DENGAN FOTOTERAPI
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti untuk menurunkan
bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorescent
light bulbs or bulbs in the blue light spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi
menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini
terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer
yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme
difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin
kemudian bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses
tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin
dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak dapat
mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia.
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Noenatus yang sakit
dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl.
Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada
bayi resiko tinggi dan berat badan lahir rendah.
1. Metabolism Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan
katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi.1 Bilirubin berasal dari katabolisme protein
heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit
yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase.
Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin, asupan bilirubin, konjugasi
bilirubin, dan ekskresi bilirubin.
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme
oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang
larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin
bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi
yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan albumin serum ini tidak larut
dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada albumin
bersifat nontoksik.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan terikat ke
reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan
ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya. Berkurangnya kapasitas
pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus
fisiologis.
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di
retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-
T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul
bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam kandung empedu,
kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feces. Setelah berada dalam usus
halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali
menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi
kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut sirkulasi
enterohepatik.
2. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya. Risiko
hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan, dan bayi yang
mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau
penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi imatur.
Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan karena peningkatan
produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini hepatic clearance jarang
memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran hemoglobin 1% akan
meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat.
Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi >2
mg/dl pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu biasanya meningkat
menjadi 6 sampai 8 mg/dl pada umur 3 hari dan akan mengalami penurunan. Pada bayi kurang
bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dl pada umur 5
hari.
Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi lahir, peningkatan
kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan
atau 14 hari pada bayi kurang bulan, dan adanya penyakit lain yang mendasari (muntah, letargi,
penurunan berat badan yang berlebihan, apnu, asupan kurang).
Hiperbilirubinemia patologis dapat dikatakan pula sebagai suatu keadaan dimana kadar Bilirubin
dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus jika tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis.
3. Kern Ikterus
Kern Ikterus adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama
pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus
pada dasar Ventrikulus IV.
Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang bulan
menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi. Fototerapi diindikasikan
pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada neonatus cukup bulan atau
berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi American
Academy of Pediatrics (AAP)1
Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin direk yang
disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
7. Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu gelombang
elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan panjang
gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari
sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang
gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah sinar biru
dengan panjang gelombang 425-475 nm.19,20,35 Sinar biru lebih baik dalam menurunkan kadar
bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau.
Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang
terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar
maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.13,23 Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai
W/cm2/nm.
Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar diukur dengan
menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi. Intensitas sinar ≥ 30 μW/cm2/nm cukup
signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.27 Intensitas sinar yang
diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk fototerapi standard adalah
30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang
gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh neonatus yang
disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
DAFTAR PUSTAKA