IKTERUS NEONATUS
A. Metabolisme Bilirubin
1. Pembentukan bilirubin
2. Transportasi bilirubin
3. Ambilan bilirubin
4. Konjugasi bilirubin
6. Ekskresi bilirubin
C. Pengertian
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa
karena adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin
dalam darah (Brooker, 2001).
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat
penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubin emia adalah ikterus dengan
konsentrasi bilirubin serum yang menjurus kearah terjadinya kernikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan (Markum,A.H,
1991).
Ikterus adalah warna kekuningan pada kulit yang timbul pada hari ke 2-
3 setelah lahir, yang tidak mempunyai dasar patologis dan akan menghilang
dengan sendirinya pada hari ke 10. (Nursalam, 2005).
Ikterus adalah gejala kuning pada sklera kulit dan mata akibat bilirubin
yang berlebihan didalam darah dan jaringan. Normalnya bilirubin serum kurang
dari 9μmol/L (0,5mg%). Ikterus nyata secara klinis jika kadar bilirubin meningkat
diatas 35μmol/L (2 mg%) (Wim de Jong et al, 2005).
D. Etiologi
Peningkatan produksi Billirubin dapat menyebabkan:
1. Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah ibu dan anak pada penggolongan Rhesus
dan ABO.
2. Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
3. Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis.
4. Defisiensi G6PD/Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
5. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta),
diol (steroid).
6. Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase, sehingga kadar Bilirubin Indirek
meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
7. Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.
9. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
Infeksi, Toksoplasmosis, Siphilis.
10. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
11. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
E. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya akan
masuk sirkulasi, dimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Globin
(protein) digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan dirubah menjadi
bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin. Didalam liver bilirubin
berikatan dengan protein plasma dan dengan bantuan enzim glukoronil
transferase dirubah menjadi bilirubin konjugata yang akan dikeluarkan lewat
saluran empedu ke saluran intestinal. Di Intestinal dengan bantuan bakteri
saluran intestinal akan dirubah menjadi urobilinogen dan starcobilin yang akan
memberi warna pada faeces. Umumnya bilirubin akan diekskresi lewat faeces
dalam bentuk stakobilin dan sedikit melalui urine dalam bentuk urobilinogen.
Pada BBL bilirubin direk dapat dirubah menjadi bilirubin indirek didalam usus
karena terdapat beta – glukoronidase yang berperan penting terhadap
perubahan tersebut. Bilirubin indirek diserap lagi oleh usus kemudian masuk
kembali ke hati.
Keadaan ikterus dipengaruhi oleh :
1. Faktor produksi yang berlebihan melampaui pengeluaran : hemolitik yang
meningkat
2. Gangguan uptake dan konjugasi hepar karena imaturasi hepar.
3. Gangguan transportasi ikatan bilirubin+ albumin menuju hepar, defiiensi
albumin menyebabkan semakin banyak bilirubin bebas dalam darah yang
mudah melewati sawar otak sehingga terjadi kernicterus
4. Gangguan ekskresi akibat sumbatan dalam hepar atau diluar hepar, karena
kelainan bawaan/infeksi atau kerusakan hepar karena penyakit lain
F. Manifestasi Klinis
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa.
Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala :
1. Dehidrasi : Asupan kalori tidak adekuat (misalnya : kurang minum, muntah-
muntah)
2. Pucat : Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (misalnya :
Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi (G6PD) atau
kehilangan darah ekstravaskular.
3. Trauma lahir : Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan
tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah) : Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh
keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi kongenital,
sepsis atau eritroblastosis
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal). Sering berkaitan dengan
anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat Pikirkan kearah ikterus obstruktif,
selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
G. Klasifikasi
Ikterus pada neonatorum dapat dibagi dua :
1. Ikterus fisiologi
Ikterus muncul pada hari ke 2 atau ke 3, dan tampak jelas pada hari 5-6
dan menghilang hari ke 10. Bayi tampak biasa, minum baik, BB naik biasa.
Kadar bilirubin pada bayi aterm tidak lebih dari 12mg/dl, pada BBLR 10mg/dl,
dan akan hilang pada hari ke-14. Penyebab ikterus fisiologis diantaranya
karena kekurangan protein Y dan, enzim glukoronil transferase yang cukup
jumlahnya
2. Ikterus patologis
a. Ikterus yang muncul dalam 24 jam kehidupan, serum bilirubin total lebih
dari 12 mg/dl.
b. Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam
c. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg/dl pada bayi prematur atau 12
mg/dl pada bayi aterm.
d. Ikterus yang disertai proses hemolisis
e. Bilirubin Direk lebih dari mg/dl, atau kenaikan bilirubin serum mg/dl/jam
atau 5 mg/dl/hari.
f. Ikterus menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi aterm dan 14 hari
pada BBLR.
Keadaan yang menyebabkan ikterus patologis adalah
1. Penyakit hemolitik
2. Kelainan sel darah merah
3. Hemolisis : hematoma, Polisitemia, perdarahan karena trauma jalan
lahir.
4. Infeksi
5. Kelainan metabolik : hipoglikemia, galaktosemia
6. Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin
seperti : sulfonaamida, salisilat, sodium bensoat, gentamisin,
7. Pirau enterohepatik yang meninggi : obstruksi usus letak tinggi,
hirschsprung.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar bilirubin serum (total)
2. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
3. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
4. Pemeriksaan kadar enzim G6PD
5. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin
terhadap galaktosemia.
6. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT
rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP).
I. Penatalaksanaan
a. Ikterus Fisiologi
jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine. Untuk itu bayi harus
terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar BAB dan BAK. Akan
selama 30-60 menit, posisi bayi pada payudara harus benar, berikan
meningkatkan kadar bilirubin dalam darah, bayi jangan diberi air putih,
air gula atau apapun sebelum ASI keluar karena akan mengurangi
buang air kecil bayi paling kurang 6-7 kali sehari dan buang air besar
b. Ikterus Patologis
1. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi
Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya
dengan intensitas yang tinggi (a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the
blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi
menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah
Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin.
Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme
difusi. Didalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke
Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam
Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati
(Avery dan Taeusch, 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar
mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine. Fototherapi
mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi
tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat
menyebabkan Anemia. Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar
Bilirubin Indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang
dari 1000gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg/dl.
Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis
pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir
Rendah.
2. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
d. Tes Coombs Positif
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg/dl pada minggu pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap
sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dengan Bilirubin
J. Komplikasi
Komplikasi terjadi kernicterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak dengan gambaran klinik :
1. Letargi / lemas
2. Kejang
3. Tak mau menghisap
4. Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus
5. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot,
epistotonus, kejang
6. Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
- Pemeriksaan penunjang
- Penatalaksanaan
INTERVENSI RASIONAL
1. Pemberian cairan dan elektrolit 1. Memenuhi kebutuhan cairan
sesuai protokol sehingga tubuh akan terpenuhi
2. Kaji status hidrasi, ubun-ubun, untuk menjamin keadekuatan
mata, turgor, membran mukosa 2. Dapat menentukan tanda-tanda
3. Kaji pemasukkan dan pengeluaran dehidrasi dengan tepat
cairan 3. Mengetahu keseimbangan antara
4. Monitor TTV masukan dan pengeluaran
5. Kaji hasil test elektrolit 4. Mengetahui status perkembangan
pasien
5. Perpindahan cairan atau
elektrolit, penurunan fungsi ginjal
dapat meluas mempengaruhi
penyembuhan pasien
INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi suhu dengan sering, 1. Hipotermia membuat bayi
ulangi setiap 5 menit selama cenderung pada stress dingin,
penghangatan ulang penggunaan simpanan lemak
2. Perhatikan adanya takipnea atau coklat yang tidak dapat diperbaiki
apnea, sianosis, umum, bila ada dan penurunan
akrosianosi atau kulit belang sensitivitas untuk meningkatkan
bradikardia, menangis buruk, kadar CO² (hiperkapnea dan
letarki, evaluasi derajat dan lokasi penurunan kadar O² (hipoksia)
ikterik 2. Tanda-tanda ini menandakan
3. Tempatkan bayi pada penghangat, stress dingin yang meningkatkan
isolette, inkubator, tempat tidur O² dan kalori serta membuat bayi
terbuka dengan penyebar hangat, cenderung pada asidosis
atau tempat tidur bayi terbuka berkenaan dengan metabolik
dengan pakaian tepat untuk bayi anaerobik
yang lebih besar atau tua 3. Mempertahankan lingkungan
4. Gunakan lampu pemanas termometral, membantu
penyebar hangat atau bayi dengan mencegah stress dingin
penutup plastik atau kaersta 4. Menjaga suhu tubuh dalam batas
alumunium bila tepat. Objek panas normal
berkontak dengan tubuh bayi 5. Menurunkan kehilangan panas
seperti stetoskop melalui evaporasi
5. Ganti pakaian atau linen tempat
tidur bila basah. Pertahankan
kepala bayi tetap tertutup
DAFTAR PUSTAKA
Admin, (2007). Ikterus Pada Anak. Diambil tanggal 27 September 2017 dari
http:// medlinux.blogsot.com
Arief, ZR. (2009). Neonatus & Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta : Nuha
Medika
Grace & Borley, (2011). At A Glance Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Airlangga
Essentika Medika
Hasan, R dan Alatas, H. (2007). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI