Anda di halaman 1dari 15

UNIVERSITAS FALETEHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN ANAK
HIPERBILIRUBIN

WAHYU KURNIAWAN
5022031121

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS FALETEHANSERANG
2022/2023
HIPERBILIRUBIN
A. Definisi Hiperbilirubin
Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan
karena tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga menyebabkan bayi baru
lahir berwarna kuning pada kulit dan pada bagian putih mata (Mendri dan
Prayogi, 2017).
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis tersering ditemukan
pada bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses fisiologis, atau patologis,
atau kombinasi keduanya (Lubis, 2013).
Jadi dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana
kadar bilirubin dalam darah melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
Untuk bayi yang baru lahir cukup bulan batas aman kadar bilirubinnya adalah
12,5 mg/dl, sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas aman kadar
bilirubinnya adalah 10 mg/dl.

B. Etiologi Hiperbilirubin
a. Penyebab fisiologis
1. Kurangnya protein Y dan Z
2. Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya
b. Penyebab ikterus patologis
Peningkatan produk :
1) Hemolisis, missal pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan
Rhesus dan ABO.
2) Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
3) Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolic yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis
4) Kurangnya enzim glukoronil transeferase, sehingga kadar bilirubin
indirek meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah
5) Kelainan kongenital dan dubin hiperbilirubinemia
c. Gangguan fungsi hati
yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat
langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
toksoplasmosis, siphilis.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi enterohepatik misalnya pada ileus obstruktif.
f. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu
misalnya sulfadiazine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoate,
gentamisin.

C. Tanda Gejala Hiperbilirubin


1. Kulit berwarna kuning sampai jingga
2. Pasien tampak lemah
3. Nafsu makan berkurang
4. Reflek hisap kurang
5. Urine pekat
6. Perut buncit
7. Pembesaran lien dan hati
8. Gangguan neurologik
9. Feses seperti dempul
10. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
11. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
12. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
13. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada
hari ke 3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice
fisiologi.
D. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan
masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin.
Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan
diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin. Sel-sel
ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol
bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air. Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terkait ke albumin untuk di angkat
dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobus
hati. Hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air
dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi). Dalam
bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke
sistem empedu untuk di ekskresi. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diurai
oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi
sterkobilin dan di ekskresi menjadi feses. Sebagian urobilinogen direabsorbsi
dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawa kembali ke
hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya di ekskresikan ke dalam empedu
untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut dalam
urine. Bilirubin akan tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya
mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dL), senyawa ini akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.
E. Patoflow

Peningkatan
Peningkatan Gangguan Gangguan Gangguan
sirkulasi
produksi Fungsi Hati Transportasi Ekskresi
enterohepatik
bilirubin

HIPERBILIRUBIN

Suplay bilirubin Sklera, mukosa Fototerapi


melebihi kemampuan bibir, dan kulit
hepar kuning
Berisiko cedera
pada kornea
Hepar tdk mampu Ikterik Neonatus
melakukan konjugasi
Risiko cedera

Sebagian masuk kembali


ke siklus emerohepatik

Peningkatan bilirubin Ikterus pada sclera Indikasi fisioterapi


unconjugned dlm darah leher dan badan,
menyebabkan pengeluaran peningkatan bilirubin
meconium indirect > 12 mg/dl
Sinar dengan
terlambat/obstruksi usus,
intensitas tinggi
menyebabkan tinja
berwarna pucat
Gangguan
Integritas Kulit Hipertermi
F. Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan
lebih fatal, hiperbilirubinemia pada neonatus 20 dapat menyebabkan
kernikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat
menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat
mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang melengking (Suriadi
dan Yuliani, 2010).
Menurut American Academy of Pediatrics (2004) manifestasi klinis kern
ikterus pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang selamat biasanya
menderita gejala sisa berupa bentuk atheoid cerebral palsy yang berat,
gangguan pendengaran, paralisis upward gaze, dan dysplasia dental enamel.
Kern ikterus merupakan perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi
pigmen bilirubin pada beberapa daerah otak terutama di ganglia basalis, pons,
dan cerebellum.
Bilirubin ensefalopati akut menurut American Academy of Pediatrics (2004)
terdiri dari tiga fase, yaitu :
a. Fase inisial, ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan
bayi, dan reflek hisap yang buruk.
b. Fase intermediate, ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan
peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus) yang disertai demam.
c. Fase lanjut, ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan
tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry, dan kadang kejang

G. Penatalaksanaan Medis
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini
(pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran,
misalnya sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan
memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil
transferase yang mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan
clereance hepatik pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu sering
digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan
berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine
dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
7. Terapi transfuse
Jika setelah menjalani foto terapi tidak ada perbaikan kadar bilirubin terus
meningkat, hingga mencapai 20mg/dl atau lebih, makaperlu dilakukan
transfusi darah. Di khawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan
kerusakan sel saraf.
8. Terapi sinar matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya terapi tambahan. Biasanya di anjurkan
setelah bayi selesai di rawat dirumah sakit.
H. Analisa Data
No Data Analisa Data & Diagnosa Keperawatan
Patoflow
1. DO : - Hiperbilirubin Ikterik neonatus
DS :
 Profil darah Sklera, mukosa bibir dan
abnormal kulit kuning
(bilirubin direk
0.05 mg/dL, Ikterik neonatus
bilirubin indirek
10.9 mg/dL,
bilirubin total
11.4mg/dL
 Membran mukosa
kuning
 Kulit kuning
 Sklera kuning
2. DS : - Hiperbilirubin Gangguan integritas
DO : kulit
 Kerusakan Suplay bilirubin melebihi
jaringan atau kemampuan hepar
lapisan kulit
 Nyeri Hepar tidak mampu
 Perdarahan melakukan konjugasi

 Kemerahan
 Hematoma Sebagian masuk kembali
ke siklus emerohepatik

Peningkatan bilirubin
unconjugned dlm darah
menyebabkan
pengeluaran meconium
terlambat/obstruksi usus.
Menyebabkan tinja
berwarna pucat

Ikterus pada sclera leher


dan badan, peningkatan
bilirubin indirect > 12
mg/dl

Gangguan integritas
kulit
3. DS : - Hiperbilirubin Hipertermi
DO :
 Suhu tubuh diatas Suplay bilirubin melebihi
normal kemampuan hepar
 Kulit merah
 Kejang Hepar tdk mampu

 Takikardia melakukan konjugasi

 Takipnea
 Kulit terasa hangat Sebagian masuk kembali
ke siklus emerohepatik

Peningkatan bilirubin
unconjugned dlm darah
menyebabkan
pengeluaran meconium
terlambat/obstruksi usus.
Menyebabkan tinja
berwarna pucat

Ikterus pada sclera leher


dan badan, peningkatan
bilirubin indirect > 12
mg/dl

Indikasi fisioterapi

Sinar dgn intensitas


tinggi

Hipertermi
4. Faktor resiko : Hiperbilirubin Resiko cedera
 ketidaknormalan
profil darah fisioterapi
(Fungsi hati :
Bilirubin indirek beresiko cedera pada
dan bilirubin total) kornea

Resiko cedera

I. Masalah Keperawatan
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan usia kurang dari 7 hari
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi
c. Hipertermia berhubungan dengan terpapar lingkungan panas
d. Risiko cedera dihubungkan dengan ketidaknormalan profil darah (Fungsi
hati : Bilirubin indirek dan bilirubin total)
e. ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Kriteria Hasil/Tujuan INTERVENSI AKTIVITAS
Keperawatan (SLKI) (SIKI) (SIKI)

Ikterik neonatus Setelah dilakukan intervensi FOTOTERAPI Observasi


berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 NEONATUS
- Monitor ikterik pada sklera dan kulit bayi
usia kurang dari 7 jam maka tercapai “Adaptasi - Identifikasi kebutuhan cairan sesuai
hari ditandai oleh : neonatus membaik “ dengan dengan usia gestasi dan berat badan
- Monitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam
kriteria hasil :
sekali
- Monitor efek samping fototerapi (rush pada
 Berat badan meningkat
kulit, penurunan berat badan lebih dari 8-
2700-4000gram 10%
 Membran mukosa kuning
Teraupetik
menurun
- Sediakan lampu fototerapi dan inkubator
 Kulit kuning menurun atau kotak bayi
 Sklera kuning menurun - Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
- Berikan penutup mata
- Ukur jarak antara lampu dan permukaan
kulit bayi
- Biarkan tubuh bayi terpapar sinar
fototerapi secara berkelanjutan
- Ganti segera alas dan popok bayi jika
BAB/BAK
- Gunakan linen berwarna putih agar
memantulkan cahaya sebanyak mungkin
Edukasi

- Anjurkan ibu menyusui sekitar 20-30


menit
- Anjurkan ibu menyususi sesering mungkin
Kolaborasi
- Kolaborasi pemeriksaan darah vena
bilirubin direk dan indirek
Gangguan integritas Setelah dilakukan intervensi PERAWATAN Observasi
kulit b.d perubahan keperawatan selama 3x24 INTEGRITAS KULIT - Identifikasi penyebab gangguan integritas
kulit (mis, perubahan sirkulasi, perubahan
sirkulasi ditandai jam maka tercapai
status nutrisi, penurunan kelembaban,
oleh: “Penyembuhan luka suhu lingkungan ekstrem, penurunan
ditandai oleh : meningkat” dengan kriteria mobilitas)
Terapeutik
hasil:
 Kerusakan - Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
 Pembentukan - Lakukan pemijatan pada area penonjolan
jaringan atau
jaringan parut tulang, jika perlu
lapisan kulit - Bersihkan perineal dengan air hangat,
meningkat
 Nyeri terutama selama periode diare
 Peradangan luka - Gunakan produk berbahan petrolium atau
 Perdarahan
menurun minyak pada kulit kering
 Kemerahan - Gunakan produk berbahan/alami dan
 Nekrosis menurun
 Hematoma hipoalergik pada kulit sensitive
 Nyeri menurun - Hindari produk berbahan dasar alcohol
 Infeksi menurun pada kulit kering
Edukasi
- Anjurkan menggunakan pelembab
- Anjurkan minum air yang cukup
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan buah dan sayur
- Anjurkan menghindari terpapar suhu
ekstrim
- Anjurkan mandi dan menggunakan sabun
secukupnya
Hipertermi b.d Setelah dilakukan intervensi MANAJEMEN Observasi
terpapar lingkungan keperawatan selama 3x24 HIPERTERMIA - Identifikasi penyebab hipertermia
panas di tandai oleh: jam maka ”termoregulasi - Monitor suhu tubuh
 Suhu tubuh membaik” dengan kriteria - Monitor kadar elektrolit
diatas normal hasil : - Monitor haluaran urine
 Kulit merah - Monitor komplikasi akibat hipertermia
 Menggigil menurun
 Kejang Teraupetik
 Kulit merah menurun
 Takikardia - Sediakan lingkungan yang dingin
 Takipnea  Kejang menurun - Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Kulit terasa  Pucat menurun - Berikan caidan oral
hangat
- Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
 Takirkardia menurun
- Berikan oksigen, jika perlu
 Takipnea menurun
Edukasi
 Suhu tuuh membaik - Anjurkan tirah baring
 Tekanan darah membaik Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
Risiko cedera Setelah dilakukan intervensi PENCEGAHAN Observasi
dihubungkan dengan keperawatan selama 3x24 CEDERA
- Identifikasi area lingkungan yang
ketidaknormalan jam maka tercapai “Tingkat berpotensi menyebabkan cedera
profil darah (Fungsi cedera menurun “ dengan Teraupetik
- Sediakan pencahayaan yang memadai
hati : Bilirubin kriteria hasil :
- Gunakan pengaman tempat tidur sesuai
indirek dan bilirubin dengan kebijakan fasilitas pelayanan
 Toleransi aktivitas
total) kesehatan
meningkat - Tingkatkan frekuensi observasi dan
 kejadian cedera menurun pengawasan pasien, sesuai kebutuhan

 Frekuensi nadi membaik


120-160x/menit
 Denyut jantung apikal
membaik
DAFTAR PUSTAKA

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus


Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI ((2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus


Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus


Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta:


Perpustakaan Nasional

Anda mungkin juga menyukai