Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH PATOFISIOLOGI

IKTERUS

Disusun Oleh:

Berti Betrandas Rosari Ngole (1734013)

Viola Srimuliana Simarmata (1734014)

Digna Galih Setya Viani (1734017)

Dosen Pembimbing:

Margaretha Haiti S.Pd.,S.Kep.,M.Kes

UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI DIV ANALIS KESEHATAN


A. PENGERTIAN DAN ISTILAH

Ikterus secara klinis merupakan suatu keadaan pigmentasi berwarna kuning


pada kulit, sklera, membran mukosa dan organ dalam, disebabkan oleh
peningkatan kadar bilirubin plasma lebih dari 2 mg/dL (normal kurang dari 1,2
mg/dL).

Ikterus adalah warna kuning yang dapat terlihat pada sklera, selaput lendir,
kulit, atau organ lain akibat pembentukan bilirubin. Ikterus fisiologis adalah yang
terjadi karena metabolisme normal bilirubin pada bayi baru lahir usia minggu
pertama. Peninggian kadar bilirubin terjadi pada hari ke-2 dan ke-3 dan mencapai
puncaknya pada hari ke-5 sampai ke-7, kemudian menurun kembali pada hari ke-
10 sampai ke-14. Pada neonatus cukup bulan, kadar bilirubin tidak melebihi 10
mg/dL dan pada bayi kurang bulan, kurang dari 12 mg/dL. Ikterus fisiologis baru
dapat dinyatakan sesudah observasi pada minggu pertama sesudah kelahiran.

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek


patologi. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologi pada
setiap bayi berbeda-beda. Dapat juga diartikan sebagai ikterus dengan konsentrasi
bilirubin, yang serumnya mungkin menjurus ke arah terjadinya kernicterus bila
kadar bilirubin tidak dikendalikan. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologi
atau dapat dianggap sebagai hiperbilirubinemia ialah:

a. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.


b. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
c. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang bulan
dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
d. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G6PD dan sepsis).
e. Ikterus yang disertai berat lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang
dari 36 minggu , asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernapasan, infeksi,
hipoglekimia, hiperkepnia, hiperosmolalitas darah.
Kernicterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus
cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin indirek lebih dari 20 mg%) dan
disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsi ditemukan bercak bilirubin
pada otak. Kernicterus secara klinis berbentuk kelainan saraf spastis yang terjadi
secara kronik.

B. KLASIFIKASI IKTERUS

Secara klinis, ikterus dibagi menjadi 3 jenis yaitu ikterus hemolitik, obstruktif,
dan hepatoselular.
1. Ikterus Hemolitika
Ikterus hemolitika disebabkan oleh pecahnya sel eritrosit secara berlebihan
seperti pada anemia hemolitika, reaksi imun, infeksi berat, atau transfusi darah.
Oleh karena banyaknya destruksi sel eritrosit, pembentukan bilirubin indirek
melebihi kapasitas kemampuan hepar untuk melakukan konjugasi sehingga tidak
semua bilirubin tersebut dapat dikonjugasikan oleh hepar. Hal ini menimbulkan
penimbunan bilirubin indirek dalam plasma, yang dapat dideteksi dengan adanya
peningkatan kadar B1 plasma. Hepar yang tidak mengalami kelainan, dapat
melakukan konjugasi, tetapi tidak dapat mengkonjugasikan semua bilirubin
indirek yang berlebihan dalam darah. Hepar akan melakukan konjugasi secara
maksimal dari bilirubin indirek menjadi bilirubin direk dan selanjutnya akan
mengekskresikan bilirubin direk yang lebih banyak dari normal ke dalam usus
sebagai urobilinogen. Sebagian urobilinogen akan dikeluarkan bersama feses
(sterkobilin) yang jumlahnya melebihi normal sehingga feses berwarna lebih
coklat. Sisa urobilinogen dikeluarkan bersama urine dengan kadar tinggi.

Oleh karena pada ikterus hemolitika terjadi peningkatan bilirubin indirek


dalam plasma, sedangkan bilirubin ini tidak larut dalam air maka tidak dijumpai
bilirubin dalam urine. Keadaan ikterus semacam ini disebut icterus acholuric.

2. Ikterus Obstruktif
Ikterus ini terjadi sebagai hasil dari obstruksi saluran yang menjadi jalan bagi
bilirubin indirek dari hepatosit ke usus.

Secara klinis, obstruksi dapat dibagi menjadi:

a. Ekstrahepatik, disebabkan oleh obstruksi pada duktus biliaris yang


mungkin timbul akibat batu empedu, karsinoma pankreas atau masa
ekstrinsik.
b. Intrahepatik, disebabkan oleh obstruksi pada jalan empedu normal dalam
hati melalui kanakuli sebagai akibat dari reaksi obat-obatan, seperti
klorpromazin, hormon estrogen, dan lain-lain.
Oleh karena adanya sumbatan saluran untuk membawa bilirubin direk ke
dalam usus, bilirubin tersebut dikeluarkan ke dalam plasma sehingga kadar B2
plasma meningkat. Bilirubin direk yang berlebihan dapat larut dalam air dan
diekskresikan melalui urine sehingga terjadi bilirubinurin.

Jika obstruksi yang terjadi parah, bilirubin tidak dapat diekskresikan ke usus
sehingga menyebabkan urobilinogen di usus berkurang atau tidak ada. Hal ini
menyebabkan kadar urobilinogen di feses berkurang atau tidak ada sehingga feses
berwarna putih seperti dempul, begitu pula dengan urobilinogen yang berada di
usus, yang diabsorbsi kembali oleh darah akan berkurang sehingga pengeluaran
urobilinogen melalui urobilinogen juga berkurang.

