Anda di halaman 1dari 27

Case Report Session

EPILEPSI

Oleh :

Rizkha Nadha Hasrizal 1840312308

Olipa Yustina Tagi 1840312615

Preseptor :

dr. Fitria Rhahmadani Sp.A, M. Biomed

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR

BUKITTINGGI

2019

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang
Epilepsi adalah gangguan neurologis yang dikarakteristikkan dengan
kejadian kejang yang berulang. Epilepsi adalah gangguan neurologis yang umum
terjadi dan dapat mengenai seluruh populasi di semua kelompok umur, ras dan
tingkat sosial. Keakuratan dalam menegakkan diagnosis epilepsi menjadi suatu
masalah tertentu dikarenakan kejang sebagai gejala utama dapat terjadi pada
kondisi dengan berbagai macam etiologi.1

Tingkat kejadian epilepsi yang sebenarnya sulit untuk ditentukan karena


identifikasi pasien dengan epilepsi sedikit sulit. Estimasi prevalensi epilepsi di
Inggris yaitu 362.000 hingga 415.000 orang. Tingkat insidensi diperkirakan
sekitar 30 % atau 124.500 orang. Tingkat insidensi per tahun diperkirakan
mencapai 50 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya. 1

Epilepsi membuat terjadinya penurunan produktifitas seseorang dan


menganggu kualitas hidupnya. Tetapi kejadian kejang dapat dikontrol
menggunakan farmakoterapi secara teratur dan sesuai ketentuan. Sehingga atas
dasar permasalahan di atas, penulis merasa perlu untuk dilaporkannya kasus
sindrom epilepsi pada anak sehingga dapat diulas bersama cara penegakan
diagnosis dan manajemen terapi pada pasien anak dengan epilepsi.

1.2 Batasan Masalah

Laporan kasus ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, epidemiologi,


etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, prinsip diagnostik klinis hingga
penatalaksanaan awal kasus epilepsi dalam batasan pelayanan primer yang
menjadi kompetensi dokter umum.

2
1.3 Tujuan Penulisan
Laporan kasus ini ditulis untuk memahami lebih jauh mengenai epilepsi
pada anak dan penatalaksanaan pasien epilepsi di tingkat pelayanan primer.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan laporan kasus ini menggunakan pustaka yang merujuk pada
beberapa buku, guidelines dan jurnal-jurnal penelitian yang terkait dengan kasus
yang dibahas.

1.5 Manfaat Penulisan


Laporan kasus ini dibuat dengan harapan akan menambah pengetahuan
dan memperluas pemahaman mengenai epilepsi bagi penulis dan seluruh tenaga
kesehatan yang bekerja di layanan primer. Serta memberikan kontribusi ilmiah
kepada institusi pendidikan dan instansi terkait.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Epilepsi adalah gangguan neurologis yang dikarakteristikkan dengan


kejadian kejang yang berulang. Epilepsi adalah gangguan neurologis yang umum
terjadi dan dapat mengenai seluruh populasi di semua kelompok umur, ras dan
tingkat sosial. Keakuratan dalam menegakkan diagnosis epilepsi menjadi suatu
masalah tertentu dikarenakan kejang sebagai gejala utama dapat terjadi pada
kondisi dengan berbagai macam etiologi.1

2.2 Epidemiologi

Tingkat kejadian epilepsi yang sebenarnya sulit untuk ditentukan


karena identifikasi pasien dengan epilepsi sedikit sulit. Estimasi prevalensi
epilepsi di Inggris mencapai 362.000 hingga 415.000 orang. Tingkat insidensi
diperkirakan sekitar 30 % atau 124.500 orang. Tingkat insidensi per tahun
diperkirakan mencapai 50 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya.1 Insiden
tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa
lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian
epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun
berkisar 40 kasus per 100.000. 1
Epilepsi mengakibatkan terjadinya pengeluaran Negara yang besar dengan
perkiraan oleh National Institute of Health and Care Excellence (NICE) mencapai
sekitar 2 juta poundsterling tiap tahunnya dari pengeluaran langsung dan tidak
langsung. Studi menunjukkan bahwa epilepsi lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan dengan tingkat resiko yang sama di Negara berkembang
ataupun Negara maju. 1

4
2.3 Etiopatogenesis

Kejang epilepsi secara umum berkaitan dengan cetusan listrik yang eksesif
dan permasalahan sinkronisasi antar neuron otak. Hal tersebut akan
mempengaruhi kerja normal bagian otak yang terkena sehingga timbul
manifestasi klinis kejang. Eksitasi neuron di otak difasilitasi oleh asam glutamat
dan asetilkolin sebagai neurotransmitter eksitatorik utama dalam susunan saraf
pusat. Susunan neuron yang terbentuk dalam aktifitas epileptik di otak ternyata
juga memfasilitasi jalur normal fungsi otak. Dalam kondisi fisiologis, resiko
terjadinya eksitasi berlebihan dikontrol oleh adanya mekanisme inhibitorik oleh
beberapa sel neuron di Hippokampus. Salah satunya adalah sel basket yang
mengirim umpan balik inhibitorik dari cetusan yang dilepas oleh sel piramidal
melalui pencetusan potensial aksi dalam kecepatan cepat dan menekan aktifitas
sel piramid untuk mencetuskan potensial aksi dalam membalas input eksitatorik
yang masuk ke dendrit sel tersebut. Gangguan dalam sistem inhibitorik ini
mengakibatkan kejang terjadi. 2

Terjadi suatu abnormalitas dalam fungsional jaringan otak pasien yang


mengalami epilepsi yang membuatnya mudah untuk mencetuskan muatan
epileptiform dimana sebagian besar kasus hal ini dapat ditahan oleh aktifitas otak
yang normal. Terdapat peningkatan hubungan atau konektifitas sinaps yang
meningkatkan rantai reaksi antar neuron yang tereksitasi. Selain itu channelopati
juga dapat terjadi dimana gerbang natrium menjadi lebih permeabel begitu juga
ekspresi reseptor GABAergik yang lebih banyak diubah jadi reseptor nikotinik.
Hal terakhir yang menjadi presipitan terjadinya kondisi hipereksitasi saraf di otak
adalah mekanisme inhibitorik alami yang rusak akibat hemeostasis yang
terganggu, seperti pada perubahan keseimbangan kadar klorida yang dapat
membuat potensial inhibitorik postsinaptik berdepolarisasi dibandingkan
hiperpolarisasi sehingga respon interneuron terhadap in put eksitasi berubah dan
tidak terjadi mekanisme inhibisi. 2

5
2.4 Manifestasi Klinis

Sindrom epilepsi oleh ILAE diklasifikasikan berdasarkan umur, tampilan


klinis dan penemuan elektrofisiologis yang ada. Secara ringkas akan ditunjukkan
pada Gambar 1.3

Gambar 1. Klasifikasi kejang epileptik menurut ILAE 20172

Kejang umum selayaknya konsep yang dipahami hingga kini diartikan


sebagai kejang yang muncul atau berasal dari hubungan persarafan yang saling
terkait di kedua hemisfer otak (walaupun tidak melibatkan seluruh bagian
korteks). Tampilan klinis dan hasil EEG dari kejang umum dapat saja terlihat
asimetris. Sedangkan kejang fokal diartikan sebagai kejang yang berasal dari

6
suatu area tertentu di otak yang terbatas di satu hemisfer. Kejang fokal dapat
menyebar di satu hemisfer ataupun ke daerah di hemisfer kontralateral sehingga
berubah menjadi kejang bilateral konvulsif. Pembagian kedua jenis kejang ini
juga harus didukung oleh gambaran EEG yang mendukung dimana pada kejang
umum akan ditemukan gambaran abnormalitas interiktal yang muncul di kedua
hemisfer dan pada kejang fokal cetusan iktal terbatas dari satu hemisfer saja dan
abnormalitas interiktal juga terbatas pada area tertentu di otak. 2

Dalam mencapai suatu pemahaman yang sama mengenai kejang yang


terjadi pada pasien antar tenaga kesehatan, maka klasifikasi jenis kejang yang
terjadi pada pasien juga dibagi berdasarkan bentukan kejang saat onset; apakah
fokal, umum atau tidak diketahui (apabila tidak ada yang melihat bentukan saat
permulaan kejang). 2

Kejang onset umum selanjutnya akan dibagi kepada adanya gambaran


motorik predominan ataupun non-motorik predominan. Hal ini didasari kepada
adanya tanda kehilangan kesadaran saat kejang yang disebut sebagai absans.
Pembagian ini selanjutnya dihubungkan dengan klasifikasi yang sudah ada
mengenai bentukan kejang yang mencakup mioklonik, tonik, klnik dan atonik,
serta absans mioklonik dan mioklonia kelopak mata. 2

2.5 Prinsip Diagnostik

Hal yang paling penting dalam penegakan epilepsi adalah rekognisi


sindrom epilepsi dan penyakit dasarnya sehingga dapat ditegakkan diagnosis yang
benar bahwa pasien mengalami gangguan epilepsi. Epilepsi bukan suatu entitas
penyakit tunggal, tetapi adalah suatu penyakit dengan multifaktorial, riwayat
penyakit dan prognosis yang membutuhkan tatalaksana jangka pendek dan jangka
panjang. 2

Penegakan diagnosis epilepsi selain didasari pada tampilan klinis kejang


yang timbul, tetapi juga melalui studi elektroensefalografi yang dilakukan pada
pasien. Konfirmasi diagnosis epilepsi dan sindromnya hanya bisa melalui hasil
EEG. 3

7
2.6 Prinsip Terapi dan Tatalaksana

Status epileptikus menjadi suatu kondisi darurat yang harus ditangani


segera. Oleh IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dikeluarkan rekomendasi
penatalaksanaan status epileptikus terhadap anak yang dirangkum dalam
algortime yang terdapat pada Gambar 2 :3

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan status epileptikus dan kejang akut3

8
Keterangan: 3
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan
kecepatan yang sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai
dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang
jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam
buccal berdasarkan kelompok usia;
• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara
bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas
kejang.
Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan
tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV
dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan. 3

Prinsip tatalaksana lanjutan pada pasien epilepsi didasari pada klasifikasi


kejang dan klasifikasi sindrom epilepsi yang terjadi pada seseorang. Manajemen
terapi juga bergantung pada penyakit dasar yang membuat munculnya sindrom
epilepsi tersebut. Pada epilepsi yang baru terdiagnosa, prinsip terapi adalah
menggunakan satu buah obat anti epilepsi dengan dosis rendah dan ditingkatkan
secara gradual sehingga menuju dosis maintenans terendah yang efektif agar
meminimalisir terjadinya efek samping obat. Sekitar 50 % pasien epilepsi
mencapai status bebas kejang dalam terapi inisial pertama obat anti epilepsi
dengan dosis rendah hingga moderat seperti yang tertera pada Tabel 1. Pilihan

9
pertama terapi epilepsi pada anak yang umum digunakan tetapkan karbamazepin
atau asam valproate. 4

Tabel 1. Obat Anti Epilepsi

Nama Obat : Jalur Pemberian Dosis dan Syarat Pemberian

Midazolam : buccal / intranasal 0,3 mg/kg (maksimal 10 mg)

Midazolam : IV / intraosseus / 0,15 mg/kg (maksimal 10 mg)


IM

Diazepam : IV / IO 0,25 mg/kg (maksimal 10 mg)

Fenitoin : IV / IO 20 mg/kg dalam NaCl 0,9%.

Jika BB ≤ 50 kg habiskan dalam 20 menit.

Untuk remaja degan BB > 50 kg kecepatan pemberian maksimal 50


mg/menit.

* Diperlukan monitoring EKG dan tekanan darah.

Fenobarbiton : IV / IO 20 mg/kg (maksimal 1 g)

Jika BB ≤ 30 kg habiskan dalam 20 menit

Jika BB > 30 kg kecepatan pemberian 30mg/menit

Levetiracetam : IV / IO 20 mg/kg (maksimal 1,5 g)

Larutkan dalam 100 ml NaCl 0,9% atau Glukosa 5% dan berikan


dalam 15 menit.

Piridoksin : IV / PO Harus berdiskusi dulu dengan Neurologist anak sebelum pemberian.

Dosis inisial 50-100 mg. Bisa diulangi setelah 10 menit. Dosis


maksimal 500 mg.

Jika diberikan secara intavena, bolus lambat.

Thipentone : IV / IO Jarang digunakan sekarang.

2-5 mg/kg.

Asam Valproat : IV / IO Harus berkonsultasi dulu dengan Neurologist Anak untuk pemberian.

20-40 mg/kg dalam 3-5 menit, kemudian loading 1-5 mg/kg/jam.

Larutkan dalam NaCl 0,9% atau Glukosa 5 %.

Harus hati-hati digunaka pada anak < 3 tahun, atau penyakit


mitokondria, atau riwayat keluarga dengan penyakit hati karena risiko
mengalami Ensefalopati akut dan gagal hati.

10
Pada saat titrasi maksimal obat anti epilepsi pertama dosis optimal telah
tercapai dan kejang masih ada, maka komplians pasien serta ketepatan diagnosis
harus dievaluasi ulang. Saat penggantian obat anti epilepsi diindikasikan , maka
penggantian regimen obat monoterapi memiliki 15% kemungkinan untuk
mencapai status bebas kejang. Politerapi diindikasikan apabila pasien mengalami
kegagalan dengan dua atau tiga regimen monoterapi berturut-turut, tetapi dapat
diindikasikan pada pasien dengan kondisi tertentu.4

Pada pasien epilepsi yang resisten obat, yaitu pasien yang tidak respon
atau tetap kejang setelah pemberian dua jenis obat anti epilepsi sesuai
ketentuannya. Pada pasien ini, pikirkan untuk pemberian obat anti epilepsi
generasi kedua lainnya atau pikirkan untuk dilakukannya intervensi pembedahan.4

Algoritma pemilihan farmakoterapi pada pasien epilepsi ditunjukkan pada


Gambar 3. 4

Gambar 3. Algoritma pemilihan farmakoterapi pada epilepsi4

11
2.7 Komplikasi

Komplikasi langsung dari epilepsi yang paling ditakutkan adalah adanya


kematian tiba-tiba pada epilepsi atau yang dikenal sebagai SUDEP (Sudden
Unexpected Death in Epilepsi). Mekanisme terjadinya SUDEP belum begitu
diketahui tetapi onset terjadi secara tiba-tbia dan selalu bersifat non-traumatik.
Pemeriksaan post mortem tidak ditemukan adanya kelainan anatomi yang dapat
menyebabkan kematian dan tidak adanya racun yang menjadi penyebab mati.5

Komplikasi tidak langsung dari epilepsi adalah adanya mekanisme trauma


yang terjadi saat anak kejang ataupun kematian akibat kecelakaan seperti pada
kasus tenggelam pada saat pasien sedang mengalami serangan. Sehingga sangat
penting untuk mengedukasi keluarga serta lingkungan anak mengenai hal-hal
yang dapat membahayakan anak apabila tiba-tiba kejang terjadi. 5

12
BAB 3

LAPORAN KASUS

Nama : DM

Umur : 14 tahun 10 bulan

Kelamin : Laki-laki

No. MR : 521317

Alamat : Koto Selayan, Bukittinggi

Anamnesis:

Keluhan Utama

Kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit sekarang

- Kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit, frekuensi kejang satu kali
dengan durasi 40 menit, bentuk kejang seluruh tubuh dengan seluruh
badan menegang disertai dengan lidah yang tergigit, kejang berhenti
sendiri dan setelah kejang anak sadar.
- Riwayat trauma kepala tidak ada
- Tidak ada demam, riwayat demam saat kejang tidak ada
- Tidak ada batuk, tidak ada sesak nafas
- Penurunan nafsu makan tidak ada, anak makan 3x sehari 1 porsi
makanan dewasa
- Muntah tidak ada, diare tidak ada
- BAK ada, warna biasa, frekuensi 5-6x/hari
- BAB ada, warna kuning, konsistensi biasa, frekuensi 2-3x/hari.
- Tidak ada riwayat kontak dengan keluarga yang batuk lama.

13
Riwayat penyakit dahulu

- Riwayat kejang sebelumnya 2,5 tahun yang lalu dengan durasi kejang
30 menit, rutin kontrol tiap bulan ke praktik spesialis anak, diberikan
asam valproat 250mg/5ml dengan dosis terakhir 0,5 cc

Riwayat penyakit keluarga

- Tidak ada keluarga yang menderita keluhan atau penyakit yang sama
sebelumnya
- Ibu korban meninggal 10 tahun yang lalu karena karsinoma servix.

Riwayat persalinan

- Lahir spontan di Puskesmas dan ditolong oleh bidan


- Cukup bulan dengan berat badan lahir 2800 gram dan panjang lahir
tidak ingat.
- Saat lahir, menurut pengakuan ayah kandung anak langsung menangis
kuat, APGAR Score tidak diketahui ayah.

Riwayat makanan dan minuman

- Anak diberikan ASI eksklusif sejak lahir hingga 6 bulan dengan


frekuensi 10-12x/hari
- Anak diberikan susu formula dan bubur sus sebagai tambahan dari
usia 6 bulan hingga 1 tahun, diberikan nasi tim dari usia 1 tahun
hingga 2 tahun
- Anak makan makanan utama 2-4 kali perhari menghabiskan 1 porsi
makan dengan rincian:
o Daging 1x perbulan
o Ikan 1x perhari
o Telur 1x perhari
o Ayam 1x perbulan
o Sayur 2-4x perhari
o Buah 2-4x perhari

14
Riwayat imunisasi

Imunisasi Dasar/Umur Booster/Umur

BCG 1 bulan, scars (+)

DPT: 1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Polio:0 0 bulan
1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Hepatitis B 0 bulan
1 bulan
6 bulan
HIb 2 bulan
4 bulan
6 bulan
Campak 9 bulan

Kesan : Imusasi dasar lengkap

Riwayat tumbuh kembang

- Kini berat badan anak adalah 43 kg dengan tinggi badan badan 153 cm
- Pasien baru bisa berjalan usia 17 bulan

Riwayat keluarga

Ibu Bapak

Nama Sari(Alm) Darmaizon


Usia Meninggal Dunia 40 tahun
Pendidikan S1 S1
Pekerjaan - Wiraswasta
Penghasilan - ± 3.000.000
Penyakit Tidak ada Tidak ada

15
Riwayat perumahan dan lingkungan

- Rumah tempat tinggal bersifat permanen


- Sumber air minum dari air PDAM
- Jamban ada di dalam rumah
- Pekarangan luas
- Sampah dibuang ke TPA

Kesan : Hygiene dan sanitasi baik

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik generalis

Keadaan umum : Sedang

Kesadaran : Composmentis cooperatif

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Laju denyut nadi : 82x per menit

Laju denyut nafas : 24x per menit

Suhu : 36,70C

Edema : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Kulit : teraba hangat

Berat badan : 43 kg

Panjang badan : 153 cm

BB/U : 76%

TB/U : 90%

16
BB/PB : 100%

Status gizi : Gizi baik

Anemia : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Pemeriksaan fisik lokalis

Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran KGB coli, inguinal, axila
dan lainnya

Kepala : Normocephal, LK 55 cm

Rambut : Warna hitam, tidak mudah rontok, distribusi baik.

Mata : Konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : Bentuk normal, tidak ada keluar cairan

Hidung : Nasal bridge datar, nafas cuping hidung tidak ada

Tenggorok : Dinding faring posterior tidak hiperemis, tonsil


ukuran T1-T1

Gigi dan mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, tidak ada
perdarahan gusi,tidak ada oral trush, tidak ada
gigi caries

Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah


bening ataupun kelenjar tiroid,

Thorax

Paru (Insp) : pergerakan kiri dan kanan simetris, retraksi tidak


ada, normochest

(Palp) : fremitus kiri sama dengan kanan

17
(Perk) : sonor pada seluruh lapangan paru

(Ausk): suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi, tidak ada


wheezing

Jantung (Insp) : iktus kordis tidak terlihat

(Palp) : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

(Perk) : batas jantung dalam batas normal

(Ausk) : S1S2 reguler, bising jantung tidak ada, murmur


tidak ada

Abdomen

(Insp) : distensi tidak ada

(Palp) : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik

(Perk) : timpani

(Ausk) : Bising usus ada dan normal

Punggung : Tidak ada kelainan pada axial tubuh

Genitalia : Tidak ada kelainan, G2P2A1

Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik,

Tanda Rangsang Meningeal: Kaku kuduk negatif, brunzinsky 1 dan 2 negatif,


kernig sign negatif.

Refleks Fisiologis : Trisep positif/positif,

Bisep positif/positif

Patella positif/positif

Achiles positif/positif

18
Refleks Patologis : Reflek Hoffman negatif

Reflek Babinsky negatif

Reflek Chaddock negatif

Reflek Schaeffer negatif

Reflek Oppenham negatif

Reflek Gordon negatif

Pemeriksaan Lab Sederhana

- Hematologi
Hemoglobin : 15,3 mg/dl
Hematokrit : 42,1 volume%
Leukosit : 5.560 /mm3
Trombosit : 281.000 /mm3
Natrium : 138,8 mMol/L
Kalium : 3,92 mMol/L
Klorida : 107,9 mMol/L
Kalsium : 13,87 mg/dL
SGOT/SGPT : 21/8 u/l
GDS : 89 mg/dL

Kesan : kalsium meningkat, klorida meningkat

Diagnosis kerja

- Suspek epilepsi

Penatalaksanaan

- Diet makanan biasa dengan kebutuhan kalori 2000 kkal


- IVFD KAEN 1 B 36 cc/jam
- Asam Valproat 2 x 1,5 cc per oral

19
Edukasi

- Jelaskan mengenai kemungkinan diagnosis yang belum pasti hingga


pemeriksaan berlanjut.
- Anjurkan kepada keluarga untuk hindari memasukan makanan atau
apapun saat pasien kejang.
- Minum obat teratur, penurunan dosis dan pemberhentian obat harus
atas instruksi dokter.

Rencana Pemeriksaan

- Rencana EEG
- CT Scan brain.

20
BAB 4

DISKUSI

Aeberg KM menyatakan bahwa kasus epilepsi paling banyak terdapat


pada laki-laki sebanyak 5,8% dibanding perempuan dengan kasus terbanyak pada
usia 10 tahun pertama.6 Hal in isi sejalan dengan pasien pada kasus ini yaitu anak
jenis kelamin laki-laki, dengan onset pertama kali pada usia 11 tahun .

Terdapat banyak hal yang menyebabkan kejang, yaitu hipoglikemia,


gangguan elektrolit, demam, adanya lesi di otak, infeksi sistem saraf pusat atau
trauma kepala. Menurut ILAE 2010 menyebutkan bahwa etiologi kejang terbagi
atas genetik, struktural/metabolik dan tidak diketahui. Genetic epilepsy syndrome
adalah epilepsi yang diketahui/diduga disebabkan oleh kelainan genetik dengan
kejang sebagai manifestasi utama. Structural/metabolic syndrome adalah adanya
kelainan struktural/metabolik yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami
epilepsi, contohnya; epilepsi setelah sebelumnya mengalami stroke, trauma,
infeksi SSP, atau adanya kelainan genetik seperti tuberosklerosis dengan kelainan
struktur otak (tuber). Epilepsi digolongkan sebagai “unknown cause” bila
penyebabnya belum diketahui.8

Keluhan utama yang dikeluhan adalah kejang yang tidak didahului atau
disertai dengan demam maka diagnosis kejang demam dan infeksi pada sistem
saraf pusat dapat disingkirkan. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya mual,
muntah serta diare yang bisa menyebabkan gangguan elektrolit pada pasien.
Selain itu, napsu makan dan porsi makan pasien juga baik sehingga hipoglikemia
dan gangguan elektrolit akibat low intake dan GI loss juga dapat disingkirkan.
Pada pasien juga tidak ditemukan adanya riwayat trauma kepala sehingga kejang
akibat trauma kepala juga dapat disingkirkan.

Bentukan kejang pada anak adalah kejang umum yang dicurigai


diakibatkan oleh suatu keadaan tertentu pada otak. Tidak ada keluhan penurunan
kesadaran, muntah yang proyektil serta defisit neurologis menandakan tidak ada
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh lesi
yang berada pada ruang intrakranial (SOL).

21
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila terdapat dua atau lebih
episode kejang tanpa provokasi dengan interval 24 jam atau lebih atau apabila
terdapat manifestasi khas suatu sindrom epilepsi. Kejang tanpa provokasi adalah
kejang yang tidak dicetuskan oleh demam, gangguan elektrolit atau metabolik
akut, trauma ataupun kelainan intrakranial akut lainnya.9

Diagnosis banding epilepsi adalah kejang non-epileptik dan serangan


paroksismal bukan kejang. Yang termasuk kejang non-epileptik adalah kejang
demam, kejang refleks, kejang anoksik, kejang akibat withdrawal alkohol, kejang
yang dicetuskan obat-obatan atau bahan kimiawi lainnya, kejang pascatrauma,
dan kejang akibat kelainan metabolik atau elektrolit akut.10

Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal


dan pada pemeriksaan refleks fisiologi dan refleks patologis tidak ditemukan
adanya kelainan. Hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat kelainan pada sistem
saraf pusat yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi. Stafstrom CE
dalam penelitiannya untuk diagnosis Kejang didapatkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik berupa Pemeriksaan neurologis menilai tanda-tanda fokus yang
mungkin melibatkan atau melokalisasi patologi otak. Misalnya peningkatan nada
pada satu sisi tubuh dapat menunjukkan patologi di belahan kontralateral, seperti
displasia akortikal.12

Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium dasar mengarahkan


diagnosis kerja untuk ditegakkan pada pasien ini adalah suspek epilepsi. Penulis
berpendapat mengenai diagnosis pasti yang belum jelas pada pasien ini, maka
pasien dianjurkan untuk dilakukan Elektroensefalografi (EEG) untuk melihat
apakah ada fokus tertentu di otak yang memang menjadi pencetus kejang.
Dilakukan pemeriksaan brain CT scan untuk menyingkirkan adanya lesi pada
ruang intrakranial (SOL).

Khan dalam penelitiannya menjelaskan bahwa Pemeriksaan


Elektroensefalografi secara rutin dilakukan pada kejang tanpa provokasi pertama
dan pada (dugaan) epilepsi, pemeriksaan ini bukanlah baku emas untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Kelainan pada EEG dapat ditemukan pada 2-4%

22
anak yang tidak pernah kejang; sebaliknya, EEG interiktal pertama dapat normal
pada 55% anak dengan kejang pertama tanpa provokasi. Gambaran EEG saja
tanpa memandang informasi klinis tidak dapat menyingkirkan maupun
menegakkan diagnosis epilepsi.Peran EEG pada epilepsi adalah sebagai berikut;

a. membantu menentukan tipe kejang


b. menunjukkan lokalisasi fokus kejang bila ada
c. membantu menentukan sindrom epilepsi
d. pemantauan keberhasilan terapi
e. membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat dihentikan.
Sensitivitas EEG untuk mendiagnosis epilepsi hanya 25-56%, sedangkan
spesifisitasnya 78-98%. Jika digunakan bersama dengan temuan klinis pada
anamnesis dan pemeriksaan neurologis, maka sensitivitasnya menjadi 98,3%
(IK95% 96,3 sampai 99,2) dan spesifisitasnya 86%

Pasien memiliki riwayat kejang sebelumnya 2,5 tahun yang lalu sebanyak
1 kali dengan durasi 30 menit yang berlangsung seluruh badan dan sudah
mendapatkan terapi asam valproat. Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua
kelompok usia, dan semua jenis kejang, beberapa uji klinik acak menunjukkan
bahwa karbamazepin, asam valproat, klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif
sebagai OAE.11 Pada epilepsi umum simtomatik (sindrom Lennox-Gastatut,
sindrom Dravet, epilepsi absans atipikal, dan epilepsi mioklonik yang tidak dapat
diklasifikasi), pemberian valproat, lamotrigin, dan klobazam dapat menurunkan
frekuensi kejang. Obat antiepilepsi spektrum luas (fenitoin, valproat,
karbamazepin, klobazam, lamotrigin, topiramat, okskarbazepin, vigabatrin)
efektif sebagai monoterapi pada kejang fokal. 11

23
Tabel obat OAE pertama.11

Pemilihan asam valproat dilakukan karena asam valproat tidak memiliki


kontraindikasi dan efektif diberikan sebagai obat anti epilepsi umum, fokal,
absans dan mioklonik pada anak, namun Mangunatmadja I mengatakan hati-hati
pada penggunaan asam valproat pada pasien dengan Harus hati-hati digunakan
pada anak < 3 tahun, atau penyakit mitokondria, atau riwayat keluarga dengan
penyakit hati karena risiko mengalami Ensefalopati akut dan gagal hati.9

Terapi dilakukan dengan prinsip terapi menggunakan satu buah obat anti
epilepsi dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara gradual sehingga menuju
dosis maintenans terendah yang efektif agar meminimalisir terjadinya efek
samping obat. Dosis terakhir yang didapatkan oleh pasien adalah 2 kali 0,55 cc
perhari. Setelah mendapatkan dosis obat ini bangkitan kejang pasien kembali
muncul. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis obat antiepilepsi yang
diberikan tidak efektif mencegah kejang yang diderita pasien.11

Tatalaksana umum pada pasien ini adalah diberikan infus KAEN 1B


sebanyak 36cc per jam infus ukuran makro untuk mempertahankan kebutuhan
cairan maintenans, dan diberikan asam valproat dengan dosis 2 kali 1,5 cc per hari
sebagai obat anti epilepsi.

24
Penulis berpendapat mengenai diagnosis pasti yang belum jelas pada
pasien ini, maka pasien dianjurkan untuk dilakukan Elektroensefalografi (EEG)
untuk melihat apakah ada fokus tertentu di otak yang memang menjadi pencetus
kejang. Dilakukan pemeriksaan brain CT scan untuk menyingkirkan adanya lesi
pada ruang intrakranial (SOL).

25
DAFTAR PUSTAKA

1. National Institute of Health and Care of Excellence. The epilepsies : the


diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary
and secondary care. United Kingdom : NICE. 2015.

2. Rugg-Gunn FJ dan Stapley H.B. Epilepsy from bench to bedsite : Practical


Guide to Epilepsi. United Kingdom : University of Oxford Mathematical
Institute. 2017.

3.. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Akut dan Status Epileptikus. Unit Kerja
Koordinasi Neurologi IDAI. 2016

4. Perucca P, Scheffer IE dan Kiley M. The management of epilepsi in children


and adults. MJA. 2018;208(5):226-232

5. Health Improvement Scotland. Epilepsies in children and young people :


investigative procedures and management. Scotland : Scottish Intercollegiste
Guidelines Network. 2018.

6. Aaberg KM, Gunnes N, Bakken IJ, et al. Incidence and Prevalence of


Childhood Epilepsy : A National Worldwide Cohort Study. Pediatrics 2017;
139(5):e20163908).

7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis. Dalam: Mangunatmadja I,


Handryastuti S, Risan NA, penyunting. Epilepsi pada anak. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.h.15-27

8. Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ. Revised terminology and concepts for
organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on
Classification and Terminology, 2005-2009. Epilepsia. 2010;51:676-85.

9. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA, penyunting. Epilepsi pada anak.


Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.h.15-27.

26
10. Benbadis S. The differential diagnosis of epilepsy: A critical review. Epilepsy
Behavior. 2009;15:15-21

11. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and management of


epilepsies in children and young people: a national clinical guideline. Tersedia di:
www.sign.ac.uk/guidelines/fulltext/81.

12. Stafstrom CE, Carmant L seizures and epilepsy: an overview for


neuroscientists.,www.perspectivesmedicine.org;1-18.

13.Khan A, Baheerathan A. Electroencephalogram after first unprovoked seizure


in children: routine, unnecessary or case-specific. J Pediatr Neurosci. 2013;8:1-4

27

Anda mungkin juga menyukai