Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

TENTANG DIABETUS MELLITUS

STAGE GERONTIK

BANYUWANGI

NAMA : GALANG APRI YULIANTO

NIM : 2019.04.026

PROGRAM : PROFESI (NERS)

PROGRAM STUDI PROFESI (NERS)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

BANYUWANGI

2019-2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

TENTANG DIABETUS MELLITUS

STAGE GERONTIK

BANYUWANGI

// OLEH
DIUSUSUN

GALANG APRI YULIANTO

2019.04.026

MENGETAHUI

PEMBIMBING AKADEMIK PEMBIMBING RUANGAN

KEPALA RUANGAN
LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETES MELITUS

A. KONSEP DASAR LANSIA


1. Pengertian Lansia
Manusia lanjut usia (manula) merupakan populasi penduduk yang berumur tua
dengan kelompok usia 60 tahun atau lebih. Menurut (Fatmah, 2010) lansia merupakan
proses alamiah yang terjadi secara berkesinambungan pada manusia dimana ketika
menua seseorang akan mengalami beberapa perubahan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan seluruh tubuh. Istilah manusia usia
lanjut belum ada yang mematenkan sebab setiap orang memiliki penyebutannya
masing-masing seperti manusia lanjut usia (manula), manusia usia lanjut (lansia), usia
lanjut (usila), serta ada yang menyebut golongan lanjut umur (glamur).

2. Proses Menua (Ageing Process)


Proses menua merupakan proses fisiologis tubuh pada setiap manusia. Proses
menua ini ditandai dengan proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tubuh tidak mampu mempertahankan dirinya terhadap infeksi serta tubuh tidak mampu
memperbaiki kerusakan yang diderit. Penuaan akan mengakibatkan penurunan kondisi
anatomis dan sel akibat menumpuknya metabolit dalam sel. Metabolit bersifat racun
terhadap sel sehingga bentuk dan komposisi pembangun sel akan mengalami
perubahan. (Azizah, 2011).
Seiring dengan meningkatnya usia, sistem kerja pada jantung dan pembuluh darah
pun akan mengalami perubahan dari segi struktur dan fungsinya. Perubahan pada lansia
khususnya sistem kerja pada jantung meliputi perubahan pada ventrikel kiri dan katup
jantung yang mengalami penebalan dan membentuk tonjolan, jumlah sel pacemaker
mengalami penurunan yang mana implikasi klinisnya akan menimbulkan disritmia
pada lansia, kemudian terdapat arteri dan vena yang menjadi kaku ketika dalam kondisi
dilatasi sehigga katup jantung tidak kompeten yang akibatnya akan menimbulkan
implikasi klinis berupa edema pada ekstremitas. Lansia dapat mengalami perubahan
struktur pada jantung. Ketebalan dinding ventrikel cenderung meningkat akibat adanya
peningkatan densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat elastis. Sehingga dapat
berdampak pada kurangnya kemampuan jantung untuk berdistensi. Pada permukaan di
dalam jantung seperti pada katup mitral dan katup aorta akan mengalami penebalan dan
penonjolan di sepanjang garis katup. Obstruksi parsial terhadap aliran darah selama
denyut sistole dapat terjadi ketika pangkal aorta mengalami kekakuan sehingga akan
menghalangi pembukaan katup secara sempurna.
Perubahan struktural dapat mempengaruhi konduksi sistem jantung melalui
peningkatan jaringan fibrosa dan jaringan ikat. Dengan bertambahnya usia, sistem aorta
dan arteri perifer menjadi kaku. Kekakuan ini terjadi akibat meningkatnya serat
kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Proses perubahan
akibat penuaan ini akan menyebabkan terjadinya ateriosklerosis yaitu terjadinya
peningkatan kekakuan dan ketebalan pada katup jantung. Proses penuaan ini mampu
menjadikan lansia mengalami perubahan fungsional dari sudut pandang sistem
kardiovaskuler. Dimana perubahan utama yang terjadi adalah menurunnya kemampuan
untuk meningkatkan keluaran sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan tubuh.
Seiring bertambahnya usia denyut dan curah jantung pun mengalami penurunan, hal itu
terjadi karena miokardium pada jantung mengalami penebalan dan sulit untuk
diregangkan. Katup-katup yangsulit diregangkan inilah yang dapat menimbulkan
peningkatan waktu pengisian dan peningkatan tekanan diastolik yang diperlukan untuk
mempertahankan preload yang adekuat.

3. Teori Menua
Teori-Teori Menua Berdasarkan (Fatmah, 2010: 8-10)
a. Teori Penuaan ditinjau dari sudut biologis
Teori ini menjelaskan bahwa perubahan sel dalam tubuh lansia dikaitkan pada
proses penuaan tubuh lansia dari sudut pandang biologis.
1) Teori Genetik
a) Teori genetik dan mutasi (somatic mutative theory)
Teori ini menerangkan bahwa di dalam tubuh setiap manusia terdapat jam
biologis yang dapat mengatur gen dan dapat menentukan proses penuaan. Pada
setiap spesies manusia memiliki inti sel yang berisi jam biologis atau jam
genetik tersendiri. Dimana pada setiap spesies memiliki batas usia yang
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh replikasi dari setiap sel dalam tubuh
manusia. Apabila replikasi sel tersebut berhenti maka hal tersebut dapat
dikatakan sebagai kematian.
b) Teori mutasi somatik (error catastrope)
Penjelasan dari teori ini adalah menua diakibatkan oleh kerusakan, penurunan
fungsi sel dan percepatan kematian sel yang disebabkan oleh kesalahan urutan
susunan asam amino. Kerusakan selama masa transkripsi dan translasi dapat
mempengaruhi sifat enzim dalam melakukan sintesis protein. Kerusakan ini
pula menjadi penyebab timbulnya metabolit yang berbahaya sehingga dapat
mengurangi penurunan fungsi sel.
2) Teori Non-genetik
a) Teori penurunan sistem imun (Auto-Immune Theory)
Teori ini mengemukakan bahwa penuaan terjadi akibat adanya penurunan
fungsi dan struktur dari sistem kekebalan tubuh pada manusia. Seiring
bertambahnya usia, hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar timus sebagai
pengontrol sistem kekebalan tubuh pada manusia mengalami penurunan
maka terjadilah proses penuaan. Dan pada saat yang bersamaan pula terjadi
kelainan autoimun.
b) Teori Radikal Bebas (Free Radical Theory)
Teori ini menyebutkan bahwa radikal bebas terbentuk di alam bebas dan di
dalam tubuh manusia akibat adanya proses metabolisme di dalam
mitokondria. Radikal bebas merupakan sebuah molekul yang tidak
berpasangan sehingga dapat mengikat molekul lain yang akan menjadi
penyebab kerusakan fungsi sel dan perubahan dalam tubuh. Ketika radikal
bebas terbentuk dengan tidak stabil, akan terjadi oksidasi terhadap oksigen
dan bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein sehingga sel-sel
dalam tubuh sulit untuk beregenerasi. Radikal bebas banyak terdapat pada
zat pengawet makanan, asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi, serta
sinar ultra violet yang menjadi penyebab penurunan kolagen pada lansia dan
perubahan pigmen pada proses menua.
c) Teori Rantai Silang (Cross Link Theory)
Teori rantai silang menerangkan bahwa proses penuaan diakibatkan oleh
lemak, protein, asam nukleat (molekul kolagen) dan karbohidrat yang
bereaksi dengan zat kimia maupun radiasi yang dapat mengubah fungsi
jaringan dalam tubuh. Perubahan tersebut akan menjadi penyebab
perubahan pada membran plasma yang mengakibatkan terjadinyajaringan
yang kaku dan kurang elastis serta hilagnya fungsi. Proses hilangnya
elastisitas ini seringkali dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada
komponen protein di dalam jaringan. Terdapat beberapa contoh perubahan
seperti banyaknya kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit yang
kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi tebal seiring bertambahnya usia.
Contoh ini dapat dikaitkan dengan perubahan pada pembuluh darah yang
cenderung menyempit dan cenderung kehilangan elastisitasnya sehingga
pemompaan darah dari jantung menuju keseluruh tubuh menjadi berkurang
dan pada permukaan kulit yang kehilangnya elastisitasya dan cenderung
berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada sistem
muskuloskeletal.
d) Teori Fisiologik
Teori ini mengambil contoh dari teori adaptasi stres (stress adaptation
theory). Dimana proses menua merupakan akibat dari adaptasi terhadap
stres dan stres ini bisa berasal dari internal maupun eksternal tubuh yang
dapat memengaruhi peningkatan kasus penyakit degeneratif pada manusia
lanjut usia (manula).
e) Teori “imunologi slow virus” (immunology slow virus theory)
Teori ini menyatakan bahwa ketika manusia berada pada proses menua
maka saat itulah tubuh manusia tidak dapat membedakan sel normal dan sel
yang tidak normal, akibatnya antibodi bekerja untuk menyerang keduanya.
Sistem imun pun mengalami gangguan dan penurunan kemampuan dalam
mengenali dirinya sendiri (self recognition) akibat perubahan protein
pascatranslasi atau mutasi.
3) Teori Sosiologis
Teori perubahan sosial menjelaskan tentang lansia yang mengalami penurunan
dan penarikan diri terhadap sosialisasi dan partisipasi ke dalam masyarakat.
a) Teori Aktivitas
Teori ini menyatakan keaktifan lansia dalam melakukan berbagai jenis
kegiatan yang merupakan indikator suksesnya lansia. Lansia yang aktif,
banyak bersosialisasi di masyarakat serta lansia yang selalu mengikuti
kegiatan sosial merupakan poin dari indikator kesuksesan lansia. Lansia
yang ketika masa mudanya merupakan tipe yang aktif, maka di masa tuanya
lansia akan tetap memelihara keaktifannya seperti peran lansia dalam
keluarga maupun masyarakat di berbagai kegiatan sosial keagamaan.
Apabila lansia tidak aktif dalam melakukan kegiatan dan perannya di
masyarakat maupun di keluarga, maka sebaiknya lansia mengikuti kegiatan
lain atau organisasi yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
b) Teori Kontinuitas
Teori ini menekankan bahwa perubahan ini dipengaruhi oleh jenis
kepribadian lansia tersebut. Dalam teori ini lansia akan tetap memelihara
identitas dan kekuatan egonya karena tipe kepribadiannya yang aktif dalam
bersosialisasi.
4) Teori Psikososial
Teori ini menerangkan bahwa semakin menua tingkat usia seseorang maka
semakin sering pula seseorang memperhatikan kehidupannya daripada isu yang
terjadi di lingkungan sekitar.
4. Karakteristik dan klasifikasi Lansia
a. Karakteristik Lansia Menurut (Maryam, 2008: 33) karakteristik lansia
disebutkan menjadi 3 diantaranya adalah:
1) Seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2)
UU No.13 tentang kesehatan)
2) Variasi lingkungan tempat tinggalnya
3) Masalah dan kebutuhan lansia yang beragam.
b. Klasifikasi lansia dibedakan menjadi 4 kelompok usia.
Menurut Word Health Organization (WHO), (Fatmah, 2010: 8) dan (Aspiani,
2014: 20):
1) Usia Pertengahan (Middle Age): Usia 45-59 Tahun
2) Usia Lansia (Elderly): Usia 60-74 Tahun
3) Usia Lansia Tua (Old): Usia 75-90 Tahun
4) Usia Sangat Tua (Very Old): Usia Diatas 90 Tahun 5.

B. DEFINISI DIABETES MELLITUS


Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau
madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume
urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit
hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan
relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2013).
Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik
pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam
pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Mansjoer dkk, 2010)
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2005, diabetes
merupakan suatu kelompok panyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes Mellitus adalah kelainan defisiensi dari insulin dan kehilangan toleransi
terhadap glukosa (Rab, 2011).
Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabkan defisiensi
insulin atau akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Smeltzer, S.C., 2010).

C. KLASIFIKASI
Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert
Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus, menjabarkan 4
kategori utama diabetes, yaitu (Corwin, 2013) :
1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus tergantung
insulin (DMTI)
Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I. Sel-sel
beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses
autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah.
Awitannya mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.
2. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes Mellitus
tak tergantung insulin (DMTTI)
Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe II. Kondisi
ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin) atau
akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. Pengobatan pertama adalah dengan
diit dan olah raga, jika kenaikan kadar glukosa darah menetap, suplemen dengan
preparat hipoglikemik (suntikan insulin dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat
mengontrol hiperglikemia). Terjadi paling sering pada orang yang berusia lebih
dari 30 tahun dan pada orang yang obesitas.
3. DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat, infeksi,
antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan karakteristik gangguan
endokrin.
4. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap
diabetes.

D. ETIOLOGI
1. Diabetes Melitustergantung insulin (DMTI)
a. Faktor genetik :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes tipe
I. Kecenderungan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan
gen yang bertanggungjawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pankreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel β pancreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
a. Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, faktor genetik
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
b. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai
pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi
insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi
dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya
kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel.
Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan
reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor
yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan
abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa.
Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan
meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar
tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price,
1995 cit Indriastuti 2008). Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes
Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen
bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang
dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
c. Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II,
diantaranya adalah:
1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga
4) Kelompok etnik

E. PATOFISIOLOGI
1. Diabetes tipe I.
Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi
puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu
glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun
tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah
makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa
tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di
ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai
akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan  (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan
glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun
pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih
lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang
merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala
seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila
tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala
hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula
darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.
2. Diabetes tipe II.
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi
insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar
glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.
Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes
tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM
tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu
ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian,
diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung
lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat
berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka
pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur
(jika kadar glukosanya sangat tinggi).

F. PATWAY

G. MANIFESTASI KLINIS
1. Diabetes Tipe I
a. Hiperglikemia
b. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
c. Keletihan dan kelemahan
d. Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas
bau, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
2. Diabetes Tipe II
a. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
b. Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan
kabur
c. Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Glukosa darah: gula darah puasa > 130 ml/dl, tes toleransi glukosa > 200 mg/dl, 2
jam setelah pemberian glukosa.
2. Aseton plasma (keton) positif secara mencolok.
3. Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat
4. Osmolalitas serum: meningkat tapi biasanya < 330 mOsm/I
5. Elektrolit: Na mungkin normal, meningkat atau menurun, K normal atau
peningkatan semu selanjutnya akan menurun, fosfor sering menurun.
6. Gas darah arteri: menunjukkan Ph rendah dan penurunan HCO3
7. Trombosit darah: Ht meningkat (dehidrasi), leukositosis dan hemokonsentrasi
merupakan respon terhadap stress atau infeksi.
8. Ureum/kreatinin: mungkin meningkat atau normal
9. Insulin darah: mungkin menurun/ tidak ada (Tipe I) atau normal sampai tinggi
(Tipe II)
10. Urine: gula dan aseton positif
11. Kultur dan sensitivitas: kemungkinan adanya ISK, infeksi pernafasan dan infeksi
luka.

I. PENATALAKSANAAN
1. Diet
a. Syarat diet DM hendaknya dapat :
1) Memperbaiki kesehatan umum penderita
2) Mengarahkan pada berat badan normal
3) Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetik
4) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita
5) Menarik dan mudah diberikan
b. Prinsip diet DM, adalah :
1) Jumlah sesuai kebutuhan
2) Jadwal diet ketat
3) Jenis : boleh dimakan / tidak
c. Dalam melaksanakan diet diabetes sehari-hari hendaklah diikuti pedoman 3 J
yaitu:
1) Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan  dikurangi atau ditambah
2) Jadwal diet harus sesuai dengan intervalnya
3) Jenis makanan yang manis harus dihindari
Penentuan jumlah kalori Diit Diabetes Melitus harus disesuaikan oleh status gizi
penderita, penentuan gizi dilaksanakan dengan menghitung Percentage of Relative
Body Weight (BBR = berat badan normal) dengan rumus :

  
a. Kurus (under weight)    BBR < 90 %
b. Normal (ideal)              BBR 90% - 110%
c. Gemuk (overweight)    BBR > 110%
d. Obesitas apabila         BBR > 120%
1) Obesitas ringan        BBR 120 % - 130%
2) Obesitas sedang      BBR 130% - 140%
3) Obesitas berat          BBR 140% -  200%
4) Morbid                    BBR >200 %
Sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari untuk penderita   DM
yang bekerja biasa adalah :
a. Kurus (underweight)    BB X 40-60 kalori sehari
b. Normal (ideal)              BB X 30 kalori sehari
c. Gemuk (overweight)    BB X 20 kalori sehari
d. Obesitas apabila          BB X 10-15 kalori sehari
2. Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM, adalah :
a. Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap 1 1/2  jam sesudah
makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada penderita dengan
kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan meningkatkan
sensivitas insulin dengan reseptornya.
b. Mencegah kegemukan bila ditambah latihan pagi dan sore
c. Memperbaiki aliran perifer dan menambah suplai oksigen
d. Meningkatkan kadar kolesterol – high density lipoprotein 
e. Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka latihan akan dirangsang
pembentukan glikogen baru.
f. Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah karena pembakaran
asam lemak menjadi lebih baik.
3. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan kepada penderita
DM, melalui bermacam-macam cara atau media misalnya: leaflet, poster, TV,
kaset video, diskusi kelompok, dan sebagainya.
4. Obat
a. Tablet OAD (Oral Antidiabetes) / Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1) Mekanisme kerja sulfani lurea
Obat ini bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan insulin yang
tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin dan meningkatkan sekresi
insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya
diberikan pada penderita dengan berat badan normal dan masih bias dipakai
pada pasien yang berat badannya sedikit lebih.
2) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek lain
yang dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu :
a) Biguanida pada tingkat pre reseptor → ekstra pankreatik
- Menghambat absorpsi karbohidrat
- Menghambat glukoneogenesis di hati
- Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
b) Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor
insulin
c) Biguanida pada tingkat pascareseptor: mempunyai efek intraselluler
b. Insulin
Indikasi penggunaan insulin:
1) DM tipe I
2) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan OAD
3) DM kehamilan
4) DM dengan gangguan faal hati yang berat
5) DM dangan gangguan infeksi akut (selulitis, gangren)
6) DM dan TBC paru akut
7) DM dan koma lain pada DM
8) DM operasi
9) DM patah tulang
10) DM dan under weight
11) DM dan penyakit graves
Beberapa cara pemberian insulin
1) Suntikan insulin subkutan
Insulin regular mencapai puncak kerjanya pada 1 – 4 jam, sesudah suntikan
subkutan, kecepatan absorpsi di tempat suntikan tergantung pada beberapa
factor antara lain :
a) Cangkok pankreas
Pendekatan terbaru untuk cangkok adalah segmental dari donor hidup
saudara kembar identik

J. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Menurut Bare, Smelter 2005 pengakajian meliputi :
1. Pengumpulan data
Data biasa di peroleh dari klien, keluarga, orang terdekat maupun dari catatan
medik.
2. Biodata
a. Identitas klien, meliputi : umur, suku bangsa , jenis kelamin dan pekerjaan.
b. Identitas penanggung jawab , meliputi : nama, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, hubungan dengan pasien.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama akan di temukan tanda-tanda poliuria, polidipsia, polipagia,
penurunan BB, kelelahan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu kegemukan yang berlangsung lama, riwayat
pankreastitis kronis, riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kg, riwayat
glukosuria.
c. Riwayat kesehatan keluarga adanya riwayat keluarga tentang penyakit diabetes
mellitus.
4. Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum : BB, TTV. Menurut NANDA 2008
kemungkinan data yang di peroleh dari penyakit diabetes melitus :
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bernapas. Kram otot, tonus otot menurun, gangguan
istirahat / tidur.
Tanda : Takikardi, takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas,
letargi.
b. Sirkulasi
Gejala : Ada riwayat hipertensi, Kesemutan pada ekstrimitas, ulkus pada kaki.
Tanda : Takikardi, hipertensi, nadi menurun atau tak ada, disritmia, kulit panas,
kering dan kemerahan, mata cekung.
c. Integritas Ego
Gejala : Stress.
Tanda : Ansietas, peka rangsang.
d. Eliminasi
Gejala : Poliuria, nocturia, rasa nyeri, kesulitan berkemih, diare.
Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuria, diare.
e. Makanan dan Cairan
Gejala : Mual / muntah, hilang nafsu makan, penurunan bb, haus
Tanda : Kulit kering / bersisik, turgor kulit jelek, muntah, distensi abdomen,
napas berbau aseton.
f. Neurosensori
Gejala : Pusing, sakit kepala, kesemutan, parastesia.
Tanda : Disorientasi, letargi, mengantuk, aktivas kejang.
g. Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri.
Tanda : Takikardi, takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas
h. Pernapasan
Gejala : Batuk.
Tanda : Frekuensi pernapasan, batuk
i. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Tanda : Demam, diaforesis, kulit rusak, menurunkan kekuatan umum.
j. Seksualitas
Gejala : Infeksi, masalah impotensi pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (penurunan perfusi jaringan
perifer)
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menggunakan glukose (tipe 1)
3. Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelebihan intake nutrisi (tipe 2)
4. Defisit Volume Cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan secara aktif,
kegagalan mekanisme pengaturan
5. Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan hipoksemia jaringan.
6. PK: Hipoglikemi / PK: Hiperglikemi
L. INTERVENSI
1) Nyeri akut berhubungan dengan resistensi pembuluh darah di otak meningkat
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri
berkurang sampai hilang.

SLKI:
- Nyeri membaik
- Skala nyeri dapat berkurang

SIKI:

Manajemen nyeri

1. Observasi skala nyeri secara komprehensif.


2. Ajarkan penggunaan tehnik non farmakologi.
3. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan mengatasinya dengan cepat.
4. Kolaborasi dengan orang terdekat untuk memilih dan mengimplementasikan
tidakan penurunan nyeri non farmakologi.
Pemberian analgesik :
1. Berikan analgesik sesuai waktu paruhnya, terutama pada nyeri yang hebat.
2. Cek adanya riwayat alergi obat

2) Risiko infeksi yang berhubungan dengan penyakit kroris diabetes


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
risiko infeksi dapat teratasi

SLKI:
- Demam menurun
- Kemerahan menurun
- Bengkak menurun

SIKI:

- Monitor tanda dan gejala infeksi


- Berikan perawatan kulit pada edema
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Kolaborasi pemberian antibotik
3) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
Perfusi perifer tidak efektif dapat teratasi

SLKI:
- Penyembuhan luka meningkat
- Edema perifer menurun
- Nyeri ekstremitas menurun

SIKI :

- Identifikasi factor risiko gangguan sirkulasi


- Monitor panas,kemerahan,nyeri,atau bengkak pada ekstremitas
- Lakukan pencegahan infeksi
- Lakukan perawatan kaki dan kuku
- Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dg keterbatasan perfusi
- Anjurkan olahraga rutin
- Ajarkan program diet
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik Ma’rifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu
Carpenito, LJ. 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2013. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Erlangga : Jakarta
Ircham Machfoedz, 2013. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di
Perjalanan.  Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2011. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Maryam, Siti. 2008. “Menengenal Usia Lanjut dan Perawatannya”. Jakarta: Salemba
Medika
Mc Closkey, C.J., et all. 2011. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
NANDA DIAGNOSA 2012.Nursing Diagnosis : Definition and Classification 2012-2014.
NANDA International. Philadelphia.
Nurarif & Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA. Yogyakarta: MediAction.
Nurarif, A, H; Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda Nic-Noc. Edisi Revisi. Penerbit Mediaction Jogja : Yogyakarta

Potter & Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik,
Jakarta: EGC
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni
Smeltzer, S.C., 2010, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA,


Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Ed 9. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai