S O A P
tgl

I  ATR  RR: 43 x/m NCB SMK  Observasi


Cukup  N: 142 x/m 38 minggu minum 8 x 20
11/1/20
 Minum (+)  S : 36,6 2800 gram cc
18
 Sesak (-)  Retraksi (-)  Gentamisin
Hiperbiilrubi
 BAB (+)  Sianosis (-) cream
nemia
meko  Amoxisilin
 Ikterus (+)
Dermatitis puyer 3 x 30 g
 Ikterus (+)  pustul (+)
 Fototerapi 24
Gangguan

44
BBL : 2800 g Pertumbuhan jam

BBS : 2400 g Hipoglikemi


Cek Lab
Hb : 14,9 gr/dL  Darah lengkap
RBC: 1,13x106/uL
MCV :98,6 fL  glukosa darah
MCH : 33.6 pg sewaktu
MCHC: 34.1 g/dL
WBC : 8910 /uL  Bilirubin direk
PLT : 502000/uL  Bilirubin Total
Bilirubin total : 13,4
 Golongan
Bilirubin direct : 0,77
Darah
GDS : 34 mg/Dl -> Cek
GDS Stik Ulang ; 58  Diberikan
mg/dL D10% 15 tpm
setelah cek
Golongan Darah : AB/+
GDS stick
ulang dengan
hasil 58
mg/dL
II  ATR Cukup RR: 46 x/m NCB SMK  Observasi
 Minum (+) 38 minggu minum 8 x 20
12/1/20 N: 139 x/m
 Sesak (-) 2800 gram cc
18
 BAK (+) S : 37  D10% 15 tpm
Hiperbiilrubi
 Ikterus (+)  Gentamisin
Retraksi (-) nemia
cream
BBL : 2800 g Dermatitis  Amoxisilin
puyer 3 x 30 g
BBS : 2400 g Gangguan
 Fototerapi 24
Pertumbuhan
jam
Hipoglikemi

45
BAB III

MASALAH DAN PEMBAHSAN

Berdasarkan hasil heteroanamnesis dan pemeriksaan fisik pasien di atas,


permasalahan medis yang terdapat pada pasien tersebut yaitu:

a. Ikterus Nenatorum
b. Dermatitis
c. Gangguan Pertumbuhan
d. Hipoglikemi

a. Ikterus neonatorum

Ikterus yang terjadi pada hari keenam masih termasuk kategori ikterus
fisiologis. Namun pada saat pemeriksaan fisik, pasien mengalami ikterus di
seluruh tubuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan kadar bilirubin
dalam darah pasien sekitar 16 mg/dl dan kemungkinan ikterus yang dialami oleh
pasien bersifat patologis karena ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 10 mg/dl.

46
Hal tersebut mungkin disebabkan karena peningkatan ketersediaan bilirubin dan
penurunan klirens bilirubin. Peningkatan ketersediaan bilirubin tersebut
disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin yang diakibatkan oleh beberapa
hal, yaitu (1) peningkatan jumlah eritrosit, (2) pendeknya usia eritrosit dan (3)
peningkatan aktivitas enzim β-glukoronidase. Adapun penurunan klirens bilirubin
dapat diakibatkan oleh penurunan klirens dari plasma atau akibat penurunan
metabolism hepar.

b. Dermatitis

Adanya kelainan pada kulit bayi berupa pustul kemungkinan bisa terjadi
akibat dari banyak faktor. Faktor resiko dari ibu dengan riwayat SC atas indikasi
KPD dapat dipertimbangkan. Selain dari faktor resiko ibu, kelembaban dan
kebersihan kulit dari bayi bisa menjadi faktor resiko timbulnya pustul di sekitar
lipatan kulit di leher dan di selangkangan.

Perawatan kulit pada bayi merupakan komponen penting karena kulit


merupakan organ penting yang melindungi dari infeksi dan sebagai komponen
untuk pengaturan suhu bayi. Kulit yang rusak meningkatkan kehilangan panas
melalui proses evaporasi,meningkatkan risiko toksisitas terhadap penggunaan
bahan topikal, serta menjadi tempat masuknya mikroorganisme, baik flora normal
kulit maupunpathogen, seperti stafilokokus koagulase negatif dan Candida.
Praktik perawatan kulit dalam perawatan sehari-hari meliputi mandi,
penggunaan emolien, penggunaan salep antimikroba, perawatan umbilikus,dan
penggunaan perekat. Pada bayi prematur, ikatan antara dermis danepidermis dapat
lebih lemah daripada ikatan antara perekat dan dermis,sehingga penggunaan
perekat yang menempel kuat ke kulit bayi prematur dapatmembahayakan.
Penggunaan penutup transparan yang terbuat dari polyurethanetidak dapat
ditembus oleh air dan bakteri, namun memungkinkan adanyaaliran udara sehingga
kulit dapat “bernafas” dengan baik. Penggunaan perekattransparan untuk fiksasi
jalur intravena, kateter perkutaneus, dan kateter venasentral, pipa nasogastrik, dan
kanul oksigen. Perekat semipermeabel dapat menjadi pilihan.

47
c. Gangguan Pertumbuhan

Gangguan Pertumbuhan pada bayi dapat disebabkan oleh banyak faktor


Secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
faktor dalam (internal) yang terdiri dari dari perbedaan ras/etnik atau bangsa,
keluarga, umur, jenis kelamin, kelainan genetik, dan kelainan kromosom dan
faktor luar (eksternal/lingkungan) yang terdiri dari gizi, stimulasi, psikologis, dan
sosial ekonomi.
Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses
pertumbuhan anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang terdapat
dalam darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan
dan kemampuan saluran cerna. Hasil penelitian tentang pertumbuhan anak
Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan pertumbuhan paling gawat terjadi pada
usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut adalah keadaan gizi ibu selama
hamil, pola makan bayi yang salah, dan penyakit infeksi.
d. Hipoglikemi
Hipoglikemia pada bayi disebabkan oleh kurangnya simpanan glikogen
hepatik dan lemak tubuh, gangguan glukoneogenesis, penurunan oksidasi asam
lemak bebas, produksi kortisol yang rendah, peningkatan kadar insulin, serta
penurunan pengeluaran epinefrin sebagai respons terhadap hipoglikemia. Risiko
hipoglikemia ini makin besar apabila bayi tersebut mengalami penyakit (seperti
asfiksia perinatal, SGN, sepsis) atau stress (misal hipotermia, syok) sehingga
makin meningkatkan penggunaan glukosa yang tidak sebanding dengan simpanan
glukosa dan suplai nutrisi pada bayi tersebut. Hingga saat ini batasan kadar gula
darah yang berbahaya bagi perkembangan otak bayi belum dapat ditentukan
namun sebagian besar ahli menetapkan kadar <47 mg/dL sebagai batasan
hipoglikemia yang membutuhkan intervensi pada bayi premature maupun matur.
Pada praktiknya kadar gula <50 mg/dL umum digunakan dalam definisi
hipoglikemia.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali U. 2010. Buku Ajar Neonatologi.
Edisi pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; p. 147-169

2. Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi


17. 2014. EGC: Jakarta

3. HTA Indonesia. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum.

4. HTA Indonesia. 2010. Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir di


Rumah Sakit.

5. Meredith L. Porter, Beth L. Dennis. Hyperbilirubinemia In The Term


Newborn. American Family Physician. 2002. Dewitt Army Community
Hospital, Fort Belvoir, Virginia.

49
6. Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya:
Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr.
Soetomo.

7. Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan


Dokter Anak Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

50

Anda mungkin juga menyukai