Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI RESIKO TINGGI DENGAN ASFIKSIA


HYPERBILLIRUBINEA”

Disusun Oleh : Kelompok 11

1. Syalom Pantouw
2. Anugrah Karuh
3. Juan Moningka

Dosen Pengampuh : Ns. Welmin Lumi, S.Kep., M.Kes

AKADEMI KEPERAWATAN BETHESDA TOMOHON

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sungguh suatu kesyukuran
yang memiliki makna tersendiri, karena walaupun dalam keadaan terdesak kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI RESIKO TINGGI DENGAN
HYPERBILLIRUBINEA”

Apa yang kami lakukan dalam makalah ini, masih jauh diharapkan dan isinya masih
terdapat kesalahan-kesalahan baik dalam penulisan kata maupun dalam menggunakan ejaan yang
benar. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya membangun, kami harapkan sehingga
makalah ini menjadi sempurna.

TOMOHON 2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1 – 3 mg/ dl).
Bila penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka kondisi ini
biasanya disebabkan oleh kelainan familial metabolism bilirubin,yang paling sering
adalah sindrom gilbert. Sindrom lainnya juga sering ditemukan, prognasisnya baik.
Diagnosis yang akurat terutama pada penyakit hati kroniksangat penting untuk
penatalaksanaan pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya penyakit serta tidak
ditemukan adanya pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum transaminase normal
dan bila perlu dilakukan biopsi hati. (Aru W. sudoyo)

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 25 – 50% bayi baru lahir menderita ikterus pada
minggu pertama. Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin, standar
deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90
persen. Dalam perhitungan bilirubin terdiri dari bilirubin direk dan bilirubin indirek.
Peningkatan bilirubin indirek terjadi akibat produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan
pengambilan bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi bilirubin. Setiap bayi dengan
ikterus harus mendapat perhatian, terutama ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin indirek meningkat 5 mg/dL dalam 24 jam dan
bilirubin direk > 1 mg/dL merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adannya
ikterus patologis.

Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul, lama, atau kadar


bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus fisiologis. Gejala
paling mudah diidentifikasi adalah ikterus yang didefinisikan sebagai kulit dan selaput
lendir menjadi kuning. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan pengertian hiperbilirubinemia?

b. Bagaimana metabolism bilirubin?

c. Bagaimana patofisiologi hiperbilirubinemia?

d. Bagaimana etiologi hiperbilirubinemia?

e. Bagaimana epidemiologi hiperbilirubinemia?

f. Bagaimana manifestasi klinis hiperbilirubinemia?

g. Bagaimana pathway dari hiperbilirubinemia?

h. Bagaimana pemeriksaan fisik dari hiperbilirubinemia?

i. Bagaimana pemeriksaan laboratorium hiperbilirubinemia?

j. Bagaimana diagnose keperawatan hiperbilirubinemia?

k. Bagaimana intervensi keperawatan hiperbilirubinemia?

l. Bagaimana penatalaksanaan hiperbilirubinemia?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian hiperbilirubinemia.

b. Untuk mengetahui metabolism bilirubin

c. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit hiperbilirubinemia.

d. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit hiperbilirubinemia.


e. Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit hiperbilirubinemia.

f. Untuk mengetahui manifestasi klinis hiperbilirubinemia.

g. Untuk mengetahui pathway penyakit hiperbilirubinemia.

h. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dari penyakit hiperbilirubinemia.

i. Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium hiperbilirubinemia.

j. Untuk mengetahui diagnose keperawatan hiperbilirubinemia.

k. Untuk mengetahui intervensi keperawatan hiperbilirubinemia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubi-
nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga
disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia
patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonates >95% menurut Normogram Bhutani.

Hiperbilirubinemia adalah salah satu masalah paling umum yang dihadapi dalam
jangka bayi yang baru lahir. Secara historis, manajemen berasal ari studi tentang
toksisitas bilirubin pada dengan penyakit hemolitik. Rekomendasi yang lebih baru
mendukung penggunaan terapi yang kurang intensif dalam jangka bayi yang sehat dengan
sakit kuning. (Ely Susan, 2011)

Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus, yang
dikenal dengan ikterus neonatorum patologis. Hiperbilirubimenia yang merupakan suatu
keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga
konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut juga bisa
berpotensi besar terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak. Bayi yang mengalami hiperbilirubinemia memiliki ciri sebagai berikut :
adanya ikterus terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10
mg% atau lebih setiap 24 jam, konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus yang
cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan, ikterus disertai dengan
proses hemolisis kemudian ikterus yang disertai dengan keadaan berat badan lahir kurang
dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom
gangguan pernafasan, dan lain-lain.

2.2 Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian
lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin
tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin
indirek. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan
sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membrane sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam sel
hepar terjadi persenyawaan ligandin dan glutation hepar lain yang membawanya ke
retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya
enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis
bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal.
Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke
dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urubilinogen dan keluar dengan tinja
sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa usus dan
terbentuklah proses absorpsi entero hepatik.

Eritrosit
Hemoglobin

Heme Globin

Fe Biliverdin

Bilirubin Indirek

Mengikat
Albumin
Hepar

Membran Sel

Berikatan dengan Ligandin


Siklus
Enterohepatik
Retikulo Endoplasma

Enzim Glukoronidin Transferase

Bilirubin Direk

Empedu

Usus/ Duodenum

Feses Enzim Glukoronidase

Bilirubin Indirek
2.3 Patofisiologi

a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah menjadi fragmen
globin (protein) dan heme (besi).

b. Fragmen heme membentuk bilirubin tidak terkonjugasi (indirek), yang berikatan


dengan albumin untuk dibawa ke sel hati agar dapat berkonjugasi dengan
glukuronid, membentuk bilirubin direk.

c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat
diekskresikan di dalam urine atau empedu, bilirubin ini dapat keluar menuju
jaringan ekstravaskular, terutama jaringan lemak dan otak, mengakibatkan
hiperbilirubinemia.

d. Hiperbilirubinemia dapat berkembang ketika :

 Faktor tertentu-tertentu mengganggu konjugasi dan merebut sisi yang


mengikat albumin, termasuk obat (seperti aspirin, penenang, dan
sulfonamide) dan gangguan (seperti hipotermia, anoksia, hipoglikemia,
dan hipoalbuminemia)

 Peu nurunan fungsi hati yang menyebabkan penurunan konjugasi bilirubin.

 Peningkatan produksi atau inkompatibilitas Rh atau ABO.

 Obstruksi bilier atau hepatitis mengakibatkan sumbatan pada aliran


empedu yang normal.

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut
dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini
beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin
dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang
ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin.

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi


kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati
(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal.
Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi
ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.

2.4 Etiologi

Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,


penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :

a. Produksi bilirubin yang berlebihan.

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada


emolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat


untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan
infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-
Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.


Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.5 Epidemiologi

Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir
mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 mmol / L (1,8 mg / dL)
selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena
banyak peneliti berbeda yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk
hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi
yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning oleh penyedia
layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat
dan pada karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan.

Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki
total serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun
1994 American Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam
rentang di mana tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.

Di dunia insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insidensi lebih tinggi pada
orang Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah pada orang kulit hitam. Yunani
yang hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada yang keturunan Yunani
yang tinggal di luar Yunani. Insidensi lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di
ketinggian. Pada tahun 1984, Moore dkk melaporkan 32,7% bayi dengan kadar bilirubin
serum lebih dari 205 umol / L (12 mg / dL) pada 3100 m dari ketinggian.
Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari
neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus
dapat terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis.
Dalam sebuah penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji
memiliki G-6-PD kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal
dengan kernikterus diduga dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD
yang normal skrining hasil tes.

Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi dari Asia Timur, Indian,
Amerika, dan keturunan Yunani, meskipun yang terakhir tampaknya hanya berlaku untuk
bayi yang lahir di Yunani dan dengan demikian mungkin lingkungan bukan etnis di asal.
Bayi kulit hitam yang terpengaruh lebih sering dari pada bayi putih. Untuk alasan ini,
penyakit kuning yang signifikan dalam manfaat bayi hitam evaluasi lebih dekat dari
kemungkinan penyebab, termasuk G-6-PD kekurangan.

Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi laki-
laki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang mirip dengan yang
ada di bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik
dengan usia kehamilan.

2.6 Manifestasi Klinis

1. Ikterus terjadi 24 jam.

2. Peningkatan kosentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.

3. Kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonarus kurang bulan dan 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan.

