KELAS A/ KELOMPOK 1
Dosen Pengampu :
Dr. Gunawan Pamudji Widodo, M.Si., Apt.
Disusun Oleh :
1. Ade Irma Suriyani 1820353868
2. Agusthina Tri Astuty 1820353869
A. Definisi
Epilepsi didefinisikan oleh terjadinya setidaknya dua kejang yang tidak beralasan
dengan atau tanpa kejang dipisahkan paling sedikit 24 jam. Kejang terjadi akibat
pelepasan korteks yang berlebihan neuron dan ditandai dengan perubahan aktivitas
listrik yang diukur dengan electroencephalogram (EEG) (Dipiro ed. 9., 2015).
Epilepsi menyatakan suatu serangan berulang seizure periodic dengan atau tanpa
seizure. Serangan tersebut disebabkan oleh aktivasi listrik berlebihan pada neuron
korteks dan ditandai dengan perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur dengan
elektro-ensefalogram (EEG). Seizure menyatakan keparahan kontraksi otot polos
yang tidak terkendali.
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik
yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy
(ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan
kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan
bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan atau gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
B. Etiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang
muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan
saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini
bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak. Gangguan fungsi otak yang bisa
menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa
disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor
tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau
fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau
serangan epilepsi.
Epilepsi mungkin disebabkan oleh:
1. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
2. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma
otak pada saat lahir atau cedera lain
3. Pada bayi, penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital
pada otak, atau infeksi
4. pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-
6 tahun, disebabkan karena febril
5. Pada usia dewasa penyebabnya lebih bervariasi yakni, idiopatik, karena birth
trauma, cedera kepala, tumor
C. Patofisiologi
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam
munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan
otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau
jaringan neuron.
- Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada
tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan;
atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan
permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi
berkepanjangan yang mengawali kejang.
- Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari
perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi
perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar
neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel
glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama
kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+.
Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar
K2+.
- Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di
sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron
inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi
neuron inhibisi.
2. Mekanisme epileptogenesis
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan
peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan
mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang
epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun
pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah
pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di
daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).
D. KLASIFIKASI
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi kejang
umum (generalized seizure)dankejangparsial (fokal). Kejangumum(generalized
seizure)yaitu jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama-
sama, terdiri dari Tonic clonic, tonic dan Infnatile Spasm. Kejang parsial/focal,
jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejangparsial (fokal) yaitukejang
hanya melibatkan sebagian otak, terutama bagian dari sebuah lobus atau
hemister. Gejala masing-masing jenis kejang tergantung pada lokasi muatan
neuron dan perluasan penyebaran aktivitas listrik terhadap neuron lainya dalam
otak.
2. Abscense attacks (petit mal), Jenis yang jarang, umumnya hanya terjadi
pada masa anak-anak atau awal remaja. Penderita tiba-tiba melotot, atau
matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai. Kejadiannya cuma
beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari
3. Myoclonic seizure, biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur,
pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba, jenis yang sama (tapi non-
epileptik) bisa terjadi pada pasien normal.
E. FAKTOR RESIKO
Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi,dapat
terjadi saat :
F. DIAGNOSA
Epilepsi adalah diagnosis klinis, ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang EEG hanya untuk konfirmasi
diagnosis, melihat sindroma epilepsi tertentu dan pencitraan kepala yaitu (CT
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI). Langkah-langkah dalam
penegakkan diagnosis dalam praktik klinis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai gejala
dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan. Anamnesis lain yang perlu
dilakukan adalah anamnesis terhadap faktor pencetus, usia, durasi, dan
frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara
bangkitan, terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya,
penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik
maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas,
riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga, riwayat saat berada dalam
kandungan- kelahiran- tumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/ kejang
demam, dan riwayat trauma kepala-stroke- infeksi susunan saraf pusat.
Jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi, termasuk jenis
epilepsi fokal atau umum. Obat anti epilepsi telah diklasifikasikan kedalam 5
kelompok kimiawi yaitu barbiturat, hidantoin, oksazolidindion, suksinimid
dan asetilurea
1. Golongan Hidantoin
Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP.
Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan sosis letal menimbulkan rigiditas
deserebrasi. Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan
penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain otak. Efek stabilisasi
membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel
sistem konduksi di jantung. Fenitoin mempengaruhi berbagai sistem
fisiologik, dalam hal ini khususnya konduktans Na+, K+, Ca2+ neuron,
potensial membran dan neurotransmiter norepinefrin, asetilkolin, dan
GABA. Pengaruh terhadap konduktans Na+ juga terjadi dengan
karbamazepin, lamotrigin dan valproat.
2. Golongan Barbiturat
Disamping sebagai hipnotik-sedatif, golongan barbiturat efektif sebagai
obat antikonvulsi, dan yang biasa digunakan adalah barbiturat kerja lama.
Disini dibicarakan efek antiepilepsi prototipe barbiturat yaitu fenobarbital
dan primidon yang struktur kimianya mirip dengan barbiturat.
3. Golongan Oksazolidindion
Trimetadion merupakan obat antiepilepsi tipe absence, namun setelah
etoksusimid dipakai secara luas pada tahun 1960, trimetadion sudah jarang
digunakan.
4. Golongan Suksinimid
Antiepilepsi golongan suksinimid yang digunakan di klinik adalah
etoksusimid, metuksimid, dan fensuksimid. Metuksimid bersifat lebih
toksik. Etosuksimid paling efektif bila dibandingkan dengan metuksimid
atau fensuksimid. Sifat yang menonjol dari etoksimid trimetadion ialah
mencegah bangkitan konvulsi pentilentetrazol. Etoksusimid, dengan sifat
antipentiltentrazol terkuat, merupakan obat yang paling selektrif terhadap
bangkitan lena.
KASUS
Seorang pasien remaja putri berusia 16 tahun mengalami seizure pada anggota
badan dan tubuh, saat serangan penderita jatuh pingsan, serangan berlangsung selama
2-3 menit. Sesaat setelah serangan penderita sadarkan diri, kelelahan dan kemudian
tertidur. Pada beberapa serangan yang terjadi di sekolah saat ujian semester, serangan
berlangsung lebih dari 1 kali diselingi keadaan sadar selama beberapa menit.
Hasil pemeriksaan :
Kond pemeriksaan fisik selesai serangan : RR 22/menit, HR 105, suhu 360oC.
Data lab : Hb 11, WBC 13,1, platelet 200.000, glukosa 90 mg/dL,
Elektrolit : Na, Ca, tinggi di atas nilai normal. BB : 35 kg
Riwayat
Penderita lahir normal namun pada usia 8-12 bulan sering mengalami demam
tinggi dan kejang hipertermia, kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya tidak ada
yang memiliki kelainan/gangguan SSP. Pada usia 12 tahun, saat memasuki usia
pubertas, terjadi serangan tonik klonik untuk pertama kali, sejak saat itu pasien
mendapat obat asam valproat dengan dosis awal 15 mg/kgBB, cek EEG menunjukkan
adanya abnormalitas. Terlihat ada letupan di lobus temporal kanan. Dosis valproat
dititrasi dengan peningkatan 5 mg/kgBB/hari, titrasi dosis berlangsung 1 minggu
sejak awal terapi . Sepanjang terapi di dosis optimum pasien tidak pernah terjadi lagi
serangan.
Di usia 13 tahun terjadi ketidakteraturan pola menstruasi pada pasien, oleh
dokter pasien diberi hormone estradiol dosis 100 mikrogram, selang 2 bulan terapi
serangan epilepsy muncul kembali dengan frekuensi serangan 2 kali dalam sebulan.
Penderita dicek EEG lagi dan mendapatkan tambahan dosis asam valproat 10
mg/kgBB dari dosis terakhir yang selama ini diberikan.
Tugas :
1. Mengapa muncul serangan lebih dari 1 kali, faktor apa yang memicunya?
2. Adakah problem terapi pada penderita epilepsi tersebut dari awal sampai akhir
terapi?
3. Sesuaikah pilihan antikonvulsan yang sudah diberikan pada pasien? Bila tidak
sesuai, apa obat yang anda rekomendasikan? Cari dan tunjukkan guidance terapi
epilepsi yang baru
4. Adakah interaksi pada kasus tsb dikaitkan pemberian asam valproat dan
estradiol?
5. Informasi apa yang bisa anda sampaikan kepada pasien, terkait obat mengingat
terapi jangka panjang dan adanya efek-efek samping, faktor pencetus, pantangan
makanan, yang dapat mengurangi resiko serangan?
FORM DATA BASE PASIEN
UNTUK ANALISI PENGGUNAAN OBAT
IDENTITAS PASIEN
Nama : Remaja Putri No Rek Medik : -
Usia : 16 tahun Dokter yg merawat:-
Alamat :-
Ras :-
Pekerjaan : Pelajar
Sosial :-
Riwayat masuk RS :-
Riwayat penyakit terdahulu :-
Riwayat sosial :
Kegiatan
Pola makan/diet
Vegetarian Ya/Tidak
Merokok Ya/Tidak
Minum alkohol Ya/Tidak
Minum obat herbal Ya/Tidak
seizure berulang 2x serangan Hb : 11 Diberikan asam valproat Digunakan untuk mengatasi Terapi sudah
dalam sebulan berlangsung WBC : 13,1 dengan penambahan serangan kejang tepat
selama 2-3 menit Platelet : dosis 10mg/kgBB dari
200.000 dosis terakhir yang
Glukosa : diberikan 20mg/kgBB
90mg/dL (menjadi 30mg/kgBB)
Menstruasi tidak Ketidakteraturan Na, Ca, : Diberikan terapi Untuk mengatasi gangguan Terapi
normal pola menstruasi diatas Hormon estradiol hormonal namun penggunaan kurang tepat
normal estradiol pada penderita epilepsi
dapat memperburuk kondisi
pasien, sehingga penggunaan
Hormon estradiol dihentikan
dan diganti dengan Progestin
Leukosit Tinggi - - Belum diberikan terapi, kadar Indikasi
leukosit akan kembali normal tanpa terapi
bila kondisi pasien pulih
Monitoring :
1) Pemantauan efektivitas dan interaksi obat lain yang mungkin terjadi
2) Menjaga pasien tetap di bawah pengamatan, amati tindakan pencegahan
keselamatan / kejang, dan pantau efektivitas terapeutik (jenis aktivitas
kejang, kekuatan, dan durasi).
3) Pantau tanda-tanda vital; status neurologis, jantung, dan pernapasan.
4) Pantau tanda dan gejala kegagalan hati (malaise, kelemahan, edema wajah,
anoreksia, ikterus, dan muntah)
5) Pantau tanda dan gejala pankreatitis (nyeri perut, mual, muntah, dan / atau
anoreksia).
6) Untuk pasien rawat jalan, pantau efek terapeutik, nilai laboratorium, dan
reaksi buruk pada awal terapi dan secara berkala dengan penggunaan
jangka panjang.
7) Dilakukan penurunan dosis secara perlahan ketika akan dihentikan
KIE :
1) Ajarkan tindakan pencegahan kejang pasien, penggunaan yang tepat,
intervensi untuk mengurangi efek samping, dan gejala yang merugikan
untuk dilaporkan.
2) Beritahukan kepada pasien untuk tidak menambah dosis atau mengambil
lebih dari yang direkomendasikan.
3) Beritahukan kepada pasien jangan menghancurkan atau mengunyah kapsul
atau pil yang dilapisi enterik.
4) Saat menggunakan obat ini, jangan menggunakan obat-obatan alkohol dan
obat-obatan resep atau OTC lainnya (terutama obat penghilang rasa sakit,
obat penenang, antihistamin, atau hipnotik) tanpa berkonsultasi dengan
prescriber.
5) Beritahukan kepada pasien saat mengkonsumsi obat mungkin mengalami
kegugupan; nafsu makan menurun; insomnia; sakit kepala; kantuk atau
pusing (berhati-hatilah ketika mengemudi atau terlibat dalam tugas yang
membutuhkan kewaspadaan sampai respon terhadap obat diketahui);
perubahan visual; dan rambut rontok.
6) Instruksikan bila terjadi depresi bunuh diri; perubahan dalam siklus
menstruasi; kram perut, diare yang tidak terselesaikan, muntah, atau
konstipasi; ruam kulit; tremor; memar yang tidak biasa atau pendarahan;
darah dalam urin, tinja, atau muntahan; rasa tidak enak; kelemahan;
pembengkakan wajah; sakit perut persisten; sedasi yang berlebihan;
perubahan status mental; kelesuan ekstrim; atau kegelisahan.
Pertanyaan
1. Mengapa muncul serangan lebih dari 1 kali, faktor apa yang memicunya?
Jawab: Serangan yang terjadi lebih dari 1 kali disebabkan karena adanya
ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena
cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang
dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang
timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-
sel otak, secara periodik yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan
listrik secara berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba,
sehingga penerimaan dan pengiriman impuls antara bagian otak dan dari
otak ke bagian lain tubuh terganggu
2. Adakah problem terapi pada penderita epilepsi tersebut dari awal sampai
akhir terapi?
Jawab: Ada, penggunaan obat hormonal seperti estradiol tidak boleh
diberikan pada penderita epilepsi
3. Sesuaikah pilihan antikonvulsan yang sudah diberikan pada pasien? Bila
tidak sesuai, apa obat yang anda rekomendasikan? Cari dan tunjukkan
guidance terapi epilepsi yang baru
Jawab: Pemberian asam valproate sudah sesuai,karena asam valproate
mempunyai efek samping yang ringan dari semua obat epilepsy selain itu
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial,
kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik.
4. Adakah interaksi pada kasus tsb dikaitkan pemberian asam valproat dan
estradiol?
Jawab: Ada, pemberian estradiol dapat memperburuk kondisi klinis pasien
epilepsi
5. Informasi apa yang bisa anda sampaikan kepada pasien, terkait obat
mengingat terapi jangka panjang dan adanya efek-efek samping, factor
pencetus, pantangan makanan, yang dapat mengurangi resiko serangan?
Jawab: Informasi yang perlu disampaikan adalah terkait efek samping obat,
dimana efek samping asam valproate yang paling sering terjadi adalah
gangguan pencernaan seperti mual muntah dan kenaikan berat badan.
DAFTAR PUSTAKA
Sukandar, E.Y., Andarjati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P.,
Kusnandar, 2013, ISO Farmaoterapi: Buku 1, PT. ISFI Penebitan, Jakarta.
Companies: USA.
Tim Penyusun. 2013. Iso Farmakoterapi Buku I. Jakarta:ISFI