Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH STUDI KASUS

PRAKTIKUM FARMASI RUMAH SAKIT DAN KLINIK


“ EPILEPSI “

KELAS A/ KELOMPOK 1
Dosen Pengampu :
Dr. Gunawan Pamudji Widodo, M.Si., Apt.

Disusun Oleh :
1. Ade Irma Suriyani 1820353868
2. Agusthina Tri Astuty 1820353869

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER XXXV


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Epilepsi didefinisikan oleh terjadinya setidaknya dua kejang yang tidak beralasan
dengan atau tanpa kejang dipisahkan paling sedikit 24 jam. Kejang terjadi akibat
pelepasan korteks yang berlebihan neuron dan ditandai dengan perubahan aktivitas
listrik yang diukur dengan electroencephalogram (EEG) (Dipiro ed. 9., 2015).
Epilepsi menyatakan suatu serangan berulang seizure periodic dengan atau tanpa
seizure. Serangan tersebut disebabkan oleh aktivasi listrik berlebihan pada neuron
korteks dan ditandai dengan perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur dengan
elektro-ensefalogram (EEG). Seizure menyatakan keparahan kontraksi otot polos
yang tidak terkendali.
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik
yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy
(ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan
kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan
bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan atau gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.

B. Etiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang
muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan
saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini
bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak. Gangguan fungsi otak yang bisa
menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa
disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor
tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau
fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau
serangan epilepsi.
Epilepsi mungkin disebabkan oleh:
1. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
2. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma
otak pada saat lahir atau cedera lain
3. Pada bayi, penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital
pada otak, atau infeksi
4. pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-
6 tahun, disebabkan karena febril
5. Pada usia dewasa penyebabnya lebih bervariasi yakni, idiopatik, karena birth
trauma, cedera kepala, tumor

C. Patofisiologi
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam
munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan
otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau
jaringan neuron.
- Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada
tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan;
atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan
permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi
berkepanjangan yang mengawali kejang.
- Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari
perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi
perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar
neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel
glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama
kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+.
Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar
K2+.
- Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di
sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron
inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi
neuron inhibisi.
2. Mekanisme epileptogenesis
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan
peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan
mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang
epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun
pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah
pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di
daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).

- Mekanisme nonsinaptik.Perubahan konsentrasi ion terlihat selama


hipereksitasi, peningkatan kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar
Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+ akibat hipoksia atau iskemia
diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan Cl--
K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang
diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat
eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan
jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung
runcing abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal
memainkan peran penting pada epileptogenesis.
- Mekanisme sinaptik.Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi
melibatkan penurunan inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi
glutamatergik. Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS
(cairan serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada
potongan jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten
terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan
inhibisi.

D. KLASIFIKASI
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi kejang
umum (generalized seizure)dankejangparsial (fokal). Kejangumum(generalized
seizure)yaitu jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfere otak secara bersama-
sama, terdiri dari Tonic clonic, tonic dan Infnatile Spasm. Kejang parsial/focal,
jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejangparsial (fokal) yaitukejang
hanya melibatkan sebagian otak, terutama bagian dari sebuah lobus atau
hemister. Gejala masing-masing jenis kejang tergantung pada lokasi muatan
neuron dan perluasan penyebaran aktivitas listrik terhadap neuron lainya dalam
otak.

Kejang umum terbagi atas:

1. Tonic-clonic convulsion (grand mal), merupakan bentuk paling banyak


terjadi. Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur,
bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa
menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur.

2. Abscense attacks (petit mal), Jenis yang jarang, umumnya hanya terjadi
pada masa anak-anak atau awal remaja. Penderita tiba-tiba melotot, atau
matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai. Kejadiannya cuma
beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari
3. Myoclonic seizure, biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur,
pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba, jenis yang sama (tapi non-
epileptik) bisa terjadi pada pasien normal.

4. Atonic seizure, jarang terjadi, pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot


terutama lengan dan kaki sehingga menyebabkan jatuh.

Kejang parsial terbagi menjadi :


1. Simple partial seizures, pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi
sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh
2. Complex partial seizures, pasien melakukan gerakan-gerakan tak
terkendali: gerakan mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran
3. Umum sekunder, bangkitan parsial yang berkembang jadi bangkitan
umum

E. FAKTOR RESIKO

Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi,dapat
terjadi saat :
F. DIAGNOSA
Epilepsi adalah diagnosis klinis, ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang EEG hanya untuk konfirmasi
diagnosis, melihat sindroma epilepsi tertentu dan pencitraan kepala yaitu (CT
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI). Langkah-langkah dalam
penegakkan diagnosis dalam praktik klinis adalah sebagai berikut:

1. Anamnesis

Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai gejala
dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan. Anamnesis lain yang perlu
dilakukan adalah anamnesis terhadap faktor pencetus, usia, durasi, dan
frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara
bangkitan, terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya,
penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik
maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas,
riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga, riwayat saat berada dalam
kandungan- kelahiran- tumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/ kejang
demam, dan riwayat trauma kepala-stroke- infeksi susunan saraf pusat.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang


berkaitan dengan epilepsi, seperti trauma kepala. Pemeriksaan neurologis
berfungsi untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi.

3. Pemeriksaan penunjang, seperti berikut:

a) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)


Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan
suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis, penentuan jenis
bangkitan maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan perlu/ tidaknya
pemberian OAE
b) Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak secara non-invasif,
seperti: Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography
(PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT),
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dan Computed Tomography (CT) Scanning.
c) Pemeriksaan laboratorium
(1) Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan hematologis di awal pengobatan sebagai salah satu acuan
dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE, 2 bulan
setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE, rutin
diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE, atau
bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
(2) Pemeriksaan kadar OAE dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam
plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai
dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.

G. TATALAKSANA TERAPI EPILEPSI


 Sasaran terapi : keseimbangan neurotranmiter GABA di otak

 Tujuan terapi : Untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi kejang dan


memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan dan memungkinkan
pasien dapat hidup normal. Khusus untuk status epileptikus, terapi sangat
penting untuk menghindarkan pasien dari kegawatan akibat serangan kejang
yang berlangsung lama.

 Terapi Farmakologi Golongan Obat Anti Epilepsi

Jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi, termasuk jenis
epilepsi fokal atau umum. Obat anti epilepsi telah diklasifikasikan kedalam 5
kelompok kimiawi yaitu barbiturat, hidantoin, oksazolidindion, suksinimid
dan asetilurea
1. Golongan Hidantoin
Fenitoin berefek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP.
Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan sosis letal menimbulkan rigiditas
deserebrasi. Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan
penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain otak. Efek stabilisasi
membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel
sistem konduksi di jantung. Fenitoin mempengaruhi berbagai sistem
fisiologik, dalam hal ini khususnya konduktans Na+, K+, Ca2+ neuron,
potensial membran dan neurotransmiter norepinefrin, asetilkolin, dan
GABA. Pengaruh terhadap konduktans Na+ juga terjadi dengan
karbamazepin, lamotrigin dan valproat.

2. Golongan Barbiturat
Disamping sebagai hipnotik-sedatif, golongan barbiturat efektif sebagai
obat antikonvulsi, dan yang biasa digunakan adalah barbiturat kerja lama.
Disini dibicarakan efek antiepilepsi prototipe barbiturat yaitu fenobarbital
dan primidon yang struktur kimianya mirip dengan barbiturat.

Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi.


Berbiturat menghambat tahap aktif oksidasi mitokondria, sehingga
mengurangi pembentukan fosfat berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu
untuk sintesis neurotransmiter misalnya ACh, dan untuk repolarisasi
membran sel neuron setelah depolarisasi.

3. Golongan Oksazolidindion
Trimetadion merupakan obat antiepilepsi tipe absence, namun setelah
etoksusimid dipakai secara luas pada tahun 1960, trimetadion sudah jarang
digunakan.

4. Golongan Suksinimid
Antiepilepsi golongan suksinimid yang digunakan di klinik adalah
etoksusimid, metuksimid, dan fensuksimid. Metuksimid bersifat lebih
toksik. Etosuksimid paling efektif bila dibandingkan dengan metuksimid
atau fensuksimid. Sifat yang menonjol dari etoksimid trimetadion ialah
mencegah bangkitan konvulsi pentilentetrazol. Etoksusimid, dengan sifat
antipentiltentrazol terkuat, merupakan obat yang paling selektrif terhadap
bangkitan lena.

 Terapi Non Farmakologi


Selain dengan terapi menggunakan obat, dapat pula dilakukan terapi
non-farmakologi. Terapi non-farmakologi untuk epilepsy meliputi:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami
kejang meskipun sudah mendapat lebih dari 3 agen antikonvulsan, adanya
abnormalitas fokal, lesi epileptik yang menjadi pusat abnormalitas epilepsi.
2. Diet Ketogenik
Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah
karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk pertumbuhan,
terapi kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolism tubuh. Dengan
demikian tubuh akan menggunakan lemak sebagai sumber energi, yang
pada gilirannya akan menghasilkan senyawa keton. Mekanisme diet
ketogenik sebagai antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun
senyawa keton ini diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan
kejang.
Adanya senyawa keton secara kronis akan memodifikasi siklus
asam trikarbosilat untuk meningkatkan sintesis GABA di otak, mengurangi
pembentukan reactive oxigene species (ROS), dan meningkatkan produksi
energy dalam jaringan otak. Selain itu, beberapa aksi penghambatan syaraf
lainnya adalah peningkatan asam lemak tak jenuh ganda yang selanjutnya
akan menginduksi ekspresi neural protein uncoupling (UCPs), meng-
upregulasi banyak gen yang terlibat dalam metabolism energy dan
biogenesis mitokondria. Efek-efek ini lebih lanjut akan membatasi
pembentukan ROS dan meningkatkan produksi energy dan hiperpolarisasi
syaraf. Berbagai efek ini secara bersama-sama diduga berkontribusi
terhadap peningkatan ketahanan syaraf terhadap picuan kejang.

Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain :


- Jauhkan penderita dari benda-benda berbahaya (gunting, pulpen,
kompor api, dan lain – lain).
- Jangan pernah meninggalkan penderita.
- Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak
menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah
baju di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika ada).
- Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut
dapat mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau
pernapasan.
- Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan
penderita. Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
- Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti
memberi minum, penahan lidah.
- Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan
meninggalkan penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian
biarkan penderita beristirahat atau tidur.
Algoritma Terapi Epilepsi
BAB II
PEMBAHASAN

KASUS
Seorang pasien remaja putri berusia 16 tahun mengalami seizure pada anggota
badan dan tubuh, saat serangan penderita jatuh pingsan, serangan berlangsung selama
2-3 menit. Sesaat setelah serangan penderita sadarkan diri, kelelahan dan kemudian
tertidur. Pada beberapa serangan yang terjadi di sekolah saat ujian semester, serangan
berlangsung lebih dari 1 kali diselingi keadaan sadar selama beberapa menit.

Hasil pemeriksaan :
Kond pemeriksaan fisik selesai serangan : RR 22/menit, HR 105, suhu 360oC.
Data lab : Hb 11, WBC 13,1, platelet 200.000, glukosa 90 mg/dL,
Elektrolit : Na, Ca, tinggi di atas nilai normal. BB : 35 kg

Riwayat
Penderita lahir normal namun pada usia 8-12 bulan sering mengalami demam
tinggi dan kejang hipertermia, kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya tidak ada
yang memiliki kelainan/gangguan SSP. Pada usia 12 tahun, saat memasuki usia
pubertas, terjadi serangan tonik klonik untuk pertama kali, sejak saat itu pasien
mendapat obat asam valproat dengan dosis awal 15 mg/kgBB, cek EEG menunjukkan
adanya abnormalitas. Terlihat ada letupan di lobus temporal kanan. Dosis valproat
dititrasi dengan peningkatan 5 mg/kgBB/hari, titrasi dosis berlangsung 1 minggu
sejak awal terapi . Sepanjang terapi di dosis optimum pasien tidak pernah terjadi lagi
serangan.
Di usia 13 tahun terjadi ketidakteraturan pola menstruasi pada pasien, oleh
dokter pasien diberi hormone estradiol dosis 100 mikrogram, selang 2 bulan terapi
serangan epilepsy muncul kembali dengan frekuensi serangan 2 kali dalam sebulan.
Penderita dicek EEG lagi dan mendapatkan tambahan dosis asam valproat 10
mg/kgBB dari dosis terakhir yang selama ini diberikan.
Tugas :
1. Mengapa muncul serangan lebih dari 1 kali, faktor apa yang memicunya?

2. Adakah problem terapi pada penderita epilepsi tersebut dari awal sampai akhir
terapi?
3. Sesuaikah pilihan antikonvulsan yang sudah diberikan pada pasien? Bila tidak
sesuai, apa obat yang anda rekomendasikan? Cari dan tunjukkan guidance terapi
epilepsi yang baru

4. Adakah interaksi pada kasus tsb dikaitkan pemberian asam valproat dan
estradiol?

5. Informasi apa yang bisa anda sampaikan kepada pasien, terkait obat mengingat
terapi jangka panjang dan adanya efek-efek samping, faktor pencetus, pantangan
makanan, yang dapat mengurangi resiko serangan?
FORM DATA BASE PASIEN
UNTUK ANALISI PENGGUNAAN OBAT

IDENTITAS PASIEN
Nama : Remaja Putri No Rek Medik : -
Usia : 16 tahun Dokter yg merawat:-
Alamat :-
Ras :-
Pekerjaan : Pelajar
Sosial :-
Riwayat masuk RS :-
Riwayat penyakit terdahulu :-

Riwayat sosial :
Kegiatan
Pola makan/diet
Vegetarian Ya/Tidak
Merokok Ya/Tidak
Minum alkohol Ya/Tidak
Minum obat herbal Ya/Tidak

Pemeriksaan yang dilakukan


Pemeriksaan Hasil Normal Keterangan
RR 22/menit 20x/menit Rendah
HR 105 80x/menit Cepat
Suhu Tubuh 36°C 36,6 Normal
Data Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan
HB 11 11,0-16,5 Normal
WBC (Leukosit) 13,1 3,5-10,0 Tinggi
Platelet (trombosit) 200.000 150.000-400.000 Normal
Glukosa 90mg/dL 70-130 mg/dL Normal
Na Di atas normal 135-145 mEq/L Di atas Normal
Ca Di atas normal 9-11mg/dL Di atas Normal

Riwayat Penyakit dan Pengobatan


No Nama Penyakit Nama Obat Dosis Rute
Usia 8-12 bulan Demam Tinggi
1 - - -
dan kejang hipertermia
Usia 12 tahun Serangan tonik
2 Asam Valproat 15 mg/kgBB -
klonik pertama kali
Usia 13 tahun menstruasi tidak Hormone
3 100 mcg -
teratur estradiol
OBAT YANG DIGUNAKAN SAAT INI
Rute
No Nama Dosis interaksi ESO Indikasi Outcome Terapi
Pemberian
1 Asam Awal 15 mg/kg lalu oral - Perdarahan, mual Sebagai terapi tunggal Mengatasi gejala
valproate dilakukan titrasi dosis muntah, atau terapi tambahan epilepsy dan
dengan penambahan 5 peningkatan nafsu pada pengobatan partial menghentikan
mg/kgBB (menjadi makan seizure ( sederhana dan serangan berulang
20mg/kgbb) selama trombositopenia, kompleks) dan absence
seminggu anemia, seizure (petit mal
penekanan
sumsum tulang
2 Hormon - oral - Tidak boleh Mengatasi gangguan
estradiol diberikan pada hormon
penderita epilepsi
Assesment
Problem Medik Subyektif Obyektif Terapi Analisis DRP

seizure berulang 2x serangan Hb : 11 Diberikan asam valproat Digunakan untuk mengatasi Terapi sudah
dalam sebulan berlangsung WBC : 13,1 dengan penambahan serangan kejang tepat
selama 2-3 menit Platelet : dosis 10mg/kgBB dari
200.000 dosis terakhir yang
Glukosa : diberikan 20mg/kgBB
90mg/dL (menjadi 30mg/kgBB)
Menstruasi tidak Ketidakteraturan Na, Ca, : Diberikan terapi Untuk mengatasi gangguan Terapi
normal pola menstruasi diatas Hormon estradiol hormonal namun penggunaan kurang tepat
normal estradiol pada penderita epilepsi
dapat memperburuk kondisi
pasien, sehingga penggunaan
Hormon estradiol dihentikan
dan diganti dengan Progestin
Leukosit Tinggi - - Belum diberikan terapi, kadar Indikasi
leukosit akan kembali normal tanpa terapi
bila kondisi pasien pulih

Kadar natrium, - - Efek samping dari asam Indikasi


kalsium tidak valproat, kadar natrium akan tanpa terapi
normal normal setelah pemakaian obat
dihentikan
Care Plan :
1) Terapi dengan menggunakan asam valproat tetap diberikan sesuai dengan
dosis terapinya.
2) Penggunaan Hormon estradiol dihentikan sebab dapat mengaktivasi efek
kejang dan digantikan dengan progesteron yang memiliki sifat (seizure-
protection effect).
3) Terapi dengan asam valproat merupakan lini pertama pada kejang umum
primer (primary generalized seizure) seperti, absence, mioklonik dan
kejang atonik. Bila asam valproat tidak efektif untuk mengobati kejang
dapat diberikan ethouximide yang dikombinasi dengan OAE lainnya.

Monitoring :
1) Pemantauan efektivitas dan interaksi obat lain yang mungkin terjadi
2) Menjaga pasien tetap di bawah pengamatan, amati tindakan pencegahan
keselamatan / kejang, dan pantau efektivitas terapeutik (jenis aktivitas
kejang, kekuatan, dan durasi).
3) Pantau tanda-tanda vital; status neurologis, jantung, dan pernapasan.
4) Pantau tanda dan gejala kegagalan hati (malaise, kelemahan, edema wajah,
anoreksia, ikterus, dan muntah)
5) Pantau tanda dan gejala pankreatitis (nyeri perut, mual, muntah, dan / atau
anoreksia).
6) Untuk pasien rawat jalan, pantau efek terapeutik, nilai laboratorium, dan
reaksi buruk pada awal terapi dan secara berkala dengan penggunaan
jangka panjang.
7) Dilakukan penurunan dosis secara perlahan ketika akan dihentikan

KIE :
1) Ajarkan tindakan pencegahan kejang pasien, penggunaan yang tepat,
intervensi untuk mengurangi efek samping, dan gejala yang merugikan
untuk dilaporkan.
2) Beritahukan kepada pasien untuk tidak menambah dosis atau mengambil
lebih dari yang direkomendasikan.
3) Beritahukan kepada pasien jangan menghancurkan atau mengunyah kapsul
atau pil yang dilapisi enterik.
4) Saat menggunakan obat ini, jangan menggunakan obat-obatan alkohol dan
obat-obatan resep atau OTC lainnya (terutama obat penghilang rasa sakit,
obat penenang, antihistamin, atau hipnotik) tanpa berkonsultasi dengan
prescriber.
5) Beritahukan kepada pasien saat mengkonsumsi obat mungkin mengalami
kegugupan; nafsu makan menurun; insomnia; sakit kepala; kantuk atau
pusing (berhati-hatilah ketika mengemudi atau terlibat dalam tugas yang
membutuhkan kewaspadaan sampai respon terhadap obat diketahui);
perubahan visual; dan rambut rontok.
6) Instruksikan bila terjadi depresi bunuh diri; perubahan dalam siklus
menstruasi; kram perut, diare yang tidak terselesaikan, muntah, atau
konstipasi; ruam kulit; tremor; memar yang tidak biasa atau pendarahan;
darah dalam urin, tinja, atau muntahan; rasa tidak enak; kelemahan;
pembengkakan wajah; sakit perut persisten; sedasi yang berlebihan;
perubahan status mental; kelesuan ekstrim; atau kegelisahan.

Pertanyaan
1. Mengapa muncul serangan lebih dari 1 kali, faktor apa yang memicunya?
Jawab: Serangan yang terjadi lebih dari 1 kali disebabkan karena adanya
ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena
cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang
dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang
timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-
sel otak, secara periodik yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan
listrik secara berlebihan dan tidak teratur oleh sel-sel otak dengan tiba-tiba,
sehingga penerimaan dan pengiriman impuls antara bagian otak dan dari
otak ke bagian lain tubuh terganggu
2. Adakah problem terapi pada penderita epilepsi tersebut dari awal sampai
akhir terapi?
Jawab: Ada, penggunaan obat hormonal seperti estradiol tidak boleh
diberikan pada penderita epilepsi
3. Sesuaikah pilihan antikonvulsan yang sudah diberikan pada pasien? Bila
tidak sesuai, apa obat yang anda rekomendasikan? Cari dan tunjukkan
guidance terapi epilepsi yang baru
Jawab: Pemberian asam valproate sudah sesuai,karena asam valproate
mempunyai efek samping yang ringan dari semua obat epilepsy selain itu
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial,
kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik.
4. Adakah interaksi pada kasus tsb dikaitkan pemberian asam valproat dan
estradiol?
Jawab: Ada, pemberian estradiol dapat memperburuk kondisi klinis pasien
epilepsi
5. Informasi apa yang bisa anda sampaikan kepada pasien, terkait obat
mengingat terapi jangka panjang dan adanya efek-efek samping, factor
pencetus, pantangan makanan, yang dapat mengurangi resiko serangan?
Jawab: Informasi yang perlu disampaikan adalah terkait efek samping obat,
dimana efek samping asam valproate yang paling sering terjadi adalah
gangguan pencernaan seperti mual muntah dan kenaikan berat badan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Z, Spencer S.S., 2004. An Approach to the Evaluation of a Patient for


Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal.

Aicardi J dan Taylor D.C., 2008.History and Physical Examination.Epilepsy A


comprehensive texbook 2ndedition.Lipincott William & Wilkins.

American Epilepsy society. 2006. Clinical epilepsy. An introduction to


epilepsy.Bookshelf chapter 2

Dipiro, T.J., Wells, G.B., Schwinghammer, L.T. danDipiro, V.C., 2009,


Pharmacotherapy Handbook Seven Edition, The McGraw-Hill
Companies, United States of America.

Dipiro, T.J., Wells, G.B., Schwinghammer, L.T. danDipiro, V.C., 2015,


Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition, The McGraw-HillCompanies,
United States of America.

Provincial Guidelines For The Management Of Epilepsy In Adults And Children.


2015. Ontario.

Stockley, I.H. 2008.Stockley’s Drug Interaction. Edisikedelapan. Great Britain:


Pharmaceutical Press.

Sukandar, E.Y., Andarjati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P.,
Kusnandar, 2013, ISO Farmaoterapi: Buku 1, PT. ISFI Penebitan, Jakarta.

Dipiro J T et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. The McGraw-


Hill

Companies: USA.
Tim Penyusun. 2013. Iso Farmakoterapi Buku I. Jakarta:ISFI

Anda mungkin juga menyukai