Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN NEONATUS DENGAN DIAGNOSA MEDIK


HIPERBILIRUBINEMIA
DI RUANGAN NICU/NHCU RSUD PRO. DR.W.Z. JOHANNES KUPANG

OLEH:
YULIUS WONGA, S.Tr.Kep.
NIM : PO5303211211569

Mengetahui,

Kupang, 25 Februari 2022


Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

( ) ( )

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI NERS
2022
A. KONSEP HIPERBILIRUBINEMIA
1. Anatomi Fisiologi
Hati, yang merupakan organ terbesar tubuh dapat dianggap
sebagai sebuah pabrik kimia yang membuat, menyimpan, mengubah, dan
mengekskresikan sejumlah besar substansi yang terlibat dalam
metabolisme. Lokasi hati sangat penting dalam pelaksanaan fungsi ini
karena hati menerima darah yang kaya nutrien langsung dari traktus
gastrointestinal; kemudian hati akan menyimpan atau
mentransformasikan semua nutrien ini menjadi zat-zat kimia yang
digunakan di bagian lain dalam tubuh untuk keperluan metabolik. Hati
merupakan organ yang penting khususnya dalam pengaturan
metabolisme glukosa dan protein. Hati membuat dan mengeksresikan
empedu yang memegang peranan utama dalam proses pencernaan serta
penyerapan lemak dalam traktus gastrointestinal. Organ ini
mengeluarkan limbah produk dari dalam aliran darah dan
mengeksresikannya ke dalam empedu. Empedu yang dihasilkan oleh hati
akan disimpan untuk sementara waktu dalam kandung empedu (vesika
velea) sampai kemudian dibutuhkan untuk proses pencernaan; pada saat
ini, kandung empedu akan mengosongkan isinya dan empedu memasuki
intestinum (usus).
Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan
hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup
sel-sel Kupffer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam
darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi
asam glukuronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam
larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi disekresikan oleh hepatosit ke
dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa dalam
empedu ke duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen
yang sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi
diabsorpsi lewat mukosa intestinal ke dalam darah portal. Sebagian besar
dari urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit
dan disekresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik).
Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan dieksresikan
oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam empedu
menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat
penyakit hati, bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu
dalam saluran empedu) atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah
merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak
memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat
dalam urin.
Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi bilirubin (merubah
bilirubin yang larut dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut
dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari
besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan
albumin (albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta
cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan enzim glukoronil
transferase yang memadai sehingga serum bilirubin tidak mencapai
tingkat patologis.
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah
ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme
bilirubin pada neonatus. Bilirubin merupakan produk yang bersifat
toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin
tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari
hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin
tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta
beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin
bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam
lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan
mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak.
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar.
Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin
terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati.
Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin
(protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke
retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase
yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini
dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui
ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui
duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus
sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin
indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena
terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut
antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit
yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai
puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari
ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi
cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan.
Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal
dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila
produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun
sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang
berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misal
kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian
(Mitayani, 2012)
Diagram Metabolisme Bilirubin

Eritrosit

Hemoglobin

Hem Globin

Besi/FE Bilirubin Indirek Terjadi pada Limpha, Makrofag


(tidak larut dalam air)

Bilirubin berikatan
dengan albumin Terjadi dalam plasma darah

Melalui hati

Bilirubin berikatan Hati


dengan
Glukoronat/gula residu
bilirubin direk (larut
dalam air)

Bilirubin direk
diekskresi ke kandung
empedu
Melaui Duktus Billiaris
Kandung empedu ke
duodenum

Bilirubin direk
diekskresi melalui
urine dan feses

(http://ebookbrowse.com/askep-bayi-hiperbilirubinemia-doc-d443563044)
2. Pengertian Hiperbilirubinemia
Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah. Salah satu
komponen sel darah merah adalah hemoglobin. Satu gram hemoglobin akan
menghasilkan 35 mg bilirubin (Murray et al., 2014).
Hiperbilirubinemia merupakan berlebihnya kadar bilirubin dalam
darah lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang mengakibatkan jaundice,
warna kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, sklera dan urin, serta
organ lain, sedangkan pada bayi normal kadar bilirubin serum totalnya adalah
5 mg% (Sembiring, 2019).

3. Klasifikasi Hiperbilirubinemia
a. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis merupakan gejala normal dan sering terjadi
pada bayi baru lahir. Pada bayi aterm kadar konsentrasi bilirubin indirek
tidak lebih dari 12 mg/dl, sedangkan pada bayi preterm tidak lebih dari 15
mg/dl. Pada bayi yang mendapatkan asupan Air Susu Ibu (ASI) dari susu
formula maka kadar konsentrasi bilirubinnya yang masih tergolong
fisiologis adalah 15-17 mg/dl (Marcdante et al., 2014).
b. Hiperbilirubinemia Patologis
Hiperbilirubinemia patologis adalah suatu keadaan kadar konsentrasi
bilirubin dalam darah melebihi nilai batas normal dan mempunyai potensi
untuk menimbulkan kernikterus (Hassan dan Alatas, 2007).
Hiperbilirubinemia patologis terjadi pada 24 jam pertama pada bayi baru
lahir. Keadaan patologis ini terjadi karena kadar konsentrasi bilirubin dalam
darah lebih dari 12 mg/dl untuk bayi aterm dan 15 mg/dl pada bayi
preterm. Gambaran yang terlihat jelas pada bayi seperti kulit berwarna
kuning hingga jingga, bayi tampak lemah, urine berubah menjadi berwarna
gelap sampai berwarna kecoklatan (Kosim et al., 2014).
Apabila Apabila penyakit ini tidak ditangani dengan segera akan
menimbulkan kernikterus yang dapat membahayakan bayi. Kernikterus
adalah temuan neuropatologis dengan pewarnaan kuning pada daerah basal
ganglia, hippocampus, dan cerebellum. Gejala klinis kernikterus dapat
berupa gerakan tidak menentu, kejang, tonus otot kaku, leher kaku,
ketulian, dan dapat mengakibatkan kecacatan bahkan kematian pada bayi
(Down dan Gourley, 2018). Menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2006), kernikterus mempunyai empat tahap:
a. Tahap I: Depresi neurologis umum termasuk buruknya refleks moro,
asupan minum yang buruk, muntah, tangisan melengking, tonus
menurun, dan letargi.
b. Tahap II: Opistotonus, kejang, demam, krisis oculogyric, dan
kelumpuhan pandangan atas terjadi pada tahap ini. Kematian neonatus
tinggi pada tahap ini.
c. Tahap III: Setelah spastisitas usia satu minggu menurun dan semua
tanda dan gejala klinis yang masih ada bisa hilang.
d. Tahap IV: Terlihat setelah periode neonatus dan menunjukkan luasnya
kerusakan yang terjadi selama tahap sebelumnya. Sekuele jangka
panjang dapat berupa spastisitas, atetosis, tuli, dan retardasi mental.

4. Epidemiologi Hiperbilirubinemia
Insiden ikterus di Amerika Serikat ditemukan sebanyak 65% dari 4
juta bayi baru lahir dalam minggu pertama kehidupannya, sedangkan di
Indonesia insiden ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan berkisar 13,7%
hingga 18,5% (Depkes RI, 2004). Pada bayi aterm insiden ikterus sebanyak
50% mengalami perubahan warna kulit, mukosa, dan sklera pada mata,
sementara itu pada bayi preterm ditemukan sebanyak 75% (Depkes RI,
2014). Insiden ikterus neonatal meningkat pada bayi keturunaan Indian Asli,
Mediterania (Yunani, Turki, dan Sardinia), Sephardic Jewish, dan keturunan
Asia Timur. Orang Yunani asli lebih rentan terkena insiden ini dari orang-
orang Yunani di Amerika Serikat (Marcdante et al., 2014).
5. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia
Menurut Wong dan Connel (2018), faktor risiko hiperbilirubinemia pada
neonatus dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor maternal dan faktor
neonatus. Faktor maternal:
a. Tipe darah golongan ABO dan rhesus tidak sesuai
b. Etnis: Asia dan Amerika Latin
c. Pemberian ASI ekslusif
d. Obat-obatan
Faktor neonatal:
a. Trauma lahir: chepalohematoma
b. Infeksi: TORCH
c. Jenis kelamin laki-laki
d. Bayi makrosomik dari ibu diabetes
e. Polycytemia
f. Prematuritas

6. Manifestasi Hiperbilirubinemia
Bayi baru lahir akan tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-
kira 6 mg/dl (Berk dan Korenblat, 2016). Ikterus terjadi akibat penimbunan
bilirubin indirek pada kulit yang akan menimbulkan warna kuning muda
atau jingga, sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan
warna kuning kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini dapat ditemukan
hanya pada ikterus yang berat (Marcdante et al., 2014). Menurut Kosim et
al. (2014), gambaran klinis ikterus fisiologis dan patologis adalah sebagai
berikut:
Gambaran klinis ikterus fisiologis:

a. Bayi tampak sehat (normal)

b. Kadar bilirubin total <12mg/dl

c. Ikterus akan menghilang paling lambat 10-14 hari

d. Tidak ada faktor risiko

Gambaran klinik ikterus patologis:

a. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam

b. Peningkatan kadar bilirubin total > 0,5 mg/dl/jam

c. Bertahan selama 8 hari pada bayi aterm dan 14 hari pada bayi preterm
Ada faktor risiko seperti muntah, letargis, penurunan berat badan, apnea,
takipnea dan suhu tubuh yang tidak stabil
Gejala lain:

a. Pasien tampak lemah


b. Nafsu makan berkurang
c. Reflek hisap kurang
d. Urine pekat
e. Perut buncit
f. Pembesaran lien dan hati
g. Gangguan neurologik
h. Feses seperti dempul
i. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/ dl.
j. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/ kulit dan membran mukosa.
k. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
Rumus Kramer

Daerah Luas Ikterus Kadar


Bilirubin
1 Kepala dan leher 5 mg %
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg %
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan 11 mg %
tungkai
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki di bawah 12 mg%
lutut
5 Daeraha 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg %

7. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Menurut Price dan Wilson (2006), mekanisme umum yang
menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus terbagi atas empat.
Hiperbilirubinemia indirek terutama disebabkan oleh tiga mekanisme pertama,
sedangkan hiperbilirubinemia direk disebabkan oleh mekanisme keempat.
Mekanismenya sebagai berikut:
a. Pembentukan bilirubin yang berlebihan. Penyakit hemolitik atau
peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab tersering dari
pembentukan bilirubin yang berlebihan, disebut juga ikterus hemolitik.
Konjugasi dan transfer berlangsung normal, akan tetapi suplai bilirubin
indirek melewati kemampuan hati. Hal ini menyebabkan peningkatan
kadar indirek dalam darah. Meskipun demikian kadar bilirubin serum
jarang melampaui 5 mg/dl dan ikterus bersifat ringan. Bilirubin tidak larut
dalam air sehingga tidak dapat dieksresikan bersama urine dan
menyebabkan peningkatan pembentukan urobilinogen yang menyebabkan
feses dan urine berwarna gelap
b. Gangguan pengambilan bilirubin indirek oleh hati. Ambilan bilirubin
indirek yang terikat dengan albumin oleh sel hati dengan memisahkan
dan mengikat bilirubin terhadap protein penerima. Ikterus akan
menghilang bila obat pencetus dihentikan. Ikterus bukan disebabkan oleh
defisiensi protein penerima dan gangguan ambilan oleh hati, tetapi
disebabkan oleh adanya defisiensi glukoronil transferase
c. Gangguan konjugasi bilirubin. Hiperbilirubinemia yang timbul pada hari
kedua dan kelima setelah lahir disebut ikterus fisiologis neonatus. Ikterus
neonatus yang normal ini disebabkan oleh imaturitas enzim glukoronil
transferase. Aktivitas glukoronil transferase akan meningkat hingga
minggu kedua setelah itu akan menghilang. Jika kadar bilirubin >20
mg/dl maka akan menyebabkan kernikterus pada bayi.
d. Penurunan ekskresi bilirubin direk dalam empedu. Ganggguan eksresi
bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional maupun obstruktif
akan menyebabkan bilirubin direk yang larut dalam air sehingga dapat
dieksresikan dalam urine yang menimbulkan bilirubinuria serta urine
gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen urine sering menurun
sehingga feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin direk dapat
disertai bukti-bukti kegagalan eksresi hati lainnya, seperti peningkatan
kadar fosfatase al-kali, kolesterol dan garam empedu dalam serum
(Mathindas dkk , 2013).
8. Patway Hiperbilirubinemia

Faktor Maternal Faktor Neonatal

Tipe darah Etnis : Asia Pemberian Obat-obatan: Trauma lahir: Infeksi : Jenis kelamin Polycyte Premat
golongan ABO dan Amerika Asi ekslusif Antibiotik, Chepalohema TORCH : Laki-laki mia uritas
dan rhesus latin Salsilat toma Toxoplasma
tidak sesuai Gondi
Kurangnya Efek samping Penumpukan Memiliki 1 Produksi Fungsi
asupan Asi obat darah di luar kromosom X sel darah hepar
Ibu Merusak sel belum
pembuluh merah
bergolongan darah merah matur
darah yang
darah o dan Kekurangan
Menghambat Menurunkan berlebiha
bayi non o Enzim Glukosa
pembersihan proses n
6 Phospat Usia sel
mekonium pembuangan Usia sel darah Dehodrogenase darah
Vaiasi gen (kandungan bilirubin merah
Darah ibu yang mengatur tinggi direk dari merah
menjadi
akan metabolism bilirubin) darah Peningkatan matur (80-
singkat
membentuk bilirubin hasil Peningkat 90 hari
antigen pemecahan Keutuhan an
Mekonium Peningkatan pemecaha
Bilirubin direk bilirubin dinding sel
terlanjur hasil n Peningkat
menumpuk darah merah
Reaksi antigen diserab oeh pemecahan bilirubin an
dalam darah mudah pecah
tubuh bilirubin pemecaha
n bilirubin
Sel darah merah
hancur
Peningkatan kadar bilirubin Ikterus pada Ikterik
dalam darah sclera, leher Neonatus
Penuru
dan badan (D.0024).
nan
Hemoglobin daya
Defisit tahan
Orang tua Kurang
Pengeta tubuh
bertanya tentang terpaparnya
huan
kondisi anak informasi
(D.0111
Heme Globin ) Risiko
Infeksi

(D.014
Peningkatan destruksi eritrosit, gangguan konjugasi/ gangguan transportasi 2)

Peningkatan Pemecahan bilirubin berlebihan yang tidak berikatan albumin


B1 (Breathing) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel)

Peningkatan Peningkatan Penumpukan Suplai


Bilirubin dalam
reaksi oksidasi bilirubin >12 biilrubin bertambah
sirkulasi sistemik
gr/dl dalam hepar

Toxic bilirubin
Terbentuknya besi Tubulus ginjal
di SPP
dalam Foto terapi
pembentukan Hb
Co meningkat Penumpukan Gangguan
Kern Icterus Filtrasi, absorbs, dihepar konjugasi
Intensitas eksresi
Diekskresikan cahaya tinggi
ke paru-paru Gangguan Hepatomegali Kembali ke
oksigenasi di Produksi urin kuning entrohepatic

Peningkatan otak
Peningkatan C02 Menekan
evaporasi Ketidakmampua
dalam paru-paru G. Eliminasi Urin lambung
n mengikat air
(D.0040)
diusus
Hilangnya Rethargic Mual-muntah
Ketidakseimban Menurunnya
cairan tubuh (lesu)
gan 02 dan Co2 reflex hisap bayi
Peningkatan
Risiko Perfusi Anorexia sekresi diusus
Dehidrasi serebral tidak Menyusui tidak
Dyspnea
efektif (D.0017) efektif (D.0029)
Defisit Nutrisi Diare (D.0020)
(D.0036)
Pola napas tidak efektif (D.0005)
Tubuh Demam (Suhu Hiperter
Penurunan
Risiko kehilangan >37,5oC mia
cairan intrasel
ketidakseimba cairan (D.0130)
ngan Cairan

(D.0036)

B6 (Bone)

Foto terapi

Penigkatakata
n evaporasi

Dehidrasi

Kelemahan

Sumber: https://id.scribd.com/document/394009285/Pathway-Hiperbilirubin (2018)


Intoleransi
Aktivitas
(D.0056)
9. Pemeriksaan Penunjang Hiperbilirubinemia
 Pemeriksaan laboratorium.
a. Test Coomb pada tali pusat BBL
1) Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya antibody
Rh-positif, anti-A, anti-B dalam darah ibu.
2) Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya
sensitisasi ( Rh- positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.
b. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi incompatibilitas
ABO.
c. Bilirubin total.
1) Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5
mg/dl yang mungkin dihubungkan dengan sepsis.
2) Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl
dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi
cukup bulan atau 1,5 mg/dl pada bayi praterm tegantung pada
berat badan.
d. Protein serum total: Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan
penurunan kapasitas ikatan terutama pada bayi praterm.
e. Hitung darah lengkap
1) Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
2) Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia,
penurunan (< 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
f. Glukosa: Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap
<30 mg/dl atau test glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir
hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan
melepaskan asam lemak.
g. Daya ikat karbon dioksida: Penurunan kadar menunjukkan
hemolisis .
h. Meter ikterik transkutan: Mengidentifikasi bayi yang memerlukan
penentuan bilirubin serum.
i. Pemeriksaan bilirubin serum: Pada bayi cukup bulan, bilirubin
mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila
nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis. Pada bayi premature,
kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari
setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak
fisiologis
j. Smear darah perifer: Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur,
eritroblastosis pada penyakit RH atau sperositis pada
incompabilitas ABO
k. Test Betke-Kleihauer: Evaluasi smear darah maternal tehadap
eritrosit janin.
 Pemeriksaan radiology: Diperlukan untuk melihat adanya metastasis
di paru atau peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati,
seperti abses hati atau hepatoma.

 Ultrasonografi: Digunakan untuk membedakan antara kolestatis


intra hepatic dengan ekstra hepati

 Biopsy hati: Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada


kasus yang sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra
hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan
keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma (Dewi et al., 2016).

10. Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia


a. Farmakoterapi
Farmakoterapi digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin dengan
merangsang induksi enzim-enzim hati dan protein pembawa, guna
memengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin
dalam usus halus sehingga reabsorbsi enterohepatik menurun.
Beberapa penggunaan farmakoterapi untuk menurunkan kadar
bilirubin seperti imunoglobulin intravena, fenobarbital,
metalloprotoporphyrin, tin-protoporphyrin (Sn-PP), tin-
mesoporphyrin (Sn-MP), dan inhibitor β-glukuronidase (Kosim et
al., 2014).

b. Fototerapi

Fototerapi merupakan salah satu terapi hiperbilirubinemia yang telah


dimulai sejak tahun 1950 dan efektif dalam menurunkan kadar
bilirubin (Hammerman dan Kaplan, 2000). Kadar bilirubin pada
usia kehamilan 35 sampai <37 minggu dengan rerata penurunan
kadar bilirubin 2,25 mg/dl dalam 24 jam, dan pada usia 37 sampai 42
minggu dengan rerata penurunan kadar bilirubin 2,6 mg/dl dalam 24
jam. Jarak paparan pada bayi memengaruhi efektivitas fototerapi
dalam penurunan kadar bilirubin. Semakin dekat jarak bayi dengan
sinar fototerapi semakin efektif dalam menurunkan kadar bilirubin
(Dewi et al., 2016).

Indikasi dilakukan fototerapi adalah ketika peningkatan kadar


bilirubin berbahaya bagi bayi walaupun belum mencapai tingkat
yang membutuhkan transfusi, sementara itu fototerapi profilaksis
dapat dilakukan pada keadaan khusus, seperti bayi berat lahir sangat
rendah atau bayi yang kelihatan memar. Pada bayi baru lahir yang
menderita penyakit hemolitik, fototerapi dimulai secepatnya sambil
menunggu transfusi tukar. Kontraindikasi fototerapi pada bayi
dengan hiperbilirubinemia direk yang disebabkan oleh penyakit hati
atau ikterus obstruktif karena kadar bilirubin yang seharusnya rendah
pada kondisi ini dapat mengarah pada bronze baby syndrome. Jika
bilirubin direk dan bilirubin indirek tinggi, maka dianjurkan untuk
melakukan transfusi tukar (Cloherty et al., 2008).
Gambar 2.2 Panduan fototerapi pada bayi (AAP, 2004).

Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu


diperbolehkan untuk melakukan fototerapi pada kadar bilirubin total
sekitar medium risk line. Pada bayi dengan usia kehamilan <35 minggu
diperbolehkan melakukan fototerapi dengan kadar bilirubin total
mendekati medium risk line. Fototerapi intensif adalah fototerapi
dengan menggunakan sinar blue-green spectrum (panjang gelombang
430-490 nm) dengan kekuatan paling sedikit 30 uW/cm2. Bila
konsentrasi bilirubin tidak menurun pada bayi yang telah mendapatkan
fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis (Kosim
et al., 2014).
Panjang gelombang fototerapi adalah 425-475 nm. Fototerapi
dengan panjang gelombang ini dapat mengubah bilirubin menjadi
isomer yang larut dalam air serta mudah dieksresi oleh tubuh. Bilirubin
indirek adalah bentuk konfigurasi 4Z dan 15Z. Fototerapi akan
menyebabkan reaksi foto kimiawi yang menghasilkan isomerasi
bilirubin indirek yang mudah larut dalam air. Isomer ini dieksresikan
oleh tubuh dengan mudah tanpa melewati sistem konjugasi hati. Hasil
reaksi fotokimiawi lainnya adalah lumirubin yang lebih mudah larut
dalam air dan tidak dapat berubah kembali secara spontan ke bentuk
awal serta dikeluarkan melalui urin (Marcdante et al., 2014).
Tabel 2.4 Petunjuk pelaksanaan hiperbilirubinemia
berdasarkan berat badan bayi (AAP, 2004).

Bayi Sehat Bayi Sakit


Kriteria Kadar Total Bilirubin Kadar Total Bilirubin
Serum (mg/dl) Serum (mg/dl)
Berat Badan Fototera Transfusi Fototera Transfusi
pi tukar pi tukar
<1.000 gram 5–7 Bervariasi 4–6 Bervariasi
1.000-1.500 7 – 10 Bervariasi 6–8 Bervariasi
gram
1.501-2.000 10 – 12 Bervariasi 8 – 10 Bervariasi
gram
2.001-2.500 12 – 15 Bervariasi 10 – 12 Bervariasi
gram
>2.500 gram 15 – 18 20 – 25 12 – 15 18 - 20

Menurut Cloherty et al. (2008), efek samping dari fototerapi


yaitu kehilangan cairan tubuh, redistribusi aliran darah, diare, kalsium
menurun, kerusakan pada retina mata, eritema, bronze baby syindrome,
untai DNA rusak, dan triptopan berkurang dalam larutan asam amino,
sedangkan menurut Kosim et al. (2014), efek samping dari fototerapi
yaitu perubahan suhu dan metabolik, perubahan kardivaskular, status
cairan, fungsi saluran cerna, perubahan aktivitas, perubahan berat
badan, efek okuler, perubahan kulit, perubahan endokrin, perubahan
hematologi, dan perhatian terhadap perilaku psikologis. Berikut ini
dijelaskan dalam tabel 2.5.
Tabel 2.5 Efek samping fototerapi
(Kosim et al., 2014).

Efek samping Perubahan


Fisik
Perubahan suhu dan Peningkatan Suhu lingkungan dan tubuh
metabolic
Peningkatan konsumsi oksigen
Peningkatan laju respirasi
Peningkatan laju aliran darah ke kulit
Perubahan kardiovaskular Perubahan semetara curah jantung dan
penurunan curah
ventrikel kiri
Status cairan Peningkatan aliran darah ke perifer
Peningkatan insensible water loss
Fungsi Saluran Cerna Peningkatan jumlah dan frekuensi buang air besar
Feses cair dan berwarna hijau kecoklatan
Penurunan waktu transit usus
Penurunan absorpsi, retensi nitrogen, air dan
elektrolit
Perubahan aktivitas laktosa riboflavin
Perubahan aktivitas Letargis dan gelisah
Perubahan berat badan Penurunan nafsu makan
Penurunan pada awalnya namun terkejar dalam 2-4
minggu
Efek okuler Tidak ada penelitian, namun perlu perhatian antara
efek cahaya
dibandingkan dengan efek penutup mata
Perubahan kulit Tanning
Rashes
Burn
Bronze Baby Syndrome
Perubahan endokrin Perubahan kadar gonadotropin serum (peningkatan
LH dan
FSH)
Perubahan hematologi Peningkatan turnover trombosit
Cedera pada sel darah dalam sirkulasi dengan
penurunan
kalium dan peningkatan aktivitas ATP
Perhatian terhadap Isolasi
perilaku Perubahan status organisasi dan manajemen perilaku
Psikologis

c. Transfusi Tukar
Mekanisme transfusi tukar dengan menghilangkan sebagian
hemolisis dan antibodi sel darah merah yang dilapisi serta antibodi
yang tidak terikat dan menggantikan itu dengan donor sel darah merah
yang antigen sensitisasinya rendah. Bilirubin dihilangkan dari plasma,
maka bilirubin ekstravaskuler akan dengan cepat menyeimbangkan dan
mengikat ke albumin dalam darah yang ditukar. Dalam setengah jam
setelah pertukaran, 60% kadar bilirubin kembali ke tingkat sebelumnya.
Indikasi dilakukannya transfusi tukar adalah jika fototerapi
gagal dalam menurunkan kadar bilirubin dan kadar bilirubin telah
mencapai level toksik, anemia, gagal jantung pada bayi hidropik dan
riwayat peningkatan kadar bilirubin dengan sensitisasi Rh tanpa
fototerapi .
Tabel 2.6 Petunjuk pelaksanaan hiperbilirubinemia berdasarkan
kadar bilirubin (American Academy Pediatrics, 2004).

Usia Pertimbangk Transfusi tukar


Fototerapi Transfusi
(jam) an terapi dan Fototerapi
tukar
sinar

25- >12 mg/dl >15 >20 mg/dl >25


48 mg/dl mg/dl
49- >15 mg/dl >18 >25 mg/dl >30
72 mg/dl mg/dl
>72 >17 mg/dl >20 >25 mg/dl >30
mg/dl mg/dl

komplikasi dari transfusi tukar seperti hipokalsemia,


hipomagnesia, hipoglikemia, gangguan keseimbangan asam basa,
hiperkalemia, gangguan kardiovaskular, trombositopenia, defisiensi
faktor pembekuan darah, infeksi, hemolisis, graft-versus host disease,
hipotermia, hipertermia, dan enterokolisis nekrotikans (Kosim et al.,
2014).
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara fisiologis dan
patologis yaitu secara fisiologis bayi mengalami kuning pada bagian
wajah dan leher, atau pada derajat satu dan dua dengan kadar bilirubin
(<12mg/dl). Kondisi tersebut dapat diatasi dengan pemberian intake
ASI (Air Susu Ibu) yang adekuat dan sinar matahari pagi sekitar jam
7:00-9:00 selama 15 menit. Efektifitas pemberian intake ASI pada
penelitian Indanah, Karyati, & Yusminah (2019), menunjukkan bahwa
rata-rata penurunan kadar bilirubin bayi yang diberikan asi tiap 2 jam
adalah 7,17 mg/dl. Pada bayi yang diberikan asi tiap 3 jam, rata-rata
penurunan kadar bilirubin bayi adalah 7,01 mg/dl. Sedangkan untuk
penjemuran sinar matahari pagi, menurut penelitian Puspitosari,
Sumarno, & Susatia (2013), Paparan sinar matahari pagi berpengaruh
terhadap penurunan tanda ikterus pada ikterus neonatorum fisiologis
dan waktu penjemuran yang efektif adalah selama 30 menit.

Secara patologis bayi akan mengalami kuning diseluruh tubuh atau

derajat tiga sampai lima dengan kadar bilirubin (>12mg/dl) kondisi

tersebut di indikasikan untuk dilakuakan fototerapi, jika kadar bilirubin

>20 mg/dl maka bayi di indikasikan untuk diberikan transfusi tukar

(Atikah ,M ,V & Jaya ,P, 2015). Hal ini sesuai dengan penelitian Azlin

(2011) pada neonatus cukup bulan yang menderita jaundice pada

minggu pertama kehidupan dilakukan di Rumah Sakit H. Adam Malik

dan Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan menyebutkan bahwa

penggunakan fototerapi ganda lebih efektif dalam menurunkan

kadar bilirubin dibandingkan dengan fototerapi tunggal dengan

menggunakan tirai putih di sekeliling unit fototerapi. Pada penelitian

Surya Dewi et al. (2016), Penurunan kadar bilirubin total setelah

dilakukan fototerapi dalam 24 jam sebesar 2,5±0,8 mg/dL, mengalami

penurunan sebesar 16,3% dalam 24 jam. Disarankan, fototerapi

diberikan dengan jarak 10-20 cm, semakin dekat jarak bayi dengan

sinar fototerapi semakin efektif dalam menurunkan kadar bilirubin total

(Dewi et al., 2016).

11. Komplikasi Hiperbilirubinemia


a. Retardasi mental: kerusakan neurologis
b. Gangguan pendengaran dan penglihatan
c. Kematian.
d. Kernikterus (Dewi et al., 2016).

12. Pencegahan Hiperbilirubinemia

Menurut Hassan dan Alatas (2007), ikterus dapat dicegah dan dihentikan
peningkatannya dengan:
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada
bayi saat masa kehamilan dan kelahiran, seperti
sulfafurazole dan novobiosin
c. Pencegahan terhadap hipoksia pada janin
d. Penggunaan penobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
e. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
f. Pencegahan infeksi (Dewi et al., 2016).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1) Pengkajian
Pengkajian pada kasus hiperbilirubinemia meliputi :
a. Identitas, seperti: Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan lebih
sering diderita oleh bayi laki-laki.
b. Keluhan utama
Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu,
tampak lemah, dan bab berwarna pucat.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning, letargi,
refleks hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirek yang
sudah .20mg/dl dan sudah sampai ke jaringan serebral maka
bayi akan mengalami kejang dan peningkatan tekanan
intrakranial yang ditandai dengan tangisan melengking.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat gangguan
hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan
darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar
obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM. Mungkin
praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan
letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk
usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi
lebih sering pada bayi pria daripada bayi wanita.
3) Riwayat kehamilan dan kelahiran
Antenatal care yang kurang baik, kelahiran prematur yang dapat
menyebabkan maturitas pada organ dan salah satunya hepar,
neonatus dengan berat badan lahir rendah, hipoksia dan asidosis
yang akan menghambat konjugasi bilirubin, neonatus dengan
APGAR score rendah juga memungkinkan terjadinya hipoksia
serta asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin.
d. Pemeriksaan fisik
1) Kepala-leher.
Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa.
2) Dada
Ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus juga akan
terlihat pergerakan dada yang abnormal.
3) Perut
Perut membucit, muntah, kadang mencret yang disebabkan oleh
gangguan metabolisme bilirubin enterohepatik.
4) Ekstremitas
Kelemahan pada otot.
5) Kulit
Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah kepala
dan leher termasuk ke grade satu, jika kuning pada daerah
kepala serta badan bagian atas digolongkan ke grade dua.
Kuning terdapat pada kepala, badan bagian atas, bawah dan
tungkai termasuk ke grade tiga, grade empat jika kuning pada
daerah kepala, badan bagian atas dan bawah serta kaki dibawah
tungkai, sedangkan grade 5 apabila kuning terjadi pada daerah
kepala, badan bagian atas dan bawah, tungkai, tangan dan kaki.
6) Pemeriksaan neurologis
Letargi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah mencapai
jaringan serebral, maka akan menyebabkan kejang-kejang dan
penurunan kesadaran.
7) Urogenital
Urine berwarna pekat dan tinja berwarna pucat. Bayi yang sudah
fototerapi biasa nya mengeluarkan tinja kekuningan.
e. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan bilirubin serum
Bilirubin pada bayi cukup bulan mencapai puncak kira-kira 6
mg/dl, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Jika nilainya diatas 10
mg/dl yang berarti tidak fisiologis, sedangkan bilirubin pada
bayi prematur mencapai puncaknya 10-12 mg/dl, antara 5 dan 7
hari kehidupan. Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl yaitu
tidak fisiologis. Ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan
bilirubin indirek munculnya ikterus 2 sampai 3 hari dan hilang
pada hari ke 4 dan ke 5 dengan kadar bilirubin yang mencapai
puncak 10-12 mg/dl, sedangkan pada bayi dengan prematur
bilirubin indirek munculnya sampai 3 sampai 4 hari dan hilang 7
sampai 9 hari dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 15
mg/dl/hari. Pada ikterus patologis meningkatnya bilirubin lebih
dari 5 mg/dl perhari.
2) Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong
empedu
3) Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu
membedakan hepatitis dan atresia biliary.( Widagdo,2012)
f. Data penunjang
1) Pemeriksaan kadar bilirubin serum (total) (normal = <2mg/dl).
2) Pemeriksaan darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah
tepi.
3) Penentuan golongan darah dari ibu dan bayi.
4) Pemeriksaan kadar enzim G6PD.
5) Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid,
uji urin terhadap galaktosemia.
6) Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur
darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CPR)
(Mathindas, Wilar & Wahani, 2013).

2) Diagnosa Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya bernapas
Dibuktikan dengan Dispnea, Penggunaan otot bantu
pernapasan, Fase ekspirasi memanjang dan Pola napas
abnormal (mis. takipnea. bradipnea, hiperventilasi kussmaul
cheyne-stokes). (D.0005)
2) Ikterik Neonatus b.d neonates mengalami kesulitan transisi
kehidupan ekstra uterin, keterlambatan pengeluaran mekonium,
penurunan berat badan tidak terdeteksi, pola makan tidak tepat
dan usia ≤ 7 hari dibuktikan dengan Profil darah abnormal
(Hemolisis, bilirubin serum total > 2mg/dL, bilirubin serum
total pada rentang risiko tinggi menurut usia pada normogen
spesifik waktu), membran mukosa kuning, kulit kuning dan
sklera kuning (D.0024)
3) Hipertermia b.d Dehidrasi, penggunaan incubator, terpapar
lingkungan panas dibuktikan dengan Suhu tubuh diatas nilai
normal (D.0130)
4) Diare b.d malabsorbsi dibuktikan dengan Defekasi lebih dari
tiga kali dalam 24 jam dan feses lembek atau cair. (D.0020)
5) Risiko Perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan
Keabnormalan masa protrombin dan/atau masa tromboplastin
parsial, Penurunan kinerja ventikel kiri, Aterosklrosis aorta,
Diseksi arteri, Fibrilasi atrium, Tumor otak, Stenosis karotis,
Miksoma atrium, Aneurisma serebri, Koagulopati (mis. anemia
sel sabit), Dilatasi kardiomiopati, Koagulasi (mis. anemia sel
sabit), Embolisme, Cedera kepala, Hiperkolesteronemia,
Hipertensi, Endokarditis infektif, Katup prostetik mekanis,
Stenosis mitral, Neoplasma otak, Infark miokard akut, Sindrom
sick sinus, Penyalahgunaan zat, Terapi tombolitik dan Efek
samping tindakan (mis. tindakan operasi bypass) (D.0017)
6) Risiko ketidakseimbangan Cairan dibuktikan dengan Prosedur
pembedahan mayor, Trauma/ pembedahan, Luka bakar,
Aferesis, Obstruksi intestinal, Peradangan pancreas, Penyakit
ginjal dan kelenjar dan Disfungsi intestinal (D.0036)
7) Risiko Infeksi dibuktikan dengan Penyakit kronis (mis.
diabetes. melitus), Efek prosedur invasi, Malnutrisi,
Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan,
Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer: (Gangguan
peristaltik, Kerusakan integritas kulit, Perubahan sekresi pH,
Penurunan kerja siliaris, Ketuban pecah lama, Ketuban pecah
sebelum waktunya, Merokok, dan statis cairan tubuh),
Ketidakdekuatan pertahanan tubuh sekunder: (Penurunan
homolobin, Imununosupresi, Leukopenia, Supresi respon
inflamasi, dan Vaksinasi tidak adekuat). (D.0142)
8) Defisit Nutrisi b.d kurangnya asupan makanan dibuktikan
dengan Berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang
ideal. (D.0019)
9) Intoleransi Aktivitas b.d kelemahan dibuktikan dengan
Mengeluh lelah, frekuensi jantung meningkat >20% dari
kondisi sehat. (D.0056)
10) Defisit Pengetahuan b.d kurang terpaparnya informasi
dibuktikan dengan Menunjukan perilaku tidak sesuai anjuran
dan Menunjikan presepsi yang keliru terhadap masalah
(D.0111)
3) Intervensi
(SIKI, 2018)
NO DX. KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif b.d Setelah dilakukan intervensi
Managemen Jalan napas (I.01011)
keperawatan selama 15 menit maka Observasi
hambatan upaya bernapas
pola napas membaik dengan 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
Dibuktikan dengan Dispnea, kriteria hasil: napas)
1) Dispnea cukup menurun (4) 2. Monitor bunyi napas tambahan
Penggunaan otot bantu
2) Penggunaan otot bantu napas 3. Monitor Sputum
pernapasan, Fase ekspirasi cukup menurun (4) Terapeutik
3) Orthopnea cukup menurun (4) 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt
memanjang dan Pola napas
4) Pernapasan cuping hidung dan chinlift
abnormal (mis. takipnea. cukup menurun (4) 2. Posisikan semi fowler atau fowler
5) Frekuensi napas cukup3. Lakukan fisioterapi dada
bradipnea, hiperventilasi
membaik (4) 4. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
kussmaul cheyne-stokes). 6) Kedalaman napas cukup5. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
membaik (4) endotrakeal
(D.0005)
6. Berikan oksigen jika perlu
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspetoran,
mukolitik jika perlu
2. Ikterik Neonatus b.d neonates Setelah dilakukan intervensi Foto terapi Neonatus (I.03091)
keperawatan selama 1x24 jam Observasi
mengalami kesulitan transisi
maka Adaptasi Neonatus membaik 1. Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi
kehidupan ekstra uterin, dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi kebutuhan cairan sesuai dengan usia
keterlambatan pengeluaran 1) Berat badan cukup menigkat (4) gestasi dan BB
2) Membran mukosa kuning 3. Monitor suhu dan tanda vital tiap 4 jam
mekonium, penurunan berat
cukup menurun (4) 4. Monitor efek samping fototerapi (hipertermi, diare,
badan tidak terdeteksi, pola 3) Sklera kuning cukup menurun rush pada kulit, penurunan BB lebih dari 8-10%)
(4) Terapeutik
makan tidak tepat dan usia ≤ 7
4) Prematuritas cukup menurun 1. Siapkan lampu fototerapi dan inkubator atau kotak
hari dibuktikan dengan Profil (4) bayi
5) Aktivitas ekstremitas membaik 2. Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
darah abnormal (Hemolisis,
(5) 3. Berikan penutup mata
bilirubin serum total > 2mg/dL, 6) Respon terhadap stimulus 4. Ukur jarak antara lampu dan permukaan kulit bayi (30
sensorik membaik (5) cm atau tergantung spesifikasi lampu fototerapi)
bilirubin serum total pada
5. Biarkan tubuh bayi terpapar sinar fototerapi secara
rentang risiko tinggi menurut berkelanjutan
6. Ganti segera alas dan popok bayi jika bayi BAB/BAK
usia pada normogen spesifik
7. Gunakan linen berwarna putih agar memantulkan
waktu), membran mukosa cahaya sebanyak mungkin
Edukasi
kuning, kulit kuning dan sklera
1. Anjurkan ibu menyusui sekitar 20-30 menit
kuning (D.0024) 2. Ajarkan ibu menyui sesering mungkin
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemeriksaan darah vena direk dan indirek

3. Hipertermia b.dDehidrasi, Setelah dilakukan intervensi


Ma Managemen hipertermia (I.15506)
keperawatan selama 45 menit maka Observasi
penggunaan incubator, terpapar
lingkungan panas dibuktikan Termoregulasi membaik dengan 1. Identifkasi penyebab hipertermi (mis. dehidrasi
kriteria hasil: terpapar lingkungan panas penggunaan incubator)
dengan Suhu tubuh diatas nilai
1. Takikardia cukup menurun (2) 2. Monitor suhu tubuh
normal (D.0130) 2. Suhu tubuh cukup menurun (2) Terapeutik

1. Sediakan lingkungan yang dingin


2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
3. Berikan cairan oral
4. Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut
hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen,aksila)
5. Batasi oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
1. Kolaborasi cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian obat antipiretik, jika perlu

4. Risiko ketidakseimbangan Setelah dilakukan intervensi Managemen cairan (I.03098)


keperawatan selama 1x24 jam Observasi
Cairan dibuktikan dengan
maka keseimbangan cairan 1. Monitor status dehidrasi (frekuensi nadi, akral,
Prosedur pembedahan mayor, meningkat dengan kriteria hasil: pengisian kapiler, turgor, kelembaban mukosa dan TD
1. Asupan cairan cukup meningkat 2. Monitor BB
Trauma/ pembedahan, Luka
(4) 3. Monotor hasil pemeriksaan Lab (Ht, Na, K, Cl, BJ
bakar, Aferesis, Obstruksi 2. Keluaran urin cukup meningkat urine, BUN)
(4) Terapeutik
intestinal, Peradangan
pancreas, Penyakit ginjal dan 3. Kelembaban mukosa cukup 1. Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
meningkat (4) 2. Berikan asupan cairan sesuai kebutuhan
kelenjar dan Disfungsi
4. Asupan makanan cukup 3. Berikan cairan intravena
intestinal (D.0036) meningkat (4)
5. Dehidrasi cukup menurun (4)
6. Tekanan darah cukup membaik
(4)
7. Denyut nadi radial cukup
membaik (4)
8. Mata cekung cukup membaik
(4)
9. Turgor kulit cukup membaik (4)

5. Risiko Infeksi dibuktikan Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi (I.14539)


keperawatan selama 1x24 jam Observasi
dengan Penyakit kronis (mis.
maka Tingkat infeksi menurun 1. Monitor Tanda-tanda infeksi
diabetes. melitus), Efek dengan kriteria hasil: Terapeutik
1. Kebersihan tangan cukup 1. Batasi jumlah pengunjung
prosedur invasi, Malnutrisi,
meningkat (4) 2. Berikan perawatan kulit pada area edem
Peningkatan paparan 2. Demam cukup menurun (4) 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
3. Nyeri cukup menurun (4) pasien dan lingkungan pasien
organisme patogen lingkungan,
4. Bengkak cukup menurun (4) 4. Pertahankan teknik aseptic pada pasien yang
Ketidakadekuatan pertahanan 5. Kemerahan cukup menurun (4) beresiko tinggi
6. Cairan berbau busuk cukup Edukasi
tubuh primer: (Gangguan
menurun (4) 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
peristaltik, Kerusakan 7. Kadar sel darah putih cukup 2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
integritas kulit, Perubahan membaik (4) 3. Ajarkan cara merawat luka
8. Kultur area luka cukup 4. Ajarkan cara menigkatkan asupan nutrisi
sekresi pH, Penurunan kerja
membaik (4) 5. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
siliaris, Ketuban pecah lama, 9. Kadar sel darah putih cukup Kolaborasi
membaik 1. Kolaborasi pemberian obat, jika perlu
Ketuban pecah sebelum
Pemantauan Tanda Vital (I.02060)
waktunya, Merokok, dan statis Observasi
1. Monitor Tekanan darah
cairan tubuh), Ketidakdekuatan
2. Monitor Nadi
pertahanan tubuh sekunder: 3. Monitor RR
4. Monitor SPO2
(Penurunan homolobin,
5. Monitor Suhu
Imununosupresi, Leukopenia, 6. Identifikasi perubahan TTV
Terapeutik
Supresi respon inflamasi, dan
1. Atur Pemantauan sesuai kondisi pasien
Vaksinasi tidak adekuat). 2. Dokumentasi temuan
Edukasi
(D.0142)
1. Jelaskan tujuan pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan
6. Defisit Pengetahuan b.d kurang Setelah dilakukan intervensi Edukasi Kesehatan (I.12383)
keperawatan selama 1 jam maka Observasi
terpaparnya informasi
Tingkat Pengetahuan meningkat 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
dibuktikan dengan dengan kriteria hasil: informasi Hiperbilirubinemia
1. Perilaku sesuai anjuran cukup 2. Identifikasi pengetahuan keluarga tentang
Menunjukan perilaku tidak
meningkat (4) Hiperbilirubinemia
sesuai anjuran dan Menunjikan 2. Kemampuan menjelaskan Terapeutik
presepsi yang keliru terhadap pengetahuan tentang suatu 1. Sediakan materi dan media penkes Hiperbilirubinemia
topik cukup meningkat (4) 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan Hiperbilirubinemia
masalah (D.0111)
3. Perilaku sesuai pengetahuan sesuai dengan kesepakatan
cukup meningkat (4) 3. Berikan kesempatan untuk bertanya terkait
4. Persepsi yang keliru terhadap Hiperbilirubinemia
masalah cukup meurun (2) Edukasi
1. Jelaskan tentang Konsep Hiperbilirubinemia
(Pengertian, Penyebab, tanda dan gejala, pencegahan,
Komplikasi)
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah melaksanakan perencanaan
perawatan yang sudah dirancang untuk mencegah masalah mental dan
fisik serta mempromosikan, memelihara dan memulihkan kesehatan
mental dan fisik (Olifah, 2016). Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing oders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari
pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu langkah untuk menentukan kemajuan seseorang
(Olifah, 2016). Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yan menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil
dicapai. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam
mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan
hubungan dengan klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan
keperawatan yang diberikan, sehingga perawat dapat mengambil
keputusan
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, K. S. D., Kardana, I. M. & Suarta, K. 2016, Efektivitas Fototerapi Terhadap


Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal di
RSUP Sanglah', Sari Pediatri, vol. 18, no. 2, pp. 81-86

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2014, Profil Kesehatan Indonesia,


diakses 11 April 2018, tersedia
di:http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf.

Downs, E. & Gourley, G. R. 2018, ‘Bilirubin metabolism - Up To Date’, Nathan


and Oski’s Hematology and Oncology of Infancy and Childhood, 8 ed,
Elsevier Inc. doi: 10.1016/B978-1-4557-5414-4.00004-8.

Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). Hiperbilirubinemia Pada


Neonatus. Jurnal Biomedik, S4-10.

Murray, R. K., Bender, D. A., Botham, K. M., Kennely, P. J., Rodwell, V. W. &
Weil, P. A. 2014, ‘Metabolisme Protein dan Asam Amino’, Biokimia
Harper, 29 ed, pp. 340-355, EGC, Jakarta.

Olifah, Y. (2016). Dokumentasi Keperawatan . Jakarta Selatan : Pusdik SDM


Kesehatan.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia


(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia


(SLKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia


(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai