Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Penyakit
1. Definisi Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubenia adalah suatu keadaan kadar bilirubin serum total yang lebih
10 mg % pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sklera
dan organ lain, keadaan ini mempunyai potensi menimbulkan Kern Ikterus.
Ikterus Neonatarum merupakan salah satu keadaan yang menyerupai penyakit
hati yang terdapat pada bayi baru lahir, terjadinya hiperbilirubinemia merupakan
salah satu kegawatan pada BBL (bayi baru lahir karena dapat menjadi penyebab
gangguan tumbuh kembang bayi (Ridha, 2014).
Hiperbilirubine adalah akumulasi berlebih dari bilirubine didalam darah.
Peningkatan kadar serum bilirubin disebabkan oleh deposisi pigmen bilirubin
yang terjadi waktu pemecahan sel darah merah. Hiperbilirubin adalah warna
kuning pada bayi yang ditandai pada kulit, mukosa akibat akumulasi bilirubine
dan diberi istilah joundice/ikterus (Bobak, 2014).

2. Etiologi Hiperbilirubinemia
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun disebabkan
oleh beberapa faktor :
1. Produksi yang berlebihan (ikterus prahepatik)
Ikterus ini terjadi akibat produksi bilirubin yang meningkat. Misal pada
hemolisis sel darah merah yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh,
ABO, golongan darah lain (reaksi transfusi); defisiensi enzim G-6- piruvat
kinase, perdarahan tertutup, malaria, sepsis.
2. Gangguan proses “up take” dan konjugasi hepar (icterus hepatik atau
hepatoseluler). Gangguan ini dapat disebabkan oleh immaturitas hepar,
kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom Criggler-Najjar) atau defisiensi protein Y dalam hepar
yang berperan penting dalam “up take” bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan Transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya asetil
salisilat, tiroksin, dan sulfonamid. Defisiensi albumin dapat menyebabkan
lebih banyak terdapat bilirubin indirex yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi (ikterus pascahepatik/obstruktif)
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar,
misal obstruksi dalam saluran empedu/ductus koledokus. Kelainan di luar
hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain seperti hepatitis,
sirosis hepatis, dan tumor.
5. Gangguan fungsi hatu yang disebabkan oleh beberaa mikroorganisme atau
toksinyang dapat langsung merusak sel hati dan seldarah merah.
6. Penyakit homolitik, yang meningkatkan kecepatan pemecahan di darah merah,
disebut ikterus hemolitik. Hemolitik dapat terjadi karena pendarahan tertutup
(Dewi, 2016).

3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat beban bilirubun pada sel
hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubun tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein berkurang, atau
pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan ini yang memperlihatkan peningkatan
kadar hiperbilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjungasi hepar atau
neonatus yang mengalami gangguan ekresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila di bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubun melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya
terganggu pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan lebih mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia
dan hiperglikemi.
4. Phatway Hiperbilirubinemia

Peningkatan Gangguan Gangguan Peningkatan


produksi bilirubin fungsi hati ekskresi sirkulasi
enterohepatik

Hiperbilirubin

Bilirubin indirek Fototerapi


Peningkatan Pemecahan
bilirubin
Toksik bagi Perubahan suhu
jaringan lingkungan Pengeluaran cairan
empedu
Keruskan Merangsang hipotalamus
integritas Peningkatan
jaringan peristaltic usus
Vasokonstriksi

Diare
Hipertermi

Pengeluaran volume cairan


Kurang pengetahuan meningkat intake menurun

Cemas Risiko kekurangan


volume cairan
Ansietas
5. Manifestasi klinis
Tanda gejala dari hiperbilirubin dapat ditandai dengan :
a. Kulit berwarna kuning
b. Pasien tampak lemah
c. Reflek menghisap kurang
d. Urine pekat
e. Pembesaran lien dan hati
f. Gangguan neurologik
g. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
h. Adanya peningkatan konsentrasi bilirubin serum > 5 mg % setiap 24 jam.
i. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg
% pada prematuritas
j. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa :
1) Joundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabet atau infeksi.
2) Joundice yang tampak pada hari ke 2-3 yang mencapai puncak pada hari
ke 3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan joundice
fisiologi.
Derajat Kremer :
Daera Luas Ikterus Kadar Bilirubin
h
1. Kepala dan Leher 5,4 mg/dl
2. Daerah 1 + badan bagian atas 9,4 mg/dl
3. Daerah 1,2 + badan bagian bawah 11,4 mg/dl
dan tungkai.
4. Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki 13,4 mg/dl
dibawah lutut.
5. Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki. 15,8-16 mg/dl
Derajat Kremer :

6. Klasifikasi Hiperbilirubinemia
a. Ikterus Prehepatik
Disebabkan oleh roduksi bilirubin yang berlebih akibat hemolisis sel darah
merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjungasi terbatas terutama
pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin yang tidak
terkonjungasi.
b. Ikterus Hepatik
Disebabkan karena danya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan hati
maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjungasi masuk kedalam hati
serta gangguan akibat konjungasi bilirubin yang tidak sempurna
dikeluarkanke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
c. Ikterus Kolestatlk
Disebbakan oleh kandungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan
bilirubun konjungasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya
adalah peningkatan bilirubin terkonjungasi dalam serum dan bilirubin dalam
urine, tetapi tidak didapatkan urobilirubin.
d. Ikterus Nonneonatus Fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari ke 7,
penyebabnya adalah organ hati yang belum matang dalam memproses
bilirubin.
e. Ikterus Neneonatus Patologis
Terjadi karena faktor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan
yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.
7. Komplikasi Hiperbilirubinemia
a. Bilirubin ensefalopati
b. Kernikterus: kerusakan neurologis: cerebral palsy, retardasi mental,
hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang
melengking.
c. Afiksia
d. Hipotermi
e. Hipoglikemi

8. Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia
a. Tindakan umum
Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil, Mencegah
truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat
menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi, Pemberian makanan dini
dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan bayi baru
lahir,Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
b. Tindakan khusus
1) Fototerapi
Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi
untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan
oksidasi foto.
Penatalaksanaan fototerapi pada bayi hiperbilirubin :
1. Cara kerja fototerapi :
a. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi
bentuk yang larut dalam air untuk diekresikan.
b. Kerika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi forokimia
yaitu isomeriasi.
c. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainya
bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma
melalui empedu.
d. Dari empedu kemudian diekresikan ke dalam duodenum untuk
dibuang bersama feses tanpa proses konjungasi oleh hati.
e. Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan
kadar bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan
dan hemolisis dapat menyebabkan anemia.
2. Kriteria alat :
a. Mengunakan panjang gelombang 425-475 nm.
b. Itensitas cahaya yang biasanya digunakan adalah 6-12 mnwatt/cm2
per mn.
c. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm diatas bayi.
d. Jumlah bola lampu yang digunakan berskisar antara 6-8 buah,
terdiri dari biru ( F2oT12), cahaya biru khusus (F2Ot12/BB) atau
daylight fluorescent tubes.
3. Prosedur pemberian fototerapi :
Persiapan unit terapi sinar :
a. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar di tempatkan, bila
perlu hingga suhu dibawah lampu antara 38ᵒC sampai 30ᵒC.
b. Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi
dengan baik.
c. Ganti tabung/lampu flouresens yang telah rusak atau berkelip-
kelip.
d. Catat tanggal pergantian tabung dan lama pengunaan tabung
tersebut.
e. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan,
walaupun tabung masih bisa berfungsi.
f. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan
tirai putih di sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk
memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi.
4. Pemberian terapi sinar pada bayi hiperbilirubin :
a. Tempatkan bayi dibawah sinar terapi sinar.
1) Bila berat bayi 2 kg/lebih tempatkan bayi dalam keadaan
telanjang pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam
inkubator.
2) Letakkan bayi sesuai dengan petunjuk pemaikaian alat dari
pabrik
b. Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung
bayi tidak ikut tertutup. Jangan tempelkann penutup mata dengan
mengunakan selotip.
c. Balikan bayi setiap 3 jam.
d. Pastikan bayi diberi makan
e. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitun,
paling kurang setiap 3 jam.
f. Setelah menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan
lepaskan penutup mata.
g. Pemberian suplemen atau menganti ASI dengan makanan atau
cairan lebih.
h. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa
tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10 % volume total
per hari selama bayi masih terapi sinar.
i. Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT,
jangan pindahkan bayi dari sinar terapi sinar.
j. Perhatikan selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi
bisa menjadi lebih lembek dan bewarna kuning, keadaan ini tidak
membutuhkan terapi khusus.
k. Teruskan terapi dan tes lainya yang telah diterapkan.
l. Bila bayi memakai oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar
untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah
dan bibir biru).
m. Ukur suhu tubuh bayi dan suhu udara dibawah sinar terapi sinar
setiap 3 jam. Bila suhu bayi 37ᵒC sesuaikan dengan suhu ruangan.
n. Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam
o. Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin <13 mg/dl.
p. Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi
tukar, persiapkan kepindahan bayi secepat mungkin.
q. Bila terapi sinar tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan
baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.
r. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasehat untuk
membawa kembali bayi bila bayi bertambah kuning.
2) Pemberian fenobarbital
Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi.Namun pemberian
ini tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan metabolic dan
pernafasan baik pada ibu dan bayi.
3) Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi
Misalnya pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya
bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah
dikeluarkan dengan transfuse tukar.
4) Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi
Untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan
dikhawatirkan akan merusak retina. Terapi ini juga digunakan untuk
menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubin
jinak hingga moderat.
5) Terapi obat-obatan
Misalnya obat phenorbarbital atau luminal untuk meningkatkan bilirubin
di sel hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga
berguna untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin
bebas ke organ hari.
6) Terapi transfuse. Digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang
tinggi.
c. Tindak lanjut
Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin dengan
evaluasi berkala terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pendengaran
serta fisioterapi dengan rehabilitasi terhadap gejala sisa (Ridha, 2014).

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bilirubin serum
1) Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6 mg/dl antara 2-
4 hari setelah lahir. Apabila nilanya lebih dari 10 mg/dl tidak fisiologis.
2) Pada bayi prematur, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara
5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl tidak
fisiologis.
b. Pemeriksaan radiologi
Diperlukan untuk melihat adanya metatasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti apses hati atau hepatoma.
c. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra
hepatic.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas
Biasanya terjadi pada bayi baru lahir.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering adalah kulit dan mata terlihat kuning.
c. Alasan penyakit sekarang
Biasanya pasien akan terlihat menguning pada tubuh terutama pada area kulit
dan mata.
d. Riwayat penyakit keluarga
1) Orang tua atau saudara dengan neonatal ikterik ata penyakit liver.
2) Infeksi seperti toxoplasmosis, sipilis, hepatitis, rubella, sitomegalovirus
dan herpes yang ditransmisikan secara silang ke plasenta selama
kehamilan
3) Ibu dengan Rh negative sedangkan ayah dengan Rh positif
4) Penyalahgunaan obat pada orang tua
5) Obatan-obatan selama kehamilan
6) Diabetes mellitus pada ibu
7) Induksi oksitosin selama kehamilan

e. Pemeriksaan fisik :
1) Keadaan umum : bayi letargis
2) Kepala:
Inspeksi: tidak terdapat pembesaran pada kepala
Palapasi: tidak terdapat benjolan pada ubun-ubun bagian depan
3) Mata:
Inspeksi: mata simetris namun bagian sclera terlihat kuning, terkadang
mata juga terlihat berputar-putar
4) Hidung:
Inspeksi: terdapat pernapasan cuping hidung
Palpasi: tidak ditemukan pembesaran pada sinus maksilaris
5) Mulut:
Inspeksi: mukosa bibir kering dan pucat, gusi warna merah muda, ketika
menangis bibir pasien simetris
6) Telinga:
Inspeksi: tidak terdapat serumen pada telinga, pendengaran tidak
terganggu (dapat merespon ketika dipanggil)
7) Leher:
Inspeksi: warna kulit sama dengan warna kulit disekitar, tidak ada
pembesaran vena jugularis
Palpasi: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, terdapat nyeri tekan pada
punggung leher
8) Dada:
Inspeksi: bentuk dada normal chest
Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan pada dada
Perkusi: redup
Auskultasi: bunyi pernafasan vesikuler
9) Abdomen:
Inspeksi: bentuk abdomen cembung
Auskultasi: bunyi peristaltic usus 19x/menit
Palpasi: terdapat nyeri tekan pada bagian kanan
Perkusi: bunyi hypertimpani
10) Genetalia dan anus
Inspeksi: tidak terdapat kelainan
11) Integumen:
inspeksi : kulit terlihat berwarna kunig
Palpasi: turgor >2detik
12) Ekstremitas:
Inspeksi: terjadi spasme otot dan dapat pula terjadi kejang.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko ketidakseimbangan cairan
Definisi :Berisiko mengalami penurunan, peningkatan atau percepatan
perpindahan cairan dan intravaskuler, instestitial atau intraseluler.
Faktor Resiko
1) Obstruksi instestitial
2) Peradangan hepar
3) Disfungsi intestinal
Kondisi Klinis Terkait :
1) Peningkatan pemecahan bilirubin.

b. Gangguan Integritas Kulit atau jaringan


Definisi :Kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis)atau jaringan
(membrane mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi
dana tau ligament.
Penyebab :
1) Kekurangan/ kelebihan volume cairan
2) Penurunan mobilitas
3) Bahan kimia iritatif
4) Suhu linkungan yang ekstrem
5) Faktor mekanis (mis: penekanan pada penonjolan tulang, gesekan)
6) Efek samping terapi radiasi
7) Kelembapan
8) Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan/melindungi
integritas jaringan.
Gejala dan Tanda Mayor :
Objektif
1) Kerusakan jaringan dan / atau lapisan kulit
Gejala dan Tanda Minor
Objektif :
1) Nyeri
2) Kemerahan
Kondisi Klinis Terkait :
1) Bilirubin indirek
c. Hipertermi
Definisi: Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh.
Penyebab :
1) Dehidrasi
2) Tepapar lingkungan panas
3) Proses penyakit
4) Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
5) Peningkatan laju metabolisme
6) Respon trauma
Gejala dan tanda mayor:
Subjektif: (tidak tersedia)
Objektif:
1) Suhu tubuh di atas nilai normal
Gejala dan tanda minor :
Subjektif: (tidak tersedia)
Objektif:
1) Kulit merah
2) Kejang
3) Takikardia
4) Kulit terasa hangat
Kondisi klinis terkait :
1) Trauma

3. Intervensi keperawatan
a. Resiko Ketidakseimbangan Cairan b/d output berlebih, mual dan muntah
Kriteria Hasil :
1) Pasien Memiliki konsentrasi urine normal. Sebutkan nilai dasar berat
jenis
2) Memiliki hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal untuk pasien
3) Tidak mengalami haus yang tidak normal
4) Menampilkan hidrasi yang baik (membrane mukosa lembap, mampu
berkeringant)
5) Memiliki asupan cairan oral/atau intravena yang adekuat
Aktivitas Keperawatan
Pengkajian :
1) Pantau kebutuhan cairan pasien baik melalui oral / intra vena
Penyuluhan untuk Pasien/keluarga
1) Anjurkan pasien untuk menginformasikan perawat bila haus.
Aktivitas lain :
1) Lakukan hygiene oral secara sering
2) Tentukan jumlah dalam 24 jam, hitung asupan yangdiinginkan sepanjang
sift siang dan sore dan malam
3) Pastikan bahwa pasien terhidrasi dengan baik sebelumpembedahan
4) Tingkatkan asupan oral (misalnya, sediakan seotan, beri cairan di antara
waktu makan, ganti air es secara ruti, buat es bamboo dari jus ke sukaan
ena, cetak agar-agar dalam bentuk yang lucu-lucu, gunakan, cangkir obat
kecil), Pasang kateter urine, bila perlu Berikan cairan, sesuai dengan
kebutuhan (Wilkinson, 2015:314).
Aktivitas kolaboratif
1) Atur ketersedian produk darah untuk transfusi, berikan terapi IV.

b. Gangguan Integritas Kulit b/d radiasi


Tujuan :
1) Menunjukkan integritas jaringan : kulit dan membrane mukosa yang
dibuktikan oleh indicator(tidak ada gangguan ):
a) Suhu, elastisitas, hidrasi dan sensasi.
b) Perfusi jaringan.
Kriteria hasil / Contoh Lain:
1) Tidak ada lepuh maserasi pada kulit
2) Warna kuning berangsur berkurang.
Intervensi NIC:
Pengkajian
1) Perawatan kulit : inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan atau tanda-
tanda luka pada area kulit
Penyuluhan untuk Pasien dan Keluarga
1) Anjurkan ibu untuk mberikan ASI setiap 2jam sekali agar mempercepat
proses pemulihan.
Aktvitas Kolaboratif
1) Konsultasikan kepada dokter tentang pemberian salep agar kerusakan
jaringan tidak tambah parah
Aktivitas lain
1) Bersihkan dengan salin normal atau pembersih non toksik, jika perlu.

c. Hipertermi b/d terpapar lingkungan panas.


Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan metode yang tepat untuk mengukur suhu tubuh pada
keluarga
2) Menjelaskan tindakan untuk mencegah atau meminimalkan peningkatan
suhu tubuh
3) Melaporkan tanda dan gejala dini hipertermi
Intervensi NIC :
Pengkajian
1) Pantau aktivitas kejang
2) Pantau hidrasi (misalnya, turgor kulit, kelembapan membran mukosa)
3) Pantau tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi pernafasan
4) Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu.
Penyuluhan untuk pasien/keluarga :
1) Ajarkan pasien atau keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan
mengenali secara dini hipertermi
2) Ajarkan indikasi keletihan akibat panas dan tindakan kedaruratan yang
diperlukan
Aktivitas lain :
1) Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan selimut
2) Gunakan waslap dingin (kantong es) di aksila, kening, tengkuk dan lipat
paha
3) Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya 2liter sehari, dengan tambahan
cairan selama aktivitas yang berlebihan
Aktivitas kolaboratif :
1) Berikan obat antipiretik sesuai dosis
2) Gunakan matras dingin dan mandi air hangat untuk mengatasi gangguan
suhu tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, M. (2016). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Hidayat, A. A. (2009). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : EGC.
PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP
Prabowo, A. (2014). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Ridha, H. N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai