Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA By. NA 1 DENGAN KASUS IKTERUS NEONATORUM


DITANDAI DENGAN HIPERBILIRUBIN

Dosen pembimbing : Dina Zakiyyatul Fuadah, S.Kep.Ns.,M.Kep

Oleh :
RIZA ZULFA SAFIKA
202206028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES KARYA HUSADA KEDIRI
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada By. NA 1Dengan Kasus Ikterus

Neonatorum Ditandai Dengan Hiperbilirubin Oleh :

NAMA Riza Zulfa Safika

NIM 202206028

PRODI Pendidikan Profesi Ners

Mengetahui,

Pembimbing Akademik CI

Dina Zakiyyatul Fuadah, S.Kep.Ns.,M.Kep


NIDN. 0724088502

Mahasiswa

Riza Zulfa Safika


202206028
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Konsep Hiperbilirubin

A. Definisi

Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning yang merupakan

bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi

yang terjadi di sistem retikulo endothelial (Kosim, 2012). Bilirubin diproduksi oleh

kerusakan normal sel darah merah. Bilirubin dibentuk oleh hati kemudian dilepaskan

ke dalam usus sebagai empedu atau cairan yang befungsi untuk membantu

pencernaan (Mendri dan Prayogi, 2017). Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar

serum bilirubin dalam darah sehingga melebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir

biasanya dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah kelahiran.

Keadaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh meningkatnya

produksi bilirubin atau mengalami hemolisis, kurangnya albumin sebagai alat

pengangkut, penurunan uptake oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin oleh hati,

penurunan ekskresi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).

B. Etiologi

Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena tingginya

jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan sel yang

lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena penurunan

uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi

enterohepatik (IDAI, 2013).

Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh

disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat berfungsi

maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan disalurkan ke


empedu dan diekskresikan ke dalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut

meyebabkan kadar bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada

bayi baru lahir (Anggraini, 2016).

Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau hiperbilirubinemia

pada neonatus dapat dibagi menjadi :

a. Produksi bilirubin yang berlebihan.

Hal ini melebihi kemampuan neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya

pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan

darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.

Gangguan ini dapat disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak

terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain

yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam

uptake bilirubin ke sel hepar.

c. Gangguan transportasi bilirubin.

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan

bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,

sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin

indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam ekskresi.

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar.

Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi

dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
C. Patofisiologi

Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.

Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan

dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui

traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum

terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi

bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin

terus bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya

dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Neonatus mempunyai

kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin

yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan

albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat toksik (Kosim,

2012).

Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan

hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase, dan agen pereduksi

non enzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah pemecahan hemoglobin,

bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein intraseluler “Y protein” dalam hati.

Pengambilan tergantung pada aliran darah hepatik dan adanya ikatan protein.

Bilirubin tak terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin

disfoglukuronat (uridine disphoglucuronid acid) glukurinil transferase menjadi

bilirubin mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi direk).

Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melaui ginjal.

Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melaui membran kanalikular.


Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi

urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali menjadi

sirkulasi enterohepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi

kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah diekskresikan dalam

jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan oleh obstruksi

saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka

bilirubin akan tertimbun di dalam darah. Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke

dalam jaringan yang kemudian akan menyebabkan kuning atau ikterus (Khusna,

2013).

Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak,

tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan hiperbilirubinemia

kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil

transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan

protein hepatik sejalan dengan penurunan darah hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).

D. Klasifikasi

1. Ikterus prehepatik

Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel darah

merah. Kemampuan hati untuk konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati

sehingga menimbulkan kenaikan bilirubin yang tidak terkonjungasi.

2. Ikterus hepatic

Disebabkan adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan hati maka

terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjungasi masuk ke dalam hati serta


gangguam akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke dalam

doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitas.

3. Ikterus kolestatik

Disebabkan kandungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan bilirubin

terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke usus halus. Akibatnya adalah peningkatan

bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam urine, tetapi tidak

didapatkan urobilirubin dalam tinja.

4. Ikterus fisiologis

Sering di jumpai pada bayi dengan berat badan lahir rendah, biasanya akan timbul

pada hari kedua lalu menghilang setelah minggu ke dua. Ikterus ini muncul pada

hari kedua dan ketiga. Penyebabnya adalah bayi kekurangan protein y dan enzim

glukoronil tranferase.

5. Ikterus patologis

Ikterus yang timbul segera dalam 24 jam pertama disebabkan kadar konsentrasi

bilirubin dalam darah mencapai sutau nilai yang berpotensi menimbulkan kerm

ikterus bila tidak ditangani dengan baik.

6. Kern ikterus

Disebabkan oleh kerusakan otak akibat peningkatanbilirubin indirek pada otak

terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus. Kern ikterus secara

klinis berbentuk kelainan saraf simpatis yang terjadi secara kronik.


E. Manifestasi Klinis

Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila bayi baru lahir

tersebut tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin 5mg/dL atau lebih

(Mansjoer, 2013). Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubin indirek pada

kulit sehingga menimbulkan warna kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk

bisanya dapat menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor (Ngatisyah,

2012).

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus pada sklera, kuku,

atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang muncul pada 24 jam pertama

disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan

diabetik atau infeksi. Jaundice yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan

mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari keempat dan menurun pada hari kelima

sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis (Suriadi dan Yuliani

2010).

Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirek pada pada kulit yang

cenderung tampak kuning terang atau orange. Pada ikterus tipe obstruksi (bilirubin

direk) akan menyebabkan kulit pada bayi baru lahir tampak berwarna kuning

kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.

Selain itu manifestasi klinis pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia atau

ikterus yaitu muntah, anoreksia, fatigue, warna urine gelap, serta warna tinja pucat

(Suriadi dan Yuliani 2010).

Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia

apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :


a. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat penumpukan

bilirubin.

b. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.

c. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.

d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg/dL

pada neonatus kurang bulan.

e. Ikterik yang disertai proses hemolisis.

f. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang

dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi trauma lahir kepala,

hipoglikemia, hiperkarbia.

Drajat ikterus :

1. Derajat 1: Kepala dan leher dengan perkiraan kadar bilirubin 5.0 mg%

2. Derajat 2: Kepala, leher sampai badan atas (diatas umbilikus) dengan perkiraan kadar

bilirubin 9.0 mg%

3. Derajat 3: Kepala, leher, badan atas sampai badan bawah (dibawah umbilikus) hingga

tungkai atas (di atas lutut) dengan perkiraan bilirubin 11.4 mg/dl

4. Derajat 4: Kepala, leher, badan atas sampai badan bawah, tungkai atas, dan tungkai

bawah dengan perkiraan bilirubin 12.4 mg/dl

5. Derajat 5: Kepala, leher, badan atas sampai badan bawah, tungkai atas, tungkai bawah

sampai telapak tangan dan kaki atau seluruh badan neonatus dengan perkiraan kadar

bilirubin mencapai 16.0 mg/dl

F. Komplikasi

1. Bilirubin encephilopathy (komplikasi serius)


2. Kernictus, kerusakan neurologis, cerebral phalsy, hyperaktif, bicara lambat, tidak

ada koordinasi otot, tangisan melengking.

3. Gangguan pendengaran dan pengelihatan

4. Afiksia

5. Hipotermia

6. Hipoglikemia

7. Kematian

G. Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan medis pada ikterik neonatus menurut (Marmi , 2015):

a. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin

1) Menyusui bayi denga ASI, bilirubin dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan

feses dan urine, untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti yang diketahui

ASi memiliki zat zat terbaik yang dapat memperlancar BAB dan BAK

2) Pemberian fenobarbital, fenobarbital berfungsi untuk mengadakan induksi enzim

mikrosoma, sehingga konjungsi bilirubin berlangsung dengan cepat.

b. Fototerapi

Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol yang sulit larut

dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air, dan dikeluarkan

melalui urine, tinja, sehingga kadar bilirubin menurun.

1) Cara kerja fototerapi


Foto terapi dapat menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa

tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut

dalam air dan cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya

pengeluaran cairan empedu kedalam usus sehingga peristaltic usus menngkat dan

bilirubin akan keluar dalam feses.

2) Komplikasi fototerapi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada fototerapi adalah:

(a) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan

peningkatan Insensible Water Loss (penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan

cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar.

(b) Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin indirek

dalam cairan empedu dan meningkatkan peristaltic usus.

(c) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa kulit

kemerahan) tetapi akan hilang jika fototerapi selesai.

(d) Gangguan pada retina jika mata tidak ditutup.

(e) Kenaikan suhu akibat sinar lampu, jika hal ini terjadi sebagian lampu

dimatikan, tetapi diteruskan dan jika suhu terus naik, lampu semua dimatikan

sementara, dan berikan ekstra minum kepada bayi.

c. Transfusi tukar

Transfuse tukar dilakukan pada keadaan hyperbilirubinemia yang tidak dapat

diatasi dengan tindakan lain, misalnya telah diberikan fototerapi kadar bilirubin

tetap tinggi. Pada umumnya transfuse tukar dilakukan pada ikterus yang

disebabkan hemolisis yang terdapat pada ketidakselarasan rhesus ABO, defisiensi


enzim glukuronil transferase G-6-PD, infeksi toksoplasmosis dan sebagainya.

Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah kadar bilirubin indirek lebih dari

20 mg%, peningkatan kadar bilirubin indirek cepat yaitu 0,3-1 mg% per-jam,

anemia berat pada neunatus dengan gejala gagal jantung, bayi dengan kadar

hemoglobin tali pusat kurang dari 14 mg% dan uji comb positif. Tujuan transfuse

tukar adalah mengganti ertitrosit yang dapat menjadi hemolisis, membuang

antibody yang menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar bilirubin indirek dan

memperbaiki anemia.

H. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada ikterik neonatus adalah(Huda,

2015) :

a. Kadar bilirubin serum (total). Kadar bilirubin serum direk dianjurkan untuk

diperiksa, bila dijumpai bayi kuning dengan usia kurang lebih dari 10 hari dan tau

dicurigai adanya suatu kolestatis.

b. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi

eritrosit dan hitumg retikulosit

c. Penentuan golongan darah dan factor Rh dari ibu dan bayi. Bayi yang berasal dari

ibu dengan Rh negative harus dilakukan pemeriksaan golongan darah, faktor Rh uji

coombs pada saat bayi dilahirkan, kadar hemoglobin dan bilirubin tali pusat juga

diperiksa (Normal bila Hb >14mg/dl dan bilirubin Tali Pusat , < 4 mg/dl ).

d. Pemeriksaan enzim G-6-PD (glukuronil transferase ).

e. Pada Ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati (dapat dilanjutkan dengan USG

hati, sintigrafi system hepatobiliary, uji fungsi tiroid, uji urine terhadap galaktosemia.
f. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, dan

pemeriksaan C reaktif protein (CRP).

I. Perkembangan Neonatus

Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan terjadi perubahan

sirkulasi darah serta oragan-organ tubuh mulai berfungsi. Saat lahir berat

badan normal dari ibu yang sehat berkisar 3000 gr - 3500 gr, tinggi badan

sekitar 50 cm, berat otak sekitar 350 gram. Pada sepuluh hari pertama

biasanya terdapat penurunan berat badan sepuluh persen dari berat badan

lahir, kemudian berangsur-angsur mengalami kenaikan.

Pada masa neonatal ini, refleks-refleks primitif yang bersifat fisiologis akan muncul.

Diantaranyarefleks moro yaitu reflek merangkul, yang akan menghilang pada usia

3--5 bulan; refleks menghisap (sucking refleks); refleks menoleh (rooting refleks);

refleks mempertahankan posisi leher/kepala (tonick neck refleks); refleks memegang

(palmar graps refleks) yang akan menghilang pada usia 6--8 tahun. Refleks-refleks

tersebut terjadi secara simetris, dan seiring bertambahnya usia, refleks-refleks itu

akan menghilang. Padamasa neonatal ini, fungsi pendengaran dan penglihatan juga

sudah mulai berkembang. Padamasa neonatal ini, fungsi pendengaran dan

penglihatan juga sudah mulai berkembang.

2. Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

Pengkajian adalah langkah pertama dalam proses keperawatan . Proses ini bertujuan

untuk mendapatkan data dasar tentang kesehatan pasien baik fisik,psikologis,maupun

emosional. Data yang dikaji pada bayi dengan BBLR meliputi sebagai berikut
a. Identitas

Identitas klien menjadi hal yang penting, bahkan berhubungan dengan

keselamatan pasien agar tidak terjadi kesalahan yang nantinya bisa berakibat fatal

jika klien menerima prosedur medis yang tidak sesuai dengan kondisi klien

seperti salah pemberian obat, salah pengambilan darah bahkan salah tindakan

medis.

Identitas klien terdiri dari : Nama, umur (bayi dengan berat lahir < 2500 gram),

jenis kelamin, alamat, nama orang tua.

b. Riwayat kesehatan

Profil darah abnormal (hemolisis, bilirubin serum total . 10 mg/dl, bilirubin

serum total pada rentang resiko tinggi menurut usia pada normogram spesifik

waktu, membran mukosa kuning, kulit kuning, sklera kuning.

c. Pengkajian Umum

1) Pengkajian APGAR score

Pemeriksaan Apgar atau Apgar score dapat dilakukan segera setelah bayi baru

lahir. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan warna kulit, detak jantung,

refleks dan kekuatan otot, serta pernapasan bayi. Apgar score tergolong baik

jika nilainya lebih dari 7.


2) Pengukuran Antropometri

Pemeriksaan ini termasuk penghitungan berat badan, panjang badan, lingkar

kepala, bentuk kepala, leher, mata, hidung, dan telinga bayi. Pemeriksaan ini

penting dilakukan untuk mendeteksi apakah terdapat kelainan pada bentuk

kepala atau anggota tubuh bayi baru lahir.

3) Reflek pada bayi

Refleks merupakan gerakan yang sifatnya involunter alias tidak disengaja.

Kondisi ini juga bisa terjadi pada bayi sejak ia lahir. Biasanya berupa

gerakan yang bersifat spontan dan terjadi pada aktivitas bayi sehari-hari.

Reflek pada bayi antara lain :

1. Grasp reflek

2. Asymmetric tonic neck reflek

3. Reflek moro

4. Rooting

5. Babinski
6. Sucking

7. Stepping

4) Eliminasi pada bayi

5) Pemeriksaan laboratorium

6) Observasi setiap tanda kegawatan, warna yang buruk, hipotonia, tidak

responsive, dan apnea.

d. Tanda-tanda Vital

1. Nadi : 100-140x/menit

2. RR : 40-60x/menit

3. S : 36,5-37,2 C

e. Suhu Tubuh

1) Tentukan suhu kulit dan aksila.

Suhu tubuh normal bayi baru lahir yaitu 36,5-37,2 C

2) Tentukan hubungan dengan suhu sekitar lingkungan.

f. Pengkajian Kulit

1) Terangkan adanya perubahan warna kekuningan, tanda iritasi, melepuh,

abrasi, atau daerah terkelupas, terutama dimana peralatan pemantau infus atau

alat lain bersentuhan dengan kulit. Periksa juga dan catat preparat kulit yang

dipakai (missal plester,povidone-jodine).


2) Tentukan tekstur dan turgor kulit kering, lembut, bersisik, terkelupas dan

lain-lain.

3) Terangkan adanya ruam, lesi kulit, atau tanda lahir.

g. Adapun intervensi yang dapat dirumuskan sesuai dengan Nursing

Interventions Clacifikation (NIC) menurut Gloria, (2013) yaitu :

1) Fototerapi neonatus

Penggunaan terapi lampu untuk mengurangi kadar bilirubin pada bayi baru

lahir. (a) Kaji ulang riwayat maternal dan bayi mengenai adanya factor

risiko terjadinya hyperbilirubinemia (misalnya Rh atau incompatibility

ABO, plositemia, sepsis, premature, malpresentasi).

(b) Monitor tanda tanda vital per protocol atau sesuai kebutuhan

(c) Observasi tanda-tanda warna kuning

(d) Tutupi kedua mata bayi, hindari penekanan yang berlebih.

(e) Buka penutup mata setiap 4 jam atau ketika lampu dimatikan , bias

dilakukannya kontak bayi dan orang tua dan memungkinkan dilakukannya

aktivitas menyusui.

(f) Cek intensitas lampu setiap hari

(g) Monitor kadar serum bilirubin per protocol, sesuai kebutuhan, atau

sesuai dengan permintaan dokter

(h) Observasi tanda-tanda dehidrasi ( misalnya turgor kulit buruk,

kehilangan berat badan).

(i) Ubah posisi bayi setiap 4 jam per protocol.


(j) Dorong pemberian makan 8 kali per hari.

B. Diagnosa Keperawatan

a. Hipertermia berhubungan dengan tidak adekuatnya suplay lemak subkutan

b. Ikterik neonatus berhubungan dengan derajat ikterus 22,90 mg/dl.

c. Pola nafas tidak efektih berhubungan dengan sistem pernafasan belum

sempurna.

C. Intervensi

N Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI

1. Termoregulasi tidak Termoregulasi Neonatus Regulasi Temperatur ( I.14578).

efektif (D.0149). ( L.14135). Observasi

Setelah dilakukan intervensi 1. Monitor suhu tubuh bayi

2x24 jam termoregulasi sampai stabil (36,5-37,5 C)

neonatus membaik dengan 2. Monitor warna dan suhu kulit

kriteria hasil : 3. Monitor dan catat tanda

1. Suhu tubuh membaik gejala hipo/hipertermi

2. Suhu kulit membaik Terapeutik

3. Nadi membaik 1. Tingkatkan asupan nutrisi

4. Akral membaik adekuat

2. Berikan kompres hangat

3. Atur suhu inkubator.


2. Ikterik neonatus Adaptasi Neonatus (L.10098) Fototerapi neonatbus (I.05175)

(D.0024). Setelah dilakukan intervensi 2 Observasi

x 24 jam di harapkan adaptasi 1. Monitor ikterik pada kulit bayi

neonatus meningkat dengan 2. Monitor suhu dan tanda vital

kriteria hasil : 3. Monitor efek samping fototerapi

1. Berat badan meningkat (mis. Hipertermi)

2. Kulit kuning menurun Terapeutik

3. Membran mukosa 4. Menyiapkan alat fototerapi

kuning menurun Edukasi

5. Anjurkan ibu menyusui sesering

mungkin

1.

3. Pola nafas tidak efektif Pola Nafas (L.01003) Pemantauan Respirasi (I.01014)

Setelah dilakukan intervensi Observasi :

2x24 jam diharapkan pola 1. Monitor pola nafas

nafas membaik dengan kriteria 2. Monitor O2 yang terpasang

hasil : Terapeutik

1. Retraksi dada menurun 3. Pantau respirasi sesuai kondisi

2. Frekuensi nafas membaik pasien

4. Dokumentasi hasil pemantauan

Kolaborasi :

1. Pemberian aminophilin 3x5 mg

untuk mengurangi sesak.


D. Implementasi

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat

untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status

kesehatan yang lebih baik, yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan

(Gordon, 1994, dalam Potter dan Perry, 2011).

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk mengetahui

sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi ini dilakukan dengan

cara membandingkan hasil akhir yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang

dibuat dalam rencana keperawatan. Evaluasi didokumentasikan dalam bentuk SOAP

(subjektif, objektif, assessment, planning).


DAFTAR PUSTAKA

Gustin.2022. Cara Menghitung Derajat Ikterus Neonatus Kramer. Artikel Keperawatan.


Diakses pada tanggal 12 Agustus 2022 https://gustinerz.com/cara-menghitung-
derajat-ikterus-neonatus-kramer/
Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). Hiperbilirubinemia pada neonatus. Jurnal
Biomedik: JBM, 5(1).
Raidatul Jannah.2020. Asuhan Keperawatan Anak pada By.Ny.L dengan Hiperbilirubin di
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau, Pekanbaru. Politeknik Kesehatan Kemenkes
Riau. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2022 http://repository.pkr.ac.id.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2018). Strandar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1 Cetakan II.
Jakarta:
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta
Selatan: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai