EPILEPSI
Oleh :
Preseptor :
BUKITTINGGI
2019
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Latar Belakang
Epilepsi adalah gangguan neurologis yang dikarakteristikkan dengan
kejadian kejang yang berulang. Epilepsi adalah gangguan neurologis yang umum
terjadi dan dapat mengenai seluruh populasi di semua kelompok umur, ras dan
tingkat sosial. Keakuratan dalam menegakkan diagnosis epilepsi menjadi suatu
masalah tertentu dikarenakan kejang sebagai gejala utama dapat terjadi pada
kondisi dengan berbagai macam etiologi.1
2
1.3 Tujuan Penulisan
Laporan kasus ini ditulis untuk memahami lebih jauh mengenai epilepsi
pada anak dan penatalaksanaan pasien epilepsi di tingkat pelayanan primer.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
4
2.3 Etiopatogenesis
Kejang epilepsi secara umum berkaitan dengan cetusan listrik yang eksesif
dan permasalahan sinkronisasi antar neuron otak. Hal tersebut akan
mempengaruhi kerja normal bagian otak yang terkena sehingga timbul
manifestasi klinis kejang. Eksitasi neuron di otak difasilitasi oleh asam glutamat
dan asetilkolin sebagai neurotransmitter eksitatorik utama dalam susunan saraf
pusat. Susunan neuron yang terbentuk dalam aktifitas epileptik di otak ternyata
juga memfasilitasi jalur normal fungsi otak. Dalam kondisi fisiologis, resiko
terjadinya eksitasi berlebihan dikontrol oleh adanya mekanisme inhibitorik oleh
beberapa sel neuron di Hippokampus. Salah satunya adalah sel basket yang
mengirim umpan balik inhibitorik dari cetusan yang dilepas oleh sel piramidal
melalui pencetusan potensial aksi dalam kecepatan cepat dan menekan aktifitas
sel piramid untuk mencetuskan potensial aksi dalam membalas input eksitatorik
yang masuk ke dendrit sel tersebut. Gangguan dalam sistem inhibitorik ini
mengakibatkan kejang terjadi. 2
5
2.4 Manifestasi Klinis
6
suatu area tertentu di otak yang terbatas di satu hemisfer. Kejang fokal dapat
menyebar di satu hemisfer ataupun ke daerah di hemisfer kontralateral sehingga
berubah menjadi kejang bilateral konvulsif. Pembagian kedua jenis kejang ini
juga harus didukung oleh gambaran EEG yang mendukung dimana pada kejang
umum akan ditemukan gambaran abnormalitas interiktal yang muncul di kedua
hemisfer dan pada kejang fokal cetusan iktal terbatas dari satu hemisfer saja dan
abnormalitas interiktal juga terbatas pada area tertentu di otak. 2
7
2.6 Prinsip Terapi dan Tatalaksana
8
Keterangan: 3
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan
kecepatan yang sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai
dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang
jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam
buccal berdasarkan kelompok usia;
• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara
bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas
kejang.
Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan
tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV
dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan. 3
9
pertama terapi epilepsi pada anak yang umum digunakan tetapkan karbamazepin
atau asam valproate. 4
2-5 mg/kg.
Asam Valproat : IV / IO Harus berkonsultasi dulu dengan Neurologist Anak untuk pemberian.
10
Pada saat titrasi maksimal obat anti epilepsi pertama dosis optimal telah
tercapai dan kejang masih ada, maka komplians pasien serta ketepatan diagnosis
harus dievaluasi ulang. Saat penggantian obat anti epilepsi diindikasikan , maka
penggantian regimen obat monoterapi memiliki 15% kemungkinan untuk
mencapai status bebas kejang. Politerapi diindikasikan apabila pasien mengalami
kegagalan dengan dua atau tiga regimen monoterapi berturut-turut, tetapi dapat
diindikasikan pada pasien dengan kondisi tertentu.4
Pada pasien epilepsi yang resisten obat, yaitu pasien yang tidak respon
atau tetap kejang setelah pemberian dua jenis obat anti epilepsi sesuai
ketentuannya. Pada pasien ini, pikirkan untuk pemberian obat anti epilepsi
generasi kedua lainnya atau pikirkan untuk dilakukannya intervensi pembedahan.4
11
2.7 Komplikasi
12
BAB 3
LAPORAN KASUS
Nama : DM
Kelamin : Laki-laki
No. MR : 521317
Anamnesis:
Keluhan Utama
- Kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit, frekuensi kejang satu kali
dengan durasi 40 menit, bentuk kejang seluruh tubuh dengan seluruh
badan menegang disertai dengan lidah yang tergigit, kejang berhenti
sendiri dan setelah kejang anak sadar.
- Riwayat trauma kepala tidak ada
- Tidak ada demam, riwayat demam saat kejang tidak ada
- Tidak ada batuk, tidak ada sesak nafas
- Penurunan nafsu makan tidak ada, anak makan 3x sehari 1 porsi
makanan dewasa
- Muntah tidak ada, diare tidak ada
- BAK ada, warna biasa, frekuensi 5-6x/hari
- BAB ada, warna kuning, konsistensi biasa, frekuensi 2-3x/hari.
- Tidak ada riwayat kontak dengan keluarga yang batuk lama.
13
Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat kejang sebelumnya 2,5 tahun yang lalu dengan durasi kejang
30 menit, rutin kontrol tiap bulan ke praktik spesialis anak, diberikan
asam valproat 250mg/5ml dengan dosis terakhir 0,5 cc
- Tidak ada keluarga yang menderita keluhan atau penyakit yang sama
sebelumnya
- Ibu korban meninggal 10 tahun yang lalu karena karsinoma servix.
Riwayat persalinan
14
Riwayat imunisasi
DPT: 1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Polio:0 0 bulan
1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Hepatitis B 0 bulan
1 bulan
6 bulan
HIb 2 bulan
4 bulan
6 bulan
Campak 9 bulan
- Kini berat badan anak adalah 43 kg dengan tinggi badan badan 153 cm
- Pasien baru bisa berjalan usia 17 bulan
Riwayat keluarga
Ibu Bapak
15
Riwayat perumahan dan lingkungan
Pemeriksaan Fisik
Suhu : 36,70C
Berat badan : 43 kg
BB/U : 76%
TB/U : 90%
16
BB/PB : 100%
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran KGB coli, inguinal, axila
dan lainnya
Kepala : Normocephal, LK 55 cm
Gigi dan mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, tidak ada
perdarahan gusi,tidak ada oral trush, tidak ada
gigi caries
Thorax
17
(Perk) : sonor pada seluruh lapangan paru
Abdomen
(Palp) : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik
(Perk) : timpani
Bisep positif/positif
Patella positif/positif
Achiles positif/positif
18
Refleks Patologis : Reflek Hoffman negatif
- Hematologi
Hemoglobin : 15,3 mg/dl
Hematokrit : 42,1 volume%
Leukosit : 5.560 /mm3
Trombosit : 281.000 /mm3
Natrium : 138,8 mMol/L
Kalium : 3,92 mMol/L
Klorida : 107,9 mMol/L
Kalsium : 13,87 mg/dL
SGOT/SGPT : 21/8 u/l
GDS : 89 mg/dL
Diagnosis kerja
- Suspek epilepsi
Penatalaksanaan
19
Edukasi
Rencana Pemeriksaan
- Rencana EEG
- CT Scan brain.
20
BAB 4
DISKUSI
Keluhan utama yang dikeluhan adalah kejang yang tidak didahului atau
disertai dengan demam maka diagnosis kejang demam dan infeksi pada sistem
saraf pusat dapat disingkirkan. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya mual,
muntah serta diare yang bisa menyebabkan gangguan elektrolit pada pasien.
Selain itu, napsu makan dan porsi makan pasien juga baik sehingga hipoglikemia
dan gangguan elektrolit akibat low intake dan GI loss juga dapat disingkirkan.
Pada pasien juga tidak ditemukan adanya riwayat trauma kepala sehingga kejang
akibat trauma kepala juga dapat disingkirkan.
21
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih
episode kejang tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih atau apabila
terdapat manifestasi khas suatu sindrom epilepsi. Kejang tanpa provokasi adalah
kejang yang tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik
akut, trauma ataupun kelainan intrakranial akut lainnya.9
22
anak yang tidak pernah kejang; sebaliknya, EEG interiktal pertama dapat normal
pada 55% anak dengan kejang pertama tanpa provokasi. Gambaran EEG saja
tanpa memandang informasi klinis tidak dapat menyingkirkan maupun
menegakkan diagnosis epilepsi.Peran EEG pada epilepsi adalah sebagai berikut;
Pasien memiliki riwayat kejang sebelumnya 2,5 tahun yang lalu sebanyak
1 kali dengan durasi 30 menit yang berlangsung seluruh badan dan sudah
mendapatkan terapi asam valproat. Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua
kelompok usia, dan semua jenis kejang, beberapa uji klinik acak menunjukkan
bahwa karbamazepin, asam valproat, klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif
sebagai OAE.11 Pada epilepsi umum simtomatik (sindrom Lennox-Gastatut,
sindrom Dravet, epilepsi absans atipikal, dan epilepsi mioklonik yang tidak dapat
diklasifikasi), pemberian valproat, lamotrigin, dan klobazam dapat menurunkan
frekuensi kejang. Obat antiepilepsi spektrum luas (fenitoin, valproat,
karbamazepin, klobazam, lamotrigin, topiramat, okskarbazepin, vigabatrin)
efektif sebagai monoterapi pada kejang fokal. 11
23
Tabel obat OAE pertama.11
Terapi dilakukan dengan prinsip terapi menggunakan satu buah obat anti
epilepsi dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara gradual sehingga menuju
dosis maintenans terendah yang efektif agar meminimalisir terjadinya efek
samping obat. Dosis terakhir yang didapatkan oleh pasien adalah 2 kali 0,55 cc
perhari. Setelah mendapatkan dosis obat ini bangkitan kejang pasien kembali
muncul. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis obat antiepilepsi yang
diberikan tidak efektif mencegah kejang yang diderita pasien.11
24
Penulis berpendapat mengenai diagnosis pasti yang belum jelas pada
pasien ini, maka pasien dianjurkan untuk dilakukan Elektroensefalografi (EEG)
untuk melihat apakah ada fokus tertentu di otak yang memang menjadi pencetus
kejang. Dilakukan pemeriksaan brain CT scan untuk menyingkirkan adanya lesi
pada ruang intrakranial (SOL).
25
DAFTAR PUSTAKA
3.. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Akut dan Status Epileptikus. Unit Kerja
Koordinasi Neurologi IDAI. 2016
8. Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ. Revised terminology and concepts for
organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on
Classification and Terminology, 2005-2009. Epilepsia. 2010;51:676-85.
26
10. Benbadis S. The differential diagnosis of epilepsy: A critical review. Epilepsy
Behavior. 2009;15:15-21
27