3. Ikterus Hepatoselular
Ikterus hepatoselular terjadi akibat kegagalan hepatosit untuk
mengkonjugasikan bilirubin dan kegagalan hepar untuk menyalurkan bilirubin ke
usus. Keadaan ini dapat dijumpai pada hepatitis virus.

Kegagalan konjugasi bilirubin karena kurangnya enzim glukorinil transferase


(enzim yang bertanggung jawab sebagai katalisator reaksi UDPGA/ uridin
disphosphoglucoronil acid) dengan bilirubin untuk membentuk bilirubin
diglukoronida.

Pada hepatitis virus terjadi gangguan kemampuan konjugasi bilirubin dalam


hepatosit sehingga masih banyak sisa B1 dalam plasma yang tidak mampu
dikonjugasi oleh hepatosit, terlebih lagi disertai dengan adanya hemolisis ringan
sel eritrosit. Hal ini menyebabkan kadar B1 dalam plasma meningkat. Oleh karena
sel hepar maka B2 yang terbentuk akan dicurahkan ke plasma sehingga
menyebabkan kadar B2 dalam plasma juga meningkat. B2 dapat larut dalam air
sehingga dijumpai bilirubinurin.

B2 yang dialirkan ke usus sebagai urobilinogen akan rendah kadarnya di


bawah angka normal sehingga urobilinogen yang dikeluarkan bersama feses juga
berkurang, menyebabkan feses berwarna lebih pucat dari normal.

Oleh karena kerusakan hepatosit, urobilinogen yang diabsorbsi kembali oleh


darah dari usus, tidak dapat diterima kembali dalam sirkulasi intrahepatik dan
sebagian besar urobilinogen akan diekskresikan melalui urine sehingga kadar
urobilinogen dalam urine meningkat.

4. METABOLISME BILIRUBIN

Pada individu normal, pembentukan dan ekskresi bilirubin berlangsung


melalui langkah-langkah seperti yang terlihat pada gambar 27-4 (terlampir).
Sekitar 80 hingga 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam
sistem monosit-makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit sistem monosit-makrofag.
Masa hidup rata-rata eritrosit adalah 120 hari. Setiap hari dihancurkan sekitar 50
ml darah, dan menghasilkan 250 sampai 350 mg bilirubin. Kini kita ketahui
bahwa sekitar 15 hingga 20 % pigmen empedu total tidak bergantung pada
mekanisme ini, tetapi berasal dari destruksi sel eritrosit matur dalam sumsum
tulang (hematopoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati.

Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi dalam limpa), globin mula-


mula dipisahkan dari heme, setelah itu heme diubah menjadi biliverdin. Bilirubin
tak terkonjugasi kemudian dibentuk dari biliverdin. Biliverdin adalah pigmen
kehijauan yang dibentuk melalui oksidasi bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi
larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak dapat di ekskresi dalam
empedu atau urine. Bilirubin tak terkonjugasi berikatan dengan albumin dalam
suatu kompleks larut-air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati.
Metabolisme bilirubin didalam hati berlangsung dalam tiga langkah: ambilan,
konjugasi, dan ekskresi. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein hati, yaitu
yang diberi simbol sebagai protein Y dan Z (lihat gambar 27-4). Konjugasi
bilirubin dengan asam glikuronat dikatalis oleh enzim glukoronil transferase
dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak,
tetapi larut dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urine. Langkah
terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah transpor bilirubin terkonjugasi
melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak
terkonjugasi tidak diekskresi ke dalam empedu, kecuali setelah proses foto-
oksidasi atau fotoisomerisasi.

Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa


yang disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses
berwarna coklat. Sekitar 10 hingga 20% urobilinogen mengalami siklus
enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam urine.

5. SIKLUS ENTEROHEPATIK

Sel-sel hati memiliki sistem transpor yang serupa dengan tubuli ginjal. Sistem
transpor hati berfungsi untuk memindahkan berbagai substansi dari plasma
kedalam empedu. Berbagai konjugat yang hidrofilik (terutama glukuronida)
dipekatkan dalam empedu dan dikeluarkan ke dalam usus. Senyawa glukuronida
tersebut akan mengalami hidrolisa melepaskan embali obat yang aktif. Obat yang
dilepas tersebut akan terabsopsi kembali oleh usus, siklus ini dapat terjadi
berulang-berulang dan disebut siklus enterohepatik. Efek dari siklus enterohepatik
terohepatik ini dapa memperpanjang lama kerja otot karena siklus membentuk
semacam reservoir obat yang bisa mencapai 20% dari seluruh obat dalam tubuh.
contoh obat yang mengalami siklus enterohepatik antara lain adalah digoksin
(diekskresikan ke empedu dala bentuk tanpa konjugasi), morfin, kloramfenikol,
dan stilbesterol yang semuanya ditranspor dalam bentuk glukuronida.

Terdapat pula obat yang diekskresikan kedalam empedu dalam jumlah yang
berarti, misalnya kromoglikat yang diberikan secara inhalasi pada pengobatan
asma, diekskresikan terutama didalam empedu dalam bentuk yang tidak diubah.
Obat anti tuberkulosis rifampisin, diabsorbsi dari usus dan secara perlahan
mengalami deasetilasi tetapi efek antituberkulosisnya tetap. kedua bentuk
rifampisin tersebut diekskresikan ke dalam empedu, tetapi rifampisin bentuk
deasetilasi tidak diabsorpsi kembali sehingga akhirnya sebagian obat dikeluarkan
dari tubuh melalui tinja dalam bentuk deasetilasi.
Daftar Pustaka

Sudiono, Janti. 2003. Ilmu Patologi. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.

Surasmi, Asrining. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta: EGC

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas


Sriwijaya. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai