Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK BBLR

Oleh
kelompok 7

1. I Ketut Mudiarsa NIM : 22089144031


2. Ni Luh Putu Idayani NIM : 22089144033
3. Ni Made Sri Widianingsih NIM : 22089144004
4. Agus Tamajaya NIM : 22089144047

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG

PROGRAM KHUSUS (PROGSUS) S1 KEPERAWATAN

KABUPATEN BULELENG

2023
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

BBLR

A. TINJAUAN KASUS
1. Pengertian
Berat Badan Lahir rendah atau BBLR adalah bayi dengan berat
lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi (Setyo &
Paramita, 2015). WHO (World Health Organization) pada tahun 2011
mengkategorikan BBLR berdasarkan usia gestasi menjadi preterm
(lahir hingga 37 minggu kehamilan) dan term (lahir setelah 37 minggu
dan sebelum 42 minggu kehamilan).
Jadi dapat disimpulkan bahwa BBLR adalah kondisi dimana
neonatus memiliki berat badan lahir kurang dari 2500 gram tanpa
memandang usia gestasi pada saat bayi lahir.
Menurut Cutland, dkk (2017) dalam mengelompokkan bayi BBLR
ada beberapa cara yaitu:
a. Berdasarkan harapan hidupnya:
1) Bayi dengan berat lahir 2500 – 1500 gram adalah bayi berat
lahir rendah (BBLR).
2) Bayi dengan berat lahir 1500 – 1000 gram adalah bayi berat
lahir sangat rendah (BBLSR).
3) Bayi dengan berat lahir < 1000 gram adalah bayi berat lahir
ekstrim rendah (BBLER).
b. Berdasarkan masa gestasinya:
1) Prematuritas Murni
Bayi dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu atau biasa
disebut neonatus dengan berat normal ketika lahir. Dapat
disebut BBLR jika berat lahirnya antara 1500 – 2500 gram.
2) Dismaturitas
Bayi dengan berat badan lahir tidak normal atau kecil
ketika dalam masa kehamilan.
2. Etiologi
Menurut Nur, Arifuddin & Vovilia (2016), Susilowati, Wilar &
Salendu (2016) beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan
masalah BBLR yaitu:
a. Faktor ibu
1) Usia
Berdasarkan penelitian menunjukkan persentase kejadian
BBLR lebih tinggi terjadi pada ibu yang berumur <20 atau
>35 tahun (30,0%) dibandingkan dengan yang tidak BBLR
(14,2%). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan WHO yaitu
usia yang paling aman adalah 20 – 35 tahun pada saat usia
reproduksi, hamil dan melahirkan.
2) Parietas
Berdasarkan penelitian ibu grandemultipara (melahirkan
anak empat atau lebih) 2,4 kali lebih berisiko untuk
melahirkan anak BBLR, itu dikarenakan setiap proses
kehamilan dan persalinan meyebabkan trauma fisik dan
psikis, semakin banyak trauma yang ditinggalkan akan
menyebabkan penyulit untuk kehamilan dan persalinan
berikutnya.
3) Gizi kurang saat hamil
Ibu yang mengalami gizi kurang saat hamil menyebabkan
persalinan sulit/lama, persalinan sebelum waktunya
(prematur), serta perdarahan setelah persalinan. Ibu yang
memiliki gizi kurang saat hamil juga lebih berisiko
mengalami keguguran, bayi lahir cacat dan bayi lahir
dengan berat badan yang kurang.
4) Jarak kehamilan
Berdasarkan penelitian ibu yang memiliki jarak kelahiran
<2 tahun berisiko 3,231 kali lebih besar melahirkan anak
BBLR di bandingkan dengan ibu yang memiliki jarak
kelahiran > 2 tahun, itu dikarenakan pola hidup, belum
menggunakan alat kontrasepsi dan ibu tidak melakukan
pemeriksaan dengan rutin.
5) Pola hidup
Ibu yang dia terkena paparan asap rokok dan sering
mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan hipoksia pada
janin dan menurunkan aliran darah umbilikal sehingga
pertumbuhan janin akan mengalami gangguan dan
menyebabkan anak lahir dengan BBLR.
b. Faktor kehamilan
1) Eklampsia / Pre-eklampsia.
2) Ketuban pecah dini.
3) Perdarahan Antepartum.
c. Faktor janin
1) Cacat bawaan (kelainan kongenital).
2) Infeksi dalam rahim.

3. Patofisiologi
Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan
yang belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan
dismaturitas. Artinya bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38
minggu), tapi berat badan (BB) lahirnya lebih kecil dari masa
kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2.500 gram. Masalah ini terjadi
karena adanya gangguan pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan
yang disebabkan oleh penyakit ibu seperti adanya kelainan plasenta,
infeksi, hipertensi dan keadaan-keadaan lain yang menyebabkan suplai
makanan ke bayi jadi berkurang.
Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan
janin tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan
bayi dengan berat badan lahir normal. Kondisi kesehatan yang baik,
sistem reproduksi normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada
gangguan gizi pada masa pra hamil maupun saat hamil, ibu akan
melahirkan bayi lebih besar dan lebih sehat dari pada ibu dengan
kondisi kehamilan yang sebaliknya. Ibu dengan kondisi kurang gizi
kronis pada masa hamil sering melahirkan bayi BBLR, vitalitas yang
rendah dan kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu menderita
anemia.
Ibu hamil umumnya mengalami deplesi atau penyusutan besi
sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan
untuk metabolisme besi yang normal. Kekurangan zat besi dapat
menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik
sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian
janin didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, dan BBLR. Hal ini
menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal
secara bermakna lebih tinggi, sehingga kemungkinan melahirkan bayi
BBLR dan prematur juga lebih besar (Nelson, 2010).

4. Manifestasi Klinis
Bayi yang lahir dengan berat lahir rendah mempunyai cirri-ciri
yaitu (Atikah & Cahyo, 2010):
a. Umur kehamilan sama dengan atau kurang dari 37 minggu ;
b. Berat badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram;
c. Panjang badan sama dengan atau kurang dari 45 cm;
d. Lingkar dada kurang dari 30 cm;
e. Lingkar kepala sama dengan atau kurang dari 33 cm;
f. Kepala relatif lebih besar dari badannya;
g. Rambut lanugo masih banyak dan jaringan lemak subkutan
tipis atau kurang;
h. Kulit tipis dan transparan;
i. Vernik kaseosa tidak ada atau sedikit bila ada;
j. Kulit mengkilap, telapak kaki halus;
k. Sering tampak peristaltik usus;
l. Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup oleh
labia mayora, klitoris menonjol (pada bayi perempuan). Testis
belum turun kedalam skrotum, pigmentasi dan rugue pada
skrotum kurang (pada bayi laki-laki);
m. Tangisannya lemah dan jarak pernafasan tidak teratur dan
sering terjadi apnea;
n. Refleks tonik-neck lemah dan reflex morro positif;
o. Tonus otot lemah sehingga bayi kurang aktif dan
pergerakannya lemah;
p. Daya hisap lemah terutama dalam hari-hari pertama.

5. Pemeriksaan Penunjang/ Diagnostik


Pemeriksaan penunjang pada bayi BBLR menurut Nurarif, dkk
(2015) yaitu:
a. Periksa jumlah sel darah putih : 18.000/mm3, netrofil
meningkat sampai 23.000 – 24.000/mm3, hari pertama setelah
lahir (menurun bila ada sepsis)
b. Hematokrit (Ht) : 43% - 61% (peningkatan sampai 65% atau
lebih menandakan polisetmia, penurunan kadar menunjukkan
anemia atau hemoragic perinatal).
c. Hemoglobin (Hb): 15-20 gr/dl kadar lebih rendah berhubungan
dengan anemia atau hemolisis berlebih ).
d. Bilirubin total: 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl
1-2 hari dan 12 mg/dl pada 3-5 hari.
e. Destrosix: tetes glukosa pertama selama 4-6 jam pertama
setelah kelahiran rata – rata 40-50 mg/dl meningkat 60-70
mg/dl pada hari ketiga. Pemantauan elektrolit (Na, K, Cl) :
biasanya dalam batas normal pada awalnya.
f. Pemeriksaan analisa gas darah untuk menentukan derajat
keparahan distres pernafasan bila ada:
1) pH : 7,35-7,45
2) TCO2 : 23-27 mmol/L
3) PCO2 : 35-45 mmHg
4) PO2 : 80-100 mmHg
5) Saturasi O2 : 95 % atau lebih

6. Penatalaksanaan Medis
Berikut merupakan penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada
BBLR (Proverawati dan Ismawati, 2010) yaitu:
a. Pengaturan suhu tubuh pada bayi BBLR terutama yang kurang
bulan perlu suatu thermoregulasi yaitu pengontrolan suhu
badan secara :
1) Fisiologis yaitu mengatur pembentukan atau
mendistribusian panas.
2) Pengaturan terhadap suhu keliling dengan mengontrol
kehilangan dan pertambahan panas.
b. Beberapa cara untuk untuk mencegah kehilangan panas yaitu:
1) Setelah lahir segera keringkan bayi dan bedong dengan
popok kering dan hangat.
2) Gunakan transport bayi dengan incubator yang sudah
hangat.
3) Bayi dengan berat badan lahir rendah, dirawat di dalam
inkubator. Inkubator yang modern dilengkapi dengan
alat pengatur suhu dan kelembaban agar bayi dapat
mengatur suhu tubuhnya yang normal, alat oksigen
yang dapat diatur, serta kelengkapan lain untuk
mengurangi kontaminasi bila inkubator dibersihkan.
Kemampuan bayi BBLR dan bayi sakit untuk hidup
lebih besar bila mereka dirawat pada suhu lingkungan
yang netral. Suhu ini ditetapkan dengan mengatur suhu
permukaan yang terpapar radiasi kelembaban relatif dan
aliran udara sehingga produksi panas sesedikit mungkin
dan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan dalam batas
normal. Suhu incubator yang optimum diperlukan agar
panas bayi yang hilang dan konsumsi oksigen terjadi
minimal sehingga bayi dalam keadaan telanjangpun
dapat mempertahankan suhunya sekitar 36,50 C – 37,0
C.

4) Metode kanguru
Metode kanguru menjadi salah satu metode perawatan
bayi berat lahir rendah untuk mencegah hipotermi.
Diperkenalkan pertamakali oleh Rey dan Martinez dari
Columbia pada tahun 1979, Rey dan Martine
melaporkan skin to skin contact dapat meningkatkan
kelangsungan hidup bayi terutama bayi BBLR dan
premature.
5) Mencegah infeksi dengan ketat
BBLR sangat rentan akan infeksi, perhatikan prinsip
prinsip pencegahan infeksi termasuk cuci tangan
sebelum memegang bayi.
6) Penimbangan ketat
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi atau
nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh,
oleh sebab itu penimbangan berat badan harus
dilakukan dengan ketat.
7) Pemberian oksigen
Eklampi paru yang buruk merupakan masalah serius
bagi bayi preterm BBLR, akibat tidak adanya alveoli
dan surfaktan. Konsentrasi O2 yang di berikan sekitar
30-35% dengan menggunakan head box, konsentrasi O2
yang tinggi dalam masa yang panjang akan
menyebabkan kerusakan pada jaringan retina bayi yang
dapat menimbulkan kebutaan.
8) Pengawasan jalan nafas
Bayi BBLR beresiko mengalami serangan apneu dan
defisiensi surfaktan, sehingga tidak dapat memperoleh
oksigen yang cukup yang sebelumnya diperoleh dari
plasenta. Dalam kondisi seperti ini diperlukan
pembersihan jalan nafas segera setelah lahir (aspirasi
lendir), dibaringkan dalam posisi miring, merangsang
pernafasan dengan menepuk atau menjentik tumit. Bila
tindakan ini gagal, dilakukan ventilasi, intubasi
endotrakheal, pijatan jantung dan pemberian oksigen
dan selama pemberian intake dicegah terjadinya
aspirasi. Dengan tindakan ini dapat dicegah sekaligus
mengatasi asfiksia sehingga memperkecil kematian bayi
BBLR (Atikah dan cahyo, 2010)

B. TIJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh
perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat berguna untuk
menentukan masalah keperawatan yang muncul pada pasien neonatus
dengan BBLR. Berikut merupakan pengkajian yang dilakukan pada
bayi neonatus dengan BBLR:
a. Identitas Neonatus dan penanggung jawab
b. Keluhan utama, riwayat penyakit sekarang
c. Riwayat masa lalu meliputi prenatal, intranatal, post natal,
riwayat penyakit terdahulu, riwayat imunisasi dan riwayat
penyakit pada keluarga.
d. Karakteristik neonatus yang meliputi pemeriksaan fisik
e. Karakteristik orang tua, karakteristik lingkungan tempat
tinggal.
f. Kebutuhan edukasi keluarga/pengasuh.
g. Perencanaan pulang.
h. Pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan diagnostik lainnya
yang dilakukan.
i. Pemeriksaan pertumbuhan neonatus.
j. Pemeriksaan usia gestasi (Ballard Score)
k. Protokol penatalaksanaan risiko trauma kulit pada neonatus.
l. Pengkajian resiko jatuh.

Data Fokus pada pengkajian meliputi:

a. Data Subjektif
1) Keluhan sesak pada bayi
2) Riwayat panas/dingin pada bayi
3) Riwayat nutrisi pada bayi (kuat atau tidak nya pada pola
nutrisi)
4) Kelemahan pada bayi
5) Pengeluaran urine
6) BBL
7) usia kehamilan pada saat bayi lahir.
b. Data Objektif
1) BBL
2) TTV (suhu, nadi respirasi, tekanan darah)
3) Warna kulit bayi
4) Akral dingin/hangat
5) Kekuatan pada refleks sucking pada bayi

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan imunologis
yang kurang, pertahanan tubuh tidak efektif
b. Ancietas pada orang tua berhubungan dengan perubahan status
peran
c. Ikterik neonatus berhubungan dengan fungsi organ-organ
belum sempurna (hati)
d. Resiko Kekurangan volume cairan berhubungan dengan berat
bada ekstrem
e. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan
ketidakadekuatan suplai lemak subkutan
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan Refleks menelan blm sempurna &
imaturitas system pencernaan
g. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Imaturitas paru
dan neuromuscular
h. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Imaturitas paru
dan neuromuscular
i. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan
imaturitas/ ketidakadekuatan refleks sucking dan swallowing,
bayi menerima makanan tambahan dengan putting buatan

3. Perencanaan
a. Prioritas Masalah
Prioritas pemilihan diagnosa keperawatan adalah metode
yang digunakan perawat dan klien secara mutualisme membuat
peringkat diagnosa dalam urutan kepentingan yang didasarkan
pada keinginan, kebutuhan dan keselamatan. Merancang prioritas
masalah ini dapat menggunakan urutan sesuai dengan kebutuhan
dasar manusia menurut Hirarki Maslow atau Virginia Henderson.

b. Rencana Keperawatan (Intervensi)


1) Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan imunologis
yang kurang, pertahanan tubuh tidak efektif
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan tidak terjadinya infeksi, dengn kriteria hasil:
a) Bebas dari tanda dan gejalan infeksi
b) Jumlah leukosit dalam batas normal

Intervensi Rasional
1) Observasi tanda-tanda infeksi 1) Tanda-tanda infeksi perlu
(dolor, kalor, rubor, tumor dan diperhatikan guna mempercepat
fungsio laesa) penanganan agar tidak terjadi
2) Lakukan cuci tangan sebelum dan infeksi yang parah.
sesudah melakukan tindakan. 2) Cuci tangan merupakan salah satu
3) Batasi pengungunjung atau langkah untuk mencegah transmisi
penunggu pasien infeksi baik virus maupun bakteri
4) Kolaborasi pemberian antibiotik dari perawat ke pasien dan dari
5) Kolaborasi pemeriksaan darah pasien ke perawat.
lengkap (WBC) 3) Melakukan pembatasan
pengunjung untuk meminimalisir
kemungkinan terjadinya
penyebaran virus atau bakteri.
4) Antibiotik merupakan kelompok
obat yang mengatasi dan
mencegah terjadinya infeksi
bakteri.
5) Terjadinya peningkatan WBC atau
leukosit menandakan terjadinya
infeksi dalam tubuh pasien.

2) Ancietas pada orang tua berhubungan dengan perubahan status


peran
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan terjadinya penurunan ansietas, dengan kriteria
hasil:
a) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan
gejala cemas;
b) Mampu mengidentifikasi, mengungkapkan dan
menunjukan tehnik untuk mengontrol cemas;
c) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukan berkurangnya kecemasan.

Intervensi Rasional
1) Lakukan pendekatan yang 1) Membina hubungan yang
menenangkan menennangkan dengan klien dapat
2) Jelaskan semua prosedur dan apa membantu proses keperawatan
yang akan dilakukan selama yang baik antara keluarga-pasien
prosedur dan perawat
3) Dorong keluarga untuk menemani 2) Memberikan penjelasan mengenai
anak prosedur yang dilakukan untuk
4) Identifikasi tingkat kecemsan memberi pemahaman kepada
(HARS) keluarga dan tidak menimbukan
5) Instruksikan keluarga untuk kecemasan terhadap setiap
menggunakan tehnik relaksasi tindakan yang dilakukan.
3) Memberikan kesempatan untuk
menemani pasien agar keluarga
dapat mengetahui kondisi pasien
setiap waktunya.
4) Melakukan pengkajian kecemasan
pada keluarga dengan HARS atau
Hamilton Anxiety rating scale.
5) Mengnakan tehnik relaksasi seperti
nafas dalam dapat memberi
relaksasi pada keluarga.

3) Ikterik neonatus berhubungan dengan fungsi organ-organ


belum sempurna (hati)
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan ikterik neonatus dapat teratasi, dengan kriteria
hasil:
a) Mampu tetap mempertahankan laktasi
b) Kadar bilirubin dalam batas normal (<5 mg/dL)
c) Tanda-tanda vital dalam batas normal (suhu: 36,5-
37,2ºC, Nadi: 100-160 x/menit, Respirasi:30-60
x/menit)

Intervensi Rasional
1) Observasi ikterik neonatus 1) Untuk menilai derajat ikterik pada
2) Observasi TTV @6 jam neonatus
3) Observasi tanda-tanda dehidrasi 2) Melakukan pemeriksaan TTV
(depresi fontanel, tugor kulit bertujuan untuk menilai keadaan
mengerut, kehilangan BB) umum bayi
4) Observasi BB neonatus @24 jam 3) Mengkaji terhadap tanda-tanda
5) Mendoron untuk 8 kali menurusi dehidrasi berperan dalam menilai
@24 jam status sirkulasi cairan pada bayi.
6) Lakukan pototherapy 4) Pada Neonatus dengan BBLR
berat badan sangat riskan untuk
turun karena adanya faktor risiko
pemenuhan nutrisi yang terhambat.
5) Pemberian nutrisi yang adekuat
mendukung penurunan kadar
bilirubin pada neonatus
6) Phototherapy merupakan
perawatan menggunakan sinar UV
yang berperan dalam penurunan
kadar billirubin pada bayi.
4) Resiko Kekurangan volume cairan berhubungan dengan berat
bada ekstrem
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24
jam diharapkan tidak terjadinya kekurangan cairan (balance
cairan baik) dengan kriteria hasil:
a) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan
BB
b) Tidak ada tanda dehidrasi
c) Elastisitas tgor kulit baik, membran mukosa lembab,
tidak ada rasa haus yang berlebihan.

Intervensi Rasional
1) Observasi status hidrasi 1) Kelembeban mukosa bibir, nadi
(kelembaban memberan mukosa, dan tugor kulit menilai status
nadi adekuat, tugor kulit) hidrasi cairan dalam tubuh bayi
2) Observasi TTV 2) Tanda-tanda vital akan
3) Pertahankan catatan intake dan memberikan gambaran umum
output yang akurat terhadap status hidrasi cairan
4) Timbang popok untuk menilai dalam tubuh.
output urine 3) Pencatatan intake dan output
5) Mempertahankan masukan cairan untuk perhitungan balance
makanan/cairan cairan
4) Menimbang popok unruk menilai
pengeluaran atau output urine pada
bayi
5) Cairan dan makanan yang adekuat
akan membantu pemenuhan cairan
dalam tubuh bayi.

5) Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan


ketidakadekuatan suplai lemak subkutan
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan termoregulasi baik, dengan kriteria hasil:
a) Termoregulasi baik (suhu 36,5-37,2ºC)
b) Tidak ada perubahan warna kulit
c) Tidak ada kejang

Intervensi Rasional
1) Observasi Suhu tubuh @6 jam 1) Suhu tubuh menentukan
2) Manajemen lingkungan termoregulasi didalam tubuh
3) Pencegahan terjadinya hipotermi 2) Lingkungan yang aman dengan
4) Edukasi keluarga untuk melakukan suhu ruang yang baik untuk
teknik skin to skin mempertahankan suhu tubuh
5) Pertahankan intake cairan yang pasien dalam batas normal
baik 3) Selimuti bayi dengan kain yang
mampu menghantarkan panas dan
pertahankan suhu ruang yang baik
4) Tehnik skin to skin memberi
perhantaran panas dari ibu/ayah ke
bayi sehingga suhu tubuh dalam
batas normal dengan tetap
menyelimuti bayi
5) Intake cairan akan membantu atau
berperan dalam termoregulasi suhu
tubuh.

6) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan Refleks menelan blm sempurna &
imaturitas system pencernaan
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan nutrisi terpenuhi, dengan kriteria hasil:
a) BB ideal sesuai dengan garis usia
b) Tidak terjadi penurunan BB yang berarti
c) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

Intervensi Rasional
1) Observasi BB pasien @24 jam 1) Melakukan pengukuran BB untuk
2) Observasi tugor kulit, kekeringan, menilai adanya penurunan atau
rambut kusam dan mudah patah peningkatan BB
3) Berikan ASI/SF dengan metode 2) Menilai adanya malnutrisi
yang tepat 3) Pemberian nutrisi baik dari ASI
4) Catat intake dan output atau Susu Formula secara adekuat
5) Kolaborasi dalam pemberian total guna mempertahankan status
parenteral nutrition (K/P) nutrisi dan meningkatkan BB bayi
4) Intake dan outpun untuk melihat
status keadekuatan asupan nutrisi
dan kemampuan pencernaan
nutrisi
5) Pemberian nutrisi secara parenteral
ditujukan sebagai pemberian
nutrisi apabila secara enteral tetap
tidak adekuat.
7) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Imaturitas paru
dan neuromuscular
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan status respirasi adekuat, dengan kriteria hasil:
a) Tanda-tanda vital dalam batas normal (respirasi 30-60
x/menit)
b) Tidak ada suara nafas tambahan
c) Tidak ada sianosis atau dyspnea

Intervensi Rasional
1) Auskultasi suara nafas, catat 1) Suara nafas tambahan menandakan
adanya suara nafas tambahan adanya sesuatu atau benda asing
2) Observasi TTV (respirasi) pada jalan nafas.
3) Posisikan pasien untuk 2) Respirasi rate menentukan status
memksimalkan ventilasi keadekuatan jalan nafas
4) Kolaborasi pemberian O2 3) Pemberian posisi yang tepat guna
memaksimalkan kemampuan
pernafasan dan keadekuatan
ventilasi
4) Pemberian terapi oksigen guna
mempertahankan oksigenasi dan
memperkuat status oksigenasi.

8) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Imaturitas paru


dan neuromuscular
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan status jalan nafas paten dengan kriteia hasil:
a) Tidak ada suara nafas tambahan
b) Tidak ada sianosis dan dispnea
c) TTV dalam batas normal (suhu: 36,5-37,2ºC, Nadi:
100-160 x/menit, Respirasi:30-60 x/menit)

Intervensi Rasional
1) Auskultasi suara nafas, catat 1) Suara nafas tambahan menandakan
adanya suara nafas tambahan adanya sesuatu atau benda asing
2) Observasi TTV pada jalan nafas.
3) Observasi status O2 (oxymetri) 2) Respirasi rate, nadi dan suhu
4) Observasi penggunaan otot-otot menentukan status keadekuatan
bantu nafas jalan nafas
5) Berikan posisi untuk 3) Pemeriksaan status oksigen dengan
memaksimalkan entilasi oxymetri untuk menilai
6) Identifikasi pemasangan alat bantu keadekuatan oksigen dalam darah
nafas perifer
7) Kolaborasi pemberian 4) Penggunaan otot bant nafas
bronkodilator menunjukan keabnormalan dalam
8) Kolaborasi pemberian terapi O2 pernafasan
5) Pemberian posisi yang tepat guna
memaksimalkan kemampuan
pernafasan dan keadekuatan
ventilasi
6) Pemasangan alat bantu nafas untuk
memaksimalkan ventilasi
7) Pemberian bronkodilator untuk
memperluas permukaan bronkus
dan bronkiolus pada paru yang
membuat serapan oksigen pada
paru meningkat.
8) Pemberian terapi oksigen guna
mempertahankan oksigenasi dan
memperkuat status oksigenasi.

9) Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan


imaturitas/ ketidakadekuatan refleks sucking dan swallowing,
bayi menerima makanan tambahan dengan putting buatan
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan status menyusui efektif, dengan kriteria hasil:
a) Ketepatan pemberian ASI (Bayi; perlekatan bayi sesuai
dan proses menghisap dari payudara ibu untuk
memperoleh nutrisi)
b) Kemantapan pemberian ASI (Ibu: kemantapan ibu
untuk membuat bayi melekat dengan tepat dan menyusu
dari payudara ibu untuk memperoleh nutrisi.
c) Pemeliharaan pemberian ASI: keberlangsungan
pemberian ASI untuk menyediakan nutrisi

Intervensi Rasional
1) Observasi refleks sucking dan 1) Refleks sucing dan refleks
swallowing pada bayi swallowing merupakan komponen
2) Observasi kemampuan bayi untuk utama dalam pemenuhan nutrisi
latch on dan menghisap secara pada bayi
efektif 2) Kemampuan dari bayi dalam
3) Lakukan pemeriksaan payudara menyusu langsung pada payudara
4) Lakukan pendampingan proses mempengarhi keberhasilan dan
menyusui keefektifan menyusui.
5) Dorong pemerian asi 8 kali dalam 3) Pemeriksaan payudara bertujuan
24 jam untuk membersihkan kotoran
6) Edukasi cara menyusui payudara, mengeluarkan puting
dan memperlancar pengeluaran
ASI
4) Pendampingan proses menyusui
guna memberi motivasi dan
memberi pengetahuan tentang cara
menyusui yang benar
5) Pemberian ASI 8 kali dalam 24
jam guna memenuhi kebutuhan
nutrisi yang adekuat
6) Cara menyusui yang benar
berdampak pada keberhasilan dan
keefektifan dalam menyusui.

4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan
yang dimulai setelah perawat menyususun rencana keperawatan.
Implementasi keperawatan adalah serangkaia kegiatan yang dilakukan
oleh perawatat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan
yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan
kriteria hasil yang diharapkan. Selama tahap pelaksanaan, perawat
terus melakukan pengumpulan data dan memilih tindakan keperawatan
yang sesuai dengan kebutuhan klien. Semua tindakan keperawatan
dicatat dalam format yang telah ditetapkan oleh institusi (NANDA,
2015).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil
akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan. Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi
formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada
aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi
formatif ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan
rencana keperawatan guna menilai ke efektifan tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi
empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif
(data berupa keluhan pasien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisi
data dan perencanaa (NANDA, 2015).
C. WOC

Etiologi

Factor Ibu Factor Factor utery Factor janin Factor


kehamilan plasenta lingkungan

gizi kurang, Gangguan sirkulasi Infeksi dlm rahim


Kehamilan hidramnion,
merokok dll utero plasenta Toksin →
ganda, KPD, Pre eklamsi,
eklamsi peredaran darah
Produk bakteri:
pelepasan suplai nutrisi dan endotoksin
efinefrin dan oksigen ke janin tidak
norefinefrin Dilatasi servikal Gawat janin
adekuat
produksi sitokin dan
gangguan pertumbuhan prostaglandin ↑
vasokontriksi
intra uteri

kontraksi uterin dan


jumlah pengaliran
rupture premature
darah ke uterus ↓

BBLR
Kurang
Kontrol suhu imatur Jaringan lemak Refleks Imaturitas paru dan Prematuritas Penanganan terpajan
subkutan lebih menelan blm neuromuscular medis informasi
tipis sempurna & Imaturitas
Permukaan tubuh
relative lebih luas imaturitas Vaskuler imunologis Prosedur Ansietas
Kehilangan system paru imatur invasif (orang tua)
panas pencernaan
melalui kulit Resiko
Penguapan Pemaparan Insufisiensi Infeksi
berlebih dengan suhu Ketidakmampu pernapasan fungsi organ-
luar an mencerna organ belum
nutrisi sempurna → hati
Kehilangan Regulasi
Kehilangan Ketidakseimba
cairan Kekurangan pernafasan
panas ngan kadar konjugasi
cadangan tidak teratur
energy CO2 dan O2 di bilirubin belum
Dehidrasi dalam tubuh sempurna
Ketidakefektifan
Termoregulasi Ketidakefektifan
Malnutrisi Pola Napas
Resiko Gangguan Hiperbilirubin
Ketidakadekuatan
Kekurangan Pertukaran Gas
suplai ASI
Volume Cairan Ketidakseimbangan
Ikterik neonatus
Nutrisi Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh

Ketidakefektifan
pemberian ASI
DAFTAR PUSTAKA

Cutland, dkk. Low birth weight: cas definition & guidelines for data collection,
analysis, and presentationof maternal immunization safety data. Vacine 35
(6492-6500)

Nur, R., Arifudin, A., & Vovilia, R. (2016). Analisis faktor resiko kejadian berat
badan lahir rendahdi Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Jurnal
Preventif. Vol (7) No 1, 1-64

Proverawati, Dkk. (2010). Berat badan lahir rendah. Mitra Cedekia: Yogyakarta

Setyo, M., & Paramita, A. (2015). Pola kejadian dan determinan bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) di Indonesia (pattren of occurrence and
determinantsof baby with low birth weight in Indonesia). Penelitan Sistem
Kesehatan, 18(1), 1-20

Susilowati, E., Wilar, R., & Salendu, P., (2016). Faktor resiko yang berhubungan
dengan berat badan lahir rendah pada neonatus yang dirawat di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandau eriode Januari 2015-Juli 2016. Jurnal E-Clinic
(eCI), Vol (4) No 2

Anda mungkin juga menyukai