Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBIN PADA BY

DI RUANG PERINATOLOGI DAHLIA RSUD KABUPATEN KARANGANYAR

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak

Disusun Oleh:

Nama : Afifa Andriani Sukma Windarti

NIM : 20210244

Kelas : 2B

PRODI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KLATEN

Jln. Ir. Suekarno Km. 1 Buntalan, Klaten

Telp./Fax (0272) 323120,3257527

www,umkla,ac.id / email: umkla@yahoo.com


LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Laporan Pendahuluan Hiperbilirubin

Jum’at, 27 Januari 2023

Mahasiswa

Afifa Andriani Sukma W.

Menyetujui

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Fitriana NK. S.Kep,Ns,M.Kep) Winarni S.Kep.Ns

1
A. Pengertian

Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi yang
terjadi di sistem retikuloendothelial. Bilirubin diproduksi oleh kerusakan normal sel darah
merah. Bilirubin dibentuk oleh hati kemudian dilepaskan ke dalam usus sebagai empedu atau
cairan yang befungsi untuk membantu pencernaan (Mendri dan Prayogi, 2017).

Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar serum bilirubin dalam darah sehingga


melebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir biasanya dapat mengalami hyperbilirubinemia pada
minggu pertama setelah kelahiran. Keadaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan
oleh meningkatnya produksi bilirubin atau mengalami hemolisis, kurangnya albumin sebagai
alat pengangkut, penurunan uptake oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin oleh hati,
penurunan ekskresi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan karena


tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga menyebabkan bayi baru lahir berwarna kuning
pada kulit dan pada bagian putih mata (Mendri dan Prayogi, 2017).

WHO (2015), menjelaskan bahwa sebanyak 4,5 juta (75%) dari semua Kematian bayi
dan balita terjadi pada tahun pertama kehidupan. Data kematian bayi terbanyak dalam tahun
pertama kehidupan ditemukan di wilayah Afrika, yaitu sebanyak 55/1000 kelahiran.
Sedangkan di wilayah eropa ditemukan ada 10/1000 dari kelahiran. Hal ini menunjukkan
bahwa di wilayah afrika merupakan kejadian tertinggi pada tahun 2015. (Prasitnoketal., 2017)

Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah


berlebihan sehingga menimbulkan jaundice pada neonatus di sclera mata, kulit, membrane
mukosa dan cairan tubuh. (Ayu, niwang, 2016).

B. Etiologi

Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena tingginya


jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan sel yang lebih cepat.

2
Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena penurunan uptake dalam hati,
penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2017).

Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh disfungsi
hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat berfungsi maksimal dalam
melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan disalurkan ke empedu dan diekskresikan
ke dalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut meyebabkan kadar bilirubin meningkat
dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada bayi baru lahir (Anggraini, 2016).

Menurut HawsPaulette penyebab hiperbilirubin yaitu :

1. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan


darah ibu dan anak pada golongan rhesus dan ABO.
2. Gangguan konjugasi bilirubin.
3. Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar.
4. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
5. Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol).
6. Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI.
7. Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut
juga icterushemolitik.
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan , misalnya
hiperbilirubin atau karena pengaruh obat-obatan.
9. Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma atau
infeksi.
10. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi
toxoplasma, shypilis

C. Manifestasi Klinis
1. Sistem Eliminasi
Pada bayi normal, feses akan berwarna kuning kehijaua, sementara pada bayi dengan
Hiperbilirubin biasanya akan berwarna pucat. Hal ini disebabkan oleh bilirubin tak larut
dalam lemak akibat dari kerja hepar yang mengalami gangguan.
2. Sistem Pencernaan

3
Bayi dengan Hiperbilirubin mengalami gangguan pada nutrisi, karena biasanya bayi akan
lebih malas dan tampak letalergi, dan juga reflek sucking yang kurang, sehingga nutrisi
yang akan dicerna hanya sedikit. Dengan nutrisi yang kurang, bayi bisa berisiko infeksi
karena daya tahan tubuh yang lemah.
3. Sistem Integumen
Pada bayi normal, kulit bayi akan tambah merah muda, akan tetapi pada bayi yang
mengalami hiperbilirubin, kulit bayi akan tampak berwarna kekuningan. Ini disebabkan
karena fungsi hepar yang belum sempurna, defisiensi protein “Y”, dan juga tidak terdapat
bakteri pemecah bilirubin dalam usus akibat dari imaturitas usus, sehingga bilirubin indirek
terus bersirkulasi dengan pembuluh darah untuk menyebar keseluruh tubuh.
4. Sistem Kerja Hepar (ekskresi hepar)
Pada bayi yang mengalami Hiperbilirubin biasanya disebabkan oleh sistem kerja hepar
yang imatur, akibatnya hepar mengalami gangguan dalam pemecahan bilirubib, sehingga
bilirubin tetap bersirkulasi dengan pembuluh darah untuk menyebar keseluruh tubuh
5. Sistem Persyarafan
Bilirubin indirek yang berlebihan serta kurangnya penanganan akan terus menyebar hingga
ke jaringan otak dan syaraf, hal ini sangat membahayakan bagi bayi, dan akan
menyebabkan kern icterus, dengan tandan dan gejala yaitu kejang-kejang, penurunan
kesadaran, hingga bisa menyebabkan kematian (Widagdo,2012 dalam, ihsan, 2017).

D. Patofisiologi

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi
berasal dari hem bebas atau dari proses eritropoesis. yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin
tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdininilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa.
Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yangsulit
diekskresi dan mudah melalui membranebiologic sepertiplasenta dan sawar darah otak.

Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tinginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar. Peningkatan kadar bilirubin
4
tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering adalah apabila terdapat
pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit
bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
entrohepatik.

Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati tidak mampu diubah oleh enzim
glukoroniltransferase yang berfungsi untuk merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi
bilirubin konjugasi sehingga bilirubin yang tak dapat diubah akan larut dalam lemak dan
mengakibatkan ikterik pada kulit. Bilirubin yang tak terkonjugasi tidak larut dalam air ini
tidak bisa diekskresikan dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi
peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan bilirubin terhadap hati dan
peningkatan konjugasi serta ekskresi) yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam feses dan urine dan feses berwarna gelap

5
E. Pathways

Peningkatan produksi Gangguan fungsi


hepar, transportasi, Hiperbilirubin
bilirubin
ekskresi

Bilirubin indirek Pemecahan bilirubin Fototerapi


berlebih/bilirubin
yang tidak berikatan
Toksik bagi jaringan dengan albumin
Perubahan suhu
meningkat
lingkungan

KERUSAKAN Suplai bilirubin Saraf Aferen


INTEGRITAS melebihi kemampuan
KULIT hepar

Hipotalamus
Hepar tidak
melakukan konjugasi
Vasokontriksi

Sebagian masuk Penguapan


Kembali
emerohepatik
HIPERTERMI

Peningkatan bilirubin
indirek dalam darah

Ikterus sclera, leher


dan badan

IKTERIK
NEONATUS

Sumber : https://www.scribd.com/document/502063516/pathway-hiperbilirubin

6
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium.
a. Test Coomb pada tali pusat BBL
1) Hasil positif testCoombindirek menunjukkan adanya antibody Rh-positif, anti-A,
anti-B dalam darah ibu.
2) Hasil positif dari testCoombdirek menandakan adanya sensitisasi (Rh- positif,
anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.
b. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi incompatibilitas ABO.
c. Bilirubin total.
1) Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl yang mungkin
dihubungkan dengan sepsis.
2) Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl dalam 24 jam atau
tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 1,5 mg/dl pada bayi
pratermtegantung pada berat badan.
d. Protein serum total
Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan terutama pada
bayi praterm.
e. Hitung darah lengkap
a) Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
b) Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%)
dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
f. Glukosa
Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap <30 mg/dl atau test glukosa
serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan
lemak dan melepaskan asam lemak.
g. Daya ikat karbon dioksida
Penurunan kadar menunjukkan hemolisis .
h. Meter ikteriktranskutan
Mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum.
i. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari
setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.Pada bayi

7
premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir.
Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis
j. Smear darah perifer
Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur, eritroblastosis pada penyakit RH atau
sperositis pada incompabilitas ABO
k. TestBetke-Kleihauer
Evaluasi smear darah maternal tehadap eritrosit janin.
2. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan
pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma.
3. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
4. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk
membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk
memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.

G. Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2010) penatalaksanaan terapeutik pada bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia yaitu:
a. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan
oleh infeksi.
b. Fototerapi
Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbiliribunemia pada bayi
baru lahir bersifat patologis. Fototerapi berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit
melaui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
c. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang dapat meningkatkan bilirubin
konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein dimana dapat
meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin. Akan tetapi fenobarbital tidak begitu
sering dianjurkan untuk mengatsi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

8
d. Transfusi Tukar
Transfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sudah tidak dapat
ditangani dengan fototerapi.

H. Pengkajian Fokus Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas, seperti: Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dau lebih sering diderita oleh
bayi laki-laki.
b. Keluhan utama: Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu, tampak
lemah, dan bab berwarna pucat.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang: Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning,
letargi, refleks hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah 20mg/dl
dan sudah sampai ke jaringan serebral maka bayi akan mengalami kejang dan
peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan tangisan melengking.
2) Riwayat kesehatan dahulu Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat
gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah
A,B.O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran
pencernaan, ibu menderita DM. Mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi
(SGA), bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk
usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi
pria daripada bayi wanita.
3) Riwayat kehamilan dan kelahiran Antenatal care yang kurang baik, kelahiran
prematur yang dapat menyebabkan maturitas pada organ dan salah satunya hepar,
neonatus dengan berat badan lahir rendah, hipoksia dan asidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubin, neonatus dengan APGAR score rendah juga
memungkinkan terjadinya hipoksia serta asidosis yang akan menghambat
konjugasi bilirubin.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri meliputi pemeriksaan berat badan, Panjang badan, lingkar kepala,
dan lingkar dada.
2) Kepala-leher: Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa
3) Dada: Iktenis dengan infeksi selain dada terlihat ikterns juga akan terlihat

9
4) Perut Perut membucit, muntah, kadang mencret yang disebabkan oleh pergerakan
dada yang abnormal gangguan metabolisme bilirubin enterohepatic
5) Ekstremitas: Kelemahan pada otot.
6) Kulit: Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah kepala dan leher
termasuk ke grade satu, jika kuning pada daerah kepala serta badan bagian atas
digolongkan ke grade dua. Kuning terdapat pada kepala, badan bagian atas, bawah
dan tungkai termasuk ke grade tign, grade empat jika kuning pada daerah kepala,
badan bagian atas dan bawah serta kaki dibawah tungkai, sedangkan grade 5 apabila
kuning terjadi pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah, tingkai, tangan
dan kaki.
7) Pemeriksaan neurologis Letargi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah
mencapai jaringan serebral, maka akan menyebabkan kejang-kejang dan penurunan
kesadaran.
8) Urogenital: Urine berwama pekat dan tinja berwarna pucat. Bayi yang sudah
fototerapi biasa nya mengeluarkan tinja kekuningan
e. Data penunjang
1) Pemeriksaan kadar bilirubin serum (total) (normal = <2mg/dl)
2) Pemeriksaan daralı tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
3) Penentuan golongan darah dari ibu dan bayi
4) Pemeriksaan kadar enzim G6PD.
5) Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap
galaktosemia. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah,
urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CPR)

I. Diagnosa Keperawatan
1. Ikterik Neonatus b.d usia kurang dari 7 hari [D.0024]
2. Kerusakan Integritas Kulit B.d efek radiasi atau foterapi [D.0129]
3. Hipertermi b.d terpapar lingkungan panas[D.0130]

J. Perencanaan

N Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


o Keperawa Kriteria Hasil (SIKI)
tan (SLKI)
(SDKI)
10
1. Ikterik Adaptasi Neonatus Fototerapi neonatus[I.03091) 1. Untuk
Neonatus [L. 10098] Observasi mengetahui
Setelah dilakukan 1. Monitor ikterik pada kadar bilirubin
Tindakan sklera dan kulit bayi masih tinggi
keperawatan 2. Monitor suhu dan tanda atau sudah
selama …x …jam, vital sign tiap 4 jam berkurang
diharapkan sekali 2. Untuk
adaptasi neonatus 3. Monitor efek samping mengetahui
membaik, dengan fototerapi suhu dan vital
kriteria hasil: sign bayi
1. Kuning Terapeutik apakah dalam
menurun rentang
2. Kulit 4. Siapkan lampu normal atau
kuning fototerapi dan incubator tidak
menurun 5. Lepas pakaian bayi 3. Mengetahui
3. Sklera kecuali popok efek samping
kuning 6. Berikan penutup mata yang
menurun 7. Ukur jarak antara lampu ditimbulkan
4. Keterlamba dan permukaan kulit oleh fototerapi
tan bayi 4. Mempertahan
pengeluara 8. Biarkan tubuh terpapar kan
n feses sinar fototerapi secara penyinaran
menurun berkelanjutan dengan lampu
9. Ganti segera alas dan fototerapi
popok bayi jika
5. Melepaskan
BAB/BAK pakaian bayi
10. Gunakan linen warna agar dapat
agar memantulkan terkena sinar
cahaya sebanyak secara
mungkin keseluruhan
6. Untuk
Edukasi mencegah
injury pada
11. Anjurkan ibu menyusui mata sebagai
sesering mungkin efek dari
fototerapi
Kolaborasi 7. Untuk
mencegah
12. Kolaborasi injury
pemeriksaan darah vena 8. Untuk
bilirubin direk dan mengatur jarak
indirek antara lampu
dan kulit bayi
9. Menjaga
kebersihan dan
kenyamanan
pada bayi
11
10. Agar
memantulkan
cahaya lebih
banyak
11. Untuk
memenuhi
kebutuhan
nutrisi bayi
12. Mengetahui
kadar bilirubin
direk dan
indirek
2. Gangguan Integritas Kulit dan
Integritas jaringan [L. 14125] 1. Untuk
Kulit Setelah dilakukan mengetahui
Tindakan penyebab
keperawatan gangguan
selama …x …jam, integritas
diharapkan kulit
integritas kulit 2. Untuk
meningkat dengan mengetahui
kriteria hasil: posisi tiap 2
1. Kemerahan jam jika tirah
menurun baring
2. Suhu kulit 3. Gunakan
membaik produk
berbahan
petroleum
atau minyak
pada kulit
kering
4. Untuk
menghindari
kulit kering
5. Memenuhi
kebutuhan
nutrisi

Perawatan Integritas Kulit


[I.11353]
Observasi
1. Identifikasi penyebab
gangguan integritas
kulit

12
Terpeutik

2. Ubah posisi tiap 2 jam


3. Bersihkan perineal
dengan air hangat
4. Hindari penggunaan
produk berbahan dasar
alcohol pada kulit
kering

Edukasi

5. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
3. Hiperterm Termoregulasi Manajemen hipertermia 1.Mengetahui
i Neonatus [I. 15506] penyebab
[L.14135] Observasi hipertermia
Setelah dilakukan 1. Identifikasi penyebab 2.Memantau
Tindakan hipertermia suhu tubuh
keperawatan 2. Monitor suhu tubuh 3.Membebaskan
selama …x…jam, area tubuh
diharapkan Terapeutik bayi
termoregulasi 4.Menganjurkan
neonatus membaik, 3. Longgarkan atau tirah baring
dengan kriteria lepaskan pakaian 5.Untuk
hasil: memberikan
13. Suhu tubuh Edukasi cairan dak
membaik elektrolit
14. Suhu kulit 4. Anjurkan tirah baring
membaik
Kolaborasi

5. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu

1. Memantau
Regulasi Temperatur
suhu bayi
[I.14578]
2. Memantau
Observasi perubahan
13
1. Monitor suhu tekanan darah,
bayi sampai frekuensi,
stabil (36,5- pernapasan
37,5) dan nadi
2. Monitor tekanan 3. Memantau
darah, frekuensi warna dan
pernapasan dan suhu kulit
nadi 4. Memantau
3. Monitor warna tanda dan
dan suhu kulit gejala
4. Monitor dan hipertermia
catat tanda dan 5. Menyesuaikan
gejala kebutuhan
hipertermia lingkungan
dengan
Terapeutik kebutuhan
pasien
5. Sesuaikan
kebutuhan
lingkungan
dengan
kebutuhan
pasien.

K. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian terhadap program yang telah dilaksanakan dan
dibandingkan dengan tujuan semula serta dijadikan dasar untuk memodifikasi rencana
berikutnya. Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah Tindakan
keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi suatu masalah. (meirisa,
2013).
Pada tahap awal evaluasi, perawat dapat mengetahui seberap jauh diagnosa
keperawatan, rencana Tindakan dan pelaksanaan telah tercapai. Meskipun tahap evaluasi
diletakkan pada akhir proses keperawaran tetapi tahap ini merupakan bagian integral pada
setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan
kecukupan data yang telah dikumpulkan dan kesesuaian perilaku yang observasi. Diagnosis
juga perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapanya. Evaluasi untuk menentukan
apakah tujuan intervensi tersebut dapat dicapai secara efektif. Untuk melihat kemampuan klien
dalam mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien

14
berdasarkan respon klien terhadap Tindakan keperawatan yang diberikan, sehingga perawat
dapat mengambil keputusan yang tepat.
Berdasarkan kriteria hasil dalam perencanaan keperawatan diatas adalah sebagai
berikut:
a. Kadar bilirubin tidak menyimpang dari rentang normal (<10 mg/dl)
b. Warna kulit normal (tidak ikterik)
c. Membran mukosa normal (tidak ikterik)
d. Refleks mengisap baik
e. Mata bersih (tidak Ikterik)
f. Berat badan tidak menyimpang dari rentang normal
g. Eleminasi usus dan urin baik (warna urin dan feses tidak pucat)
Menurut Dinarti, Ratna, Heni, & Reni (2009) format yang digunakan untuk evaluasi
keperawatan yaitu format SOAP, Subjective, yaitu pernyataan atau keluhan dari pasien.
Objective, yaitu data yang observasi oleh perawat atau keluarga, Analisys, yaitu kesimpulan
dari objektif dan subjektif (biasaya ditulis dalam bentuk masalah keperawatan). Ketika
menentukan apakah tujuan telah tercapai, perawat dapat menarik satu dari tiga kemungkinan
simpulan : tujuan tercapai: yaitu, respons klien sama dengan hasil yang diharapkan, tujuan
tercapai sebagian, yaitu hasil yang diharapkan hanya sebagian yang berhasil dicapai, tujuan
tidak tercapai. Planning, yaitu rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan analisis

15
DAFTAR PUSTAKA

Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in


Manual of Neonatal Care, Philadelphia : Lippincort Williams and Wilkins

Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Continuing education ilmu kesehatan anak

Hassan, R., 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Jakarta :
Percetakan Infomedika.

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aeseulupius EGC

Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition. Alih
bahasa Pendit, Brahm U, Jakarta : EGC

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil Pemeriksaan
Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia : Hartonto, Huriawati. Jakarta :
EGC

Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab / UPF Ilmu Kesehatan
Anak. Ikterus Neonatorum ( Hyperbilirubinemia Neonatorum ). Surabaya :
RSUD Dr.Soetomo.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

16

Anda mungkin juga menyukai