A. PENDAHULUAN
Peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) merupakan masalah yang sering
dijumpai pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat yang
dapat hilang spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang serius,
bahkan mengancam jiwa. Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah sakit dalam
minggu pertama kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia. Dengan kondisi
perawatan yang memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan resiko terjadinya kern
ikterus pada bayi cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir. Alpay dan kawan-
kawan melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penurunan lama tinggal dan
resiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab utama kembalinya ke rumah sakit selama periode
awal neonatus adalah hiperbilirubinemia. Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin
serum dapat bersifat toksik terhadap bayi baru lahir.1
B. DEFINISI
Ikterus (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, sehingga kulit
(terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan
tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dL (>17 µmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak
apabila serum bilirubin >5 mg/dL (>86 µmol/L).2,3
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil
laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis
yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excessive
Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological
Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut Normogram
Bhutani.2,3
1
Kadar bilirubin terhadap usia neonatus3
C. METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak 75%
berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase, dan heme bebas),
mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Metabolisme bilirubin
terdiri dari tahapan.3
1. Transport bilirubin
2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Konjugasi
4. Sekresi bilirubin terkonjugasi
5. Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan
enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati dan organ
lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk pembentukan
hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian
akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam
air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan
biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat
2
tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi
bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan
sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan heamoglobin karena
eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme
(mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi
8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi
bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari)
dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom
yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat melalui sirkulasi
enterohepatik.1
Transport bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke
sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma
yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar
yang kurang. Bilirubin yang berikatan dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat
dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas tinggi terhadap obat-obatan
bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obatan tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat kompetitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari
albumin dengan cara menurunkan afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian
besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
Bilirubin bebas
Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu
bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (δ-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, δ-bilirubin tidak akan tampak. Peningkatan
kadar δ-bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada bayi baru lahir normal
yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya meningkat bermakna pada keadaan
hiperbilirubinemia terkonjugasi persisten karena berbagai kelainan pada hati.
3
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin terikat
ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membran yang berikatan
dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan
antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik,
perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan konjugasi bilirubin
akan menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal
ataupun tidak normal.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan berpengaruh
terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini terjadi karena adanya
defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan dengan defisiensi konjugasi
bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke empedu selama 3-4 hari pertama
kehidupan.
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air
di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronyl transferase
(UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida
yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian
dieksresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi
akan kembali ke dalam retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan
peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi
seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah bilirubin
monoglukoronida.
4
Bayi baru lahir mempunyasi konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif tinggi di
dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis bilirubin glukoronida
yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan di dalam mekonium. Pada bayi baru
lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi bilirubin menjadi urobilinogen lebih
lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang
dewasa. Peningkatan hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas β-
glukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian
substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin akan
meningkatkan kadar bilirubin tinja dan mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan
peran kontribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada
bayi baru lahir.1
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan
klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
5
pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar
bilirubin serum total.
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan timbul
segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan bilirubin dari
sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi mengalami peningkatan
bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya bilirubin serum kulit menjadi jaundice
dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala dan bergerak ke arah kaudal ke
telapak tangan dan telapak kaki. Hal ini ditentukan oleh kramer yang menentukan kadar bilirubin
indirek di dalam serum.
Kramer 1: kepala-leher = 4-8 mg/dl
Kramer 2: tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl
Kramer 3: tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl
Kramer 4: lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl
Kramer 5: telapak tangan dan telapak kaki = > 15 mg/dl
Cara untuk melihat jaundice adalah dengan cara menekan kulit secara hati-hati dengan jari
dibawah penerangan yang cukup.
KLASIFIKASI
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 – 3 dan mencapai puncaknya pada
6
hari ke 5 – 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 – 14. Kadar bilirubin pun
biasanya tidak > 10 mg/dL (171 µmol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205
µmol/L) pada bayi cukup bulan. Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu
berlebihan atau konjugasi hepar menurun sehingga terjadi akumulasi di dalam darah.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu,
misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan
terjadinya kematian. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah
dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Berikut adalah perbedaan ikterus fisiologi dan ikterus
patologis:
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang bulan
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Ikterus jenis ini juga merupakan
penyebab umum hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keadaan ini adalah diagnosis
eksklusi yang dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab lain yang lebih serius,
seperti hemolisis, infeksi, dan penyakit metabolik (Marcdante, Kliegman, Jenson, &
Behrman, 2014). Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru
lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan
clearance bilirubin.1
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar Penyebab
8
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai
berikut:4
a) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b) Kadar puncak bilirubin melebihi 13 mg/dL pada neonatus cukup bulan, bilirubin direk
lebih dari 1,5 mg/dL.
c) Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e) Hepatosplenomegali dan anemia
f) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
g) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
E. HIPERBILIRUBINEMIA
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis atau kombinasi
keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan,
dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi
atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi immatur.
Bayi yang diberi ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibandingkan bayi
yang diberi susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor antara lain;
frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat badan/dehidrasi
Asupan cairan:
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan ekskresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase-free fatty acids
Unidentified inhibitor
Intestinal reabsorption of bilirubin
Pasase mekonium terlambat
Pembentukan urobilinoid bakteri
Beta-glukoronidase
Hidrolisis alkaline
Asam empedu
9
ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel
hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. Selain itu, neonatal
beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin intestinal karena empedu neonatus mengandung
kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi sehingga lebih mudah dikonversikan
menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase dalam lumen intestinal yang
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang mudah diabsorpsi dari
intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora intestinal untuk mengubah
bilirubin terkonjugasi menjadi urobilid dan mekonium. Keadaan-keadaan yang
memperlama pasase mekonium (penyakit Hirschprung, ileus mekonium, meconium pluge
syndrome) berhubungan dengan hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium berhubungan
dengan kadar bilirubin serum yang lebih rendah.
PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari
10
sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk
sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk
ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan
sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah
porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke
dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke
ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin. Pada dewasa normal
level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan
pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat
disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk
ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan
bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran
ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl),
senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut
ikterus atau jaundice.2
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase (G6PD)
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia, deifisiensi
alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe
1 dan II, atau fibrosis kistik
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau –toksoplasma
11
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan bilirubin dengan
albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD
(sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau --hemolisis. Bayi
asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat
dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk berkepanjangan.
- Breast-milk jaundice dan breastfeeding jaundice.
a. Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI.
Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk
neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak
perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen, dan cairan yang
dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam. Walaupun demikian keadaan ini dapat
memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik
akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh
breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.
b. Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens pada
bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari
ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30
mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48
jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak
akan setinggi sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi
hati normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang (70%)
pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk
jaundice belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine
diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme
progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.
2. Pemeriksaan fisis
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah
dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan cahaya
matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. Walaupun demikian
inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk memprediksi kadar bilirubin
serum.
12
Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisis:
- Prematuritas
- Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.
- Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
- Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
- Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, atau penyakit hati
- Omfalitis
- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
- Tanda hipotiroid
3. Pemeriksaan penunjang
- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila ikterus menetap
sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit dan
ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung retikulosit.
- Golongan darah, Rhesus, dan --direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk mencari penyakit
hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani pemeriksaan golongan darah,
Rhesus, dan direct Coombs’ test segera setelah lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk --mencari
infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis, defek
metabolik, atau hipotiroid.
14
Bayi keluar RS Harus dilihat saat umur
- Untuk bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam diperlukan 2 kunjungan yaitu yang
pertama antara 24-72 jam dan kedua antara 72-120 jam.
7) Pengelolaan bayi dengan ikterus
Pengelolaan bayi ikterus dini (early jaundice) yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika feses
tidak keluar dalam 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan waktu yang
singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui lama dengan frekuensi jarang.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dextrosa atau formula pengganti
4. Observasi berat badan, BAK, dan BAB
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang
pengeluaran produk ASI dengan cara memompa, dan menggunakan fototerapi
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI,
sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus
menetap lebih dari 6 hari atau meningkat >20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi
sebelumnya terkena kuning.
Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke rumah sakit
pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah menentukan
penyebabnya. Selain itu, tujuan utama dalam penatalakasannanya adalah untuk mengendalikan agar
kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus. Jika fraksi
bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkah-langkah penangangan harus diambil adalah
mencegah pemberian zat-zat pengikat albumin. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan
dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat
dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-
obatan (luminal).
Obat-obatan seperti sulfonamid dan seftriakson diketahui dapat menggeser bilirubin
sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Untuk itu pilihan terapi untuk
menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain foto terapi, exchange transfusion,
pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim.3,6
15
Penggunaan farmakoterapi
Digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzim-enzim hati dan
protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam
usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain:
- Immunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang berat dan
inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi ganti.
- Fenobarbital memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas dan konsentrasi
UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin. Namun
secara umum tidak direkomendasikan digunakan setelah lahir.
- Metalloprotoporphyrin untuk mencegah hiperbilirubinemia. Zat ini analog sintesis heme.
Protoporphyrin terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase. Enzim
ini dibutuhkan untuk katabolisme heme menjadi biliverdin. Dengan zat ini heme dicegah
dari katabolisme dan diekskresikan secarah utuh dalam empedu.3,6
16
dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali
sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus tampaknya lebih
baik daripada sinar putih atau hijau. Saat ini tersedia fototerapi dengan menggunakan woven
fibrotic pads yang efektif (dibandingkan dengan foto konvensional) dan aman.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8
jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad
tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 µmol/L). Lamanya
penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran
juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu
diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi
dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran
dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
17
yang terjadi pada pembentukan enzim lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada
usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
c) Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah muka, badan dan
ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi
dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome. Hal ini terjadi karena
tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit
yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
d) Gangguan retina : Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percobaan
Penelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi mata pada
umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.
e) Gangguan pertumbuhan : Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan.
Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan
tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya
pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang
diperlukan.
f) Kenaikan suhu : Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan
kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan
sebagian lampu yang dipergunakan.
g) Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang
dengan sendirinya.
h) Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah kelainan
gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat tersendiri
dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
4. Suhu rektal ≤ 35 o C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi ≤ 1000 g
19
Macam Transfusi Tukar:
1. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb bayi.
2. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat mengganti
65% Hb bayi.
3. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
20
sering dan stimulasi rektal berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin serum. Pemberian
bilirubin oksidase parenteral, suatu enzim yang memecah bilirubin menjadi biliverdin, diperol dan
produk lainnya, merupakan cara lain untuk menghambat sirkulasi enterohepatik, yang sampai saat
ini masih diuji coba.5
Induksi Enzim
Aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan bahwa induksi
BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam ini pada neonatus
dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin pada ibu sebelum
melahirkan, bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram) memberikan respons
terhadap terapi fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi serum dan
penurunan kebutuhan fototerapi.5
Optimalisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar bilirubin
meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan interval 2 jam
dan tidak memberikan makanan tambahan atau setidaknya 8-10x per 24 jam. Ada hubungan yang
jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi hiperbilirubinemia. Pemberian yang
sering mungkin tidak akan meningkatkan intake tetapi akan meningkatkan peristaltik dan
frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi bilirubin. Pemberian ASI dalam 24 jam pertama
berhubungan nyata dengan frekuensi pasase mekonium.5
21
22
23
DAFTAR PUSTAKA
2. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., & Damanik, S. M. (t.thn.). HIPERBILIRUBINEMIA
PADA NEONATUS (HYPERBILIRUBINEMIA IN NEONATE). Divisi Neonatologi Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo - Surabaya , 1-14.
5. Martiza, I.). Ikterus. Dalam M. Juffrie, S. S. Soenarto, H. Oswari, S. Arief, I. Rosalina, & N.
S. Mulyani, Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. 2012. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. (hal. 263-284)