OLEH :
IKTERUS NEONATORUM
Definisi
Ikterus (‘Jaundice’) keadaan klinis pada bayi baru lahir yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang
berlebihan. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin
darah 5-7 mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia. 1,2
Hiperbilirubinemia
Adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih
kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Biasanya istilah
hiperbilirubinemia dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang
menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses
fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya.1
Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang maupun
cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensi pada bayi cukup bulan dan
kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada
minggu pertama > 2 mg/dL. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali
pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24
jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya
antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih
rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan
ikterus fisiologis dan untuk kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa
pengobatan, hal ini terjadu akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan
sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.1
1
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit
lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya
mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan
diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai
pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl
tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-
10.Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL
tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin, kadar tersebut tidak melewati kadar yang
membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernikterus” dan tidak menyebabkan suatu
morbiditas pada bayi.2
Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai akibat
hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan
ekskresi bilirubin oleh hati.Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat
ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan
klinik dan laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari
14 mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.
Kernikterus
Adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin
indirek/tak terkonjugasi pada beberapa daerah diotal terutama di ganglia basalis, pons dan
serebelum. Kern Ikterus adalah digunakan untuk keadaan klinis kronik dengan skuele yang
permanen karena toksik bilitubin.1,2
Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu
diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus.Perbedaan utama
metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek.
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :1,2
3
1. Produksi
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolime heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah
oksidasi pertama kali adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim
heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagaian besar terdapat dalam sel hati, dan
organ lain. Dalam pembentukkan itu akan terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukkan hemoglobin dan karbonmonosida (CO) yang diekskresikan kedalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi
bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengekskresikan, diperlukkan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. Pada bayi
baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolime heme haemoglobin
dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
hemoglobin karena eritopoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang
mengandung protein heme dan heme bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin
8-10 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan
masa hidup eritrosit yang pendek (70-90 hari),peningkatan degradasi heme,turn over
sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat.
2. Transportasi
Pembentukkan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan
ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir memiliki kapasitas
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah
dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air kemudian akan ditransferkan ke sel
hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat
dan bersifat non toksik.Saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma
hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer
melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan
protein ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke
sirkulasi, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan
4
konjugasi bilirubin akan menentukkan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam
serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal. Berkurangnya kapasitas
pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan
ikterus fisiologis. Walaupun demikian defisiensi ambilan ini dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua kehidupan saat konjugasi
bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang sama dengan orang dewasa.1
3. Konjugasi
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air diretikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospat glucoronosyl
transferase (UDPG-T).katalisa oleh enzim ini akan merubah bentuk bilirubin
monoglukoronide menjadi diglukoronide. Bilirubin kemudian diekskresikan ke dalam
kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke
retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban
bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti
halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah bilirubin
monoglukoronida.
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di
ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian memasuki saluran pencernaan dan
diekskresikan melalui feses.Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian
kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi.Siklus ini
disebut siklus enterohepatis.Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril
sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang
tidak dapat diabsorbsi).
5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus
Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu,
kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh,
kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis.
Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana
bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan
besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan
5
neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari
sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi.Dengan
demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah
melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya.Dalam keadaan
fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin
indirek sampai 2 mg%.Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah
bilirubin berlanjut pada masa neonatus .Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar
ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai
gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat
gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan
enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam
darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung
pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya
rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat
meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat
melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan
pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada
umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai
kadar albumin normal telah tercapai.
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :1,3,4
Faktor resiko
Faktor resiko timbulnya ikterus neonatorum :1
a. Faktor Maternal
- Ras atau kelompok etnik tertentu ( Asia, Native American, Yunani)
- Komplikasi kehamilan ( DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI
b. Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom,ekimosis)
- Infeksi (bakteri,virus,protozoa)
c. Faktor Neonatus
- Prematuritas
- Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat ( streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia
7
Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis1,2
Tabel Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin - Peningkatan produksi sel darah merah
- Penurunan umur sel darah merah
- Peningkatan early bilirubin
Peningkatan resirkulasi melalui - Peningkatan aktifitas B-glukoronidase
enterohepatik shunt tidak adanya flora bakteri
- Pengeluaran mekonium yang
terlambat
Penurunan bilirubin clearance
Penurunan clearance dari plasma - Defisiensi protein karier
Penurunan metabolisme hepatik - Penurunan aktifitas UDPGT
Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang
terlalu berlebihan.Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain,
atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan
proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau
dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase)
atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak.Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada
susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20
mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung
dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas,
berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang
terjadi karena trauma atau infeksi.1,3
9
Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru
lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro
mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada
BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969).
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut :
-
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (disiang hari dengan
cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan
pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
-
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah
kulit dan jaringan subkutan.
-
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning.3
10
Daerah Perkiraan kadar
Daerah Ikterus
hiperbilirubinemia bilirubin
1 Kepala dan leher 5,0mg%
2 Dada sampai pusat 9,0mg%
3 Pusat bagian bawah sampai lutut 11,4mg%
4 Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu 12,4mg%
sampai pergelangan tangan
5 Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan 16,0mg%
telapak tangan
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkai tangan dan kaki pada hari kedua maka digolongankan sebagai ikterus sangat
berat dan memerlukan terapi sinar secepatmya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
kadar bilurbin serum untuk memulai terapi sinar.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukkan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini
merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.Namun
pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan
menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serumbilirubin.‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk
kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang
sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a. pemeriksaan bilirubin ( direk dan indirek) berkala
b. pemeriksaan darah tepi
c. pemeriksaan penyaring G6PD
11
d. pemeriksaan lainya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab. Antara lain :
-
Darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu anemia dan juga
keadaaninfeksi.
- Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan melihat
apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.
- Bilirubin
Penyebab ikterus yang tergolong pre-hepatik akan menyebabkan peningkatan
bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubin indirek maupun
direk.Kelainan posthepatik dapat meningkatkan bilirubin direk.
- Aminotransferase dan alkali fosfatase
- Tes serologi hepatitis virus
IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut.Hepatitis B
akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.
- Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler dan
beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik
akibat obat-obatan (drug induced).
- Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk mendiagnosis penyakit infiltratif dan
kolestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering bisa menemukan metastasis dan
penyakit fokal pada hati.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi
dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan
pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar. 3
Diagnosis
12
Berbagai faktor resiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang
berat.Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai resiko, terutama untuk bayi-bayi
yang pulang lebih awal. Selain itu juga dilakukan pencatatan medis bayi dan disosialisasikan
pada dokter yang menangani bayi tersebut selanjutnya.4
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis ikterus pada bayi.Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat
inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya.
Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini
ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi
Tampilan ikterus ikterus harus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam
ruangan pencahayaan yang baik dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat
warna kulit dan jaringan subkutan dan pemeriksaan fisik harus difokuskan pada identifikasi
dari salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat,
petekie,ektravasasi darah, memar kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat
badan dan bukti adanya dehidrasi. Guna mengantisipasi komplikasi yang timbul, maka perlu
diketahui daerah letak kadar bilirubin serum total beserta faktor resiko yang terjadinya
hiperbilirubinemia yang berat. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan
komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin,
infeksi intranatal, dan lain-lain.
13
Gambar. Kurva fototerapi berdasarkan America Association of Pediatry4
14
2. Infeksi intrauterin (rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau
sepsis bakterial)
3. Defisiensi G6PD
B. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1.Biasanya ikterus fisiologis
2.Inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat
diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg
%/24 jam.
3.Defisiensi enzin G6PD juga mungkin
4.Polisitemia
5.Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subapneurosis,pendarahan
subkapsuler dan lainnya)
6.Hipoksia
7.Srerositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
8.Dehidrasi asidosis
9.Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
C. Iketrus yang timbul sesudah 72 jam sampai akhir minggu pertama
1. Infeksi (Sepsis)
2. Dehidrasi asidosis
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pengaruh obat
5. Sindrom Crigler-Najjar
6. Sindrom Gilbert
D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
1. Biasnaya karena obstruksi (atresia duktus koledokus, stenosis pilorus)
2. Hipotiroidisme
3. “Breast milk jaundice”
4. infeksi
5. neonatal hepatitis
6. Galaktosemia
15
Pada breast milk jaundice terjadi hiperbilirubinemia pada 1 % dari bayi yang diberikan
ASI. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada hari kelima dan kadar bilirubin mencapai
puncak pada hari ke-14 dan kemudian turun dengan pelan. Kadar normal tidak akan tercapai
sebelum umur 12 minggu atau lebih lama. Jika pemberian ASI distop dan fototerapi singkat
diberikan, kadar bilirubin akan menurun dengan cepat dalam waktu 48 jam.1
Komplikasi
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau
ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nukleus
batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara
kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat,
kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan
sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi
risiko terjadinya kern icterus.2,3
Pada bayi sehat yang menyusu,kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL
dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi
dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara lain :2
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus,
retrocollis, demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus,
tremor), gangguan pendengaran.
16
Penatalaksaan
Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya ber-intensitas tinggi, tindakan ini
dapat menurunkan bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar
bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram
harus difototerapi bila kon-sentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko tinggi dan berat badan
lahir rendah.
17
Sebagai patokan digunakan kadar bilirubin total
Pada bayi usia kehamilan 35-37 minggu diperbolehkan untuk melakukan foto terapi
pada kadar bilirubin toral sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk
melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah pada bayi-
bayi yang mendekati usia kehamilan 35 minggu dan kadar bilirubin total serum yang
lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 minggu.
Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau dirumah bila kadar
bilirubin serum total 2-3mg/dL dibawah garis yang ditunjukkan, namun bayi-bayi yang
memiliki faktor resiko foto terapi sebaiknya tidak dilakukan dirumah
18
Gambar Kurva pandauan transfusi tukar pada bayi usai kehamilan > atau sama dengan
35minggu berdasarkan America Association of Pediatry4
Penghentian ASI
Pada hiperbilirubinemia akibat pem-berian ASI, penghentian ASI selama 24-48 jam
akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai pengentian pemberian ASI (walaupun hanya
sementara) masih terda-pat perbedaan pendapat.
Terapi medikamentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang mening-
katkan konjugasi bilirubin dan mengeks-kresikannya.Obat ini efektif diberikan pa-da ibu
hamil selama beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan.Penggunaan
phenobarbital post natal masih menjadi pertentangan oleh karena efek sampingnya
(letargi).Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluar-kannya melalui urin
sehingga dapat menu-runkan kerja siklus enterohepatika.
19
Prognosis
Ikterus baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati
biliaris.Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru
tampak setelah beberapa lama kemudian.Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan
dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia.Selanjutnya bayi mungkin
kejang, spastik dan ditemukan epistotonus.Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya
atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan
memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia
dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun
perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.3
BAB II
LAPORAN KASUS
20
Tempat tanggal lahir : VK Teratai, 3 Maret 2020
Usia : 4 hari
Status : Anak kandung
Anak ke- : 1 (pertama)
Alamat : Narmada, Lobar
Suku : Sasak
Agama : Islam
2.3 HETEROANAMNESIS
Heteronamnesis dilakukan pada hari Sabtu, 7 Maret 2020
i. Riwayat kehamilan
Ibu hamil saat usia 28 tahun. Ibu belum pernah mengalami keguguran. Saat
hamil anak ke-1 ibu tidak pernah sakit berat, kenaikan berat badan selama hamil
sekitar 7 kg dari berat badan sebelum hamil. Ibu pasien mengaku selama hamil
memeriksakan kehamilannya ke puskesmas tiap bulan dan ke dokter spesialis
kandungan sebanyak 1x untuk melakukan USG dan tidak pernah mengkonsumsi
jamu-jamuan maupun obat-obatan. Selama kehamilan ibu tidak nafsu makan, dan
sering mengalami mual muntah sampai trimester ke-2. Ibu tetap mengkonsumi
vitamin yang diberikam dari Puskesmas. Pasien menyangkal memiliki penyakit
22
kencing manis, darah tinggi, dan tidak ada riwayat demam dan keputihan selama
hamil.
ii. Riwayat persalinan
Ibu pasien melahirkan di VK Teratai RSUP NTB secara section caesaria
b. Riwayat nutrisi
Ibu pasien mengaku langsung memberikan ASI kepada bayinya, tetapi ASI
tidak banyak keluar
c. Riwayat imunisasi
Saat ini pasien sudah mendapatkan imunisasi Hepatitis B.
