Anda di halaman 1dari 8

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Roseola infantum (eksantema subitum) adalah penyakit virus pada bayi dan anak kecil
yang bersifat akut, biasanya terjadi secara sporadik dan dapat menimbulkan epidemi. 1
Epidemiologi
Eksantema subitum cenderung timbul di musim semi dan musim gugur pada negara
dengan 4 musim. Angka kejadian penyakit ini pada perempuan dan laki-laki sama besar. Secara
geografis, angka kejadian eksantema subitum tidak berbeda bermakna. Eksantema subitum
diperkirakan memiliki periode inkubasi selama 7-17 hari.1,2
Pada suatu penelitian dengan tes imunofluoresens, secara langsung telah dibuktikan
adanya antibodi terhadap HHV-6 pada awal penyakit. Sebagian besar bayi mempunyai antibodi
maternal untuk beberapa bulan pertama kehidupan. Pada umur 4 bulan hanya 25% didapatkan
antibodi. Persentase ini meninggi sampai 76% pada waktu berumur 11 bulan, 90% pada umur 5
tahun, dan 98% pada waktu berumur 17 tahun. Sebagian besar kasus klinik terjadi antara usia 6-
18 bulan. Didapatkannya virus pada saliva orang dewasa asimtomatik dapat merupakan sumber
infeksi. Hampir semua orang dewasa muda adalah seropositif, walaupun titer HHV-6 mungkin
lebih rendah daripada pada anak. Infeksi primer HHV-6 didapat pada usia 6-18 bulan, dimana
rata-rata usia adalah 9 bulan. Semua bayi aterm memiliki antibodi maternal sejak lahir dan
menurun pada usia 4 bulan.3 Titer ini akan meningkat kembali karena adanya infeksi primer dari
HHV-6. Hal ini menggambarkan bahwa hampir semua anak terkena HHV-6 dalam usia 6 bulan
pertama.1
Di Amerika Serikat, hampir semua tes serologi infeksi HHV-6 hasilnya positif. Pada
penelitian yang lain juga menunjukkan variasi dalam prevalensi penyebaran. Seperti diketahui
terdapat asosiasi kuat antara HHV-6A pada anak di Zambia dengan demam yang terjadi pada
daerah endemik. Pada kejadian infeksi HHV-6 tidak mengenai ras teretentu saja. Penelitian
seroepidemiologi menyatakan bahwa infeksi HHV-7 terjadi pada anak dengan usia yang lebih
lanjut bila dibandingkan dengan infeksi HHV-6. Juga dikatakan antibodi HHV-7 tidak terdeteksi
pada anak usia di bawah 2 tahun.1,2
Etiologi
HHV-6 merupakan salah satu dari tujuh herpes virus manusia. Merupakan anggota genus
Roseolovirus, subfamily Beta-herpesvirus. Seperti pada herpes virus lainnya, HHV-6 memiliki
karakteristik electron-dense core dan kapsid ikosahedral, dikelilingi oleh tegumen dan lapisan
luar yang merupakan lokasi dari glikoprotein yang penting dan membrane protein. Kapsid HHV-
1
6 dengan diameter 90-110 mm, dirangkai dalam nucleus, dimana terdapat pula tegumen. Kapsid
tegument berdiameter 165nm melepaskan diri masuk ke sitoplasma, kemudian kapsid menjadi
envelope dengan membuat tunas ke dalam vesikel sitoplasma. Virion luar memiliki diameter
sekitar 200 nm.
Telah diketahui bahwa HHV-6 menginfeksi dan mereplikasi dalam limfoit dari sel T.
terdapat 2 jenis dari HHV-6, yaitu jenis HHV-6A dan HHV-6B. Kedua varian ini sangat mirip,
tetapi dapat dibedakan berdasarkan seluler, karakteristik biologi molekuler, epidemiologi dan
asosiasi klinik. Genom DNA HHV-6 sekitar 162-170 kb, dengan panjang segmen sekitar 141-
143 kb. Pada saliva lebih banyak terdapat jenis HHV-6B. Infeksi primer penyakit eksantema
subitum disebabkan oleh HHV-6B. transmisi yang mugkin terjadi adalah saat intrauterine atau
perinatal, dimana dapat ditemukan genom HHV-6 pada sel mononuclear di darah tepi neonates
sehat dan sekrets dari serviks wanita hamil. Isolasi dari HHV-6 diikuti dengan identifikasi dari 2
herpesvirus yang lain yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HHV-7 dan HHV-8 atau Kaposiss
ssarcoma-associated herpesvirus (KSHV). HHV-6 dan HHV-7 merupakan subfamily beta
herpesvirus. Infeksi primer HHV-7 yang mirip dengan HHV-6 dapat menyebabkan eksantema
subitum dengan demam yang tinggi. Transmisi HHV-7 belum ditentukan secara pasti, tetapi
dilaporkan bahwa virus dapat diisolasi dari saliva orang dewasa.

Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
Pada roseola, selama beberapa hari pertama demam, dapat dijumpai leukositosis. Selama 24-36
jam pertama panas, jumlah lekosit 16000-20000/mm3 dengan peninggian neutrofil. Pada hari ke
3-4 panas dapat timbul leucopenia (3000-5000/mm3). Dapat terdapat neutropenia absolute
dengan limfositosis relative (90%). Kadang-kadang dapat timbul monosit dalam jumlah besar.1,4
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan terhadap immunoglobulin M terhadap antibody penderita, dan dapat dilakukan
pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA HHV-6 pada saliva dan
kelenjar liur. Pemeriksaan secara pasti untuk menentukan infeksi primer dari HHV-6 sangat sulit.
Meskipun terdapat berbagai macam tes serologi tetapi tetap tidak akurat. Adanya antibody
maternal pada bayi dengan peningkatan 4 kali pada titer serologi, dapat menandakan reaktivasi
atau dapat pula berhubungan dengan infeksi yang lain. Pemeriksaan serologis HHV-6 dan HHV-
7 dapat menunjukkan adanya reaksi silang, sehingga menyebabkan hasil positif palsu. Antibody
IgM terhadap HHV-6 umumnya dapat terdeteksi 5-7 hari pertama setelah infeksi primer. Deteksi
2
DNA HHV-6 pada darah dan saliva, dengan polymerase chain reaction tidak dapat membedakan
suatu infeksi persisten atau infeksi primer. HHV-6 yang persisten pada sel mononuclear darah
tepi umumnya terdapat pada anak setelah infeksi primer.1

Diagnosis Banding
Campak

Campak adalah penyakit infeksi virus akut, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam,
inflamasi mukosa dan saluran napas, yang diikuti erupsi makulopapular berwarna merah dan
diakhiri dengan deskuamasi kulit. Campak adalah penyakit menular yang ditandai dengan 3
stadium, yaitu stadium inkubasi, stadium prodormal (kataral), dan stadium erupsi yang
bermanifestasi dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik. Umur terbanyak penderita
campak adalah < 12 bulan, diikuti kelompok umur 1-4 dan 5-14 tahun. Nama lain penyakit ini
adalah morbili, measles, dan rubeola.5
Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari tiga stadium:
-
Stadium prodromal: berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang diikuti dengan
batuk, pilek, faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda
patognomonik timbulnya bintik putih mukosa pipi di depan molar tiga disebut bercak
Koplik.6 Bercak Koplik merupakan bintik putih keabu-abuan, biasanya sebesar butir pasir.
Bercak ini muncul dan menghilang dengan cepat, biasanya dalam 12-18 jam.
-
Stadium erupsi: ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular yang bertahan selama 5-
6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian
menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekstremitas.
-
Stadium penyembuhan: stelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang sesuai dengan
urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan menghilang
1-2 minggu.6
Pada pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan darah tepi dan didapatkan leukosit
normal atau meningkat apabila ada komplikasi infeksi bakteri.
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup, suplemen nutrisi,
antibiotic diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, antikonvulsi apabila terjadi kejang dan
pemberian vitamin A. Tanpa komplikasi, tirah baring di tempat tidur, vitamin A 100.000 IU,
apabila malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari, diet makanan cukup cairan, kalori yang
memadai.
Indikasi pasien dirawat bila: hiperpireksia (suhu >39.0 oC), dehidrasi, kejang, asupan oral
sulit, adanya komplikasi.
3
Rubella

Merupakan suatu penyakit virus yang umum pada anak dan dewasa muda, yang ditandai
oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran kelenjar getah bening servikal,
suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang berlangsung 2-3 hari. Disebabkan oleh suatu
RNA virus, genus Rubivirus, family Togaviridae. Dapat diisolasi dari biakan jaringan penderita.
Pada waktu terdapat gejala klinis virus ditemukan pada sekret nasofaring, darah, feses dan urin.1
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernapasan, selanjutnya
virus rubella memasuki aliran darah. Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum
hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi pada akhir masa inkubasi kemudian
menurun dengan cepat, dan berlangsung hingga menghilangnya erupsi.1
1. Masa inkubasi, berkisar antara 14-21 hari (minimal 12 hari, maksimal 17-21 hari)
2. Masa prodromal, pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya, jarang
disertai gejala dan tanda pada masa ini. Namun pada remaja dan dewasa muda, masa
prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala, nyeri tenggorok,
kemerahan pada konjungtiva, rhinitis, batuk dan limfadenopati. Segera menghilang pada
waktu erupsi timbul. Pada 20% penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi,
timbul suatu enantema, Forschheimer spot, yaitu makula atau ptekiae pada palatum molle,
bisa saling merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran kelenjar limfe bisa
timbul 5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital,
postaurikular dan servikal, disertai nyeri tekan.
3. Masa eksantema, mulai retroaurikuler atau pada muka dan dengan cepat meluas secara
kraniokaudal ke bagian tubuh lain. Mula-mula berupa makula berbatas tegas dan kadang-
kadang dengan cepat meluas dan menyatu, memberikan bentuk morbiliform. Pada hari ke-2
eksantema di muka menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh, dan hari ke-4 di anggota gerak.
Limfadenopati biasanya berlangsung selama 5-8 hari.

