1. Syalom Pantouw
2. Anugrah Karuh
3. Juan Moningka
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sungguh suatu kesyukuran
yang memiliki makna tersendiri, karena walaupun dalam keadaan terdesak kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI RESIKO TINGGI DENGAN
HYPERBILLIRUBINEA”
Apa yang kami lakukan dalam makalah ini, masih jauh diharapkan dan isinya masih
terdapat kesalahan-kesalahan baik dalam penulisan kata maupun dalam menggunakan ejaan yang
benar. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya membangun, kami harapkan sehingga
makalah ini menjadi sempurna.
TOMOHON 2022
BAB I
PENDAHULUAN
Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1 – 3 mg/ dl).
Bila penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka kondisi ini
biasanya disebabkan oleh kelainan familial metabolism bilirubin,yang paling sering
adalah sindrom gilbert. Sindrom lainnya juga sering ditemukan, prognasisnya baik.
Diagnosis yang akurat terutama pada penyakit hati kroniksangat penting untuk
penatalaksanaan pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya penyakit serta tidak
ditemukan adanya pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum transaminase normal
dan bila perlu dilakukan biopsi hati. (Aru W. sudoyo)
BAB II
PEMBAHASAN
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubi-
nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga
disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia
patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonates >95% menurut Normogram Bhutani.
Hiperbilirubinemia adalah salah satu masalah paling umum yang dihadapi dalam
jangka bayi yang baru lahir. Secara historis, manajemen berasal ari studi tentang
toksisitas bilirubin pada dengan penyakit hemolitik. Rekomendasi yang lebih baru
mendukung penggunaan terapi yang kurang intensif dalam jangka bayi yang sehat dengan
sakit kuning. (Ely Susan, 2011)
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus, yang
dikenal dengan ikterus neonatorum patologis. Hiperbilirubimenia yang merupakan suatu
keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga
konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut juga bisa
berpotensi besar terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak. Bayi yang mengalami hiperbilirubinemia memiliki ciri sebagai berikut :
adanya ikterus terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10
mg% atau lebih setiap 24 jam, konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus yang
cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan, ikterus disertai dengan
proses hemolisis kemudian ikterus yang disertai dengan keadaan berat badan lahir kurang
dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom
gangguan pernafasan, dan lain-lain.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian
lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin
tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin
indirek. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan
sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membrane sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam sel
hepar terjadi persenyawaan ligandin dan glutation hepar lain yang membawanya ke
retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya
enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis
bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal.
Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke
dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urubilinogen dan keluar dengan tinja
sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa usus dan
terbentuklah proses absorpsi entero hepatik.
Eritrosit
Hemoglobin
Heme Globin
Fe Biliverdin
Bilirubin Indirek
Mengikat
Albumin
Hepar
Membran Sel
Bilirubin Direk
Empedu
Usus/ Duodenum
Bilirubin Indirek
2.3 Patofisiologi
a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah menjadi fragmen
globin (protein) dan heme (besi).
c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat
diekskresikan di dalam urine atau empedu, bilirubin ini dapat keluar menuju
jaringan ekstravaskular, terutama jaringan lemak dan otak, mengakibatkan
hiperbilirubinemia.
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut
dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini
beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin
dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang
ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin.
2.4 Etiologi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
2.5 Epidemiologi
Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir
mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 mmol / L (1,8 mg / dL)
selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena
banyak peneliti berbeda yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk
hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi
yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning oleh penyedia
layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat
dan pada karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan.
Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki
total serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun
1994 American Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam
rentang di mana tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.
Di dunia insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insidensi lebih tinggi pada
orang Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah pada orang kulit hitam. Yunani
yang hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada yang keturunan Yunani
yang tinggal di luar Yunani. Insidensi lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di
ketinggian. Pada tahun 1984, Moore dkk melaporkan 32,7% bayi dengan kadar bilirubin
serum lebih dari 205 umol / L (12 mg / dL) pada 3100 m dari ketinggian.
Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari
neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus
dapat terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis.
Dalam sebuah penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji
memiliki G-6-PD kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal
dengan kernikterus diduga dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD
yang normal skrining hasil tes.
Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi dari Asia Timur, Indian,
Amerika, dan keturunan Yunani, meskipun yang terakhir tampaknya hanya berlaku untuk
bayi yang lahir di Yunani dan dengan demikian mungkin lingkungan bukan etnis di asal.
Bayi kulit hitam yang terpengaruh lebih sering dari pada bayi putih. Untuk alasan ini,
penyakit kuning yang signifikan dalam manfaat bayi hitam evaluasi lebih dekat dari
kemungkinan penyebab, termasuk G-6-PD kekurangan.
Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi laki-
laki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang
ada di bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik
dengan usia kehamilan.
3. Kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonarus kurang bulan dan 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan.
- Infeksi
- Gangguan pernafasan
2.7 Pathaway
Terlampir
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang
kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit
lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya
ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemi berat. Namun pada bayi yang
mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi
sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.
d. Bilirubin direk.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi
dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan
pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
a. Gangguan menelan
e. Risiko cidera.
2.11 Intervensi Keperawatan
1. Gangguan menelan
Kemampuan menelan
Tersedak, batuk
adekuat
Keterlambatan menelan
Pengiriman bolus ke
Menolak makan, muntah hipofaring selaras
dengan reflek menelan
Suara seperti kumur
Kondisi pernafasan
Factor yang berhubungan : adekuat
Mampu mengontrol
Riwayat dengan makan slang
mual dan muntah
Gangguan pernafasan
Imobilitas konsekuensi
Penyakit jantung kongenital fisiologis
Gagal pertumbuhan Kondisi menelan bayi
Malnutrisi energi-protein
Haus
Kelemahan
3. Ketidak efektifan
Termoregulasi
Hidration Temperature regulation
Definisi : fluktuasi suhu diantara (pengaturan suhu)
Adherence behavior
hepotermi dan hipetermia.
Monitor suhu minimal tiap
Immune status
Batasan Karakteristik 2 jam
Risk control
Dasar kuku diasnotik Rencanakan monitoring
5. Risiko cidera
Definisi : berisiko mengalami Risk control Environment management
cidera sebagai akibat kondisi Kriteria hasil : (Manajemen Lingkungan)
lingkungan yang berinteraksi Klien terbebas dari Sediakan lingkungan yang
sumber adaptif dan sumber cedera aman untuk pasien
individu Klien mampu Identifikasi kebutuhan
Faktor risiko : menjelaskan cara/ keamanan pasien, sesuai
Eksternal metode untuk dengan kondisi fisik dan
- Biologis (missal ; tingkat mencegah injury/ fungsi kognitif pasien dan
imunisasi komunitas, cedera riwayat penyakit terdahulu
mikroorganisme) Klien mampu pasien
- Zat kimia menjelaskan factor
- Manusia risiko dari lingkungan/
perilaku personal
- Cara pemindahan Memodifikasi gaya
- Nutrisi hidup untuk mencegah
Internal : Injury
- Profil darah yang abnormal Mampu mengenali
- Usia perkembangan perubahan status
- Disfungsi efektor kesehatan
- Disfungsi integratif
- Malnutrisi
2.12 Penatalaksanaan
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam
perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubi-
nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga
disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia
patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonates >95% menurut Normogram Bhutani.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson Vol I. Edisi 15. Jakarta : EGC
https://asus10.wordpress.com/asuhan-keperawatan/askep-pada-kasus-bayi-
hiperbilirubinemia/ Diakses pada tanggal 01 Oktober 2015 pukul 16.20 WIB
https://cnennisa.files.wordpress.com/2007/08/asuhan-keperawatan-dengan-
hiperbilirubin.pdf Diakses pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.30 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37957/4/Chapter%20II.pdf Diakses
pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.45 WIB
Sudoyo, Aru W., dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing
Susanty, Ely. 2011. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Nanda Nic Noc. Yogyakarata :
Modya Karya