4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompabilitas darah, defisiensi enzim G-


6-PD (Glukosa 6 Phosphat Dehydrogenase))

5. Ikterus yang disertai keadaan berikut :

- Berat lahir kurang dari 2000 gram

- Masa gestasi kurang dari 36 minggu

- Infeksi
- Gangguan pernafasan

2.7 Pathaway

Terlampir

2.8 Pemeriksaan Fisik

Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang
kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit
lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya
ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

2.9 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemi berat. Namun pada bayi yang
mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi
sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.

‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum


bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk
kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 µmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus
yang sedang mendapat terapi sinar.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab


ikterus antara lain :

a. Golongan darah dan ‘Coombs test’.


b. Darah lengkap dan hapusan darah.

c. Hitung retikulosit, skrining G-6-PD.

d. Bilirubin direk.

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi
dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan
pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.

2.10 Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan menelan

b. Kekurangan volume cairan.

c. Ketidak efektifan termoregulasi b.d efek foto terapi.

d. Kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia.

e. Risiko cidera.
2.11 Intervensi Keperawatan

NO. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Hasil

1. Gangguan menelan

Definisi : abnormal fungsi  Pencegahan aspirasi Aspiration Precautions


mekanisme menelan yang
 Ketidak efektifan pola Memantau tingkat
dikaitkan dengan deficit struktur
menyusui kesadaran, reflex batuk,
atau fungsi oral, faring, atau
reflex muntah, dan
esophagus.  Status menelan :
kemampuan menelan
tindakan pribadi untuk
Batasan Karakteristik :
mencegah pengeluaran Memonitor status paru
Gangguan fase esofagus cairan dan partikel menjaga/ mempertahankan
padat ke dalam paru jalan nafas
 Abnormalitas pada fase
esophagus pada pemeriksaan  Status menelan : fase Jauhkan pengaturan hisap
menelan esofagus; penyaluran yang tersedia
cairan atau partikel
 Menolak makan Menyuapkan makanan
padat dari faring ke
dalam jumlah kecil
lambung
 Nyer epigastrik, Nyeri ulu hati
Posisi tegak 90 derajat atau
 Status menelan : fase
 Muntah, muntahan di bantal sejauh mungkin
 Menelan berulang oral : persiapan, Hindari makan, jika residu
penahanan, dan tinggi tempet “pewarna”
Gangguan fase oral
pergerakan cairan atau dalam tabung pengisi NG

 Abnormalitas fase oral pada partikel padat kea rah


Potong makan menjadi
pemeriksaan menelan posterior di mulut
potongan-potongan kecil
 Status menelan : fase
 Batuk sebelum menelan Istirahat atau
faring : penyaluran
menghancurkan pil
 Ngiler cairan atau partikel
sebelum pemberian
padat dari mulut ke
 Bibir tidak menutup secara rapat
esophagus Penawaran makanan atau
 Tersedak sebelum menelan cairan yang dapat dibentuk
Kriteria hasil :
menjadi bolus sebelum
Gangguan fase faring
 Dapat menelan
mempertahankan
 Abnormalitas pada fase faring
makanan dalam mulut
pada pemeriksaan menelan

 Kemampuan menelan
 Tersedak, batuk
adekuat
 Keterlambatan menelan
 Pengiriman bolus ke
 Menolak makan, muntah hipofaring selaras
dengan reflek menelan
 Suara seperti kumur
 Kondisi pernafasan
Factor yang berhubungan : adekuat

Defisit kongenital  Pengetahuan cara


menyusui
 Masalah perilaku makan

 Mampu mengontrol
 Riwayat dengan makan slang
mual dan muntah
 Gangguan pernafasan
 Imobilitas konsekuensi
 Penyakit jantung kongenital fisiologis
 Gagal pertumbuhan  Kondisi menelan bayi

 Obstruksi mekanis (mis: edema,  Menyusui adekuat


slang trakeostomi, tumor)

 Malnutrisi energi-protein

 Anomali saluran nafas atas

2. Kekurangan volume cairan

Definisi : penurunan cairan  Fluid balance Fluid management


intravascular, interstitial, dan/
 Hydration Timbang popok/ pembalut
atau intraseluler. Ini mengacu
jika diperlukan
pada dehidrasi, kehilangan cairan  Nutritional Status :
saat tanpa perubahan pada Food and Fluid Intake Pertahankan catatan intake
natrium. dan output yang akurat
Kriteria Hasil :
Batasan karakteristik Monitor status hidrasi
 Mempertahankan
(kelembaban membran
 Perubahan status mental urine output sesuai
mukosa, nadi adekuat,
dengan usia dan BB,
 Penurunan tekanan darah tekanan darah ortostatik),
BJ urine normal, HT
jika diperlukan
 Penurunan tekanan nadi normal
Monitor vital sign
 Tekanan darah, nadi,
 Penurunan volume nadi
suhu tubuh dalam Monitor masukan
 Penurunan turgor kulit batas normal manan/cairan dan hitung
intake kalori harian
 Penurunan turgor lidah  Tidak ada tanda
dehidrasi, Kolaborasikan pemberian
 Penurunan saluran urin
Elastisitasturgor kulit cairan IV
baik, membrane
 Penurunan pengisisan vena Monitor status nutrisi
mukosa lembab, tidak
 Membrane mukosa kering ada rasa haus yang Berikan cairan IV pada
berlebihan suhu ruangan
 Kulit kering Dorong masukan oral

 Peningkatan hematokrit Berikan penggantian


nesogatrik sesuai output
 Peningkatan suhu tubuh
Dorong keluarga untuk
 Peningkatan frekuensi nadi membantu pasien makan

 Peningkatan konsentrasi urin

 Tiba-tiba (kecuali pada ruang


ketiga)

 Haus

 Kelemahan

Faktor yang berhubungan :

 Kehilangan cairan aktif

 Kegagalan mekanisme regulasi

3. Ketidak efektifan
Termoregulasi
 Hidration Temperature regulation
Definisi : fluktuasi suhu diantara (pengaturan suhu)
 Adherence behavior
hepotermi dan hipetermia.
Monitor suhu minimal tiap
 Immune status
Batasan Karakteristik 2 jam

 Risk control
 Dasar kuku diasnotik Rencanakan monitoring

 Risk detection suhu secara kontinyu


 Fruktuasi suhu tubuhdi atas dan
di bawah kisaran normal Kriteria hasil : Monitor TD, nadi, dan RR

 Kulit kemerahan  Keseimbangan antara Monitor warna dan suhu

produksi panas, panas kulit


 Hipertensi yang diterima, dan
Monitor warna dan suhu
 Peningkatan suhu tubuh diatas kehilangan panas kulit
kisaran normal
 Seimbang antara Monitor tanda-tanda
 Penuruna suhu tubuh di bawah produksi panas, panas hipertermi dan hipotermi
kisaran normal yang diterima dan
Tingkatkan intake cairan
kehilangan panas
Faktor yang berhubungan dan nutrisi
selama 28 hari
pertama kehidupan Selimuti pasien untuk
 Usia yang ekstrem
mencegah hilangnya
 Keseimbangan asam
 Fluktuasi suhu lingkungan kengatan tubuh
basa bayi baru lahir
 Penyakit Ajarkan pada pasiwn cara
 Temperature stabil :
mencegah keletihan akibat
 Trauma 36,5 – 370C
panas
 Tidak ada kejang
Diskusikan tentang
 Tidak ada perubahan prntingnya pengaturan suhu
warna kulit dan kemungkinan efek
negative dari kedinginan
 Glukosa darah stabil
Beritahu tentang indikasi
 Pengendalian risiko :
terjadinya keletihan dan
hipertermia,
penanganan emergency
hypothermia, proses
yang diperlukan
penularan, dan
paparan sinar matahari Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan penanganan
yang diperlukan

Berikan anti piretik jika


perlu

4. Kerusakan integritas kulit


Definisi: Perubahan/ gangguan Pressure Management
 Tissue Integrity : Skin
epidermis dan atau dermis
and Mucous Anjurkan pasien untuk
Batasan karakteristik:
 Kerusakan lapisan kulit Membranes menggunakan pakaian yang
(dermis) longgar
 Hemodyalis akses
 Gangguan permukaan kulit Hindari kerutan pada
 Kriteria Hasil :
(epidermis) tempat tidur

 Integritas kulit yang


 Invasi struktur tubuh Jaga kebersihan kulit agar
baik bisa
tetap bersih dan kering
Faktor yang berhubungan : dipertahankan
(sensasi, elastisitas, Mobilitas pasien (ubah
 Eksternal : temperature, hidrasi, posisi pasien) setiap dua
pigmentasi)dan jam sekali
- Zat kimia, Radiasi
perawatan alami
Monitor kulit akan adanya
- Usiayang ekstrim
 Tidak ada luka/lesi kemerahan
- Kelembapan pada kulit
Oleskan lotion atau
- Hipertermia, Hipotermia  Perfusi jaringan baik minyak/baby oil pada deah
yang tertekan
- Faktor mekanik (mis.gaya  Menunjukkan
gunting [shearing forces] pemahaman dalam Monitor aktivitas dan
proses perbaikan kulit mobilisasi pasien
- Medikal
dan mencegah
Monitor status nutrisi
- Lembab terjadinya sedera
pasien
berulang
- Imobilitas fisik
Memandikan pasien
 Mampu melindungi
 Internal : dengan air hangat dan
kulit dan
sabun
mempertahankan
- Perubahan status cairan
kelembaban kulit Insision site care
- Perubahan pigmentasi alami
Membersihkan, memantau
- Perubahan turgor dan meningkatkan
prosespenyembuhan pada
- Faktor perkembangan
luka yang ditutup dengan
- Kondisi ketidak seimbangan jahitan, strip atau straples
nutrisi Monitor proses pen-
(mis.,obesitas,emasisasi) yembuhan area insisi

- Penurunan imunologis Monitor tanda dan gejala


infeksi pada area insisi
- Penurunan sirkulasi
Bersihkan area sekitar
- Kondisi gangguan metabolic
jahitan atau staples,

- Gangguan sensasi menggunaka lidi kapas


steril
- Tonjolan tulang
Gunakan preparat anti
septik, sesuai program

Ganti balutan pada interval


waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program

Dialysis acces Maintenance

5. Risiko cidera
Definisi : berisiko mengalami  Risk control Environment management
cidera sebagai akibat kondisi Kriteria hasil : (Manajemen Lingkungan)
lingkungan yang berinteraksi  Klien terbebas dari Sediakan lingkungan yang
sumber adaptif dan sumber cedera aman untuk pasien
individu  Klien mampu Identifikasi kebutuhan
Faktor risiko : menjelaskan cara/ keamanan pasien, sesuai
 Eksternal metode untuk dengan kondisi fisik dan
- Biologis (missal ; tingkat mencegah injury/ fungsi kognitif pasien dan
imunisasi komunitas, cedera riwayat penyakit terdahulu
mikroorganisme)  Klien mampu pasien
- Zat kimia menjelaskan factor
- Manusia risiko dari lingkungan/
perilaku personal
- Cara pemindahan  Memodifikasi gaya
- Nutrisi hidup untuk mencegah
 Internal :  Injury
- Profil darah yang abnormal  Mampu mengenali
- Usia perkembangan perubahan status
- Disfungsi efektor kesehatan
- Disfungsi integratif
- Malnutrisi

2.12 Penatalaksanaan

Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :

a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya


lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus
yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang
dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin(misalnya
menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk
memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa
hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses
ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin
plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam
ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB,
sebelum maupun sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak
toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.
Pada umumya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤ 20 mg%
2. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3 - 1 mg%/jam.
3. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14 mg% dan uji Coombs direct
positif.
f. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor
inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum
digunakan secara rutin.
g. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara sampai 2 hingga 4
jam telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit
hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori
immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan
demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibody.

Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam
perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :

1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubi-
nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga
disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia
patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonates >95% menurut Normogram Bhutani.

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi dari


penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam
tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk).

Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,


penyebab dari hiperbilirubinemia adalah : produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan
dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan transportasi, dan gangguan dalam
ekskresi.

3.2 Saran

Penulis berharap jika perawat menemukan gejala hiperbilerubinemia, perawat dapat


mendiagnosa dan dapat melakukan intervensi teerhadap seseorang tersebut. Dan penulis
juga berharap makalah ini dapar bermanfaan bagi pembaca terutama bagi perawat.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson Vol I. Edisi 15. Jakarta : EGC

https://asus10.wordpress.com/asuhan-keperawatan/askep-pada-kasus-bayi-
hiperbilirubinemia/ Diakses pada tanggal 01 Oktober 2015 pukul 16.20 WIB

https://cnennisa.files.wordpress.com/2007/08/asuhan-keperawatan-dengan-
hiperbilirubin.pdf Diakses pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.30 WIB

Nurarif, Amin Huda. Hardhi Kusuma. 2013. Panduan Penyusunan Asuhan


Keperawatan Profesional. Yogyakarta : Mediaction Publishing

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37957/4/Chapter%20II.pdf Diakses
pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.45 WIB

Sudoyo, Aru W., dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing

Susanty, Ely. 2011. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Nanda Nic Noc. Yogyakarata :
Modya Karya

Anda mungkin juga menyukai