Anda di halaman 1dari 24

ASKEP EPILEPSI

BAB 1
PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologis yang relatif sering terjadi


dan merupakan gangguan fungsionaris kronis yang ditandai oleh aktivitas
serangan yang berulang. Serangan kejang yang merupakan gejala atau
manifestasi utama epilepsi dapat diakibatkan karena kelainan fungsional (motorik
dan sensorik/psikis). Serangan tersebut tidak lama, tidak terkontrol serta timbul
secara episodic dan berkaitan dengan pengeluaran impuls oleh serebral yang
berlebihan dan berlangsung lokal.

Epilepsi oleh Hipocrates diidentifikasi sebagai sebuah masalah yang ada


kaitannya dengan otak. Epilepsi dapat menyerang segala kelompok usia, juga
segala jenis bangsa dan keturunan diseluruh dunia. Pada kebanyakan kasus
mungkin terdapat interaksi antara predisposisi pembawaan dan factor-faktor
lingkungan.
Fase dari aktivitas kejang adalah fase prodormal, aura, ikatal, dan poksital.
Fase prodormal meliputi perubahan alam perasaan atau tingkah laku yang
mungkin mengawali kejang beberap jam/beberapa hari. Fase aura adalah awal
dari munculnya aktivitas kejang dan dapat berupa gangguan penglihatan,
pendengaran atau rasa raba. Fase ikatal merupakan fase dari aktivitas kejang dan
biasanya terjadi gangguan musculoskeletal. Sedangkan fase poksital adalah
periode waktu dari kekacauan mental / somnolent / peka rangsang yang terjadi
setelah kejang tersebut.
2 Rumusan Masalah

Insiden epilepsi sesungguhnya tidak diketahui, namun diperkirakan jumlah


penderita epilepsy sekitar 0,5% penduduk. Perkiraan ini menimbulkan baanyak
keraguan dan dianggap konservatif apakah suatu serangan kejang dapat
dikategorikan sebagai serangan epilepsy. Banyak pasien merahasiakan penyakit
ini sebab masyarakat memiliki pandangan yang negatif. Belajar menyesuaikan diri
terhadap diskriminasi sehubungan dengan pekerjaan, pendidikan, dan sosial
seringkali lebih sulit dibanding mengatasi epilepsinya sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka kelompok menyajikan sebuah


“term of reference” yaitu bagaimana etiologi, pathofisiologi, manifestasi klinis,
penatalaksanaan, dan proses keperawatan pasien dengan epilepsi berdasarkan
sebelas pola yang diperkenalkan oleh Gordon Maslow.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1 Pengertian

Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronis dengan berbagai macam


etiologi, yang ditandai oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala sebagai
akibat lepasnya muatan listrik serebral secara eksesif.

Epilepsi juga sering didefenisikan sebagai suatu gangguan serebral yang


ditandai dengan kejang akibat pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel
syaraf korteks serebral, yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan
kesadaran ringan, aktivitas motorik dan/gangguan fenomena sensori. Secara
umum epilepsi didefenisikan sebagai gejala-komplek dari banyak gangguan
fungsi otak yang dikarektiristik dengan kejang berulang.

2 Etiologi

Secara umum penyebab epilepsi belum diketahui dengan jelas (idiopatik).

1. Idiopatik.
Namun ada beberapa faktor yang sering mengakibatkan terjadinya kejang yang
juga menjadi pemicu terjadinya serangan epilepsi yaitu;
1. akibat trauma jalan lahir,
2. asphyxia neonatorum,
3. cedera kepala,
4. beberapa penyakit infeksi (seperti virus, bakteri dan parasit),
5. keracunan (karbon monooksida),
6. masalah-masalah sirkulasi darah,
7. demam
8. gangguan metabolisme dan
9. intoksikasi obat-obatan atau alkohol.
Adapun beberapa faktor yang menjadi faktor prepitasi (faktor yang memicu
terjadinya serangan) adalah;
(1) faktor sensoris (seperti cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang
mengejutkan, air panas),
(2) faktor sistemis (seperti demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu), dan
(3) faktor mental (seperti stress dan gangguan emosi).

3 Pathofisiologi
Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat serangan epilepsi sebagian karena
serangan epilepsi, sebagian karena otak mengalami kerusakan dan berat atau
ringannya gangguan tersebut tergantung dari lokasi dan keadaan pathologinya.
Bila terjadi lesi pada bagian otak tengah, thalamus dan korteks serebri
kemungkinan bersifat epileptogenik. Sedangkan lesi pada serebelum dan batang
otak biasanya tidak meyebabkan serangan epileptik.
Serangan epilepsi terjadi karena adanya lepasan muatan listrik yang
berlebihan dari neuron-neuron di susunan syaraf pusat yang terlokalisir pada
neuron-neuron tersebut. Gangguan abnormal dari lepasnya muatan listrik ini
terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara proses eksesif/eksitasi dan
inhibisi pada interaksi neuron. Selain itu hal tersebut diatas juga dapat disebabkan
karena gangguan pada sel neuronnya sendiri atau transmisi sinaptiknya.

Transmisi sinaptik oleh neurotransmitter yang bersifat eksitasi atau inhibitor


dalam keadaan gangguan keseimbangan akan mempengaruhi polarisasi membran
sel, sehingga jika sampai pada tingkat membran sel maka neuron epileptik
ditandai oleh proses biokimia tertentu yaitu;
(1) ketidakstabilan membran sel syaraf sehingga sel mudah diaktifkan,
(2) neuron yang hipersensitivitas dengan ambang yang menurun sehingga mudah
terangsang secara berturut-turut,
(3) kemungkinan terjadi polarisasi yang berlebihan, hyperpolarisasi atau
terhentinya repolarisasi, karena terjadi perbedaan potensial listrik lapisan intra sel
dan ekstra sel dimana lapisan intra sel lebih rendah,
(4) adanya ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron
yang menyebabkan membran neuron mengalami depolarisasi.

Neurotransmiter yang bersifat inhibisi akan menimbulkan keadaan


depolarisasi yang akan melepaskan muatan listrik secara berlebihan yaitu
asetikolin, noradrenalin, dopamine dan hidroksitriptamin.

Penyebaran epileptik dari neuron-neuron kebagian otak lain dapat terjadi


oleh gangguan pada kelompok neuron inhibitor yang berfungsi menahan pengaruh
neuron lain sehingga terjadi sinkronisasi dan aktivasi yang berulang-ulang
sehingga terjadi perluasan sirkuit kortikokortikal melalui serabut asosiasi atau ke
kontralateral melalui korpus kalosum, projeksi thallamokortikal difusi,
penyebaran keseluruh ARAS sehingga klien kehilangan kesadaran atau gangguan
pada formatio retikularis sehingga sistem motoris kehilangan kontrol normalnya,
dan menimbulkan kontraksi otot polos.

4 KLASIFIKASI DAN GAMBARAN KLINIS.

1. Epilepsi Umum.

Bangkitan umum :

20 – 60 detik.- Tonik : kontraksi otot, tungkai dan siku fleksi, leher dan punggung
melengkung, jeritan epilepsi (aura).

40 detik.- Klonik : spasmus flexi berseling relaksasi, hypertensi, midriasis,


takikardi, hyperhidrosis, hypersalivasi.

- Pasca Serangan : aktivitas otot terhenti

klien sadar kembali

lesu, nyeri otot dan sakit kepala


klien tertidur 1-2 jam.

Grand mal.

Grand mal (Tonik Klonik) :

- Ditandai dengan aura : sensasi pendengaran atau penglihatan.


- Hilang kesadaran.
-
- Epileptik cry.

-
sikap fleksi / ekstensi.- Tonus otot meningkat
- Sentakan, kejang klonik.

- - Lidah dapat tergigit, hypertensi, tachicardi, berkeringat, dilatasi pupil


dan hypersalivasi.
- Setelah serangan pasien tertidur 1-2 jam.

- - Pasien lupa, mengantuk dan bingung.

Petit mal.

Petit mal :

- Hilang kesadaran sebentar.

- Klien tampak melongo.

- Apa yang dikerjakannya terhenti.

- Klien terhuyung tapi tidak sampai jatuh.

Infantile spasm.

Infantile Spasm :
- Terjadi usia 3 bulan – 2 tahun.

- Kejang fleksor pada ektremitas dan kepala.

- Kejang hanya beberapa fetik berulang.

- Sebagian besar klien mengalami retardasi mental.

2. Epilepsi Jenis Focal / Parsial.

Sederhana : tidak terdapat gangguan kesadaran.

Komplex : gangguan kesadaran.

 Focal motor :Lesi pada lobus frontal.


 Focal sensorik. : Lesi pada lobus parietal.

 Psikomotor: Disfungsi lobus temporal.

II.4 Manifestasi Klinis

Bergantung pada lokasi muatan neuron-neuron, kejang dapat direntang dari


serangan awal sederhana sampai gerakan konvulsif memanjang dengan hilangnya
kesadaran. Pola awal kejang menunjukan daerah otak dimana kejang tersebut
berasal. Pada kejang parsial sederhana, hanya satu jari atau tangan yang bergetar,
mulut dapat tersentak tanpa terkontrol. Individu berbicara tanpa dipahami, pusing,
merasa melihat sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak umum atau tidak nyaman.
Pada kejang parsial kompleks, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara
automatik tetapi tidak sesuai dengan tempat dan waktu, mengalami emosi
berlebihan seperti takut, marah, gembira atau sensitive terhadap rangsangan.
Pada kejang umum, atau lebih dikenal dengan kejang grand mal, melibatkan
kedua hemisfer otak sehingga menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi. Biasanya
terjadi kekakuan intens pada seluruh tubuh yang diikuti dengan kejang yang
bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot. Klien sering mengalami
penekanan pada lidah dan inkontinensia urine dan faeces.

Setelah satu atau dua menit gerakan konvulsi akan menghilang, pasien
rileks dan mengalami koma dan disertai bunyi napas yang bising. Pada keadaan
postikal (setelah kejang) pasien sering mengalami konfusi, sulit bangun dan tidur
berjam-jam. Banyak klien mengeluh sakit kepala dan otot setelah serangan
berakhir.

5 Evaluasi Diagnosa

Pengkajian diagnostik bertujuan dalam menentukan tipe kejang, frekuensi,


beratnya dan faktor-faktor pencetus.
Sebuah penelitian dilakukan untuk penyakit atau cedera kepala yang dapat
mempengaruhi otak. Selain itu dapat pula dilakukan pengkajian fisik dan
neurologik, haematologi, dan serologic.
A. Pencitraan CT digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal
abnormal, serebro-vasculer abnormal, dan perubahan degeneratif serebral.
B. Elektroenchefalogram (EEG) melengkapi bukti diagnostik dalam proporsi
substansial dari pasien epilepsi dan membantu menklasifikasi tipe kejang.
C. Keadaan abnormal pada EEG selalu terus menerus terlihat diantara kejang,
atau jika letupan muncul mungkin akibat dari hiperventilasi atau selama
tidur.
D. Mikroelektroda dapat dimasukan kedalam otak untuk memeriksa aksi dari
sel otak tunggal. Ini perlu dicatat karena ada beberapa orang yang
mengalami kejang dengan EEG normal. Telemetri dan alat komputer
digunakan untuk mengambil dan sebagai pusat pembacaan EEG dalam
pita komputer sambil klien melakukan aktivitasnya.
E. Selain menggunakan EEG dan CT Scan, dalam menentukan diagnosa
epilepsy dapat pulah dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaan kadar elektrolit, glukosa, ureum/kratinin dan sel darah merah.
Selain itu dapat pula dilakukan foto rontgen untuk mengidentifikasi
adanya fraktur.
F. Pemeriksaan radiologis :
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi
tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti
pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya.
G. Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran
ventrikel, sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak.
Arteriografi untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali
pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma / hematome/ abses.

6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan epilepsi dilakukan secara individual untuk memenuhi
kebutuhan khusus masing-masing pasien dan tidak hanya untuk mengatasi tetapi
juga mencegah kejang. Penatalaksanaan yang berbeda ini disebabkan karena
bentuk epilepsy yang muncul akibat kerusakan otak dan juga bergantung pada
perubahan kimia otak.

Penatalaksanaan pada penderita epilepsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu;
 Penatalaksanaan primer epilepsi dilakukan dengan memberikan obat-
obatan untuk mencegah serangan kejang atau untuk mengurangi
frekuensinya sehingga klien dapat menjalani kehidupan normalnya. Obat
yang diberikan disesuaikan dengan jenis serangannya dan biasanya
menggunakan kombinasi obat-obatan dengan tujuan untuk mengurangi
efek samping yang ditimbulkan. Namun saat ini dokter cenderung
menggunakan satu jenis obat dengan sedapat mungkin mengurangi dosis
obat yang diberikan.

Jenis obat yang sering digunakan pada pengobatan epilepsi adalah;


A. Golongan Barbiturat, seperti Fenobarbital dan Pirimidon
B. Golongan Hidantoin, seperti Fanitoin/Dilantin dan Mefenitoin
C. Golongan Iminostilben, seperti Karbamazepin
D. Golongan Benzodiazepin, seperti Diazepam dam Klonazepam
E. Golongan Suksinimid, seperti Etosuksimid dan Metosuksimid
F. Golongan Asam valproat/depakene.
Pengobatan epilepsy dapat juga dilakukan dengan pembedahan.
Pembedahan ini diindikasikan bagi untuk pasien yang mengaalami epilepsi
akibat tumor intrakranial, abses, kista, atau adanya anomali vaskuler.

 Penatalaksanaan sekunder yang dapat dilakukan adalah dengan


mempertahankan patensi jalan napas dan mencegah terjdinya cedera.
Mempertahankan klien dalam posisi berbaring kesalah satu sisi dapat
mengurangi kemungkinan aspirasi isi lambung dan saliva serta mencegah
lidah jatuh kebelakang. Mencegah terjadinya cedera dilakukan dengan
melindungi kepala saat terjadi serangan serta memindahkan benda-benda
yang dapat membahayakan penderita. Selain itu penting dilakukan
pendekatan secara holistik yang meliputi aspek psikologis penderita dan
sikap keluarga, masyarakat terhadap penderita epilepsi.

7 KOMPLIKASI.
Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang
berulang.
Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.

8 Proses Keperawatan
Asuhan Keperawatan yang diberikan kepada klien dengan epilepsy adalah
berdasarkan pada tahapan-tahapan dalam proses keperawatan. Tahapan-tahapan
tersebut meliputi pengkajian, penentuan diagnosa, perencanaan, implementasi,
dan evalusi.

A)Pengkajian
Pada tahap ini perawat mengumpulkan semua informasi termasuk tentang riwayat
kejang. Hal-hal yang perlu dikaji antara lain:
Riwayat kesehatan yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-sosial-
spiritual.

1) Aktivitas/Istirahat
Data Subyektif : Keadaan umum lemah, lelah, menyatakan keterbatasan
aktifitas, tidak dapaat merawat diri sendiri.

Data Obyektif : Menurunnya kekuatan otot/otot yang lemah

2) Peredaran darah

Data Obyektif : Data yang diperoleh saat serangan yaitu; hipertensi, denyut
nadi meningkat, cyanosis. Setelah serangan tanda-tanda vital dapat kembali
normal atau menurun, disertai nadi dan pernapasan menurun.

3) Eliminasi
Data Subyektif : Tidak dapat menahan BAB/BAK

Data Obyektif : Saat serangan terjadi peningkatan tekanan pada kandung


kemih dan otot spincter, setelah serangan dalam keadaan inkontinentia otot-
otot kandung kemih dan spincter rileks.

4) Makanan/cairan
Data Subyektif : Selama aktivitas serangan makanan sangat sensitive
Data Obyektif : Gigi/gusi mengalami kerusakan selama serangan, gusi
hiperplasia/bengkak akibat efek samping dari obat dilantin.
5) Persyarafan
Data Subyektif : Selama serangan; ada riwayat yeri kepala, kehilangan
kesadaran/pinsan, kehilangan kesadaran sesaat/lena, klien menangis, jatuh,
disertai komponen motorik seperti kejang tonik-klonik, mioklonik, tonik,
klonik, atonik. Klien menggigit lidah, mulut berbuih, ada incontinentia
urine dan faeces, bibir dan muka berubah warna (biru), mata/kepala
menyimpang pada satu posisi dan beberapa gerakan terjadi dimana lokasi
dan sifatnya berubah pada satu posisi atau keduanya.

Sesudah serangan; klien mengalami lethargi, bingung, otot sakit,


gangguan bicara, nyeri kepala. Ada perubahan dalam gerakan misalnya
hemiplegi sementara, klien ingat/tidak terhadap kejadian yang dialaminya.
Terjadi perubahan kesadaran/tidak, pernafasan, denyut jantung. Ada cedera
seperti luka memar, geresan dll.

Riwayat sebelum serangan; lamanya serangan, frekuensi serangan,


ada factor prepitasi (suhu tinggi, kurang tidur, emosional labil), pernah
menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran. Pernah
mengkonsumsi obat-obatan tertentu/alcohol. Ada riwayat penyakit yang sama
dalam keluarga.

6) Interaksi social

Data Subyektif : Terjadi gangguan interaksi dengan orang lain/keluarga karena


malu

7) Konsep diri

Data Subyektif : Merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai


harapan.
Data Obyektif : Selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang
lain.

8) Kenyamanan/Nyeri
Data Subyektif: Sakit kepala, nyeri otot/punggung, nyeri abnormal
paroksismal selama fase iktal

Data Obyektif : Tingkah laku yang waspada, gelisah/distraksi dan perubahan


tonus otot.

B) PERUMUSAN DIAGNOSA/MASALAH KLIEN

Masalah keperawatan yang mungkin timbul pada klien dengan epilepsi adalah
sebagai berikut:

1)Potensial terjadi kecelakaan: trauma, kekurangan oksigen


Kemungkinan Penyebab : hilangnya koordinasi otot-otot tubuh, kelemahan,
keterbatasan pengobatan, ketidakseimbangan emosional, penurunan tingkat
kesadaran.
2)Tidak efektifnya jalan napas/pola napas

Kemungkinan Penyebab : sumbatan tracheobronchial dan aspiasi.


3)Gangguan konsep diri: harga diri rendah, identitas diri tidak jelas
Kemungkinan Penyebab : tidak mampu mengontrol diri saat terjadi serangan.
4)Kurangnya pengetahuan tentang keadaan yang diderita
Kemungkinan Penyebab : keterbatasan pengetahuan, informasi yang salah dan
kegagalan pengobatan.

C)Perencanaan
1)Potensial terjadinya kecelakaan/trauma

Tujuan/Kriteria Evaluasi :
Pasien mengemukakan faktor-kaktor yang dapat menyebabkan trauma, dan
pengaruh obat-obat yang diberikan. Pasien memperlihatkan tingkah laku yang
kooperatif dan terhindar dari penyebab trauma. Pasien dapat menghindari
keadaan yang dapat menyebabkan serangan yang tiba-tiba.

Rencana tindakan / intervensi :

1. Gali bersama-sama klien berbagai stimulasi yang dapat menjadi


pencetus kejang.
Rasional : alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain (seperti kurang
tidur, lampu yang terlalu terang, menonton televisi terlalu lama) dapat
meningkatkan aktivitas otak, yang selanjutnya meningkatkan resiko
terjadinya kejang.

2. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang


terpasang dengan posisi tempat tidur rendah.

Rasional : mengurangi trauma saat kejang (sering / umum) terjadi selama


pasien berada di tempat tidur.
-
3. Tinggallah bersama pasien dalam waktu beberapa lama selama /
setelah kejang.
Rasional : meningkatkan keamanan pasien.

4. Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi / lamanya aktivitas


motorik, hilang kesadaran, inkontinensia, dan lain-lain) dan berapa kali
terjadi (frekuensi / kekambuhannya).

Rasional : membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena.


2)Pola napas tidak efektif

Tujuan/Kriteria Evaluasi :

Jalan napas/pola napas menjadi efektif dan tidak terjadi aspirasi


Rencana tindakan / intervensi :

1. Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu /


gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk
menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai
gejala awal.
Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda
asing ke faring.

2. Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar, miringkan


kepala selama serangan kejang.

Rasional : meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh


dan menyumbat jalan nafas.

3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen.


Rasional : untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada.

4. Masukkan spatel lidah / jalan nafas buatan atau gulungan benda lunak
sesuai dengan indikasi.

Rasional : jika memasukkannya di awal untuk membuka rahang, alat ini


untuk mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan
penghisapan lendir atau memberi sokongan terhadap pernafasan jika
diperlukan.

5. Lakukan penghisapan sesuai indikasi.

Rasional : menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.

Kolaborasi dalam pemberian tambahan oksigen.

Rasional : dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi


yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama
serangan kejang.

3)Gangguan konsep diri

Tujuan/Kriteria Evaluasi :

Klien dapat mengidentifikasi perasaan, pola koping yang positif. Secara


verbal mempunyai peningkatan harga diri. Menerima keadaan dirinya dan
perubahan fungsi/peran/gaya hidup yang dihadapinya.

Rencana Tindakan / Intervensi :

1. Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik, persepsi diri


terhadap penanganan yang dilakukannya. Anjurkan untuk
mengungkapkan perasaannya.
Rasional : reaksi yang ada bervariasi diantara individu dan
pengetahuan / pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya akan
mempengaruhi penerimaan terhadap aturan pengobatan.
2. Identifikasi / antisipasi kemungkinan reaksi orang pada keadaan
penyakitnya.
Rasional : memberikan kesempatan untuk berespons pada proses
pemecahan masalah dan memberikan tindakan kontrol terhadap
situasi yang dihadapi.

3. Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang telah diperoleh atau


yang akan dicapai selanjutnya dan kekuatan yang dimilikinya.
Rasional : memfokuskan pada asfek positif dapat membantu untuk
menghilangkan perasaan dari kegagalan atau kesadaran terhadap diri
sendiri dan membentuk pasien mulai menerima penanganan terhadap
penyakitnya.

4. Diskusikan rujukan kepada psikoterapi dengan pasien atau orang


terdekat.
Rasional : kejang mempunyai pengaruh yang besar pada harga diri
seseorang dan pasien / orang terdekat dapat merasa berdosa atas
keterbatasan penerimaaan terhadap dirinya dan stigma masyarakat.
Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran
diri sendiri.

4)Kurangnya pengetahuan tentang keadaan yang diderita

Tujuan/Kriteria Evaluasi :

Secara verbal mengerti dengan keadaannya dan mengidentifikasi macam-


macam stimulus yang dapat menyebabkan serangan, memperlihatkan
perubahan tingkah laku yang positif sesuai dengan keadaannya. Klien dapat
mengontrol secara rutin untuk memperoleh pengobatan yang teratur.

Rencana tindakan / intervensi :

1. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit dan


perlunya pengobatan / penanganan dalam jangka waktu yang lama
sesuai prosedur.
2. Rasional : memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan
persepsi dan keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat
ditangani dalam cara hidup yang normal.

3. Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat


sesuai petunjuk, dan tidak menghentikan pengobatan tanpa
pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis.

Rasional : tidak adanya pemahaman terhadap obat-obatan yang didapat


merupakan penyebab dari kejang yang terus menerus tanpa henti.

4. Anjurkan pasien untuk memakai gelang / semacam petunjuk yang


memberitahukan bahwa anda adalah penderita epilepsi.
Rasional : mempercepat penanganan dan menentukan diagnosa dalam
keadaan darurat.

5. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet yang
adekuat, istirahat yang cukup, latihan yang cukup dan hindari bahaya
alkohol, kafein dan obat yang dapat menstimulasi kejang.
Rasional : aktivitas yang baik dan juga meningkatkan harga diri.
6. Beri penjelasan kepada klien untuk mengontrol dan minum obat secara
teratur.
Jelaskan kepada klien tentang keadaan-keadaan yang sedang
dihadapinya dan faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan;

•Jumlah yang tidak adequate dari obat anti-epilepsi dalam darah,


•Obat-obat yang tidak cocok,

•Terjadinya hiperventilasi,

•Trauma otak, demam, penyakit tertentu,

•Kurang/tidak tidur,

•Stress emosional,

•Perubahan hormonal, misalnya hamil atau menstruasi,

•Nutrisi yang buruk,

•Cairan dan elektrolit yang tidak seimbang, dan

•Alkohol atau obat-obatan.

Jelaskan keadaan yang harus dihadapi terhadap keadaannya, misalnya:


pekerjaan, mengendarai mobil, olah raga dan rekreasi dan sebagainya.
Anjurkan klien untuk selalu membawa tanda pengenal bila bepergian.
D) IMPEMENTASI

Prioritas Keperawatan

1. Mencegah / mengendalikan aktivitas kejang.

2. Melindungi pasien dari cedera.

3. Mempertahankan jalan nafas.

4. Meningkatkan harga diri yang positif.

5. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognosis, dan kebutuhan


penanganannya.

Tujuan Pemulangan

1. Serangan kejang terkontrol.

2. Komplikasi / cedera dapat dicegah.

3. Mampu menunjukkan citra tubuh.

4. Pemahaman terhadap proses penyakit, prognosis dan kebutuhan


pengobatan.
E)Evaluasi

Pada tahap ini perawat mengkaji kembali hal-hal yang telah dilakukan,
berdasarkan pada kriteria hasil yang telah ditetapkan. Apabila masih terdapat
masalah-masalah klien yang belum teratasi, perawat hendaknya mengkaji
kembali hal-hal yang berkenaan dengan masalah tersebut dan kembali
melakukan intervensi keperawatan. Sebaliknya bila masalah klien telah
teratasi maka perlu dilakukan pengawasan dan pengontrolan yang teratur
untuk mencegah timbulnya serangan atau gejala-gejala yang memicu
terjadinya serangan.
BAB III
PENUTUP

1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan beberap hal yang
menjadi pokok dalam pembahasan yaitu:

a) Epilepsi merupakan gangguan otak kronik dengan ciri timbulnya gejala-


gejala berupa serangan yang berulang-ulang yang diakibatkan karena
pelepasan impuls listrik abnormal pada sel-sel syaraf otak dan bersifat
reversible dengan berbagai macam etiologi.

b) Sebagian besar kasus epilepsi adalah epilepsi idiopatik (belum jelas


peneyebabnya) dan secara medis dapat dikurangi frekuensi serangan dengan
memberikan obat-obat epileptik.

c) Dalam Proses Keperawatan klien dengan epilepsi ada beberapa hal yang
harus diperhatikan diantaranya status epileptikus yang dapat menimbulkan
cedera dan sumbatan jalan napas; sedangkan dalam penatalaksanaan secara
kontekstual penting untuk membantu klien menentukan konsep dirinya dan
gambaran diri sehubungan dengan keadaan yang dialaminya.

2 Saran

Makalah kecil ini mencoba mengupas konsep medis dan konsep


keperawatan tentang epilepsi. Kelompok menyadari bahwa apa yang disajikan
masih jauh dari kesempurnaan, dan oleh karenya kelompok sangat
mengharapkan masukan dari rekan-rekan mahasiswa dan terlebih kepada
Bapak dosen pembimbing mata kuliah ini sehingga apa yang dibahas diatas
tidak hanya merupakan sesuatu yang sifatnya kontekstual dan hanya
merupakan sebuah konsep, melainkan dapat menjadi pijakan bagi mahasiswa
dalam konteks aplikatifnya.
DAFTAR PUSTAKA

1.Bruner & Suddarth, 1997, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, ECG-


Kedokteran, Jakarta.

3.Sylvia Price & Wilson, 1995, Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit, ECG-Kedokteran, Jakarta.

4.Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1995, Asuhan Keperawatan pada Klien


Gangguan Sistem Persyarafan, DEPKES, Jakarta.

5.Arif Mansjoer dkk., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius,


FK-UI, Jakarta.

6.Doengoes, Marylin,1999. Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai