LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBIN
1. Definisi
Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan karena
tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga menyebabkan bayi baru lahir berwarna
kuning pada kulit dan pada bagian putih mata (Mendri dan Prayogi, 2017). Hiperbilirubin
pada bayi baru lahir merupakan masalah yang disebabkan oleh penimbunan bilirubin
dalam jaringan tubuh sehingga mengakibatkan kulit, mukosa, dan sklera berubah warna
menjadi kuning (Nike,2014).
Hiperbilirubin, jaundice atau “sakit kuning” adalah warna kuning pada Jadi
dapat disimpulkan sclera mata, mukosa, dan kulit oleh karena peningkatan kadar
bilirubin dalam darah (Hiperbilirubinnemia) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan
kadar bilirubin dalam cairan luar sel. Jadi dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubin adalah
suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah melebihi batas atas nilai normal
bilirubin serum. Untuk bayi yang baru lahir cukup bulan batas aman kadar bilirubinnya
adalah 12,5 mg/dl, sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas aman kadar
bilirubinnya adalah 10 mg/dl.
2. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai
berikut;
a. Polychetemia
e. Hemolisis ekstravaskuler
f. Cephalhematoma
g. Ecchymosis
h. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu (atresia
1) Peningkatan produksi:
ABO.
Sulfadiasine.
toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
4. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan
sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi,
diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan
kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan
berikatan dengan albumin. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai
cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan
tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air. Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terkait ke albumin untuk di angkat dalam
medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobus hati. Hepatosit
melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin
ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi,
bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk di ekskresi. Saat masuk ke
dalam usus, bilirubin diurai oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat
diubah menjadi sterkobilin dan di ekskresi menjadi feses. Sebagian urobilinogen
direabsorbsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawa kembali ke
hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya di ekskresikan ke dalam empedu untuk
kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat
zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut dalam urine. Bilirubin akan tertimbun di
dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dL),
senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.
5. Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan bilirubin encephalopathy(komplikasi serius). Pada keadaan lebih fatal,
hiperbilirubinemia pada neonatus 20 dapat menyebabkan kern ikterus, yaitu kerusakan
neurologis, cerebral palsy, dan dapat menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas,
bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang
melengking (Suriadi dan Yuliani, 2010).
Menurut American Academy of Pediatrics (2004) manifestasi klinis kern ikterus
pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa
berupa bentuk atheoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward
gaze, dan dysplasia dental enamel. Kern ikterus merupakan perubahan neuropatologi
yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah otak terutama di
ganglia basalis, pons, dan cerebellum.
Bilirubin ensefalopati akut menurut American Academy of Pediatrics (2004) terdiri dari
tiga fase, yaitu :
a. Fase inisial, ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan bayi, dan
reflek hisap yang buruk.
b. Fase intermediate, ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan peningkatan
tonus (retrocollis dan opisthotonus) yang disertai demam.
c. Fase lanjut, ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan tonus, tidak
mampu makan, high-pitch cry, dan kadang kejang
6. Penatalaksanaan
a. Tindakan umum
1) Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil, mencegah trauma
lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat menimbulkan
2) Pemberian ASI atau makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai
Menghilangkan Anemia
Fototherapi
menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak
terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin
bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati Fototherapi mempunyai peranan
mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di
untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada bayi resiko
3) Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap
dengan Bilirubin
dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung
antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus
Indikasi fisioterapi
Hipertermi
4. Faktor resiko : Hiperbilirubin Resiko cedera
ketidaknormalan
profil darah (Fungsi
hati : Bilirubin indirek
dan bilirubin total) fisioterapi
8. Masalah Keperawatan
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan usia kurang dari 7 hari
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi
c. Hipertermia berhubungan dengan terpapar lingkungan panas
d. Risiko cedera dihubungkan dengan ketidaknormalan profil darah (Fungsi hati :
Bilirubin indirek dan bilirubin total)
9. ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Kriteria Hasil/Tujuan INTERVENSI AKTIVITAS
Keperawatan (SLKI) (SIKI) (SIKI)
Ikterik neonatus Setelah dilakukan intervensi Fototerapi neonatus Observasi
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24
Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi
usia kurang dari 7 jam maka tercapai “Adaptasi
Identifikasi kebutuhan cairan sesuai
hari ditandai oleh : neonatus membaik “ dengan
dengan usia gestasi dan berat badan
kriteria hasil :
Profil darah Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam
abnormal ( Berat badan meningkat sekali
bilirubin direk 2700-4000gram Monitor efek samping fototerapi (rush
0.05 mg/dL, Membran mukosa kuning pada kulit, penurunan berat badan lebih
bilirubin indirek menurun dari 8-10%
10.9 mg/dL, Kulit kuning menurun Teraupetik
bilirubin total Sklera kuning menurun
Sediakan lampu fototerapi dan inkubator
11.4mg/dL
atau kotak bayi
Membran
Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
mukosa kuning
Berikan penutup mata
Kulit kuning
Ukur jarak antara lampu dan permukaan
Sklera kuning
kulit bayi
Biarkan tubuh bayi terpapar sinar
fototerapi secara berkelanjutan
Ganti segera alas dan popok bayi jika
BAB/BAK
Gunakan linen berwarna putih agar
memantulkan cahaya sebanyak mungkin
Edukasi
hangat
Pucat menurun Sediakan lingkungan yang dingin
Edukasi
Kolaborasi
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI ((2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.
Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta: Perpustakaan Nasional