Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

“FAILURE TO THRIVE, KOLESTASIS INTRAHEPATAL EC SEPSIS


DENGAN SUSPEK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN”

Oleh:

Muhammad Bagus Syaiful Chaeruddin

H1A013040

Pembimbing:

dr. Rifa Atuzzaqiyah, M.Sc, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

ILMU KESEHATAN ANAK RSUD PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya

dengan rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas laporan kasus

yang berjudul “FAILURE TO THRIVE, KOLESTASIS INTRAHEPATAL EC

SEPSIS DENGAN SUSPEK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN”. Laporan

kasusini saya susun dalam rangka memenuhi tugas dalam proses mengikuti

kepaniteraan klinik di bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum

Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.

Saya berharap penyusunan laporan kasus ini dapat berguna dalam

meningkatkan pemahaman kita semua mengenai Failure to thrive, kolestasis

intrahepatal ec sepsis dengan suspek penyakit jantung bawaan. Saya menyadari

bahwa laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saya sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan laporan ini.

Semoga Tuhan selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua di dalam

melaksanakan tugas dan menerima segala amal ibadah kita.

Mataram, Mei 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal tumbuh atau failure to thrive (FTT) adalah suatu keadaan
terjadinya keterlambatan pertumbuhan fisik pada bayi dan anak, dimana terjadi
kegagalan penambahan berat badan yang sesuai dengan grafik pertumbuhan
normal, dibandingkan dengan tinggi badan.1
Insiden gagal tumbuh pada anak belum diketahui karena banyak anak
dengan gagal tumbuh tidak terdiagnosa, bahkan di negara maju sekalipun.
Diperkirakan bahwa gagal tumbuh terjadi pada 5–10% dari populasi anak kecil
dan sekitar 3–5% dari anak tersebut di bawa ke rumah sakit. Adapun penyebab
yang organik adalah gangguan nutrisi, gangguan sistem saluran pencernaan,
penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular, penyakit pernafasan, penyakit
ginjal, gangguan endokrin, kelainan kongenital, dan penyakit susunan saraf
pusat. Sebelum diagnosis gagal tumbuh ditegakkan, seorang dokter harus
mengetahui kecepatan tumbuh dan peningkatan berat badan yang normal. 1,2
Kolestasis merupakan hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang
harus diekskresi hati, yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar
bilirubin direk dan penumpukan garam empedu. Angka kejadian kolestasis
cukup sering ditemukan pada bayi. Penyebab utama kolestasis neonatal adalah
hepatitis neonatal suatu hepatopati neonatal berupa proses inflamasi
nonspesifik jaringan hati karena gangguan metabolik, endokrin, dan infeksi
intra-uterin. 1,2
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan istilah umum untuk
kelainan pada struktur jantung dan pembuluh darah besar yang muncul sejak
lahir yang sering ditemukan. Dalam penelitian tentang profil antropometrik
dan prevalensi kekurangan gizi pada anak dengan PJB, didapatkan adanya
hubungan antara gangguan tumbuh kembang dengan penyakit jantung
bawaan.4
Dalam laporan kasus ini akan dibahas tentang menejemen pada risk of
failure to thrive, kolestasis intrahepatal ec sepsis dengan suspek penyakit
jantung bawaan.
1.2 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui manajemen pada anak dengan risk of failure to
thrive, kolestasis intrahepatal ec sepsis dengan suspek penyakit jantung
bawaan.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : By Ny A
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 16 Maret 2019
Usia : 1 bulan 23 hari
Status : Anak kandung
Alamat : Bima
Nomor RM : 027886
Tanggal MRS : 16 April 2019
Tanggal Pemeriksaan :
Identitas Orang Tua
Ayah Ibu

Nama Tn. AR Ny. A

Usia 29 tahun 28 th

Pendidikan terakhir SMA D3

Pekerjaan TNI Bidan

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis dengan ibu dan ayah pasien
pada tanggal 07 mei 2019 didukung dengan data dari rekam medis pasien.

a. Keluhan Utama : demam

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merupakan rujukan dari RSUD Bima dengan sepsis
neonatorum + cholestasis intrahepatal dd ekstrahepatal + suspek PDA dd
VSD + BBLR.
Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit pada tanggal 13 april 2019
pasien mengalami demam yang naik turun tanpa disertai kejang. Demam
mulai dirasakan pada pasien sejak pagi hari dan tiba tiba meningkat. Ibu
pasien mengatakan demam terutama dirasakan meningkat pada malam hari.
Satu hari setelah demam 14 april 2019 ibu pasien membawa pasien ke
puskesmas dan diberikan obat penurun demam, namun demam tidak turun.
Ibu pasien kemudian membawa ke RSUD Bima 15 april 2019 diberi
penanganan sementara dan dirujuk langsung ke RSUDP NTB. Pada saat di
rumah sakit bayi terlihat tampak kuning. Ibu pasien mengatakan tidak
pernah memperhatikan hal tersebut, pada saat lahir juga petugas kesehatan
yang menolong persalinan juga mengatakan tidak ada kelainan pada bayi
termasuk kulit yang kuning.
Pada tanggal 25 mei 2019 pasien mengalami diare. Pasien
mengalami diare kurang lebih sudah sejak 1 minggu. Warna BAB kuning
kehijauan dengan konsistensi cair disertai dengan ampas. Feses tidak
disertai darah/lendir, tidak berbau busuk. Frekuensi BAB 4-5 kali/hari,
volume kurang lebih setengah gelas berukuran sedang. Keluhan juga
disertai dengan muntah. Keluhan muntah pada pasien terjadi bersamaan
dengan diare, muntah pada pasien berupa cairan berwarna putih, tidak
disertai dengan darah. Oleh karena itu ibu mengatakan pasien juga malas
minum ASI selama kurang lebih 1 minggu.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat memiliki riwayat perdarahan pada
umbilicus 1 minggu setelah pasien lahir dan dirawat di puskesmas selama 1
hari.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa pada keluarga disangkal. Tidak terdapat
keluarga yang memiliki keluhan BAB cair dan muntah. Riwayat Hipertensi
(-), DM (-), asma (-).
Kesimpulan: tidak terdapat hubungan antara penyakit pasien sekarang
dengan riwayat penyakit keluarga.

e. Ikhtisar Keluarga

f. Riwayat Kehamilan
Ibu pasien hamil saat berusia 27 tahun. Ini merupakan kehamilan
pertama. Pasien rutin mengecek kehamilan di posyandu. Selama kehamilan
ibu pasien memeriksa sebanyak 7 kali dan USG sebanyak 3 kali. Ibu pasien
mengakui sudah pernah mendapatkan imunisasi TT saat kehamilan.
Riwayat mual dirasakan pada ibu pasien sampai usia kehamilan 5 bulan
tanpa disertai muntah. Ibu pasien juga mengatakan sering mengkonsumsi
rutin tablet Fe dan kalsium selama kehamilan.
Kesimpulan: Riwayat kehamilan cukup baik

g. Riwayat Persalinan
Pasien lahir dari Ibu usia 27 tahun dengan riwayat G1P0A0H0
tunggal/hidup/inrauterine. Pasien lahir secara normal di puskesmas di
puskesmas monta Bima dengan BBL 2900 gr, PBL 49 cm, LK 33 cm. pasien
saat lahir langsung menangis dan tidak biru. Pasien saat itu mendapatkan
Hb0, Vit K dan salep mata. IMD dilakukan satu jam setelah lahir.
Kesimpulan: Riwayat persalinan cukup baik

h. Riwayat Makanan
Sejak lahir pasien diberikan hanya ASI eksklusif dengan frekuensi
sering ( setiap 2 jam), durasi minum ialah 5 – 10 menit pada kedua payudara.
Terkadang pasien muntah ketika sedang diberikan ASI oleh ibu pasien. Saat
di rawat di rumah sakit pasien tetap mendapatkan ASI.
Kesimpulan: Riwayat makan pasien saat ini kurang baik.

i. Riwayat Perkembangan Dan Kepandaian


Motorik kasar
Tangan dan kaki bergerak aktif : belum bisa
Tengkurap : belum bisa
Duduk tanpa pegangan : belum bisa
Motorik halus
Mengambil 1 kubus : belum bisa
Memegang dengan ibu jari dan jari : belum bisa
mencoret : belum bisa
Bicara
Bereaksi terhadap bunyi : belum bisa
Bersuara ooo : belum bisa
Tertawa/berteriak : belum bisa
Mama papa : belum bisa
Menyebutkan 1 kata : belum bisa
Sosial
Menatap wajah ibu : 1 bulan
Tersenyum spontan : belum bisa
Berusaha mencapai mainan : belum bisa
Makan sendiri : belum bisa
Tepuk tangan : belum bisa
Minum dengan cangkir : belum bisa

Kesimpulan : Perkembangan pasien mengalami keterlambatan

j. Riwayat Vaksinasi
 HB0 pada usia 1 hari

Kesimpulan : Imunisasi dasar pasien belum lengkap

k. Riwayat sosial-ekonomi dan lingkungan


Pasien merupakan anak pertama dan tinggal bersama ayah dan ibu
di satu rumah. Ayah pasien bekerja sebagai TNI dengan penghasilan kurang
lebih Rp 4.000.000 per bulan. Ibu pasien bekerja sebagai bidan namun sejak
pindah dan ikut bersama suami ibu pasien berhenti bekerja. Penghasilan
orang tua pasien cukup untuk membiayai kebutuhan pasien sehari-hari.
Keluarga pasien tinggal di rumah yang sehat berdasarkan kriteria
rumah sehat. Kebersihan rumah selalu dijaga setiap hari. Dinding rumah
terbuat dari tembok batu bata dan kedap air. Tiap kamar memiliki jendela
dan ventilasi yang cukup. Jendela selalu dibuka setiap hari dan pencahayaan
cukup. Memiliki jamban pribadi. Sumber air bersih dari PDAM. Rumah
pasien terletak tidak dekat dengan sawah atau sungai. Selain itu ibu pasien
mengatakan dirumah memelihara banyak kucing.
Kesimpulan: Kondisi ekonomi menengah keatas dengan kondisi lingkungan
baik

l. Anamesis Sistem
Thermoregulasi : Demam (+)
Sistem serebrospinal : Kejang (-), penurunan kesadaran (-)
Sistem kardiovaskular : kebiruan (-), edema (-)
Sistem respirasi : Batuk (-), pilek (+), sesak napas (+)
Sistem gastrointestinal : Muntah (-), BAB (+), Diare (+)
Sistem urogenital : BAK (+) warna kuning jernih
Sistem integumentum : Ruam (-), pucat (-)
Sistem muskuloskeletal : Kelemahan otot (+)
Lain-lain :-

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada tanggal 08 mei 2019 pukul 15.30 WITA.
a. Kesan umum: Lemah
b. Tanda vital
 Frekuensi napas : 38 kali/menit tipe thorakoabdominal
 Frekuensi nadi : 131 kali/menit, isi dan tegangan cukup, teratur
 Suhu tubuh : 38,5o C
 Saturasi Oksigen : 98% dengan 1 lpm
c. Status gizi :
Klinis :
Edema : negatif
Tampak kurus : positif
d. Penilaian pertumbuhan
 Berat badan : 2400 gr
 Panjang badan : 49 cm
 Lingkar kepala : 35 cm
Kesimpulan :
BB/U : z-score < -3 SD (BB Sangat Rendah)
PB/U :z-score -2 SD sampai dengan -2 SD (Stunted)
BB/PB :z-score -3 SD (Gizi Buruk)
LK/U :z-score1 SD sampai dengan -1 SD (normocephali)
e. Pemeriksaan lokalis
 Kepala
o Bentuk : simetris
o Lingkar kepala : normocephali
o Ubun ubun besar : terbuka
o Rambut : tipis, warna hitam
o Wajah :
o Mata
 Konjungtiva anemis (-/-)
 Sklera ikterik (-/-)
 Mata cekung (-/-)
o Telinga
 Simetris (+/+)
 Lesi (-/-)
 Massa (-/-)
 Tanda-tanda inflamasi (-/-)
 Nyeri tekan (-/-)
 Cairan telinga berkurang
o Hidung
 Simetris (+/+)
 Deformitas (-/-)
 Sekret (+)
o Mulut
 Bibir pucat (-)
 Sianosis (-)
 Mukosa bibir lembab
 Leher
o Pembesaran KGB disekitar leher (-)
 Thorax
o Inspeksi
 Bentuk dan ukuran dada normal
 Ictus cordis tidak tampak
 Retraksi (-)
 Tanda-tanda inflamasi (-)

o Palpasi
 Massa (-)
 Pengembangan dada simetris
 Krepitasi (-)
o Perkusi
 Sonor (+)
o Auskultasi
 Cor
 Jantung berada di sebelah kiri
 Suara jantung S1 tunggal S2 split tak konstan
 Suara murmur(-)
 Suara gallop (-)
 Pulmo
 Suara nafas bronkovesikuler (+/+)
 Suara tambahan rhonki (-/-)
 Suara tambahan wheezing (-/-)
 Abdomen
o Inspeksi
 Distensi (+)
 Massa (-)
o Auskultasi
 Bising usus (+)
o Perkusi
 Timpani
o Palpasi
 Tidak teraba massa
 Nyeri tekan (-)
 Hepar tidak teraba
 Limpa tidak teraba

 Ekstremitas
Superior Inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas

Kekuatan +3 +3 +3 +3

Tonus Normal Normal Normal Normal

Trofi Atrofi Atrofi Atrofi Atrofi

Clonus (-) (-) (-) (-)

Refleks Fisiologis Normal Normal Normal Normal

Refleks Patologis (-) (-) (-) (-)

Sensibilitas Tde tde tde Tde

Edema (-) (-) (-) (-)

 Kulit
o Pucat (-)
 Urogenital
o Kelamin jelas (laki-laki)
o Anus (+)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium 23 april 2019

Parameter 8/3 Nilai Rujukan

HGB 13,9 14,0 – 22,5 (g/dl)

HCT 41 26,0-50,0 (%)

WBC 11310 10.000-26.000/uL

PLT 163000 100.000-400.000/uL

Na 145 135 – 146 mmol/L

K 4,5 3,4 – 5,4 mmol/L

Cl 123 95 - 108 mmol/dL

Bilirubin direk 7,58 < 0,20

Bilirubin total 9,3 < 1,00

Albumin 3,6 3,8 – 5,4

GDS 87 < 160.00

CRP 102 < 6.00

Imuno Serologi 26 april 2019

Toxoplasma IgG 300 reaktif > 8 postif

Toxoplasma IgM 2,27 reaktif Non reaktif

Rubella IgG 26 reaktif >15 positif

Rubella IgM Non reaktif Non reaktif

CMV IgG 24 reaktif >6 positif

CMV IgG Non reaktif Non reaktif


B. Echocardiography
Kesimpulan : TR ringan, EF 71%
C. USG abdomen
 Hepar ukuran normal
 Lien, pancreas dalam batas normal
2.5 Assesment
 Failure to thrive
 kolestasis intrahepatal ec sepsis
 suspek penyakit jantung bawaan
2.6 Penatalaksanaan
a. Planning Diagnostik
Cek darah lengkap
SGOT/SGPT
Foto thorax
GDS
Bilirubin

b. Planning Terapi
Terapi farmakologis :
 Inf D10 ¼ 240 cc/24 jam
 Inj ceftriaxone 2 x 120 mg iv
 Paracetamol drip 4 x 0,3 cc
 Estazor 3 x 25 mg
 Aspalys 1 x 0,4 cc
Terapi Non Farmakologis :
 ASI perah 12 x 40 cc
 Rencana Diet (Fase Rehabilitasi)
Kebutuhan cairan : 384 ml/hari(100 ml/kgBB/hari)
Kebutuhan protein : 5,28 gr/hari (4gr/kgBB/hari)
Kebutuhan kalori : 259,2 kkal/hari(150kkal/kgBB/hari)
Bentuk diet : ASI
Jalur Pemberian : NGT

c. Planning Tindakan
 Monitor indeks nutrisi, intake, dan peningkatan berat badan
d. Edukasi
 Mengedukasi untuk tetap memenuhi kebutuhan gizi pasien
 Mengedukasi keluarga pasien tentang kebersihan
 Mengedukasi keluarga tentang pentingnya kepatuhan konsumsi obat
secara teratur serta kontrol kesehatan
 Mengedukasi keluarga tentang tujuan dan lama perawatan yang
dibutuhkan
a. Catatan Perkembangan

Tanggal Pemeriksaan
Subjektif Objektif Asessment Planning
Pemeriksaan Penunjang
16/04/2019 Kuning +, KU: lemah  Demam febris  Cek lab( GGT, alkali
 Lab IGD
demam +, Tanda vital: hr 3 fosfatase, kolesterol,
HR: 120 x/m  Hb 9,2
riwayat BAB  Risk of FTT SGOT/SGPT,
RR: 30 x/m  WBC PTT/APTT, UL
dempul 2 hari  Kolestatis
yang lalu T: 38,8 C 20190
intrahepatal  Inj ceftriaxone 2 x
BB : 2,4 kg  PLT 120 mg iv
dd
K/l: anemis (+/+), ikterik (-/-) sianosis (-), mata 187000  Estazor 3 x 25 mg
ekstrahepatal
cowong (-/-)  Albumin  Apalys drip 1 x 0,4 cc
Tho: Retraksi(-), Simetris (+)  Susp PJB
3,6  Paracetamol drip 4 x
C: S1 tunggal S2 split tak konstan, gallop (-),
 Bilirubin 0,3 cc
murmur (-)  ASI perah 12x 35 ml
total 9,3
P: bronkoves (+/+), rh (-/-), wh (-/-), NGT
Abd: Distensi (-), bising usus (+)  Bilirubin
EKS: akral hangat, CRT <2 dtk direk 7,58

Tanggal Subjektif Objektif Pemeriksaan Asessment Planning


Pemeriksaan Penunjang
20/04/2019 Demam +, KU: lemah  Demam febris  Kultur darah
 18/05/19
BAB 7x Tanda vital: hr 4  Ceftriaxone stop
 SGOT 120
lembek warna HR: 127x/m  Risk of FTT  Ceftazidine 3 x 100
hijau, RR: 40 x/m  SGPT 72
 Kolestatis mg
menyusui + T: 38,2 C  GGT  Gentamisin 1 x 18 mg
intrahepatal
BB : 2,5 kg 251,1  ASI 12 x 35 cc
dd
ekstrahepatal  L bio 1 x1
K/l: anemis (+/+), ikterik (-/-) sianosis (-), mata  Alkali  Susp PJB  Zinc 1x ½ cth
cowong (-/-) fosfatase
Tho: Retraksi(-), Simetris (+) 125,7
C: S1 tunggal S2 split tak konstan, gallop (-),  Kolesterol
murmur (-)
total 205
P: bronkoves (+/+), rh (-/-), wh (-/-),
Abd: Distensi (-), bising usus (+)
EKS: akral hangat, CRT <2 dtk

Tanggal Subjektif Objektif Pemeriksaan Asessment Planning


Pemeriksaan Penunjang
21/04/2019 Demam +, KU: lemah  Demam febris  Ceftazidine 3 x 100
BAB 4x Tanda vital: hr 5 mg
lembek warna HR: 127 x/m  Risk of FTT  Gentamisin 1 x 18 mg
hijau, RR: 40 x/m  Kolestatis  ASI 12 x 35 cc
menyusui + T: 37,7 C
intrahepatal  L bio 1 x1
BB : 2,4 kg  Zinc 1x ½ cth
K/l: anemis (+/+), ikterik (-/-) sianosis (-), mata dd
cowong (-/-) edema palpebra (+) ekstrahepatal
Tho: Retraksi(-), Simetris (+) Susp PJB
C: S1 tunggal S2 split tak konstan, gallop (-),
murmur (-)
P: bronkoves (+/+), rh (-/-), wh (-/-),
Abd: Distensi (-), bising usus (+)
EKS: akral hangat, CRT <2 dtk
Tanggal Subjektif Objektif Pemeriksaan Asessment Planning
Pemeriksaan Penunjang
22/04/2019 Demam +, KU: sedang  Demam febris  Ceftazidine 3 x 100
BAB 2x cair Tanda vital: hr 6 mg
ampas, HR: 120 x/m  FTT  Gentamisin 1 x 18
menyusui + RR: 38 x/m mg
 Kolestatis
T: 37,4 C
intrahepatal  ASI 12 x 35 cc
SpO2 99 % dengan 2 lpm
dd  L bio 1 x1
BB : 2,4 kg  As folat 1 x ½ mg
K/l: anemis (+/+), ikterik (-/-) sianosis (-) ekstrahepatal
 Susp PJB  Cek urin rutin
Tho: Retraksi(-), Simetris (+)
 Kultur urin
C: S1 tunggal S2 split tak konstan, gallop (-),
murmur (-)
P: ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-),
Abd: Distensi (-), bising usus (+)
EKS: akral hangat
Tanggal Subjektif Objektif Pemeriksaan Asessment Planning
Pemeriksaan Penunjang
23/04/2019 Demam +, KU: sedang HGB 13,9  Demam febris  Ceftazidine 3 x 100
BAB 2x cair Tanda vital: HCT 41 hr 7 mg
ampas, HR: 110 x/m WBC 11310  FTT  Gentamisin 1 x 18
menyusui + RR: 24x/m mg
PLT 163000  Kolestatis
T: 37 C
intrahepatal  ASI 12 x 35 cc
BB : 2,4 kg
ec sepsis  L bio 1 x1
K/l: anemis (+/+), ikterik (-/-) sianosis (-)  As folat 1 x ½ mg
Tho: Retraksi(-), Simetris (+)  Susp PJB
C: S1 tunggal S2 split tak konstan, gallop (-),  Diare cair
murmur (-) akut
P: ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-),
Abd: Distensi (+), bising usus (+)
EKS: akral hangat
Tanggal Subjektif Objektif Pemeriksaa Asessment Planning
Pemeriksaan Penunjang
24/04/2019 Demam +, KU: cukup  Demam febris  Ceftazidine 3 x 100
BAB 2x cair Tanda vital: hr 8 mg
ampas, HR: 128 x/m  FTT  Gentamisin 1 x 18
menyusui + RR: 34x/m mg
 Kolestatis
T: 37 C
intrahepatal  ASI 12 x 35 cc
BB : 2,5 kg
ec sepsis  L bio 1 x1
K/l: anemis (-/-), ikterik (-/-) sianosis (-)  As folat 1 x ½ mg
Tho: Retraksi(-), Simetris (+)  Susp PJB
C: S1 tunggal S2 split tak konstan, gallop (-),  Diare cair
murmur (-) akut
P: ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-),
Abd: Distensi (+), bising usus (+)
EKS: akral hangat
Tanggal Subjektif Objektif Pemeriksan Asessment Planning
Pemeriksaan Penunjang
25/3/2019 Demam +, KU: cukup  Demam febris  Gentamisin 1 x 18
BAB 1x cair, Tanda vital: hr 9 mg
menyusui + HR: 120 x/m  FTT  ASI 6 x 35 cc
RR: 34x/m  L bio 1 x1
T: 37C
BB : 2,5 kg  Kolestatis  As folat 1 x ½ mg
K/l: anemis (-/-), ikterik (-/-) sianosis (-) intrahepatal  Infantrini 6 x 35 cc
Tho: Retraksi(-), Simetris (+) ec sepsis
C: S1 tunggal S2 split tak konstan, gallop (-),  Susp PJB
murmur (-)
P: ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-),
Abd: Distensi (+), bising usus (+)
EKS: akral hangat
Tanggal Subjektif Objektif Pemeriksaan Asessment Planning
Pemeriksaan Penunjang
26/04/2019 Demam +, KU: cukup  Demam febris  Gentamisin 1 x 18
BAB 2x cair, Tanda vital: hr 10 mg
menyusui + HR: 132 x/m  FTT  ASI 6 x 35 cc
RR: 40x/m  Kolestatis  L bio 1 x1
T: 36,6 C
intrahepatal  As folat 1 x ½ mg
BB 2,5 kg  Infantrini stop
K/l: anemis (-/-), ikterik (-/-) sianosis (-) ec sepsis
Tho: Retraksi(-), Simetris (+)  Susp PJB
C: S1 tunggal S2 split tak konstan, gallop (-),
murmur (-)
P: ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-),
Abd: Distensi (+), bising usus (+)
EKS: akral hangat (+)
Tanggal Pemeriksaan
Subjektif Objektif Asessment Planning
Pemeriksaan Penunjang
29/04/2019 Demam +, KU: lemah  Demam febris hr 10  Gentamisin 1 x 18
BAB 2x cair, Tanda vital:  FTT mg
menyusui + HR: 108 x/m  Kolestatis  ASI 12 x 40 cc
RR: 30 x/m intrahepatal ec  L bio 1 x1
T: 36,9 C
sepsis  As folat 1 x ½ mg
SpO2: 99% dengan 1 lpm
BB 2,5 kg  Susp PJB
K/l: anemis (-/-), ikterik (-/-) sianosis (-
), mata cowong (-/-) rambut tipis dan
jarang
Tho: Retraksi(-), Simetris (+)
C: S1 tunggal S2 split tak konstan,
gallop (-), murmur (-)
P: bronkoves (+/+), rh (-/-), wh (-/-),
Abd: Distensi (+), bising usus (+)
EKS: akral hangat, CRT <2 dtk
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan Kasus dan Clinical Reasoning

Berdasarakan hasil heteroanamnesis dan pemeriksaan diatas, permasalahan


yang didapatkan pada pasien tersebut yaitu :

Dalam kasus ini didapatkan hasi pemeriksaan tumbuh kembang


pasien dengan Z score BB/U Sangat Rendah, PB/U Stunted, BB/PB Gizi
Buruk dan saat follow up kenaikan berat badan pasien tidak sesuai usia.
Menurut teori pasien ini dapat dikatakan gagal tumbuh kembang, yang
dimana Gagal tumbuh (failure to Thrive) adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak sesuai dengan seharusnya,
tidak naik (flat growth) atau bahkan turun dibandingkan pengukuran
sebelumnya (diketahui dari grafik pertumbuhan). Dimana sesusai dengan
klasifikasi Organic failure to thrive yaitu merupakan Gagal tumbuh organik
diketahui kondisi medis yang menyebabkan gagal tumbuhnya. Biasanya
disebabkan oleh infeksi (HIV, tuberkulosis), gangguan pada saluran cerna
(diare kronik, stenosis pilorus, gastroesofageal refluks), gangguan saraf
(serebral palsy, retardasi mental), gangguan pada traktus urinarius (infeksi
saluran kemih, gagal ginjal kronik), penyakit jantung bawaan dan kelainan
kromosom. 1,2

Kongenital Kelainan Kromosom (Sindrom Down, Sindrom Prader-


Willi)

Disgenesis Gonad (Sindrom Turner)

Displasia Skletal Akondroplasia

Metabolik In born error of metabolism

Sistem Imun Imunodefisiensi kronik

HIV

TB

Infeksi berulang
ISK kronik (pyelonephritis)

Gastrointestinal Stenosis pylorus

Kelainan anatomi oral atau esophagus

Trauma oral atau esophagus

GERD

Inflamatory Bowel Disease (IBD)

Alergi

Penyakit saluran empedu

Penyakit hepar kronik

Insufisiensi pancreas

Parasite atau infeksi usus kronik

Karies dentis

Renal Renal Tubular Asidosis

Gagal ginjal kronik

Kardiopulmonal Gagal jantung

Asma

Displasia bronkopulmoner

Fibrosis kistik

Tonsilitis dan adenoid kronik

Neurologi Cerebral Palsy

Gangguan perkembangan

Sensoris Anosmia

Buta

Endokrin Diabetes Mellitus

Hipotiroid

Insufisiensi Adrenal

Kelainan Hipofisis

Defisiensi GH

Lain lain Kanker

Sindrom Diensefalik

Penyakit Rematik

Keracunan timbal

Table Faktor predisposisi gagal tumbuh pada anak


Walaupun sudah dipertimbangkan gagal tumbuh merupakan akibat
dari faktor organik atau anorganik, sebuah pandangan baru dilakukan untuk
mengidentifikasi seluruh faktor yang mungkin berperan dan sering kali
ditemukan faktor yang berasal dari keduanya pada seorang anak. Faktor
anorganik yang berperan biasanya berupa intake energi yang inadekuat, selain
masalah itu faktor kegagalan tumbuh bisa diakibatkan oleh kurangnya kalori
yang masuk (biasanya mutah atau malabsorbsi dan atau hilangnya berlebihan
misalkan protein losing enteropati) dan kebutuhan metabolik yang terlalu
tinggi.3
Rata-rata berat bayi pada usia aterm adalah 3,3 kg dengan penurunan
berat badan sebanyak 10% pada beberapa hari pertama hidupnya akibat
skehilangan banyak cairan. Pada hari 10-14 hidupnya, berat badan bayi
seharusnya naik akibat dari pemberian ASI dan colostrum. Rata-rata bayi
mengalami berat badan 1 kg tiap bulannya selama 3 bulan pertama, setengah
kg per bulan pada usia 3-6 bulan, 0,33 kg per bulan pada usia 6-9 bulan dan
0,25 kg per bulan pada usia 9-12 bulan. Oleh karena itu seharusnya berat badan
bayi akan meningkat dua kali lipat pada usia 4-6 bulan dan tiga kali lipat pada
usia 12 bulan. 3
Sebuah skema alternatif digunakan pada bayi yang sudah memiliki
peningkatan berat badan 30 g per hari selama 3 bulan dan 15 g per hari selama
6 bulan selanjutnya. Usia 9 sampai anak-anak, rata-rata peningkatan berat
badan sebesar 0,25 kg/bulan, setelah itu berat badan anak akan meningkat
sebesar 2 kg/tahun selama usia sekolah. Intake kalori yang dibutuhkan oleh
bayi yang normal adalah 100-110 kkal/kgBB/hari untuk setengah tahun
pertama dan 100 kkal/kgBB/hari untuk setengah tahun kedua pada tahun
pertama. Jika berat bayi sudah lebih dari 10 kg, kebutuhan kalori sebesar
50kkal/kgBB/hari untuk mencapai BB 20 kg. Jika berat badan lebih dari 20 kg,
kebutuhan kalori sebesaro 20 kkal/kgBB/hari cukup untuk menjaga berat
badan. Bayi akan tumbuh dengan panjang badan 25 cm pada usia tahun
pertama, selanjutnya akan meningkat 12,5 cm pada tahun kedua dan akan
melambat menjadi sekitar 5-6 cm pada usia antara 4 tahun sampai usia
pubertas. sehingga pertumbuhan dapat meningkat menjadi 12 cm setiap
tahunnya.3
Ukuran lingkar kepala rata-rata sekitar 35 cm pada bayi baru lahir
dan akan meningkat menjadi 47 cm pada usia 1 tahun. Rata-rata akan melambat
pertumbuhannya menjadi 55 cm pada usia 6 tahun. Selain itu, rasio segmen
tubuh bagian atas dan bagian bawah akan berubah seiring adanya pertumbuhan.
Normalnya rasio pada bayi baru lahir adalah 1,7, rasio pada usia3 tahun adalah
1,3 dan rasio pada usia 7 tahun adalah 1 Segmen bagian bawah tubuh diukur
dari simfisis pubis hingga kaki.2,3
Tatalaksana utama pada gagal tumbuh adalah mengetahui penyebab
yang mendasarinya dan memperbaiki keadaan tersebut.
Gagal tumbuh memiliki efek yang serius, terutama pada
perkembangan otak. Jika malnutrisi menjadi berat dan kronik pada setahun
pertama kehidupan, perkembangan neurologis anak akan terpengaruh secara
permanen. Deteksi dini dan intervensi yang adekuat sangat penting.
Pendekatan multidisiplin sangat penting dalam penatalaksanaan anak dengan
gagal tumbuh. Tim multidisiplin yang terlibat terdiri dari gastroenterolog anak,
ahli gizi, terapis okupasi, fisioterapis, psikolog dan ahli terkait lain. 2,3
Suplementasi berdasarkan kalori merupakan kontributor penting
dalam tatalaksana gagal tumbuh. Pada periode catch-up anak membutuhkan
kalori tambahan sekitar 20-30%. Penambahan kalori harus dilakukan dengan
perlahan untuk menghindari sindrom re-feeding. Sindrom re-feeding bisa
mengancam nyawa. Salah satu dampak dari re-feeding yang terlalu cepat
adalah perubahan biokimia mendadak di dalam tubuh anak yang sedang
mengalami fase katabolik. 2,3
Age REE EER DRI Protein Protein
(Month) (kcal/kg/day) (kcal/day) (kcal/kg/day) (g/day) (g/kg/day)
0-3 52 610 102 9,1* 1,52
4-6 52 490 82 9,1* 1,52
7-12 55 720 80 11,0** 1,20
13-35 56 990 82 13,0** 1,05
36-48 64 1000 85 13,0** 1,05
Tabel Perkiraan kebutuhan energi dan protein dari lahir hingga 48 bulan.
Catch-up growth requirement (kcal/kg/hari) = [kalori yang dibutuhkan berdasarkan usia

(kcal/kg/hari) x berat ideal berdasarkan usia (kg) / [berat sekarang (kg)]

Table. Untuk perhitungan kalori catch-up pertumbuhan

Makanan dengan kalori tinggi dapat diberikan selama periode catch-up.


Anak yang lebih besar dapat diberikan, selai kacang, keju, buah kering, dan saus
krim. Pemberian makanan selama periode catch-up harus sangat diperhatikan,
sebab anak dengan gizi kurang memiliki risiko tinggi diare. 2,3

Untuk orang tua yang menyusui anaknya, evaluasi pemberian ASI pada bayi
dengan cara memperbaiki manajemen laktasi, selalu pastikan jumlah asupan serta
jadwal pemberian ASI disesuaikan dengan kebutuhan bayi. Frekuensi pemberian
berkisar 8-12 kali dalam 24 jam dengan lama pemberian minimal 10 menit disetiap
payudara. Atasi masalah ibu dalam pemberian ASI. Kebutuhan ASI pada balita
kurang lebih 1/3 dari total kebutuhan kalori dalam sehari. Makanan pendamping
dapat diberikan pada bayi di atas 6 bulan. Pastikan pemberian makanan cukup,
pemberian makanan pada balita sebaiknya 3 kali makan, 3 kali snack bergizi per
hari, susu sebanyak 480-960 ml/hari. 2,3

Dalam anamnenesis ibu pasien juga mengatakan saat di rumah sakit bayi
terlihat tampak kuning dan didapatkan hasil penunjang laboratorium terjadi
peningkatan bilirubin direk dan total. Hal ini serupa dengan Kolestasis pada bayi
yang didefinisikan sebagai hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus
diekskresikan oleh hati, yang menyebabkan terjadinya peningkatan bilirubin direk
dan penumpukan garam empedu. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana
basolateral dari hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam
duodenum. Kolestasis pada bayi biasanya terjadi pada usia tiga bulan pertama
kehidupan. Dalam insidensinya kejadian kolestasis pada bayi masih sangat tinggi
terjadi pada 1:25.000 kelahiran hidup.4

Berdasarkan penyebab yang tersering kolestasis dibedakan menjadi dua


yaitu Kolestasis ekstrahepatik (atresia bilier, kista duktus koledokus, paucity
kandung empedu, neonatal sclerosing cholangitis, inspissated bile syndrome, batu
kandung empedu, cystic fibrosis, dan Caroli disease) dan Kolestasis intrahepatic
(infeksi virus, gangguan metabolik, kelainan endokrin, bahan toksik, dan kelainan
sistemik). 4

Diagnosis kolestasis ditegakkan melalui amannesis yang teliti, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis sering ditemukan penderita
ikterus dengan tinja yang berwarna dempul dan urin yang berwarna gelap seperti
air teh Ikterus didefinisikan dengan menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain
akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh. Ikterus pada bayi yang lebih dari dua
minggu dapat normal atau bersifat patologi. 4

Table. Kriteria klinis untuk membedakan kolestasis ekstrahepatik dan


intrahepatik

Kolestasis merupakan kegagalan empedu mencapai ke duodenum sehingga


menyebabkan penumpukan empedu di hepar serta masuknya konstituen empedu ke
sirkulasi sistemik. Retensi bilirubin memunculkan warna tinja yang lebih pucat
(akibat pigmen warna berkurang) dan pruritus (akibat peningkatan asam empedu di
sirkulasi). Pada kondisi fisiologis, kadar asam empedu dijaga pada batas yang aman
untuk mencegah kerusakan organel sel. Pada keadaan kolestasis, mekanisme
kontrol kadar asam empedu ini terganggu sehingga kadar asam empedu intraseluler
dapat mencapai kadar yang merusak organel sel. Target kerusakan utama asam
empedu di hepar adalah hepatosit dan sel duktus biliaris. Pada konsentrasi
mikromolar rendah, asam empedu hidrofobik menyebabkan kerusakan pada
mitokondria tanpa mempengaruhi integritas membran plasma. Pada konsentrasi
milimolar atau mikromolar tinggi, asam empedu hidrofobik mampu melarutkan
membran plasma. Asam empedu hidrofilik membutuhkan dosis yang jauh lebih
tinggi dari asam empedu hidrofobik untuk menghasilkan efek toksik. Mekanisme
kerusakan mitokondria dan membran plasma ini diduga berkaitan dengan
mekanisme direk dan mekanisme inflamasi. Pada percobaan in vitro didapatkan
bahwa asam empedu hidrofobik dosis milimolar berikatan langsung (direk) dengan
lapisan lemak ganda di membran plasma sehingga menimbulkan lubang-lubang
pada membran sel.5,6

Dalam kasus ini pasien juga dilakukan pemeriksaan imuno – serologi dapat
disimpulkan bahwa pada pemeriksaan didapatkan infeksi TORCH. Sesuai dengan
teori pasien ini disbebkan oleh kolestasis intrahepatic (infeksi virus, gangguan
metabolik, kelainan endokrin, bahan toksik, dan kelainan sistemik). 5,6

Penatalaksanaan kolestasis terdiri dari tindakan operatif dan pemberian


obat-obatan dengan tujuan mengatasi etiologi, meningkatkan aliran empedu,
melindungi hepatosit, mengurangi absorpsi lemak, mencegah dan mengatasi
komplikasi di luar sistem hepatobilier serta mempertahankan tumbuh kembang bayi
seoptimal mungkin dengan cara pemberian nutrisi dan suplemen/vitamin yang larut
dalam lemak. 5,6

Terapi operatif

1. Obat-obatan yang sering digunakan adalah untuk infeksi toksoplasma yaitu


pirimetamin, sulfadiazin, asam folinik dan spiramisin. 5,6
a. Pirimetamin

Dosis yang diberikan 2 mg/kgbb/hari (maksimum 50 mg/hr) diberikan


selama 2 hari pertama selanjutnya dosis pemeliharaan 1 mg/kgbb/hr selama 6 bulan,
kemudian 10 1mg/kgBB/hari diberikan selang sehari sampai 1 tahun. Efek samping
yang sering terjadi adalah anemia defisiensi asam folat. 5,6

b. Sulfadiazin

Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 1 tahun.


Sulfadiazin diekskresikan dengan cepat melalui ginjal dan dapat menimbulkan
kristaluria sehingga pada pemberian sulfadiazine harus selalu dilakukan
pemantauan terhadap diuresis. Pemberian sulfadiazin dan pirimetamin mempunyai
efek sinergisme. 5,6

c. Asam Folat

(Kalsium Leukovorin) Dosis 5-10 mg/kgbb/hari, 3 x perminggu untuk


mencegah toksisitas pirimetamin. 5,6

2. Obat yang digunakan adalah untuk infeksi sitomegalovirus adalah gansiklovir.

Gansiklovir adalah obat antiviral yang banyak mempunyai kesamaan


dengan asiklovir, hanya berbeda dengan adanya gugus hidroksimetil tambahan.
Cara pemberian terbagi menjadi terapi induksi dan pemeliharaan. Pada dosis
induksi diberikan 5mg/kgBB/hari setiap 12 jam intravena dalam 3 minggu. Dosis
pemeliharaan diberikan 5mg/kgBB/hari intravena sehari sekali. Efek samping obat
ini adalah supresi sumsum tulang, neutropenia terjadi pada sekitar 15-40% kasus
dan trombositopenia terjadi pada sekitar 5-20%.5,6

Obat-obatan Suportif Akhir-akhir ini obat yang sering untuk terapi suportif
adalah ursodeoxycholic acid (UDCA). Ursodeoxycholic acid (3α, 7β-dihidroksi-
5β-cholanic acid) merupakan asam empedu yang terbentuk secara alami, secara
normal terdapat pada 1-2% asam empedu manusia. Ursodeoxycholic acid
merupakan asam empedu tersier endogen yang disintesis di hepar dari 7
ketolithicolic acid, yang merupakan hasil produk dari oksigenasi asam
kenodeoksikolat (AKDK) oleh bakteri usus.5,6 Asam Ursodeoksikolat bekerja
dengan cara :

1. Merubah Pool Asam Empedu Pada manusia, asam empedu terutama terdiri dari
38-54% AKDK, 26-39% asam kolat (AK) dan 16-33% asam deoksikolat;
UDCA dan asam litokolat (LK) didapatkan hanya dalam jumlah kecil (0,1-5%).
Kecuali UDCA, semua asam 11 empedu bersifat toksis terhadap hati. Pada
keadaan kolestasis karena terjadi hambatan aliran empedu ke usus, asam
empedu tersebut akan merusak hati yang bila berlangsung lama akan
menyebabkan sirosis hati. Selama pengobatan dengan UDCA terdapat
perubahan komposisi asam empedu yang utama, sementara AKDK, asam
deoksikolat berkurang. Hal ini menyebabkan UDCA memegang peranan
penting dalam pengobatan kolestasis.5,6

2. Proteksi hepatosit dan kolangiosit Asam empedu toksik mempunyai efek


merusak membran sel dengan cara meningkatkan polaritas pada bagian apolar
membran hepatosit dan kolangiosit. Ursodeoxycholic acid secara kompetitif
akan berikatan dengan bagian apolar membran tersebut, sehingga efek yang
ditimbulkan oleh asam empedu toksik dapat dikurangi. Asam empedu toksik
juga merusak sel dengan cara membuka pori-pori protein pada membran
mitokondria bagian dalam dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas
mitokondria, sehingga terjadi kerusakan membran potensial dan pembengkakan
mitokondria. Ursodeoxycholic acid akan mengubah stuktur dan komposisi
miscelles yang terbentuk ini bersifat protektif terhadap hepatosit maupun
kolangiosit. 5,6

3. Efek Imunomodulator Pada kolestasis terjadi peningkatan ekspresi major


histocompability complex (MHC) kelas I dan II yang berakibat terjadinya
dekstrusi sel oleh limfosit Sitotoksik. Ursodeoxycholic acid bekerja
mengurangi ekspresi kelas I dan II tersebut.33,34 4. Meningkatkan Sekresi
Hepatobilier Mekanisme retensi asam empedu antara lain disebabkan oleh
gangguan sekresi bikarbonat di kolangiosit. Pemberian UDCA akan
meningkatkan kalsium intraselular yang akan mengaktifkan kanal klorida ini
kemudian akan meningkatkan sekresi bikarbonat ke saluran biliaris. Dosis
pemberian UDCA bervariasi, 10-16 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis. Efek samping
UDCA yang pernah dilaporkan adalah diare, mual dan muntah.5,6

Pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan echocardiogrhapy dengan


kesimpulan TR ringan, EF 71%. Penyakit jantung bawaan (PJB) atau penyakit
jantung kongenital merupakan abnormalitas dari struktur dan fungsi sirkulasi
jantung pada semasa kelahiran. Malformasi kardiovaskuler kongenital tersebut
berasal dari kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal
perkembangan janin.7

Anak dengan penyakit jantung bawaan dapat menunjukkan gangguan


pertumbuhan. Gagal tumbuh terjadi sudah sejak masa awal bayi. Beberapa keadaan
yang dapat menerangkan gagal tumbuh pada anak dengan penyakit jantung bawaan
adalah keadaan hipoksia dan kesulitan bernapas yang menyebabkan persoalan
makan pada anak. Anoksia dan kongesti vena pada saluran cerna dapat
menyebabkan malabsorpsi makanan, anoksia perifer dan asidosis menyebabkan
ketidakcukupan nutris serta peningkatan laju metabolik menunjukkan ketidak
cukupan masukan makanan untuk pertumbuhan. 7,8

Berat badan bayi baru lahir dengan penyakit jantung bawaan umumnya
normal sesuai masa kehamilan. Toleransi makan bayi dengan penyakit jantung
bawaan pada awal pemberian makan pada umumnya masih cukup baik, tetapi sesak
dan napas yang cepat membuat anak/bayi kelelahan dan kemudian menyebabkan
bayi menghentikan makannya. Sejumlah mekanisme malnutrisi pada penyakit
jantung bawaan dapat dilihat pada Tabel. 7,8
Table. Mekanisme Malnutrisi pada Anak dengan Penyakit Jantung
Bawaan

Perbedaan jenis kelainan jantung akan berdampak pada perbedaan pola


pertumbuhan pada anak dengan penyakit jantung bawaan, walaupun berat badan
dan tinggi badan tidak selalu langsung berkaitan dengan derajat penyakit jantung
bawaan. Berdasarkan dampak gangguan hemodinamik, penyakit jantung bawaan
dibagi menjadi tipe sianotik dan asianotik Tabel. Tipe sianotik, yakni transposition
of great arteries (TGA) dan tetralogy of Fallot (TOF), pada umumnya berpengaruh
pada berat badan dan tinggi badan. Sedangkan tipe asianotik meliputi patent arterial
duct, atrial septal defect dan ventricular septal defect (PDA, ASD, VSD) dengan
pirau kiri ke kanan, lebih mempengaruhi berat badan dibandingkan dengan tinggi
badan pada stadium awal.
Table. Jenis-Jenis Kelainan Jantung Bawaan dengan Aspek Gagal Tumbuh
Kemban

Untuk mengembalikan keadaan nutrisi anak yang mengalami penurunan


masukan kalori dan peningkatan kebutuhan energi, perlu dicapai tumbuh kejar
sebagai tujuan akhir pemberian nutrisi pada anak dengan penyakit jantung bawaan
dan mengalami gagal tumbuh. Beberapa strategi pemberian nutrisi pada anak
dengan penyakit jantung bawaan tertera pada Tabel. 7,8
Table. Strategi Pemberian Nutrisi pada Anak dengan Kelainan Jantung
Kongenital

Pada pasien PJB tata laksana yang ideal adalah memperbaiki kelainan
struktural jantung yang mendasarinya. Pemberian obat-obatan bertujuan untuk
memperbaiki perubahan hemodinamik, dan harus dipandang sebagai terapi
sementara sebelum tindakan definitif dilaksanakan. Pengobatan gagal jantung
meliputi (1) penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk,
pemberian oksigen, pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap
gangguan asam basa dan gangguan elektrolit yang ada. Bila pasien menunjukkan
gagal napas, perlu dilakukan ventilasi mekanis (2) pengobatan medikamentosa
dengan menggunakan obat-obatan. Obatobat yang digunakan pada gagal jantung
antara lain (a) obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti
dobutamin atau dopamin. Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai dosis 30
µg/kg. Dosis pertama diberikan setengah dosis digitalisasi, yang kedua diberikan 8
jam kemudian sebesar seperempat dosis sedangkan dosis ketiga diberikan 8 jam
berikutnya sebesar seperempat dosis. Dosis rumat diberikan setelah 8-12 jam
pemberian dosis terakhir dengan dosis seperempat dari dosis digitalisasi. Obat
inotropik isoproterenol dengan dosis 0,05-1 µg/kg/ 159 menit diberikan bila
terdapat bradikardia, sedangkan bila terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10
µg/ kg/menit atau dopamin bila laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5
µg/kg/menit. Digoksin tidak boleh diberikan pada pasien dengan perfusi sistemik
yang buruk dan jika ada penurunan fungsi ginjal, karena akan memperbesar
kemungkinan intoksikasi digitalis. (b) vasodilator, yang biasa dipakai adalah
kaptopril dengan dosis 0,1-0,5 mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral. Terakhir (c)
diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2 mg/kg/ hari per
oral atau intravena.9
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Telah dilaporkan pasien jenis kelamin perempuan dengan usia 1 bulan 23
hari. Dalam kasus ini didapatkan hasi pemeriksaan tumbuh kembang pasien dengan
Z score BB/U Sangat Rendah, PB/U Stunted, BB/PB Gizi Buruk dan saat follow
up kenaikan berat badan pasien tidak sesuai usia. Menurut teori pasien ini dapat
dikatakan gagal tumbuh kembang, selain itu keluhan juga disertai kuning pada bayi,
saat dilakukan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil yang mendukung bahwa
pasien mengalami kolestasis intrahepatic. Selain itu dalam pemeriksaan
echocardiography didapatkan TR ringan, EF 71% yang dimana dalam teori
penyakit jantung bawaan sangat terkait dengan penyakit jantung bawaan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Physician, A. F. (2016). Failure to Thrive : A Practical Guide.


2. Ross, E., Munoz, F. M., Edem, B., Nan, C., Jehan, F., Quinn, J., …
Buttery, J. (2017). Failure to thrive : Case definition & guidelines for data
collection , analysis , and presentation of maternal immunisation safety
data. Vaccine, 35(48), 6483–6491.
https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2017.01.051
3. Cincinnati Children’s Hospital Medical Center. Best evidence statement.
Failure to thrive treatment protocol. June 11, 2009. http://www.
cincinnatichildrens.org/WorkArea/DownloadAsset.aspx?id=88059.
4. Mews C, Sinatra F. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994;15:233-40.
5. Davies Y, Wliam B. Liver transplantation in the neonate and young infant.
Neo Review. 2001;2:223-27.
6. Agata I, Balisteri W. Evaluation of liver disease in the pediatric patient.
Pediatr Rev. 1999;20:376-85.
7. Nydegger A, Bines JE. Applied nutritional investigation: energy
metabolism in infants with congenital heart disease. Nutrition 2006; 22:697-
704
8. Forchielli ML, McColl R, Walker WA, Clifford. Nutrition Grand Rounds.
Children with congenital heart disease: A nutrition challenge. Nutrition
Reviews 1994;52:348-53
9. Parrish CR. Nourishing little hearts: Nutritional implications for congenital
heart disease. Practical Gastroenterology August 2011;98:11-34

Anda mungkin juga menyukai