Anda di halaman 1dari 6

NAMA : RANI KUSUMAWARDANI

NIM : 011713243095
1. FUNGSI BILIRUBUN DALAM TUBUH
Bilirubin adalah salah satu pigmen yang memiliki warna kuning yang mana
merupakan produk utama dari hasil perombakan heme yang berasal dari hemoglobin yang
terjadi akibat adanya perombakan sejumlah sel-sel darah merah yang di lakukan oleh sel
retikuloendotel. Selain sebagai hasil dari pemecahan eritrosit, bilirubin juga dihasilkan
dari adanya perombakan sejumlah zat lainnya. Ketika itu, bilirubin akan di saring dari
darah oleh hati, setelah itu akan dikeluarkan melalui cairan yang berupa empedu. Dan
tingkat kelebihan yang ada di dalam darah mampu mengindikasikan kerusakan terhadap
hati. Dan salah satu fungsi bilirubin yaitu guna mencegah serta menghentikan adanya
serangan penyakit autoimun seperti sklerosis multiple. (Kosim, M. soleh, dkk 2014).
Sklerosis multiple merupakan kadaan kronis, panyakit sisten saraf pusat deganeratif
dikarakteristikan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis.
(Brunner & suddarth, keperawatan medikal bedah,(2002) hal 2182 .

2. METABOLISME HIPERBILIRUBIN
Metabolisme bilirubin ini merupakan hasil dari reaksi katabolisme anzimatik
biliverdin oleh biliverdin reduktase. Sedangkan reaksi dari oksidasi bilirubin ini nantinya
akan menghasilkan biliverdin. Dikarenakan mampu mengikat sejumlah senyawa
oksidatif, maka bilirubin ini kerap kali digolongkan kedalam kelompok senyawa
antioksidan. Bilirubin yang memang dihasilkan oleh sejumlah sel retikuloendotel ini
memiliki sifat yang larut dalam air. Sehingga, agar bisa di angkut oleh plasma darah
untuk menuju hati, bilirubin ini harus diikatkan dengan albumin. Dan jika di lihat
berdasarkan jenisnya juga sifat bilirubin itu sendiri (Kosim, M. soleh, dkk 2014).
a. Pembentukan bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi- reduksi. Langkah
oksidase yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan
enzim heme oksigenase, yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati,
dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunaan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang diekskresikan kedalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melelui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda pada biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% bilirubin berasal dari katabolisme heme haemoglobin
dari eritrosit sirkulasi. Satu gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan
sisanya (25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin
karena eritropoesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang
mengandung proten heme (mioglobin, sitikrom, katalase, peroksidase) dan heme bebas.
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/ kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosit yang lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari). Peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi
enterohepatik).
b. Transportasi bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah
dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke
sel hepar. Bilirubin yang terikat ke albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat
dan bersifat non toksik. Albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat-
obatan yang bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obat tersebut akan
menempati tempat utama perlekatan albimin untuk bilirubin sehingga bersifat
kompetitor sertadapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
Pada BKB ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya merupakan komplikasi dari
hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemia, asidosis, hipotermia, hemolisis dan septikemi. Hal
tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas dan beresiko
pula untuk keadaan neurotoksisitas oleh bilirubin.
c. Asupan bilirubin
d. Saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin terikat
ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin (protein Y). Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik
bilirubin tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.
e. Konjugasi bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucuronosyl
transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum
endoplasma untuk rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin
yang dihantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya
pada keadaan hemolisis kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah bilirubin
monoglukoronida.
f. Ekskresi bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresi ke dalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Setelah
berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi harus dikonversikan kembali
menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam
usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk
dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik. Bayi baru lahir mempunyai
konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif tinggi di dalam usus yang berasal dari
produksi bilirubinyang meningkat, hidolisis bilirubin glukoronida yang berlebih dan
konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan di dalam mekonium.

3. HUBUNGAN SEPSI DAN HIPERBILIRUBIN


Sepsis pada neonatus yang berimplikasi pada sistem gatroentrologi menimbulkan
gejala hiperbilirubinemia. Secara teori, infeksi pada neonatus dapat menyebabkan
terjadinya hemolisis yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar bilirubin.

4. ASI atau PASI MENYEBABKAN HIPERBILIRUBIN ?


Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa kejadian
hiperbilirubinemia cenderung lebih tinggi pada neonatus dengan ASI dibanding dengan
neonatus yang asupan nutrisi non ASI seperi susu fornula. Hal ini pula yang diperoleh
dari hasil penelitian Saroj dkk, yang mengatakan bahwa secara statistik insiden
hiperbilirubinemia pada neonetus dengan ASI secara signifikan lebih tinggi dibanding
dengan neonatus dengan susu formula. Ditahun 2001 Journal of perinatology
mengungkapkan bahwa perpanjangan masa keadaan hiperbilirubin tak terkonjugasi pada
neonatus dengan ASI yang terjadi pada 3 hingga 1 minggu pertama kehidupan pada bayi
yang sehat merupakan suatu hal yang normal dan merupakan bagian dari fisiologis
jaundice.
Pada bayi yang diberi minum susu formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih
banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama kehidupan dibandingkan dengan yang
mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada
yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekoniumnya lebih
sering terjadi ikterus fisiologis.
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat 2 bentuk neonatal jaundice yaitu eraly
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk early
onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini
Dipengaruh oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi.
Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya factor
spesifik dari ASI yaitu ; 2α-20β-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT atau
pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit ; peningkatan aktivitas lipoprotein lipase
yang kemudian melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus ; penghambatan
konjugasi akibat peningkatan asam lemak unsaturated; atau β-glukorunidase atau adanya
factor lain yang mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik (Kosim, M.
soleh, dkk 2014).
Faktor etiologi yang mungkin berhungan dengan hiperbilirubinemia pada bayi yang
mendapat ASI :
a. Asupan cairan : Kelaparan, Frekusensi menyusu, Kehilangan berat badan / dehidrasi
b. Hambatan ekskresi bilirubin hepatik : Pregnandiol, Lipase-free fatty acid, Unidentified
inhibitor
c. Intestinal reabsorbtion of bilirubin: Pasase mekonium terlambat Pembentukan
urobilinoid bakteri, Beta-glukoronidase, Hidrolisis alkaline, Asam empedu
d. Faktor terakhir yang diduga sebagai penyebab late onset (berhubungan dengan ASI)
adalah peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Kondisi ini terjadi akibat : Peningkatan aktifitas beta-glukoronidase dalam ASI dan
juga pada usus bayi yang mendapat ASI, Terlambatnya pembentukan flora usus pada
bayi yang mendapat ASI, Defek aktivitas uridine diphosphateglucoronyl transferase
(UGT1A1).
5. FISIOLOGIS KARDIOFASKULER JANIN INTRAUTERINE DAN
EKSTRAUTERINE
Ketika dalam Rahim semua kebutuhan janin disalurkan melalui vena umbilical, maka
sirkulasi menjadi khusus. Tali pusat berisi 1 vena dan 2 arteri. Vena ini menyalurkan
oksigen dan makanan dari plasenta ke janin. Sebaliknya, kedua arteri menjadi pembuluh
balik menyalurkan darah kearah plasenta untuk dibersihkan dari sisa metabolism
(Sarwono,2011).

Perhatikan darah dari plasenta melalui vena umbilical (UV) masuk ke janin melalui
duktus venosus (DV), bergabung dengan vena kava, masuk ke atrium kanan (RA),
menyebrang ke atrium kiri (LA), melalui foramen ovale (FO) selanjutnya melalui
ventrikel kiri (LV) ke aorta (AO). Sebagian besar darah dari ventrikel kanan (RV) akan
melalui arteri pulmonalis (PA) dan duktus arteriosus (DA) masuk ke aorta (AO).
Adanya krista dividens sebagai pembatas pada vena kava memungkinkan sebagian
besar darah bersih dari duktus venesus langsung akan mengalir kea rah foramen ovale.
Sebaliknya, sebagian kecil akan mengalir kearah ventrikel kanan. Darah dari ventrikel
kanan akan mengalir ke arah paru. Karena paru belum berkembang, sebagian besar darah
dari jantung kanan melalui arteri pulmonalis akan dialirkan ke aorta melalui suatu
pembuluh duktus arteriosus. Darah itu akan bergabung di aorta desending, bercampur
dengan darah bersih yang akan dialirkan ke seluruh tubuh. Darah balik akan melalui
arteri hipogastrika, keluar melalui dinding abdomen sebagai arteri umbilical.
Setelah bayi lahir, semua pembuluh umbilical, duktus venosus, dan duktus arteriosus
akan mengkerut. Pada saat lahir akan terjadi perubahan sirkulasi, di mana terjadi
pengembangan paru dan penjempitan tali pusat. Akibat peningkatan kadar oksigen pada
sirkulasi paru dan vena pulomonalis, duktus arteriosus akan menutup dalam 3 hari dan
total pada minggu ke 2. Pada situasi di mana kadar oksigen kurang yaitu pada gagal
nafas, duktus akan relative membuka (paten).
6. FISIOLOGIS RESPIROLOGI JANIN INTRAUTERINE DAN EKSTRAUTERINE
Gerakan nafas janin telah dapat dilihat sejak kehamilan 12 minggu dan pada 34
minggu secara regular gelar nafas ialah 40-60/menit dan di antar jeda adalah periode
apnea. Cairan ketuban akan masuk sampai bronkiolis, sementara di dalam alveolus
terdapat cairan alveoli. Gerak nafas janin dirangsang oleh kondisi hiperkapnia dan
peningkatan kadar glukosa. Sebaliknya, kondisi hipoksia akan menurunkan frekuesnis
nafas. Pada aterm normal, gerak nafas akan berkurang dan dapat apnea selama 2 jam.

Alveoli terdiri atas 2 lapis sel epitel yang mengandung sel epitel tipe I dan II. Sel tipe II
membuat sekresi fosfolipid suatu surfaktan yang penting untuk fungsi pengembangan
nafas. Surfaktan yang utama ialah sfingomielin dan lesitin serta fosfatidil gliserol.
Produksi sfingomielin dan fosfatidil gliserol akan memuncak pada 32 minggu, sekalipun
sudah di hasilkan sejak 24 minggu (Sarwono, 2011).

Anda mungkin juga menyukai