Peningkatan sel plasma 5-20% merupakan tanda khas. Kadang-kadang terjadi leukopenia pada
awal penyakit yang dengan segera diikuti limfositosis relatif. Sering terjadi penurunan ringan
jumlah trombosit. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan serologi yaitu adanya
peningkatan titer antibodi 4x pada haemaglutinin inhibition test (HAIR) atau ditemukannya
antibodi IgM yang spesifik untuk rubella.

4
Patogenesis Roseola Infantum
Transmisi infeksi HHV-6 dan HHV-7 pada anak belum jelas. Umumnya infeksi virus
yang terjadi pada masa bayi bersumber secara horizontal dari orang yang tinggal dekat dengan
bayi tersebut. Seperti orangtua, dokter, perawat saat membantu melahirkan, atau terjadi infeksi
transplasenta. DNA HHV-6 dapat ditemukan pada saliva dan sel mononuclear darah tepi dari
90% individu yang sehat. Pada individu yang sehat dapat ditemukan 100-4000 DNA genom
virus HHV-6 untuk satu juta sel mononuclear pada darah tepi. Walaupun demikian individu yang
sehat dapat mentolerir jumlah virus tersebut, atau bahkan yang lebih banyak lagi, tanpa timbul
gejala penyakit.1
Adanya DNA HHV-6 dalam saliva dan kelenjar liur menyebabkan HHV-6 dapat diisolasi
dari saliva dan kelenjar liur tersebut, yang berarti virus dapat menyebar secara horizontal dari
satu individu ke individu yang lain melalui sekret oral. Walaupun jarang, virus ini diduga juga
dapat menyebar secara vertical dari ibu ke bayi, dengan ditemukannya virus DNA HHV-6 dalam
sekret serviks uteri. Infeksi primer dari HHV-7, diduga berasal dari virus yang hidup di saliva
orang dewasa karena ditemukannya DNA pada kelenjar liur orang dewasa yang sehat. Transmisi
yang mungkin terjadi berasal dari orangtua ke anak melalui kontak dekat.1
Penelitian serologis pada hubungan infeksi HHV-6 dengan eksantema subitum telah
dilaporkan di Jepang. Sampel serum pasien pada fase akut dan konvalesen diperiksa melalui
antibody immunoglobulin G (IgG) dan imunglobulin M (IgM). Antibody IgM dideteksi pada hari
ke-5 dan mampu bertahan selama 3 minggu, tetapi tidak dapat dideteksi selama 1 bulan. Antibdi
IgG dideteksi pada hari ke-7, dan meningkat sampai 3 minggu serta bertahan selama 2 bulan.
Ditemukan hal yang menarik bahwa titer antibody terhadap HHV-6 menjadi lebih tinggi saat
terjadi infeksi virus lain seperti HHV-7. Pada penderita transplantasi sumsum tulang, infeksi
HHV dapat mengakibatkan fungsi sumsum tulang menjadi tersupresi. Hal ini terjadi pada infeksi
HHV-6, sedangkan infeksi HHV-7 tidak memiliki efek terhadap formasi koloni hematopoietik. 1
Manifestasi Klinis
Eksantema subitum merupakan infeksi primer HHV-6B. Eksantema subitum merupakan
penyakit yang umum, disertai panas yang akut pada anak. Meskipun manifestasi klinik dari bayi
atau anak yang menderita eksantema subitum bervariasi, tetapi memiliki karakteristik khas yaitu
timbul demam mendadak tinggi sampai 39,4oC 41,20C. Panas akan berlangsung 3-6 hari. Pada
periode demam ini berhubungan dengan terdapatnya virus dalam darah. Saat periode demam
selama 3-6 hari, anak menjadi rewel, tetapi bila demam sudah menurun, anak menjadi tampak
5
normal. Umumnya terjadi limfadenopati servikal, tetapi karakteristik yang paling utama adalah
timbulnya limfadenopati di oksipital posterior pada 3 hari pertama infeksi, disertai eksantema
(Nagayanas spots) pada palatum molle dan uvula.
Setelah panas turun, kemudian timbul ruam pada tubuh, menyebar ke arah leher, wajah dan
ekstremitas. Lesi yang timbul berbentuk morbiliform atau rubella-like dengan macular, lesi
berwarna merah muda, ukuran dengan diameter 1-3mm dan ruam akan menghilang dalam
beberapa jam sampai 2 hari setelah ruam muncul tanpa adanya deskuamasi atau pigmentasi. kulit
Dapat ditemukan juga ubun-ubun besar yang menonjol namun akan sembuh secara spontan.
Infeksi primer ini dapat asimtomatik, tetapi juga dapat menimbulkan manifestasi klinik yang lain
dari eksantema subitum yang klasik. Pada beberapa kasus, eksantema subitum dapat disertai
gejala-gejala yang lain seperti otitis media sampai infeksi saluran pernapasan atas dan
gastroenteritis. Eksantema subitum yang disebabkan oleh infeksi HHV-7 memiliki gejala yang
sama dengan HHV-6, yaitu adanya demam tinggi.1,6

Diagnosis
Diagnosis eksantema subitum ditegakkan berdasarkan manifestasi klinik dan
pemeriksaan penunjang. Demam menurun pada hari ke 3-4. Saat temperature kembali normal,
timbul erupsi macula dan makulopapular di seluruh tubuh, dimulai pada dada yang menyebar ke
lengan dan leher serta sedikit mengenai muka dan kaki. Ruam kemudian menghilang, jarang
menetap selama 24 jam. Jarang terjadi deskuamasi atau menimbulkan pigmentasi. Kadang-
kadang kelenjar limfe membesar, terutama di daerah servikal.

Penatalaksanaan
Tidak ada profilaksis dan terapi spesifik yang direkomendasikan untuk infeksi primer dari
HHV-6, karena pada umumnya anak dengan eksantema subitum dapat sembuh sempurna hanya
dengan pengobatan simptomatik saja. Pada bayi dan anak muda yang cenderung untuk konvulsi,
pemberian sedative ketika muncul demam roseola mungkin efektif sebagai profilaksis terhadap
kejang yang akan muncul. Antipiretik dapat membantu menurunkan demam dan menenangkan
kegelisahan.1,2

Komplikasi
Penderita dengan eksantem subitum memiliki komplikasi-komplikasi yang umumnya
terjadi pada susunan saraf pusat. Komplikasi yang jarang terjadi adalah meningoensefalitis atau

6
ensefalitis, dan hemiplegia. Kejang demam merupakan komplikasi yang paling sering terjadi saat
infeksi akut dan timbul pada anak dengan infeksi primer dengan usia antara 12-15 bulan. HHV-6
dapat bertahan dalam cairan serebrospinal setelah infeksi primer pada anak sehat. Hal ini
berhubungan dengan kejadian kejang demam berulang pada anak. Predileksi yang sering adalah
pada lobus temporal dan lobus frontal. HHV-6 seperti telah dijelaskan dapat menginvasi otak
secara langsung dan sel-sel neural, baik pada individu yang sehat maupun pada penderita yang
imunokompromis. Pada penelitian di laboratorium, HHV-6 dapat diinhibisi dengan
menggunakan beberapa jenis antivirus termasuk ganciclovir dan foscarnet. Pengobatan ini dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan infeksi HHV-6 yang serius.1,4

Prognosis
Prognosis pada penderita eksantem subitum adalah baik. Hal ini disebabkan karena
perjalanan penyakit eksantema subitum adalah akut dan ringan. Penyakit ini dapat sembuh
dengan sempurna. Erupsi yang terjadi pada kulit dapat hilang dan kembali normal tanpa adanya
bekas. Pada penderita imunokompromis yang menderita eksantema subitum, dapat terjadi infeksi
kronis hingga menyebabkan kematian.1

7
DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis & tatalaksana tuberkulosis anak. Jakarta: DEPKES
IDAI; 2008.
2. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis. Jakarta: Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.h.323-
8.
3. Basir D, Kartasasmita CB. Tuberkulosis epidemiologi. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.165-6.
4. Behrma RE, Kliegman RM, ed. Nelson esensi pediatri. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2010.h.431.
5. Werdhani R A. Patofisiologi, diagnosis, dan klasifikasi tuberkulosis. Jakarta: Departemen
Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI; 2010.
6. Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis dan perjalanan alamiah. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.169-74.

Anda mungkin juga menyukai