a. Keadaan umum :
- Cukup
- Warna kulit kemerahan
b. Kesadaran :
- E4V5M6 (compos mentis)
23
c. Tanda vital
i. Frekuensi nafas : 41 kali/menit, tipe thorakal
ii. Denjut jantung : 139 kali/menit, isi dan tegangan cukup, teratur
iii. Suhu tubuh : 36.8 oC
iv. SpO2 : 99 % udara ruangan
c. Pemeriksaan lokalis
Kepala
Bentuk kepala : normochepaly, simetris, lecet (-), ubun – ubun besar terpisah,
teraba datar, sutura normal, craniosynostosis (-), molding (-), caput
sucendaneum (-), dan cephal hematom(-),wajah dismorfik (-)
Leher
Muka
o Mata : Anemis (-/-), conjunctivitis (-/-), ikterik (+/+), refleks cahaya (+/+)
o Hidung : atresia choana (-/-), napas cuping hidung (-/-), rhinore (-/-)
o Telinga :low set ears (-/-)
24
o Mulut : palatoschizis (-), frenulum pendek (-), makroglossia (-)
Thoraks
Umbilicus
Tampak basah dan mulai mengering, warna kuning kehijauan (-), edema (-),
kemerahan pada pangkal umbilicus(-).
Kulit
Kulit lembab berwarna kemerahan, ikterik (+)
25
Genitalia
Normal, jenis kelamin jelas (+), kelainan kongenital (-)
Ekstremitas atas
Kulit ikterik (+) Syndactyli (-), polidactyli (-), talipes equinovarus (-/-), edema
(-/-), akral hangat (+/+), CRT < 3 detik.
Ekstremitas bawah
Kulit ikterik (+) sampai di bawah lutut. Syndactyli (-), polidactyli (-), talipes
equinovarus (-/-), edema (-/-), akral hangat (+/+), CRT < 3 detik.
e. RESUME
Subjektif
Bayi perempuan usia 4 hari ( Lahir tanggal 03/03/2020 ), lahir SC dari ibu
G1P1A0H1 uk 37 minggu dengan BBL 2800 gr, PB 48 cm, LK 33 cm
Cukup bulan dan langsung menangis
26
Wajah mulai tampak kuning di usia 4 hari
Objektif
ATR Cukup.
Tanda vital:
- Normal
Kepala-leher : ikterik (+) anemis (-/-), ikterik (+/+), cephal hematome (-)
Thorax : Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : ikterik (+) distensi (-), bising usus normal
Ekstremitas atas: ikterik (+) akral hangat , CRT < 3detik
Ekstremitas bawah: ikterik (+) sampai bawah lutut, akral hangat, CRT < 3detik
Kulit : lembab, kemerahan, ikterik (+)
Status gizi pasien: gizi cukup
2.5 DIAGNOSIS
2.8 TERAPI
Fototerapi double light
FOLLOW UP
Hari/ tgl S O A P
I ATR BBL: 2675 g NCB SMK 2675 Fototerapi
7/3/2020 Cukup RR: 41x/m gram dengan double light
Minum (+) N: 139 x/m ikterus ASI dari ibu
BAK (+) S : 36,6 neonatorum ASI/dot
BAB (+) Distensi (-) 30cc
27
Ikterus (+) Ikterik (+) kremer IV
Hasil Laboratorium
Bil. Total : 12,5
Bil. Direk : 0,48
II ATR BBL: 2550 g. NCB SMK 2550 Fototerapi
8/3/2020 Cukup RR: 36 x/m. gram dengan single light
Minum (+) N: 140 x/m. ikterus
BAB & T: 36,7 neonatorum
BAK (+) Distensi (-)
Ikterus (+) Ikterik (+) kremer II
28
BAB III
PEMBAHSAN
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan NCB
SMK dengan ikterus neonatorum yang muncul pada hari ke empat dengan kadar
hiperbilirubin total 22 mg/dl dan hiperbilirumin direk 0,5 mg/dl. Bayi tanpa faktor risiko akan
jarang mencapai kadar bilirubin total diatas 12 mg/dl. Faktor risiko maternal yaitu
inkomptabilitias ABO atau rhesus, tidak adekuat pemberian ASI, penggunaan obat diazepam
atau oksitosin, etnis Asia atau Native America, penyakit maternal seperti diabeters
gestasional. Faktor risiko pada neonatus adalah trauma kelahiran (seperti cephal hematome,
lebam pada kulit, proses persalinan dengan banyuan forsep atau vakum), penggunaan obat
eritromisin atau kloramfenikol, penurunan berat badan drastis setelah kelahilan, infeksi
TORCH, tidak kuat menyusui, polisitemia, prematuritas dan riwayat saudara mengalami hal
serupa. Dimana semakin banyak faktor risiko yang ada maka akan semakin meningkat kadar
bilirubin. Pada pasien didapatkan fakror risiko diantaranya pada faktor maternal didapatkan
pemberian ASI yang tidak adekuat. Ikterus yang ditemukan pada bayi dapat merupakan suatu
gejala fisiologis atau patologis. Pada pasien ikterus yang terjadi merupakan suatu gejala
fisiologis karena ikterus tidak muncul dalam 24 jam pertama kelahiran melainkan di hari
keempat, nilai bilirubin terkonjugasi kurang dari 20% dari nilai bilirubin total dan ikterus
tidak disertai dengan berat badan lahir kurang, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, infeksi dan trauma lahir kepala. Berdasarkan algoritma evaluasi neonatus dengan
hiperbilubinemia (Gambar I), pasien mengalami ikterus pada usia antara 24 jam dengan 2
minggu dengan nilai bilirubin terkonjugasi kurang dari 2 mg/dl dan nilai hemoglobin yang
normal maka mengarah pada etiolgi non-hemolitik (Gambar 2) seperti cephalohematome,
kebiruan pada kulit, polisitemia, stenosis pilorus, penyakit hirschprung, breast milk jaundice,
ikterus fisiologis (brestfeding jaundice) dan hipotiroidsm.
29
Gambar I: Algoritma Evaluasi Penyebab Hiperbilrubinema pada neonatus aterm
30
Gambar II: Klasifikasi hiperbilirubinemia neonatal berdasarkan mekanisme akumulasi
Dari penyebab-penyebab tersebut pada pasien tidak ditemukan adanya
cephalhematome dan tidak ada kebiruan pada kulit. Pasien juga tidak mengalami BAB dempul
dan BAK seperti teh sehingga stenosis pilorus dapat disingkirkan, Pada anamnesis tidak
didapatkan adanya pengeluaran mekonium yang terlambat dan muntah hijau negatif serta pada
pemeriksaan fisik tidak didatkan distensi abdomen sehingga penyakit Hirsprung dapat
disingirkan. Pasien juga tidak mengalami gejala hipoglikemi neonatus seperti makroglosia,
fontanela menonjol, hernia umbilikal sehingga diagnosis ini dapat disingkirkan. Breastmilk
jaundice merupakan keadaan meningkatnya bilirubin tak terkonjugasi yang berkepanjangan
dimana onsetnya setelah usia hari ke lima sedangkan breastfeeding jaundice merupakan
peningkatan bilirubun tak terkonjugasi yang terjadi pada 5 hari pertama kehidupan.
Berdasarkan paparan tersebut, pasien pada kasus ini mengalami peningkatan bilirubun tak
terkonjugasi dimana dari kadar bilirubin total 20 mg/dl dan bilirubin terkonjugasi 0,5 mg/dl
dimana nilai ini masih dalam batas normal. Peningkatan bilirubih tak terkonjugasi pada kasus
ini terjadi pada lima hari pertama kehidupan sehingga mengarah pada breastfeeding jaundice.
31
Hal ini didukung dari data anamnesis didapatkan ASI ibu yang tidak banyak. Dimana syarat
menyusui yang optimal adalah menyusui dimulai pada satu jam pertama diikuti paling sedikit
10- 12 kali menyusui dalam sehari selama 1- 2 minggu pertama usia neonatus tanpa
pemberian air atau makanan lainnya dengan posisi yang baik untuk meningkatkan trasnfer
susu yang efektif dan penurunan berat badan bayi kurang dari 8%.
Hubungan breastfeeding dan neonatal jaundice tidak sepenuhnya dimengerti tetapi
beberapa faktor dapat menjadi penyebabnya dimana jumlah susu yang tidak adekuat
selanjutnya menyebabkan penurunan berat badan dan peristaltik instestinal yang lambat dan
telatnya pengeluaran mekonium. Risiko dari tidak adekuatnya ASI pada neonatus adalah
penurunan berat badan pada awal kehidupan dibandingkan dengan neonatus yang diberikan
susu formula. Pada neonatus yang mendapatkan ASI memiliki batasan metabolisme fisiologis
bilirubin, berkurangnya kebutuhan kalori menyebabkan peningkatan bilirubin melalui absorbsi
bilurubin tak terkonjugasi di intestinal akibat berkurangnya emisi mekonium. Selanjutnya
tingginya kadar bilirubin akan menyebabkan letargi dengan berkurangnya efikasi menghisap
sehingga memperparah reduksi ekskresi bilirubin pada feses. Neonatus harus sering
menghisap minimal 8- 12 kali dalam 24 jam dan tidak boleh diberikan air atau sumplement
formula dimana peningkatan water intake akan meningkatkan reabsorbsi enterohepatik dari
bilirubin. Peningkatan jumlah pemberian ASI akan meningkatkan peristaltik intestinal dengan
menurunkan sirkulasi enterohepatik dan meningkatkan ekskresi sehingga akan menurunkan
konsentrasi bilirubinemia. Berkurangnya volume ASI akan membatasi pemasukan kalori
sehingga menyebabkan peningkatan absorbsi bilirubin di intestinal.
Tatalaksana neonatus dengan ikterus akibat breastfeeding jaundice adalah dengan
evaluasi menyusui dan memperbaiki masalah yang menyebabkan inadekuat produksi dan
intake susu. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan suplement melalui botol.
Pada bayi aterm, fototerapi dan makanan pengganti dengan formula belum diperlukan sampai
kadar serum bilirubin mencapai 18- 20 mg/dl. Pada kasus ini, kadar bilirubin total sudah
mencapai 20 mg/dl sehingga perlu dipertimbangkan untuk pemberian susu formula dan
fototerapi. Neonatus cukup bulan tanpa hemolisis ditemukan memiliki toleransi tinggi
terhadap kadar total bilirubin serum dan terapi utamanya adalah dengan fototerapi. Fototerapi
memberikan gelombang biru cahaya untuk menghancurkan bilirubin tak tergonjugasi di kulit.
Bilirubin diubah menjadi lebih tidak toksik dalam bentuk fotoisomer yag larut dalam air yang
32
dapat dieksresikan melalui urin dan kandung mepedu tanpa konjugasi. Idealnya jarak lampu
dengan neonatus adalah 15- 20 cm. Untuk mendapatkan area permukaan kulit yang lebih luas,
neontatus dalam keadaan tidak menggunakan pakaian kecuali bagian mata ditutup.
Kontraindikasi fototerapi hanya hiperbilirubinemia bilirubin terkonjugasi yang terjadi pada
pasien kolstasis dan penyakit hepar. Pada kasuus ini, fototerapi akan meneybabkan warna
kulit menjadi gelap kecoklat-abuan (Bronze baby syndrome). Efek dari fototerapi dapat
menyebakabkan luka bakar, kerusakan retina, instabilitas thermoregulator, dehidrasi, ruam
kulit dan kulit menajdi lebih gelap. Dengan intensif fototerapi, total serum bilirubin dapat
turun 1-2 mg/dl dalam 4- 6 jam. Bilirubin dapat turun lebih lambat pada pasien dengan ASI
(kecepatan 2- 3 mg/dl per hari). Fototerapi dapat dihentikan ketika total serum bilirubin telah
mecapai dibawah 15 mg/dl. Transfusi tukar hanya diberikan jika kadar bilirubih total tetap
tinggi dengan insentiv fototerapi.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Neonatologi. Pengurus Pusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia: Jakarta. 2010.
2. Blackburn ST, penyunting.Bilirubin Metabolism. Maternal, fetal & neonatal physiology, a
clinical perspective. Edisi ke-3.Saunders; 2007
3. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. Hiperbilirubinemia Pada
Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo –
Surabaya. 2004.
4. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management Of
Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of Gestation. Pediatrics;
114;297-316. 2004.
5. Mathindas, S., Wilar, R., Wahani, A. Jurnal Biomedik, Volume 5, Nomor 1, Suplemen,
Maret 2013, hlm. S4-10.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. IDAI:2009.
7. Soldi, A., Tonetto, P. et al. Neonatal jaundice and human milk. The Journal of Maternal-
Fetal and Neonatal Medicine. 2011. 24 (5) pp:85-87
8. Lawrence, M. Gartner, MD. Breastfeading and Jaundice. Journal of Perinatology. 2001.
21; pp: 25-29
9. Porter, M. et al. Hyperbilirubinemia in the term newborn. Journal of American Family
Physician. 2002. 65 (4); pp: 599- 606
10. Basurko, C. Carles, G. Maternal and Foetal Consequences of dengue fever during
pregnancy. European Jpurnal of Obstetric and Gynecology and Reproductive Biology.
2009.147; pp:29-32
11. Kariwasam, S. Senanayake, H. Dengue Infections during pregnancy: case series from a
tertiary care hospital in Sri Lanka. Journal Infection De Cries. 2010. 4 (11) pp: 767- 775
34
35