Anda di halaman 1dari 5

MEKANISME PATOFISIOLOGI

Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi, adalah sebagai berikut:


1. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak Eksitasi berlebihan
mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang. Sinyal yang
dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal
yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang
berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat
untu mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga tejadi kejang. 15
Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan molekul
pada reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca
dan tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi.
Berlawanan dengan Inhibitory Postsynatic Potentials (IPSs) disebabkan
karena meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang
akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membran26 Eksitasi terjadi melalui
beberapa neurotransmitter dan neuromedulator, akan tetapi reseptor
glutamate yang paling penting dan paling banyak diteliti untuk eksitasi
epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf
pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua struktur otak
depann menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan
fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi,
kegagalan fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.

2. Mekanisme sinkronisasi Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan


sinkronisasi sel-sel saraf berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi
terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron yang berdekatan dan
menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang terjadi
pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang
berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang
berlebihan dan bersifat berulang.

3. Mekanisme epileptogenesis Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi.


Iskemia, trauma, neurotoksin dan trauma lain secara selektif dapat
mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati, akson-akson dari
neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron
diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah
terangsang.

4. Mekanisme peralihan interiktal-iktal Mekanisme yang memproduksi


sinyal, sinkronisitas dan penyebaran aktivitas sel saraf termasuk kedala
teori transisi interiktal0-iktal. Dari berbagai penelitian, mekanisme transisi
ini tidak berdiri sendiri melainkan hasil dari beberapa interaksi mekanisme
yang berbeda. Terdapat dua teori mengenai transisi interiktal-iktal, yaitu
mekanisme nonsinaptik dan sinaptik. Pada nonsinaptik adanya aktivitas
iktal-interikta yang berulang menyebabkan peningkatan kalium ekstrasel
sehingga eksitabilitas neuron meningkat. Aktivitas pompa Na-K sangat
berperan dalam mengatur eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia
dapat menyebabkan kegagalan pompa Na-K sehingga meningkatkan
transisi interiktal-iktal. Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan
efektivitas mekanisme inhibisi sinaps ataupun peningkatan aktivitas
eksitasi sinaps dapat mencetuskan epilepsi.

5. Mekanisme neurokimiawi Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh


keadaan neurokimia pada sel-sel saraf, misalnya sifat neurotransmitter
yang dilepaskan, ataupun adanya faktor tertentu yang menyebabkan
gangguan keseimbangan neurokimia seperti pemakaian obat-obatan.
Selain GABA dan glutamate yang merupakan neurotransmitter penting
dalam epilepsi, terdapat beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut
berperan seperti misalnya golongan opioid yang dapat menyebabkan
inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang dapat menurunkan ambang
kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan pompa
ionic juga ikut mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat kimia terbukti
dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel yang
menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan penurunan
aktivitas GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada
dendrit, soma dan astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian
sel. Asam kainat terbukti dapat menginduksi kejang dengan cara memacu
reseptor excitatory amino acid (EAA).
ANAMNESIS
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah in serangan
kejang atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan
wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saki mata
yang mengetahui Alamat Korespondensi. Beberapa pertanyaan yang perlu
diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum selama dan sesudah
serangan kejang it berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan
kejang tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik
mengingat pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang
yang dialami pasien (Ahmed, Spencer 2004, Mardiono 2013).
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer
2004, Hadi 2016, Harsono 2017)
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia
serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan
kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada
masa perinatal, kelainan metabolik da malformasi kongenital. Serangan kejang
umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70
tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan
patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada
waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang
dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan "aura"
dimana suatu "aura" itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana
berarti ada fokus di otak. Sebagian " aura" dapat membantu dimana leak lokasi
serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobs temporalis dilaporkan adanya
"déjà vu' dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang
mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan
sementara mungkin dialami ole pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan "aura" hal ini disebabkan
terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika "aura" dilaporkan ole pasien
sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak
dapat menjawab pertanyaan ini, ole karena itu wawancara dilakukan dengan saki
mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata
dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala
aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat
berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan
pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan "automatism" pada satu sisi?
Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit?
Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang
berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi
kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis
sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada
serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip
yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin
kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai
pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah "post ictal
period " Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik Klonik pasien lalu
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya
biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi sesudah serangan kejang disebut "Todd's Paralysis" yang
menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai
gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan.
Pada "Absens" khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan
informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan
dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat
membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed,Spencer 2004)
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat
diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan
yang khusus. Dengan mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang
benar dapat menjadi pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi,
diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan
otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi tertentu diperlukan pemeriksaan melalui
video - EEG.

Daftar pustaka
Ahmed Z, Spencer S.S (2004): An Approach to the Evaluation of a Patient for
Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103 (1): 49-55.
Hadi S (2016): Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang :
55-63.
Harsono (2017): Epilepsi, edisi 1. GajahMada University Press, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai