Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti
serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan
dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang
munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut. Mitos tersebut
mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi
dalam kehidupan
normal.Penyakit tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000
sebelum Masehi. Orang pertama yang berhasil mengenal epilepsi sebagai
gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang
didasari oleh adanya gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi
merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di
seluruh dunia ( Harsono, 2007)
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,
dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal
(Lumbantobing, 1994).
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang
umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada
satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai
kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi
mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai
kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk
dalam epilepsi umum.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut (Gofir dan Wibowo,2006).
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang
epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai
dengan serangan tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsi
adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan
kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis
serangan, faktor pencetus, kronisitas (Harsono, 2007)
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang
harus ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak
terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain
yang bisa dihilangkan atau
disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak
oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat
trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan
biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak
ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di

kemudian hari (Notoatmodjo, 2012).


2.2. Patofisiologi
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat
dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam
perubahan otak yang normal me
njadi otak yang mudah- kejang (epileptogenesis).
1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau
jaringan neuron.
- Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional dan
struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi kanal
ion gerbang voltase dan gerbang ligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang
meningkatkan permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi
berkepanjangan yang mengawali kejang.
- Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan
fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion,
perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada
neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama
kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+. Bagaimanapun, kadar Ca2+
lebih cepat kembali normal dari pada kadar K2+.
- Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di
sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau
kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.
2. Mekanisme epileptogenesis
- Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan
kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+ K+
akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan
keikutsertaan angkutan Cl. K+ , yang mengatur kadar Clintrasel dan aliran Cl inhibisi
yang diaktivasi oleh GABA,
dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung
pada lamanya depolarisasi dan jumlah
neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing
abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran
penting pada epileptogenesis.
- Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan
inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik GABA.
GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal) pasien
dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari pasien

dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini
mengalami penurunan inhibisi.
Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan kadar
glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar GABA
tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi
GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang epileptogenetik.
Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan
inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).
2.3. Etiologi
1. Primer /Idiopatik
- Genetik (5-10 %)
- Tidak dapat dibuktikan adanya lesi pada otak
Sekunder
- Ada kelainan serebral yang mempermudah terjadinya respon kejang.
- Penyebab kejang sekunder a.l:
a. Cedera kepala
Cedera selama atau sebelum kelahiran. Atau pada saat kecelakaan.
Arterio Venous Malformation (AVM)
Ensefalitis,Meningitis,Eclampsia
Gangguan metabolisme & nutrisi
Ex: hipokalemia,defisiensi vit.B6
e. Gangguan sirkulasi & neoplasma
f. Obat-Obat:
MAO-blockers,klorpromazin,penyalahgunaan obat & Alkohol
(Mansjoer.dkk, 2000)
2.4. Klasifikasi (USU)
Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang
berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri,dan kejang umum, dimana kedua
hemisfer otak terlibat secara bersamaan.
Tipe kejang
Kejang parsial
Parsial sederhana

Parsial kompleks

Kejang umum
Tonik-klonik

Ciri khas
Adanya gejala motorik, somatosensorik,
sensorik,
otonom, atau kejiwaan.
Kesadaran normal.
Adanya
gejala motorik, somatosensorik, sensorik,
otonom,atau kejiwaan.
Adanya penurunan kesadaran
Kekakuan tonik yang diikuti oleh sentakan
ekstremitas

Absans

Mioklonik

Atonik
Tonik
Klonik

yang sinkron.
Dapat disertai inkontinensia.
Diikuti dengan kebingungan pasca
kejang.
Hilangnya kesadaran yang singkat
(biasanya <10
detik) dengan terhentinya aktivitas yang
sedang
Berlangsung
Dapat disertai gerakan otomatis, seperti
mengedip.
Pola EEG menunjukkan gambaran pakuombak (spike-and-wave).
Adanya satu
atau banyak sentakan otot.
Kesadaran normal.
Biasanya bilateral dan simetris.
Hilangnya tonus otot yang singkat
Kontraksi otot yang berkepanjangan
Pergantian sentakan dan relaksasi
ekstremitas secara berulang-ulang.

Sumber : (Miller, 2009).


2.5. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan
klinis dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun
demikian, bila
secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis)
sudah dapat ditegakkan.
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan
diagnosis epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus
dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang
dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan informasi
tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis,
malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan
obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai segala
sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi
yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis , meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus

f.
g.
h.
i.
j.

Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang


Usia saat terjadinya serangan pertama
Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat
adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab-sebab
serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui
pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat
penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak,
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara
anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan
otak unilateral.

terjadinya

3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada
EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik (Sunaryo, 2006).
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah
yang sama di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang
lebih lambat dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada
anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike),
paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal.
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu
menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya
pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagaipemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan)
dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.

MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan


(Consensus Guidelines on the Maagement of Epilepsy, 2010).
2.6. Penggolongan Obat Antiepilepsi
Terdapat 2 mekanisme antikonvulsi yang penting, yaitu (1) dengan mencegah
timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi (2)
dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh
fokus epilepsi. Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk dalam golongan
terskhir ini. Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara baik.
Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologik otak,
terutama yang mempengaruhi system inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme
kerja berbagai antiepilepsi.

Obat anti epilepsi terbagi menjadi 8 golongan sesuai dengan mekanisme kerjanya :
GOLONGAN OBAT
Hidantoin

CONTOH OBAT
Fenitoin, mefenotoin,
etotoin.

Barbiturat
Deoksibarbiturat
Iminostilben
Suksimid
Asam valproat

Fenobarbital.
Primidon.
Karbamazepin.
Etosuksimid.
Asam valproat dan
garamnya.
Diazepam dan
klonazepam.
Gabapentin.

Benzodiazepin
Obat antiepilepsi lain

MEKANISME KERJA
Menghambat potensi aksi oleh
depolarisasi terus-menerus pada
neuron.
Menurunkan konduktan Na+ dan K+.
Penurunan pada neuron eksitatori.
Menghambat kanal Na+.
Menghambat kanal Ca2+ tipe T.
Mengaktivasi sintesis GABA.
Meningkatkan frekuensi pembukaan
reseptor GABAA.
Mengikat protein pada membran
korteks saluran Ca2+ tipe L.

Sumber : (Lacy, 2009).


Contoh Obat Antiepilepsi setiap golongan :
(1) Hidantoin
Fenitoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan
pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin memiliki range
terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam
darah.

Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang
mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang, dan
menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari
tiap 6 jam (Lacy, 2009).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP,
sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan
berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek
samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada
gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko gingival
hyperplasia (Weiner WJ., 1999).
(2) Barbiturat
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik.
Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat
yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya
menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya
sebagai obat utama.
Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan
Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung
terhadap reseptor GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi
pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida).
Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan
postsynaptic GABAergic inhibition.
Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20
mg/kg 1kali sehari (Lacy, 2009).
Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital
(Gidal, and Garnett, 2005)
Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan
depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas.
Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson
syndrome (Gidal, and Garnett, 2005)
(3) Deoksibarbiturat
Primidon

Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik . Primidon
mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori . Efek anti kejang primidon hampir
sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah
menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA) . PEMA dapat
meningkatkan aktifitas fenobarbotal .
Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari (Lacy, 2009).
Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan
keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi (Gidal, and
Garnett, 2005)
(4) Iminostilben
(a)

Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin


digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik.
Karbamazepin menghambat kanal Na+ , yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+
kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh
depolarisasi terus-menerus pada neuron
Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak
usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg.
Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari
(Nordli, 2006)
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan
penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak
dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan usia (Gidal, and Garnett, 2005).
(5) Suksimid
Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan target dari
beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus
berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada
kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan
pada kejang absens (4).
Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20
mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih
dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari (Lacy, 2009).
Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping
penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk,

gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan(Gidal,
and Garnett, 2005).

(6) Asam valproat


Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens,
kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA
dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat
juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan
membran serta mempengaruhi kanal kalium (Gidal, and Garnett, 2005).
Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari(Lacy, 2009).
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk
mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan.
Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan
keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek
gangguan kognitif yang ringan(Gidal, and Garnett, 2005).
Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.
Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar
amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan
kerusakan hati (Gidal, and Garnett, 2005).
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait
penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara
bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi
yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin,
fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan
metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya
kurang dari 5% saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut
(Dillon dan Sander, 2003).
(7) Benzodiazepin
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis
GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi
pembukaan reseptor GABAA.

Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3
mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg , (Lacy, 2009). dan dewasa 4-40
mg/hari

Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas,
kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi,
dan mual (Lacy, 2009).

(8) Obat antiepilepsi lain


(a)

Gabapentin

Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun
kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati. Uji double-blind dengan
kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa
penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo.
Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27%
dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin
(900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi
karbamazepin (600 mg/hari) . Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA
nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada
membran korteks saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+
pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan
potensial aksi berulang terus-menerus.
Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12
tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3
kali sehari (Lacy, 2009).
Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan
ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak.
Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan
(Dillon dan Sander,2003).

Daftar Pustaka
Nordli, D.R., Pedley, De Vivo, 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph volume
3, EGC, Jakarta, 1023, 1034, 2135-2138.
Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia
Press, Yogyakarta, 85.
Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A
Phathophisiology Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New
York, 1023-1048.

Lacy, Charles F., 2009, Drug Information Handbook, American


Pharmacists Association.
Dillon and Sander, 2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, Third
edition, Churchill livingstone, New York, 465-468, 472-477.
Weiner WJ., 1999, The Intial Treatment of Parkinsons Disease Should
Begin With Levodopa, Mov Disord, 14: 716724.
Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 7-8, 65-66, 144.
Lumbantobing.1994.Epilepsi (ayan).Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Gofir, A.,Wibowo, S., 2006. Obat


Antiepilepsi.Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press
Notoatmodjo, Soekidjo,2012. Promosi Kesehatan dan
Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Eisai, 2012. Pathophysi
ology of Epilepsy, 2. Eisai Inc. Available from
http://www.focusonepilepsy.com/pdfs/pathophys.pdf
[Accessed 20 May
2013]
Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi.
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma. Jakarta
Malaysian Society of Neurosciences, 2010.
Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy
. Epilepsy Council
Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000
),
Kapita Selekta Kedokteran
, Edisi 3, Medica
Aesculpalus, FKUI, Jakarta.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. And
Ronthal, Michael (Ed.). Neurology Review for

Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &


Wilkins,

Anda mungkin juga menyukai