Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan, dengan perkiraan sekitar 50-
60% dari total berat badan orang dewasa. Cairan tubuh dibagi dalam dua
kompartemen utama yaitu cairan ekstrasel (60%) dan cairan intrasel (40%). Cairan
ekstrasel dapat dibagi lagi menjadi dua subkompartemen antara lain cairan
interstitial (30%) dan cairan intravaskuler (10%). Membran sel lipid-soluble yang
membatasi cairan ekstrasel dan intrasel bersifat semipermeabel yang bebas dilewati
air, namun tidak bebas dilewati oleh solut yang ada pada kedua kompartemen
tersebut.1,2
Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut berupa elektrolit
(kation dan anion) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi
sel. Natrium pada cairan ekstrasel dan kalium pada cairan intrasel merupakan dua
kation utama yang mempengaruhi tekanan osmotik cairan dan langsung
berhubungan dengan fungsi sel. Kation lain yang terdapat pada cairan ekstrasel
adalah kalium, kalsium dan magnesium. Untuk menjaga netralitas atau
elektronetral, di dalam cairan intrasel terdapat anion fosfat, sedangkan anion
ekstrasel berupa klorida, bikarbonat, dan albumin.1,2,3,4
Beberapa kondisi tertentu dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara
cairan intrasel dan ekstrasel. Gangguan ini selanjutnya mempengaruhi
perbandingan antara jumlah solut dan air, atau disebut dengan osmolalitas. Solut-
solut yang berperan dalam osmolalitas ini antara lain natrium, kalium, glukosa, dan
urea. Apabila keseimbangan elektrolit terganggu, maka akan terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan sekaligus gangguan fungsi tubuh secara sistemik. Pada
tulisan ini akan dibahas mengenai fisiologi serta gangguan elektrolit yang sering
dijumpai, yaitu natrium, kalium, dan kalsium.2,5,6

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Natrium
2.1.1 Fisiologi Natrium
Natrium berperan dalam menentukan status volume cairan tubuh.
Keseimbangan natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme,
yaitu kadar natrium yang sudah tetap dalam batas tertentu (set-point) serta
keseimbangan natrium yang masuk dan keluar (steady-state). Perubahan kadar
natrium intra- dan ekstrasel akan mempengaruhi kadar beberapa hormon terkait
seperti hormon antidiuretik (ADH), sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAA), atrial natriuretic peptide (ANP), dan brain natriuretic peptide (BNP).
Hormon-hormon tersebut akan mempengaruhi ekskresi natrium dalam urin.2,3
Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus
dan reabsorpsi tubulus ginjal. Laju filtrasi glomerulus akan meningkat pada
hipervolemia serta peningkatan asupan natrium, dan begitu pula sebaliknya.
Perubahan yang terjadi pada laju ini akan mempengaruhi reabsorpsi natrium di
tubulus. 2,5,6
Sumber utama ADH adalah bagian magnoseluler nukleus supraoptikus
pada hipotalamus. Stimulus berjalan sepanjang akson pada traktus
supraoptikus-hipofisis yang menuju ke kalenjar pituitari posterior
(neurohipofisis), setelahnya hormon beredar ke sirkulasi sistemik. Salah satu
efek utama ADH adalah meningkatkan permeabilitas tubulus distal ginjal yang
mana akan meningkatkan reabsorbsi air, selanjutnya mengencerkan darah yang
bersirkulasi dan membuat urin menjadi pekat. Peningkatan osmolaritas serum
adalah stimulus utama pengeluaran ADH; stimulus lainnya adalah penurunan
volume intravaskuler.1
Nilai Rujukan Natrium
Nilai rujukan kadar natrium pada:
- serum bayi : 134-150 mmol/L
- serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L

2
- urine anak dan dewasa: 40-220 mmol/24 jam
- cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L
- feses : < 10 mmol/hari
Koreksi Natrium : 0,6 x BB x (140-Na plasma) = ... mEq/L

2.1.2 Hipernatremia
Kadar serum natrium >150 mEq/L didefinisikan sebagai hipernatremia.
Respon fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH dari
hipotalamus, sehingga ekskresi urin berkurang dan osmolalitas urin tinggi.
Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah hipernatremia oleh karena
rangsangan rasa haus yang timbul akan dijawab dengan peningkatan asupan
air.1,2,6 Adapun penyebab hipernatremia antara lain:2
a. Ekskresi air melebihi ekskresi natrium; seperti peningkatan insensible
water-loss, diare osmotik, diabetes insipidus, diuresis osmotik, dan
gangguan pusat rasa haus di hipotalamus.
b. Asupan natrium yang kurang
c. Penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan; seperti koreksi natrium
bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik.
d. Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel; seperti peningkatan asam laktat
setelah olahraga berat yang meningkatkan osmolalitas sel.
Dalam kaitan dengan hipernatremia, harus dibedakan antara
dehidrasi dengan deplesi volume. Dehidrasi adalah keluarnya air tanpa
natrium, yang berarti hipotonik. Sedangkan deplesi volume adalah keluarnya
air bersama natrium, yang berarti isotonik. Pengurangan cairan intra- dan
ekstrasel terjadi pada dehidrasi, sedangkan deplesi volume hanya
menyebabkan pengurangan cairan ekstrasel.2

2.1.3 Hiponatremia
Apabila terjadi hiponatremia, tubuh normal akan merespon dengan
menekan pengeluaran ADH sehingga ekskresi urin meningkat. Hiponatremia
dapat terjadi bila jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi atau

3
ketidakmampuan menekan sekresi ADH.1,3,5,6 Berdasarkan prinsip di atas,
kondisi ini dapat disertai dengan atau tanpa peningkatan ADH.1
Tabel 1. Klasifikasi Hiponatremia Berdasarkan Kadar ADH1
Hiponatremia dengan Volume sirkulasi Peningkatan ekskresi
peningkatan ADH efektif turun natrium
- Obat diuretik
- Renal salt-wasting
- Muntah, diare
- Hipoaldosteron
Peningkatan volume air
bebas elektrolit
- Gagal jantung
- Sirosis hati
- Perdarahan
- Insufisiensi adrenal
- Hipotiroidisme
- Hipoalbuminemia
Volume sirkulasi - SIADH
efektif tetap
Hiponatremia dengan - Polidipsia primer
ADH tertekan - Gagal ginjal
fisiologis

Menurut waktunya, hiponatremia dibagi menjadi hiponatremia akut (<48


jam) dan kronis (>48 jam). Gejala hiponatremia ringan atau penurunan
bertahap atau kronis meliputi anoreksia, nyeri kepala, iritabel, dan kelemahan
otot. Sedangkan pada hiponatremia berat (<120 mmol/L) atau penurunan cepat
(>0,5 mmol/jam) atau akut dapat menyebabkan eksitabilitas neuromuskuler,
edema otak, mual/muntah, kejang, sampai henti nafas, cedera otak permanen,
koma, bahkan kematian. Pasien dengan hiponatremia yang belum diketahui
durasinya kemungkinan sudah bersifat kronis jika gejalanya masih minimal,

4
dan ditangani secara gradual khususnya dengan terapi cairan. Hiponatremia
simtomatik akut harus ditangani segera karena edema otak yang terjadi
meningkatkan resiko herniasi dan gagal jantung-nafas.1,2,5
Pada pasien bedah saraf, kondisi hiponatremia sering terlihat pada
Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH) dan
Cerebral Salt-Wasting (CSW). Oleh karena mekanisme kompensasi yang
lambat di otak, penurunan kadar natrium yang bertahap lebih bisa ditoleransi
dibandingkan penurunan yang cepat.1,2
2.1.3.1 Syndrome of Inappropriate ADH Secretion (SIADH)
SIADH, atau sindrom Schwartz-Bartter, diakibatkan oleh pelepasan
ADH tanpa rangsangan fisiologis. Kondisi ini menyebabkan peningkatan
osmolalitas urin dan peningkatan volume cairan ekstrasel, yang
selanjutnya memicu kelebihan cairan akibat hiponatremia dilusional.
SIADH dapat bersifat hipervolemia ataupun euvolemia. Edema tidak
terjadi, namun hal ini masih belum dapat dijelaskan.1,2,7,8 Adapun etiologi
dari SIADH antara lain:1,8
1. Keganasan, khususnya bronkogenik
2. Proses intrakranial, contohnya meningitis (khususnya anak),
trauma, peningkatan tekanan intrakranial, tumor, pasca-
kraniotomi, perdarahan sub-araknoid
3. Penyakit paru, seperti keganasan, TB paru, aspergilosis
4. Anemia
5. Kondisi-kondisi yang merangsang pelepasan ADH, seperti
stres, nyeri hebat, mual, hipotensi
6. Porfiria intermiten akut
7. Klorpropramid (SIADH relatif dengan meningkatkan
sensitivitas ginjal terhadap ADH), oksitosin (cross-activity
dengan ADH), hidroklorotiazid, dan karbamazepin.
Tiga kriteria diagnosis SIADH adalah hiponatremia, urin pekat
yang abnormal, serta tidak ada disfungsi ginjal dan adrenal. Detailnya
yaitu hiponatremia (biasanya <134 mEq/L), penurunan osmolalitas darah

5
(<280 mOsm/L), peningkatan natrium urin (>18 mEq/L), peningkatan
rasio urin dan osmolaritas serum (1,5-2,5:1, dapat pula 1:1), fungsi ginjal
normal, fungsi adrenal normal, tidak hipotiroid, serta tidak dehidrasi
maupun overhidrasi. Penurunan natrium yang ringan atau perlahan sering
asimtomatik; gejala biasanya timbul saat kadar natrium <120-125
mEq/L. Water load test dapat dilakukan jika diperlukan. Pasien diminta
untuk meminum air 20 mL/kgBB sampai 1500 mL. SIADH bisa
ditegakkan bila ekskresi tidak lebih dari 65% dari total air yang diminum
dalam 4 jam atau 80% dalam 5 jam tanpa gangguan ginjal dan
adrenal.1,7,8
Perlu dibedakan antara SIADH dan CSW sebelum melakukan
koreksi. SIADH akut yang ringan dan asimtomatik dilakukan restriksi
cairan <1 L/hari (anak: 1 L/m2/hari), sedangkan pada SIADH berat atau
simtomatik digunakan salin hipertonis dengan atau tanpa furosemid.
Penanganan SIADH kronis meliputi restriksi cairan jangka panjang
(1200-1800 mL/hari), demeklosiklin 150-300 mg PO setiap 6 jam
(antagonis parsial terhadap ADH pada tubulus ginjal), furosemid 40 mg
PO setiap 24 jam dengan diet tinggi natrium, dan fenitoin (menghambat
pelepasan ADH).1,7
2.1.3.2 Cerebral Salt-Wasting (CSW)
CSW merupakan kehilangan natrium melalui ginjal akibat proses
intrakranial, yang menyebabkan hiponatremia dan penurunan volume
cairan ekstrasel. Mekanisme gagalnya ginjal mengkonservasi natrium
belum diketahui, diduga melalui rangsangan faktor natriuretik yang
belum diketahui atau kontrol langsung dari susunan saraf pusat.
Pemeriksaan laboratorium CSW dan SIADH hampir sama, selain itu
hipovolemia pada CSW bisa merangsang pelepasan ADH. Yang
membedakannya adalah Central Venous Pressure (CVP), Pulmonary
Capillary Wedge Pressure (PCWP), dan volume plasma rendah pada
kondisi hipovolemia seperti CSW.1,2,7 Dua perbedaan terpenting CSW

6
dan SIADH yaitu volume ekstrasel dan keseimbangan garam, seperti
yang tercantum pada tabel 2.1
Tabel 2. Perbandingan antara CSW dan SIADH1
Parameter CSW SIADH
Volume Plasma (<35 mL/kgBB)
Keseimbangan - Bervariasi
Garam
Dehidrasi + -
Berat Badan atau tetap
PCWP (<8 mmHg) atau N
CVP (<6 mmHg) atau N
Hipotensi Ortostatik +
Hematokrit atau tetap
Osmolalitas Serum atau N
Rasio BUN:SC N
Protein Serum N
Natrium Urin
Kalium Serum atau tetap atau tetap
Asam Urat Serum N
Target terapi CSW adalah penggantian cairan dan keseimbangan
garam yang positif. Pasien dihidrasi dengan NaCl 0,9% atau terkadang
digunakan NaCl 3%, dan garam juga bisa diganti per oral. Fludrokortison
asetat 0,2 mg PO atau IV per hari dapat meningkatkan absorpsi natrium
pada tubulus ginjal. Obat ini terbukti bermanfaat pada CSW, namun perlu
diperhatikan efek sampingnya seperti edema paru, hipokalemia, dan
hipertensi.1,2,7
2.2 Paralisis Periodik
2.2.1 Definisi
Paralisis Periodik (PP) adalah sekelompok gangguan otot rangka dengan
bermacam etiologi, bersifat episodik, berlangsung sebentar, hiporefleks, dengan
atau tanpa miotonia tetapi tanpa defisit sensorik dan tanpa kehilangan kesadaran.

7
Paralisis periodik adalah gangguan otot rangka di mana pasien mengalami serangan
kelemahan otot dengan durasi dan derajat yang bervariasi. Serangan dapat
berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa hari. Kelemahan dalam serangan
dapat general atau fokal. Dalam perjalanan penyakitnya dari penyakit otot ini,
kekuatan normal kembali setelah serangan, tetapi kemudian kelemahan otot
signifikan yang menetap sering berkembang.1 Pada awal perjalanan penyakit ini,
kelumpuhan periodik primer atau yang diturunkan (familial), kekuatan otot normal
diantara serangan. Setelah bertahun-tahun serangan ini, kelemahan interiktal terjadi
dan mungkin progresif. Gangguan ini dapat diobati dan kelemahan progresif dapat
dicegah atau bahkan dapat sembuh.9,10

2.2.2 Klasifikasi
Paralisis periodik dibagi menjadi dua golongan berdasarkan penggolongan
secara konvensional yaitu paralisis periodik primer atau familial dan paralisis
periodik sekunder. Paralisis periodik primer atau familial merupakan kelompok
gangguan akibat mutasi gen tunggal yang mengakibatkan kelainan saluran kalsium,
kalium natrium, dan klorida pada sel otot - membran. Oleh karena itu, ini juga
dikenal sebagai channelopathies atau membranopathies.10 Paralisis periodik
sekunder mungkin karena terbukti diketahui oleh beberapa penyebab. Riwayat
penggunaan ACE inhibitor, angiotensin-II-reseptor-blocker, diuretik, atau
carbenoxolone memberikan petunjuk untuk diagnosis paralisis periodik sekunder.
Karakteristik klinis atau biokimia dari gagal ginjal kronis, tirotoksikosis,
paramyotonia kongenital, atau sindrom Andersen dapat ditemukan kelumpuhan
periodik sekunder. Berikut di bawah ini penggolongan paralisis periodik secara
konvensional.10
2.2.2.1 Paralisis periodik primer atau familial :
a. Paralisis periodik hipokalemik
b. Paralisis periodik hiperkalemik
c. Paralisis periodik normokalemik
Semua di atas diturunkan secara autosomal dominan
2.2.2.2 Paralisis periodik sekunder:

8
a. Paralisis periodik hipokalemik :
- Tirotoksikosis
- Thiazide atau loop-diuretic induced
- Nefropati yang menyebabkan kehilangan kalium
- Drug-induced : gentamicin, carbenicillin, amphotericin-B,
turunan tetrasiklin, vitamin B12 , alkohol, carbenoxolone
- Hiperaldosteron primer atau sekunder
- Keracunan akut akibat menelan barium karbonat sebagai
rodentisida
- Gastro-intestinal potassium loss
b. Paralisis periodik hiperkalemik :
- Gagal ginjal kronis
- Terapi ACE-inhibitor dosis tinggi, atau nefropati diabetik
lanjut
- Potassium supplements jika digunakan bersama potassium
sparing diuretics (spironolactone, triamterene, amiloride) dan
atau ACE-inhibitors
- Andersens cardiodysrhythmic syndrome
- Paramyotonia congenita-periodic paralysis terjadi spontan
atau dipicu oleh paparan suhu dingin
a. Paralisis periodik hipokalemik
Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai kelemahan otot
akut karena hipokalemia yang terjadi secara episodik. Sebagian besar paralisis
periodik hipokalemik merupakan paralisis periodik hipokalemik primer atau
familial. Paralisis periodik hipokalemik sekunder bersifat sporadik dan biasanya
berhubungan dengan penyakit tertentu atau keracunan. Salah satu kelainan ginjal
yang dapat menyebabkan paralisis periodik hipokalemik sekunder adalah asidosis
tubulus renalis distal (ATRD) yang biasanya terjadi pada masa dewasa. Gejala
klinis yang karakteristik adalah kelemahan otot akut yang bersifat intermiten,
gradual, biasanya pada ekstremitas bawah, dapat unilateral atau bilateral, disertai
nyeri di awal serangan. Paralisis periodik hipokalemik diterapi dengan kalium dan

9
mengobati penyakit dasarnya. Analisis yang cermat diperlukan untuk mengetahui
penyakit dasarnya karena sangat menentukan tata laksana dan prognosis
selanjutnya.11
Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai dengan kadar
kalium yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat
episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Hipokalemia dapat terjadi
karena adanya faktor pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar
karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian obat,
operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-lain. Kadar insulin juga dapat
mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita, karena insulin akan
meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan akan terjadi
pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel, sehingga pada
pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium biasanya dalam
batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu berbeda, juga tidak
ada korelasi antara besarnya penurunan kadar kalium serum dengan beratnya
paralisis (kelemahan) otot skeletal.12
Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat juga
serangan berkali-kali (berulang) dengan interval waktu serangan juga bervariasi.
Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadang-kadang
dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana kedua
keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka kejadian adalah sekitar 1 diantara
100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih berat. Usia
terjadinya serangan pertama bervariasi dari 120 tahun, frekuensi serangan
terbanyak di usia 1535 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.
Hipokalemik periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik otosomal
dominan. Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik
paralisis adalah tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin.12
Diagnosa kelainan hipokalemik periodik paralisis ditegakkan berdasarkan
kadar kalium darah rendah [kurang dari 3,5 mmol/L (0,93,0 mmol/L) ] pada
waktu serangan, riwayat mengalami episode flaccid paralysis dengan
pemeriksaan lain dalam batas normal. Paralisis yang terjadi pada penyakit ini

10
umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi juga tangan dan kaki, bersifat
intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada EMG dan biopsi
otot ditemukan miotonia, refleks Babinsky positif, kekuatan otot normal diluar
serangan. Terdapat 2 bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode paralitik
dan bentuk miopati, kedua keadaan ini dapat terjadi secara terpisah ataupun
bersama-sama. Sering terjadi bentuk paralitik murni, kombinasi episode paralitik
dan miopati yang progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian pula bentuk
miopatik murni jarang terjadi. Episode paralitik ditandai terutama adanya flaccid
paralysis dengan hipokalemia sehingga dapat terjadi para paresis atau tetraparesis
berpasangan dengan otot pernafasan. Pada pasien ini murni flaccid paralysis
dengan hipokalemia dan akan sembuh atau remisi sendiri 56 jam kemudian,
dengan pemberian kalium per oral serangan menjadi lebih ringan. Tidak terdapat
kelainan pada otot pernafasan. Jika terdapat kelainan genetik maka pada analisa
didapatkan kelainan antara lain adalah autosomal dominan inheritance yaitu
mutasi pada kromososm CACNA1S (70%) disebut hipokalemik periodik paralisis
tipe 1, mutasi lokus pada kromosom SCN4A (10%) disebut hipokalemik periodik
paralisis tipe 2.12
b. Paralisis periodik hiperkalemik
Lebih jarang dibanding paralisis periodik hipokalemik. Mulai timbul
sebelum umur 10 tahun. Frekuensi dan berat serangan berkurang pada
masa remaja dan hilang pada saat dewasa. Frekuensi laki-laki dan wanita sama.
Berbagai faktor pencetus terjadinya paralisis periodik hiperkalemik
diantaranya:13,14
1. Lapar
2. Istirahat setelah kena dingin atau setelah latihan
3. Asupan kalium yang berlebihan
4. Infeksi
5. Kehamilan
6. Anestesi
Pada paralisis periodik hiperkalemia, karbohidrat dan garam bukan
merupakan faktor pencetus. Gejala lebih ringan dibandingkan paralisis periodik

11
hipokalemia. Biasanya berlangsung kurang dari 1 jam. Serangan lebih sering
terjadi pada siang hari dan biasanya terjadi waktu istirahat, misalnya sedang
duduk. Keluhan berkurang bila penderita berjalan-jalan. Kelemahan dimulai dari
tungkai lalu menjalar ke paha, punggung, tangan, lengan dan bahu. Sebelum
timbul kelemahan biasanya terdapat rasa kaku dan kesemutan pada kedua tungkai.
Jarang terjadi gangguan menelan dan napas. Sering terdapat miotonia pada otot
mata, wajah, lidah dan faring. Pada saat serangan didapatkan tonus dan refleks
fisiologis yang menurun dan tanda Chovstek yang positif. Diluar serangan
kekuatan otot normal, pada fase lanjut terdapat kelemahan otot-otot proksimal.13,14
2.2.3 Paralisis Periodik Normokalemik
Jenis ini paling jarang ditemui. Patofisiologinya belum diketahui. Serangan
lebih berat dan lebih lama daripada paralisis periodik hiperkalemia. Serangan
dapat ditimbulkan oleh pemberian KCl dan dapat dihentikan dengan pemberian
NaCl. Serangan tidak dipicu oleh pemberian insulin, glukosa ataupun kalium. 16
Karakteristik klinis perbedaan dari paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis
hipokalemik dapat dilihat pada tabel di bawah ini.9
Paralisis periodik Paralisis peiodik hipokalemik
hiprekalemik
Onset Dekade pertama Dekade kedua
Pemicu Istirahat sehabis latihan, Istirahat sehabis latihan,
dingin, puasa, makanan kaya kelebihan karbohidrat
kalium
Waktu serangan Kapan pun Pada saat bangun tidur pagi hari
Durasi serangan Beberapa menit sampai Beberapa jam sampai beberapa
beberapa jam hari
Keparahan Ringan sampai sedang, fokal Sedang sampai berat
serangan
Gejala tambahan Miotonia atau paramiotonia -
Kalium serum Biasanya tinggi, bisa normal Rendah

12
Pengobatan Acetazolamide, Acetazolamide,
dichlorphenamide, thiazide, dichlorphenamide, suplemen
beta-agonist kalium, diuretik hemat kalium
Gen/ ion channel SCN4A: Nav1.4 (sodium CACNA1S: Cav1.1 (calcium
channel subunit channel subunit)
KCNJ2: Kir2.1 (pottasium SCN4A: Nav1.4 (sodium channel
channel subunit) subunit)
KCNJ2: Kir2.1 (pottasium
channel subunit)

2.2.3 Etiologi
Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung dan saraf merupakan suatu alat untuk
mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh. Kontraksi otot
skeletal diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum sarkoplasma, yang
kemudian terjadi aksi potensial pada motor end-plate yang dicetuskan oleh
depolarisasi dari transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan kecepatan dari jalur
sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas kanal ion voltage-sensitive.
Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan kelainan yang
diturunkan pada manusia. Dan kelainannya disebut chanelopathies yang cenderung
menimbulkan gejala yang paroksismal : miotonia atau periodik paralisis dari otot-
oto skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat meningkatkan eksitasi elektrik
suatu sel, menurunkan kemampuan eksitasi, bahkan dapat menyebabkan
kehilangan kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari eksitasi listrik pada otot
skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik paralisis.16

2.2.3 Potensial Aksi


Ketika sel saraf mendapat stimulus, aksi potensial dimulai. Kanal natrium
terbuka, menyebabkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ini merupakan proses difusi
pasif. Setelah impuls melewati bagian tertentu sel saraf, pompa sodium dan
potasium memompa keluar 3 ion natrium untuk setiap 2 ion kalium yang dipompa
kembali ke dalam sel.

13
Gambar 1. Anatomi Sel saraf

Selama depolarisasi pada potensial aksi, ion natrium masuk ke dalam otot (melalui
tubulus T) dan sel saraf (melalui kanal natrium) secara pasif, dimana
kelistrikan/voltage nya antara -70 sampai -90 mV (saat istirahat) hingga +30 sampai
+35 mV pada puncak potensial aksi. Secara teknis, sel saraf mengalami depolarisasi
ketika voltage mencapai 0 mV. Selama repolarisasi, ion kalium meninggalkan sel
saraf. Selama pemulihan (recovery), ion natrium dan kalium dipompa kembali ke
posisi awalnya dengan mekanisme transpor aktif menggunakan ATP. Sel saraf dan
otot harus mencapai potensi ambang sebelum masing-masing dapat meneruskan
impuls atau kontraksi.

Gambar 2. Mekanisme potensial aksi

14
2.2.4 Patofisiologi
2.2.4.1 Kalium
Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik
dalam tubuh dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan
yang dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot
lurik. Kalium mempunyai peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama
intrasel. Ion ini akan masuk ke dalam sel dengan cara transport aktif, yang
memerlukan energi. Fungsi kalium akan nampak jelas bila fungsi tersebut terutama
berhubungan dengan aktivitas otot jantung, otot lurik, dan ginjal. Eksitabilitas sel
sebanding dengan rasio kadar kalium di dalam dan di luar sel. Berarti bahwa setiap
perubahan dari rasio ini akan mempengaruhi fungsi dari selsel yaitu tidak
berfungsinya membran sel yang tidak eksitabel, yang akan menyebabkan timbulnya
keluhankeluhan dan gejalagejala sehubungan dengan tidak seimbangnya kadar
kalium. Kadar kalium normal intrasel adalah 135 150 mEq/L dan ekstrasel adalah
3,55,5mEq/L. Perbedaan kadar yang sangat besar ini dapat bertahan, tergantung
pada metabolisme sel. Dengan demikian situasi di dalam sel adalah elektro negatif
dan terdapat membran potensial istirahat kurang lebih sebesar -90 mvolt. 16
Nilai Rujukan Kalium
Nilai rujukan kalium serum pada:
- serum bayi : 3,6-5,8 mmol/L
- serum anak : 3,5-5,5 mmo/L
- serum dewasa : 3,5-5,3 mmol/L
- urine anak : 17-57 mmol/24 jam
- urine dewasa : 40-80 mmol/24 jam
- cairan lambung : 10 mmol/L
Koreksi Kalium : (K x 0,3 x BB) = ... mEq/L

2.2.4.2 Paralisis periodik hipokalemik


Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang sering terjadi pada praktek
klinis yang didefinisikan dengan kadar kalium serum kurang dari 3,5 mEq/L, pada
hipokalemia sedang kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan hipokalemia berat kadar

15
kalium serumnya kurang dari 2,5 mEq/L. Keadaan ini dapat dicetuskan melalui
berbagai mekanisme, termasuk asupan yang tidak adekuat, pengeluaran berlebihan
melalui ginjal atau gastrointestinal, obat-obatan, dan perpindahan transelular
(perpindahan kalium dari serum ke intraselular). Gejala hipokalemi ini terutama
terjadi kelainan di otot. Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L
berhubungan dengan suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue,
dan mialgia. Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot menjadi
lebih berat terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun
hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan struktural dari otot,
termasuk rhabdomiolisis dan mioglobinuria. Peningkatan osmolaritas serum dapat
menjadi suatu prediktor terjadinya rhabdomiolisis. Selain itu suatu keadaan
hipokalemia dapat mengganggu kerja dari organ lain, terutama sekali jantung yang
banyak sekali mengandung otot dan berpengaruh terhadap perubahan kadar kalium
serum. Perubahan kerja jantung ini dapat kita deteksi dari pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG). Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar
kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi
gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST depresi, pemanjangan dari PR, QRS,
dan QT interval. 10,13
Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan bentuk umum dari
kejadian periodik paralisis yang diturunkan, dimana kelainan ini diturunkan secara
autosomal dominan. Dari kebanyakan kasus pada periodik paralisis hipokalemi
terjadi karena mutasi dari gen reseptor dihidropiridin pada kromosom 1q. Reseptor
ini merupakan calcium channel yang bersama dengan reseptor ryanodin berperan
dalam proses coupling pada eksitasi-kontraksi otot. Fontaine et.al telah berhasil
memetakan mengenai lokus gen dari kelainan HypoPP ini terletak tepatnya di
kromosom 1q2131. Dimana gen ini mengkode subunit alfa dari L-type calcium
channel dari otot skeletal secara singkat di kode sebagai CACNL1A3. Mutasi dari
CACNL1A3 ini dapat disubsitusi oleh 3 jenis protein arginin (Arg) yang berbeda,
diantaranya Arg-528-His, Arg-1239-His, dan Arg-1239-Gly. Pada Arg-528-His
terjadi sekitar 50 % kasus pada periodik paralisis hipokalemi familial dan kelainan
ini kejadiannya lebih rendah pada wanita dibanding pria. Pada wanita yang

16
memiliki kelainan pada Arg-528-His dan Arg-1239-His sekitar setengah dan
sepertiganya tidak menimbulkan gejala klinis.17,18
Sebagai gejala klinis dari periodik paralisis hipokalemi ini ditandai dengan
kelemahan dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun
kognitif yang berhubungan dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah dan
tidak ditemukan tanda-tanda miotonia dan tidak ada penyebab sekunder lain yang
menyebabkan hipokalemi. Gejala pada penyakit ini biasanya timbul pada usia
pubertas atau lebih, dengan serangan kelemahan yang episodik dari derajat ringan
atau berat yang menyebabkan quadriparesis dengan disertai penurunan kapasitas
vital dan hipoventilasi, gejala lain seperti fatigue dapat menjadi gejala awal yang
timbul sebelum serangan, namun hal ini tidak selalu diikuti dengan terjadinya
serangan kelemahan. Serangan sering terjadi saat malam hari atau saat bangun dari
tidur dan dicetuskan dengan asupan karbohidrat yang banyak serta riwayat
melakukan aktivitas berat sebelumnya yang tidak seperti biasanya. Serangan ini
dapat terjadi hingga beberapa jam sampai yang paling berat dapat terjadi beberapa
hari dari kelumpuhan tersebut.9,16
Distribusi kelemahan otot dapat bervariasi. Kelemahan pada tungkai biasanya
terjadi lebih dulu daripada lengan dan sering lebih berat kelemahannya dibanding
lengan, dan bagian proksimal dari ekstremitas lebih jelas terlihat kelemahannya
dibanding bagian distalnya. Terkecuali, kelemahan ini dapat juga terjadi sebaliknya
dimana kelemahan lebih dulu terjadi pada lengan yang kemudian diikuti kelemahan
pada kedua tungkai dimana terjadi pada pasien ini. Otot-otot lain yang jarang sekali
lumpuh diantaranya otot-otot dari mata, wajah, lidah, pharing, laring, diafragma,
dan spingter, namun pada kasus tertentu kelemahan ini dapat saja terjadi. Saat
puncak dari serangan kelemahan otot, refleks tendon menjadi menurun dan terus
berkurang menjadi hilang sama sekali dan reflek kutaneus masih tetap ada. Rasa
sensoris masih baik. Setelah serangan berakhir, kekuatan otot secara umum pulih
biasanya dimulai dari otot yang terakhir kali menjadi lemah. Miotonia tidak terjadi
pada keadaan ini, dan bila terjadi dan terlihat pada klinis atau pemeriksaan EMG
menunjukkan terjadinya miotonia maka diagnosis HipoPP kita dapat
singkirkan.11,16

17
Selain dari anamnesa, pemeriksaan penunjang lain seperti laboratorium darah
dalam hal ini fungsi ginjal, elektrolit darah dan urin, urinalisa urin 24 jam, kadar
hormonal seperti T4 dan TSH sangat membantu kita untuk menyingkirkan
penyebab sekunder dari hipokalemia. Keadaan lain atau penyakit yang dapat
menyebabkan hipokalemi diantaranya intake kalium yang kurang, intake
karbohidrat yang berlebihan, intoksikasi barium, kehilangan kalium karena diare,
periodik paralisis karena tirotoksikosis, renal tubular asidosis, dan
hyperaldosteronism.12

2.2.5 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah 12,13
2.2.5.1 Laboratorium
a. Kadar kalium serum
Kalium serum merupakan pemeriksaan laboratorium yang paling
penting. Diantara serangan paralisis, kalium serum abnormal pada tipe
paralisis periodik sekunder, tetapi biasanya normal pada paralisis
periodik primer. Selama serangan kadar kalium serum dapat tinggi,
rendah, atau di atas batas normal dan bisa di bawah batas normal.
Pemeriksaan secara random kadar kalium serum dapat menunjukan
fluktuasi yang periodik pada paralisis periodik normokalemik.
Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan
suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue, dan
mialgia. Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot
menjadi lebih berat terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika
serum kalium turun hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi
kerusakan struktural dari otot, termasuk rhabdomiolisisdan
miogobinuria.
b. Fungsi ginjal
c. Kadar glukosa darah pengambilan glukosa darah ke dalam sel
menyebabkan kalim berpindah dari luar sel (darah) ke dalam sel-sel
tubuh.

18
d. pH darah
Dibutuhkan untuk menginterpretasikan K+ yang rendah. Alkalosis biasa
menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran K+ ke dalam sel.
Asidosis menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin.
e. Hormon tiroid : T3,T4 dan TSH untuk menyingkirkan penyebab
sekunder hipokalemia.
f. Kadar CPK (creatinin phospokinase) dan mioglobin serum
Kadar CPK tinggi pada paralisis periodik primer selama atau baru saja
setelah serangan. Kadar mioglobin serum juga mungkin tinggi.
2.2.5.2 EKG
Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum
dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi
gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST depresi, pemanjangan dari
PR, QRS, dan QT interval. 16
2.2.5.3 EMG
Di antara serangan, mungkin ada fibrilasi dan pengulangan keluaran
kompleks, meningkat dengan dingin dan menurun dengan latihan (dalam
paralisis periodik hipokalemik). Selama serangan, EMG akan menunjukkan
listrik diam, baik pada paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis periodik
hipokalemik.
2.2.5.4 Biopsi otot
Biopsi otot diperlukan pada beberapa kasus yang dengan penampilan
klinis yang tidak spesifik. Pada paralisis periodik hipokalemik primer
muangkin terdapat vakuola sentral yang tunggal atau mutipel. Pada paralisis
periodik hiperkalemik sekunder, vakuala dan agregat tubular dapat
ditemukan.

2.2.6 Penatalaksanaan
2.2.6.1 Paralisis periodik hipokalemik
Seperti pada bentuk lain dari periodik paralisis dan miotonia, kebanyakan
pasien dengan HypoPP tidak memerlukan intervensi farmakologis. Pasien kita

19
edukasi dan berikan informasi untuk mencegah dan menurunkan kejadian serangan
melalui menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang berat, hindari
kedinginan, mengkonsumsi buah-buahan atau jus yang tinggi akan kalium,
membatasi intake karbohidrat dan garam (160 mEq/hari).
Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat
diberikan untuk menurunkan frekuensi dan beratnya serangan kelemahan episodik
dan memperbaiki kekuatan otot diantara serangan. Acetazolamide merupakan obat
jenis tersebut yang banyak diresepkan, dosis dimulai dari 125 mg/hari dan secara
bertahap ditingkatkan hingga dosis yang dibutuhkan maksimum 1500 mg/hari.
Pasien yang tidak berespon dengan pemberian acetazolamide dapat diberikan
penghambat carbonic anhidrase yang lebih poten seperti, dichlorphenamide 50
hingga 150 mg/hari atau pemberian diuretik hemat kalium seperti spironolactone
atau triamterine (keduanya dalam dosis 25 hingga 100 mg/hari). Pemberian rutin
kalium chlorida (KCL) 5 hingga 10 g per hari secara oral yang dilarutkan dengan
cairan tanpa pemanis dapat mencegah timbulnya serangan pada kebanyakan pasien.
Pada suatu serangan HypoPP yang akut atau berat, KCL dapat diberikan melalui
intravena dengan dosis inisial 0,05 hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus pelan,
diikuti dengan pemberian KCL dalam 5% manitol dengan dosis 20 hingga 40 mEq,
hindari pemberian dalam larutan glukosa sebagai cairan pembawa. Kepustakaan
lain KCL dapat diberikan dengan dosis 50 mEq/L dalam 250 cc larutan 5 %
manitol.10,12
2.2.6.2 Paralisis periodik hiperkalemik
Penatalaksanaan dari paralisis periodik hiperkalemik diantaranya : 11
a. Profilaksis : acetazolamide atau diuretik thiazide dapat digunakan untuk
mencegah serangan.
b. Pengobatan saat serangan: pada kasus yang sedang tidak membutuhkan terapi
obat-obatan yang mana hanya dengan minum minuman yang manis atau
permen gula dapat mengurangi serangan. Pada kasus yang memanjang atau
serangan yang lanjut diuretik thiazide dan loop diuretik (furosemide,
bumetanide) digunakan dalam dosis yang cukup tinggi untuk menurunkan
kadar kalium menjadi normal. Jika kadar kalium darah sangat tinggi dapat

20
diberikan secara intravena 20 ml kalsium glukonas 20% atau drip normal saline
atau secara intravena glukosa 10% ditambah insulin. Jika gagal atau intoleransi
terhadap diuretik, salbutamol dapat diberikan secara intravena untuk mengatasi
serangan.
2.2.6.3 Pengobatan paralisis periodik normokalemik
Penatalaksanaan sama dengan paralisis periodik hiperkalemik, seperti: 11
a. Diet tinggi karbohidrat, seperti permen gula
b. Thiazide, seperti chlorthalidone 250-1000 mg/hari
c. Pemberian secara intravena normal saline dan kalsium glukonas
d. Pemberian secara intravena insulin dan glukosa

2.2.6.4 Pengobatan paralisis periodik sekunder


Prinsip utamanya adalah penyebeb utamanya harus diobati dahulu, obat-
obatan yang memperburuk kondisi dihentikan. Suplemen kalium harus diberikan
pada paralisis periodik hipokalemik. Loop diuretik, glukosa ditambah insulin secara
intravena, atau kalsium glukonas harus diberikan pada paralisis periodik
hiperkalemik.11
a. Paralisis periodik karena tirotoksikosis: pada kelainan ini terdapat
hipokalemia, pengobatan dengan memberikan kalium klorida dengan beta
bloker dan carbimazole (Neomercazole). Acetazolamide tidak efektif Pada
kondisi emergensi propanolol secara intravena dapat diberikan.
b. Paralisis periodik karena keracunan barium akut: diberikan larutan
magnesium sulfat 2,5 gm secara intravena bolus tunggal. Pada kasus yang
masih awal, lavase lambung dengan magnesium sulfat (2,5%) dapat
dibeikan. Bantuan ventilator dapat diberikan jika diperlukan. Hipokalemia
diatasi dengan pemberian secara intravena kalium klorida. Natrium sulfat
dapat digunakan menggantikan magnesium sulfat.
c. Paralisis periodik karena paramyotonia kongenital: biasanya terdapat
hiperkalemia dan paralisis dipicu oleh dingin. Karenanya itu, pasien harus
di tempatkan di tempat yang hangat. Pengobatan terdiri dari pemberian oral
atau secara intravena glukosa dan oral thiazide.

21
d. Sindrom Andersen: pasien harus dimasukkan ke ICU untuk monitoring
jantung dan pengobatan segera untuk disritmia jantung. Jika kadar kalium
serum rendah, meningkat, atau normal pengobatan untuk hipokalemia atau
hiperkalemia dilakukan berdasarkan kadar kalium serum.

2.2.7 Prognosis
2.2.7.1 Hiperkalemik periodik paralisis dan paramyotonia kongenital
- Ketika tidak dihubungkan dengan kelemahan, kelainan ini biasanya
tidak mengganggu pekerjaan.
- Myotonia bisa memerlukan pengobatan
- Harapan hidup tidak diketahui.
2.2.7.2 Hipokalemik periodik paralisis
- Pasien yang tidak diobati bisa mengalami kelemahan proksimal
menetap, yang bisa mengganggu aktivitas
- Beberapa kematian sudah dilaporkan, paling banyak dihubungkan
dengna aspirasi pneumonia atau ketidakmampuan membersihkan
sekresi

22
BAB 3
KESIMPULAN

Cairan tubuh dibagi dalam dua kompartemen yaitu cairan ekstrasel (60%) dan
cairan intrasel (40%). Dalam dua kompartemen tersebut terdapat elektrolit yang
penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Natrium di ekstrasel
dan kalium di intrasel adalah kation utama yang mempengaruhi tekanan osmotik
cairan. Kondisi tertentu dapat menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit, yang
selanjutnya mempengaruhi osmolalitas dan fungsi sistemik tubuh.
Keseimbangan natrium dikontrol oleh ADH dan sistem RAA. Hipernatremia
pada DI disebabkan oleh insufisiensi ADH, dengan klinis poliuria disertai
osmolaritas urin rendah. Penanganan DI meliputi terapi cairan dengan monitor,
vasopresin, serta antidiuretik.
Periodik paralisis merupakan sindroma klinis yang dapat menyebabkan
kelemahan yang akut pada anak-anak maupun dewasa muda. Pasien akan
mengalami kelemahan progresif dari anggota gerak baik tungkai maupun lengan
tanpa adanya gangguan sensoris yang diikuti oleh suatu keadaan hipokalemia pada
HypoPP. Gangguan ini secara konvensional dibagi menjadi paralisis periodik
primer atau diturunkan dan paralisis periodik sekunder. Paralisis periodik primer
merupakan kelompok gangguan akibat mutasi gen tunggal yang mengakibatkan
kelainan saluran kalsium, kalium natrium, dan klorida pada sel otot membran.
Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh
dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan yang dominan
dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf dan otot lurik. Keadaan
hipokalemia yang berat dapat mengganggu fungsi organ lain seperti jantung hingga
terjadi gangguan irama jantung yang bila tidak ditangani akan memperburuk
keadaan pasien hingga mengancam nyawa.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Greenberg MS, dkk. Fluids and Electrolytes. Dalam: Greenberg MS, dkk.
Handbook of Neurosurgery. New York: Thieme; 2001. Hal14-25.
2. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam:
Tjokroprawiro A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V.
Surabaya: FK Unair; 2007. Hal175-89.
3. Guyton AC, dkk. Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstrasel dan Konsentrasi
Natrium. Dalam: Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta: EGC; 2008. Hal366-82.
4. Guyton AC, dkk. Pengaturan Ginjal terhadap Kalium, Kalsium, Fosfat, dan
Magnesium; Integrasi Mekanisme Ginjal untuk Pengaturan Volume Darah
dan Volume Cairan Ekstrasel. Dalam: Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008. Hal366-82.
5. Promes S, Wang NE. Management of Electrolyte Emergencies. Hospital
Physician Emergency Medicine Board Review Manual. 2006;8(3):1-12.
6. Lobo DN, dkk. Disorders of Sodium, Potassium, Calcium, Magnesium, and
Phosphate. Dalam: Lobo DN, Lewington AJP, Allison SP. Basic Concepts of
Fluid and Electrolyte Therapy. Melsungen: Bibliomed; 2013. Hal101-11.
7. Makaryus AN, McFarlane SI. Diabetes Insipidus: Diagnosis and Treatment
of a Complex Disease. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2006;73(1):65-
71.
8. Zomp A, Alexander E. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone and
Cerebral Salt Wasting in Critically Ill Patients. AACN Advanced Critical
Care. 2012;23(3):233-9.
9. Peacock M. Calcium Metabolism in Health and Disease. CJASN. 2010;5:23-
30.
10. Fialho D, Michael GH. Periodic Paralysis. 2007. p. 77-105.
11. Arya, SN. Lecture Notes: Periodic Paralysis. Journal Indian Academy of
Clinical Medicine. 2002; 3(4): 374-82.

24
12. Souvriyanti E, Sudung OP. Paralisis Periodik Hipokalemik pada Anak
dengan Asidosis Tubulus Renalis Distal. 2008. p. 53-59.
13. Widjajanti A, Agustini SM. Hipokalemik Periodik Paralisis. 2005. p. 19-22
14. Graber M. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik, Ed. 1. Jakarta: Farmedia;
2002.
15. Kawamura S, Ikeda Y, Tomita K. A Family of Hypokalemic Periodic
Paralysis with CACNA1S Gene Mutation Showing Incomplete Penetrance in
Women. Internal Medicine. 2004; 43(3): 218 222.
16. Graves TD, Hanna MG. Neurological Channelopathies. Postgrad Med
Journal. 2005; 81: 20-32.
17. Cannon SC. Myotonia and Periodic Paralysis: Disorders of Voltage-Gated
Ion Channels. In: Neurological Theurapeutics Principles and Practice. United
Kingdom: Mayo Foundation; 2003. p. 225; 2365-2377
18. Sternberg D, Masionobe T, Jurkat-Rott K. Hypokalaemic Periodic Paralysis
type 2 caused by mutasions at codon 672 in the muscle sodium channel gene
SCN4A. Barain; 2001. p. 10919.
19. Sternberg D, Tabt IN, Haingue B, Fontaine B. Hypokalemic Periodic
Paralysis. Gene Reviews. Seatle: NIH University of Washington; 2004. p. 1
22.

25

Anda mungkin juga menyukai