Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. R DENGAN DIAGNOSA EPILEPSI DI RUANGAN


BOUGENVIL RSUD Dr.ISKAK TULUNGAGUNG

Disusun Oleh :

RIZA ZULFA SAFIKA

NIM. 20220628

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

STIKES KARYA HUSADA KEDIRI

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan ini dibuat untuk memenuhi

tugas Klinik Profesi Prodi Pendidikan Ners STIKES Karya Husada Kediri.

Nama : Riza Zulfa Safika

NIM : 20220628

Judul : Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn.R

Dengan Diagnosa Epilepsi di Ruangan Bougenvil RSUD Dr.Iskak

Tulungagung

Mengetahui,

Supervisor 1 Supervisor 2 Mahasiswa

Riza Zulfa Safika

NIM. 20220628
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Epilepsi
1. Definisi

Epilepsi adalah golongan penyakit saraf yang gejala-gejalanya


timbul mendadak dalam serangan-serangan berulang, pada sebagian
besar disertai penurunan kesadaran, dan dapat disertai atau tidak
disertai kejang

Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak


sehat sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat
oleh disfungsi otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motoric,
sensorik, otonomik, atau psikis yang abnormal. Epilepsy merupakan
akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan kejang spontan yang
berulang

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang


dicirikan oleh terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala.
Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat
mendadak dan sepintas yang berasal dari sekelompok besar sel-sel
otak, bersifat sinkron dan berirama

2. Etiologi

Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 %


dari kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau
yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua
kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum.

1. Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor (Neoplasma)
f. Displasia

2. Kejang Umum
a. Penyakit metabolic
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetic
e. Kejang fotosensitif

3. Klasifikasi

Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League


Against Epilepsi (2017):

a. Bangkitan parsial
1) Bangkitan parsial sederhana
a) Motorik
b) Sensorik
c) Otonom
d) Psikis

2) Bangkitan parsial kompleks


a) Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
b) Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal bangkit

3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder


a) Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik
b) Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi
umum tonik-klonik
b. Bangkitan umum
1) Absans (lena)
2) Mioklonik
3) Klonik
4) Tonik
5) Tonik-klonik
6) Atonik

c. Tak tergolongkan

Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989


(Rudzinski dan Shih, 2011):

a. Berkaitan dengan letak fokus

1) Idiopatik (primer)

a) Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di


sentrotemporal (Rolandik benigna)
b) Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
c) Primary reading epilepsy

2) Simtomatik (sekunder)

a) Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak


(Sindrom Kojewnikow)
b) Epilepsi lobus temporalis
c) Epilepsi lobus frontalis
d) Epilepsi lobus parietalis
e) Epilepsi lobus oksipitalis

4) Manifestasi klinis
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari
epilepsi, yaitu :
a. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari
otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau
satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.

1) Kejang parsial sederhana


Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.

2) Kejang parsial kompleks


Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan otomatisme.

b. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari
otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh
bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.

1) Kejang Absans

Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai


amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura
atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.

2) Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan, leher, dan badan. Durasi kejang bias sangat singkat atau
lebih lama.
3) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan
singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.

4) Kejang Tonik-Klonik

Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan


cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh
otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 -
20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30
detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang
terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan
denyut jantung.

5) Kejang Klonik

Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi


kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2
menit.

6) Kejang Tonik

Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering


mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan

5) WOC
6) Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini
terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di
dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini
menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron
yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat
eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan
hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi
kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirimsepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat
neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme
yang terlibat dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga
mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak yang normal
menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).

a. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis.
Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri,
lingkungan neuron, atau jaringan neuron.
1) Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya
perubahan fungsional dan struktural pada membran
postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi
kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan; atau perubahan
biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas
terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi
berkepanjangan yang mengawali kejang.
2) Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat
berasal dari perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan
fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion, perubahan
metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural
dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+
ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama kejang,
yangmendahului perubahan pada konsentasi K2+.
Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal
daripada kadar K2+.
3) Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat
eksitasi di sepanjang sel granul akson pada girus dentata;
kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi
yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.

b. Mekanisme epileptogenesis
1) Mekanisme nonsinaptik Perubahan konsentrasi ion
terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar K2+
ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel.
Kegagalan pompa Na+-K+ akibat hipoksia atau
iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis,
dan keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur
kadar Clintrasel dan aliran Cl- inhibisi yang
diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan
peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps
bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah
neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan
rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson
di sel penggantian talamokortikal memainkan peran
penting pada epileptogenesis
2) Mekanisme sinaptik Patofisiologi sinaptik utama
dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi
GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
a. GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada
CSS (cairan serebrospinal) pasien dengan jenis
epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan
epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten
terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini
mengalami penurunan inhibisi.

b. Glutamat

Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar


menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstrasel
yang terus-menerus selama dan mendahului kejang.
Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang
epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi
GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan
hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini
mengarah pada peningkatan toksik di glutamat
ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang
epileptogenetik (Eisai, 2012).

7) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua
bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike),
pakuombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan
untuk membantu menentukan prognosis dan penentuan
perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi
(OAE)
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan
melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan
Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan
maka MRI lebih sensitive dan secara anatomik akan tampak
lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hippocampus kiri dan kanan (Consensus Guidelines on the
Management of Epilepsy, 2014).

8) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal menurut
(Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2014)
yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera
mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang
dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila
berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak >
10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah
selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika
setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum
berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah
sakit

b. Pengobatan epilepsy
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang
dengan epilepsi (ODE) terbebas dari serangan epilepsinya,
terutama terbebas dari serangan kejang sedini mungkin. Setiap
kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa
menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian
sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi,
maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan
intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan
ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat
dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan
obatobatan. Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat
dibagi menjadi 4 bagian: penggunaan obat antiepilepsi (OAE),
pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor penyebab dan
faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.
Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi
dua, yaitu:
1) Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang
dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru
terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan yang
“mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low,
go slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat.
Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan
jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati
pasien epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan
tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi (Louis,
Rosenfeld, Bramley, 2012)

2) Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang
dan meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang
refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila kejang
menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan
sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya
atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping
yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan
dengan membuang atau memisahkan seluruh daerah
epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.

2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk
masuk RS. keluhan utama pada penderita leukemia yaitu perasaan
lemah, nafsu makan turun, demam, perasaan tidak enak badan, nyeri 
pada ektremitas.

3. Riwayat penyakit sekarang


Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel,
kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan ( ptekia, ekimosis,
pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan tedapat
pembesaran hati, limpa, dan kelenjar  limpe, kelemahan. nyeri tulang
atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.

4. Riwayat penyakit dahulu


Adanya  riwayat  penyakit  sebelumnya  yang  berhubungan  dengan 
keadaan  penyakit  sekarang  perlu  ditanyakan.
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post
natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang
pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi
lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi
sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga
mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk
anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak
setelah

6. Riwayat penyakit keluarga


Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya
dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan
keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan
hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.

7. Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu


dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
a. Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
b. Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
c. Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
d. Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang
klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
e. Apakah pasien menggigit lidah.
f. Apakah mulut berbuih.
g. Apakah ada inkontinen urin.
h. Apakah bibir atau muka berubah warna.
i. Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
j. Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah
pada satu sisi atau keduanya.
2. Sesudah serangan
a. Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,
gangguan bicara
b. Apakah ada perubahan dalam gerakan.
c. Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan.
d. Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau
frekuensi denyut jantung.
e. Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.

3. Riwayat sebelum serangan


a. Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
b. Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar.
c. Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori,
auditorik, olfaktorik maupun visual.

4. Riwayat Penyakit
a. Sejak kapan serangan terjadi.
b. Pada usia berapa serangan pertama.
c. Frekuensi serangan.
d. Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti
demam, kurang tidur, keadaan emosional.
e. Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang
disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
f. Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
g. Apakah makan obat-obat tertentu
h. Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

5. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas
Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.
Tanda : kelemahan otot, somnolen.

b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.

c. Eliminasi
Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan
haluaran urine.

d. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi
(infiltrasi gusi mengindikasikan leukemia monositik akut).

e. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.

f. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang
konsentrasi, pusing, kesemutan.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.

g. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram
otot.
Tanda : gelisah, distraksi.

h. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.
Tanda : dispnea, takipnea, batuk.
i. Keamanan
Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan
penglihatan, perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma
minimal.
Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa
atau hati.

k. Diagnosa keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot


pernapasan
2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan
kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan
mekanisme perlindungan diri.
4. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai
dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang
mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis
5. Anoreksia
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan,
atau kesalahan interpretasi informasi.
7. Termoregulasi tidak efektif
8. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi
aktivitas
9. Defisit perawatan diri
10. Gangguan persepsi sensori auditori
3. Intervensi keperawatan

No Diagnosa SLKI SIKI


1 Pola Nafas Setelah dilakukan Manajemen Jalan Nafas
intervensi selama (01011)
Tidak
1x24 jam, Observasi
Efektif diharpakan pola 1. Monitor pola nafas
nafas membaik 2. Monitor bunyi nafas
dengan kriterua 3. Monitor sputum
hasil: Terapeutik
1. Dispneamenurun 4. Pertahankan kepatenan
2. Penggunaan otot jalan nafas
bantu nafas 5. Posisikan semi-ekstensi
menurun 6. Berikan oksigen
3. Frekuensi nafas Kolaborasi
membaik 7. Kolaborasi pemberian
4. Kedalaman nafas O2 Sesuai dosis
membaik
5. Tekanan inspirasi
meningkat
6. Tekanan
ekspirasi
meningkat
2 Resiko Setelah dilakukan Manajemen
Perfusi intervensi selama
1x24 jam Peningkatan
Serebral
diharapkan perfusi Tekanan
Tidak serebral meningkat
dengan kriteris Intrakranial
Efektif
hasil: (1.06194) Observasi
1. Tingkat
kesadaran 1. Identifikasi
meningkat (5) penyebab
2. Sakit kepala peningkatan TIK
menurun (5) 2. Monitor tanda/gejala
3. Demam peningkatan TIK (mis.
menurun (5) Tekanan darah
4. Kesadaran meningkat, tekanan
membaik (5) nadi melebar,
bardikardia, pola
5. Tekanan
napas ireguler,
darah
kesadaran menurun)
membaik (5)
3. Monitor MAP
(Mean Arterial
Pressure)
4. Monitor CVP
(Central Venous
Pressure)
5. Monitor Status
Pernafasan
6. Monitor intake dan
output

Terapeutik
7. Meminimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
8. Berikan posisi
semifowler.
9. Cegah terjadinya kejang
10. Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian
diuretik
3 Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (I. 08238)
intervensi
keperawatan Selama Observasi:
1x24 jam diharapkan 1. Identifikasi lokasi,
tingkat nyeri karakteristik, durasi,
menurun dengan frekuensi, kualitas, dan
kriteria hasil: ( L. intensitas nyeri)
08063) 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri 3. Identifikasi factor yang
menurun memperberat dan
2. Meringis memperingan nyeri
menurun Terapeutik:
3. Gelisah 4. Berikan teknik non
menurun farmakologis untuk
4. Kesulitan tidur mengurangi rasa nyeri
menurun (misal: napas dalam,
5. Muntah nenurun kompres dingin/hangat)
6. Mual menurun 5. Kontrol lingkungan yang
7. Frekuensi nadi memperberat rasa nyeri
membaik (misal: suhu ruangan,
8. Tekanan darah pencahayaan,
membaik kebisingan)
9. Nafsu makan 6. Fasilitasi istirahat dan
membaik tidur
Edukasi:
7. Jelaskan penyebab,
periode, pemicu nyeri
8. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
9. Anjurkan teknik non
famakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi:
10. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah tahap keempat dalam proses
keerawatan dengan berbagaitindakan keperawatan yang telah
direncanakan (Hidayat Alimul, 2012)

5. Evaluasi
Menurut Deswani (2009), evaluasi dalam keperawatan adalah
perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan
klien tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya. Penilaian evaluasi keperawatan adalah mengukur
keberhasilan dan rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan
yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien
ASUHAN KEPERAWATAN

Anda mungkin juga menyukai