Anda di halaman 1dari 8

Seorang bayi laki-laki lahir dari ibu G2P1A0 yang berusia 28 tahun pada usia kehamilan aterm.

Bayi lahir spontan di RS


dengan BBL 3100 gram. Pada saat lahir, bayi langsung menangis, APGAR Score 8-9-10, dan Plasenta lahir manual, kotiledon
lengkap, dan tidak terdapat infark maupun hematom. Bayi tersebut kemudian dirawat gabung dengan ibunya dan
mendapatkan imunisasi hepatitis B. Pada hari kedua perawatan, bayi nampak kuning dari wajah sampai dada, demam dan
malas minum. Pada pemeriksaan fisik didapatkan lethargi, suhu 38,50C, serta refleks hisap inadekuat. Pemeriksaan metode
Kramer bayi didapatkan Kramer I-II. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 11,2 g/dl, Hct 33% , lekosit
37.000/mmk, Na2+ 137 mmol/L, K+ 3,7 mmol/L, GDS 62 mg/dl, bilirubin total 17,1 g/dl, bilirubin indirek 16,9 g/dl, bilirubin
direk 0,2 g/dl. Bayi tersebut dipindah ke Ruang Perawatan Bayi Risiko Tinggi untuk perawatan selanjutnya dan bayi
tersebut rencana diberikan fototerapi. Pada riwayat kehamilan dan persalinan ibu bayi tersebut didapatkan informasi ibu
rutin melakukan ANC selama kehamilan, tidak ada riwayat trauma selama kehamilan maupun ante natal bleeding. Ibu
mengalami demam selama 1 minggu sebelum bayi tersebut dilahirkan. Pada riwayat persalinan diketahui behwa pada saat
akan melahirkan, kulit ketuban belum pecah dan setelah dipecahkan didapatkan jumlah cairan ketuban cukup, keruh dan
berbau khas.

1. Mengapa bayi diberikan imunisasi hepatitis B? Apa hubungan dg kondisi saat ini?
2. Mengapa pada hari kedua bayi nampak kuning, demam dan malas minum?
3. Mengapa didapatkan letargi, demam, refleks hisap inadekuat?
4. Apa interpretasai hasil px laborat?
 Anemia yang terjadi pada neonatus dengan umur kehamilan>34 minggu bila didapatkan kadar Hb
vena sentral < 13 g/dl atau kadar Hb kapiler < 14.5 g/dl.
 ANEMIA
 The normal ranges for hematocrit are depend on the age and, after adolescence, the sex of the
individual. The normal ranges are: Newborns: 55% to 68% One (1) week of age: 47% to 65%
 HT RENDAH
 The total WBC count and neutrophil count in neonates younger than 1 week are physiologically
higher than those of children and adults and the counts usually range from 9,000 to 30,000/mm 3
 LEUKOSITOSIS
 Neonatal Hypernatremia. Hypernatremia is a serum sodium concentration > 150 mEq/L (> 150
mmol/L), usually caused by dehydration. Signs include lethargy and seizures. Hyponatremia is a serum
sodium concentration < 135 mEq/L (> 135 mmol/L)
NORMAL
 Kalium  The upper limit may be considerably high in young or premature infants, as high as 6.5
mEq/L.
 HIPOKALEMIA
 Bayi normal (tepat lahir/aterm) dapat mempertahankan kadar gula darah sekitar 50-60 mg/dl selama
72 jam pertama, sedangkan bayi berat lahir rendah (BBLR) dalam kadar 45 mg/dl.
 GULA DARAH NORMAL
 Dibeberapa institusi, bayi dinyatakan menderita hiperbilirubinemia apabila kadar BTS (Bilirubin Total
Serum) ≥12 mg/dL pada bayi aterm, sedangkan pada bayi preterm bila kadarnya ≥10 mg/Dl
 HIPERBILIRUBINEMIA
 Normal indirect bilirubin would be under 5.2 mg/dL within the first 24 hours of birth. But many
newborns have some kind of jaundice and bilirubin levels that rise above 5 mg/dL within the first few
days after birth.
 BILIRUBIN INDIREK TINGGI


BILIRUBIN DIREK NORMAL

5. Apa hubungan fototerapi untuk mengurangi keluhan pada bayi?


6. Apa hubungan ibu demam 1 mgg sblm bayi lahir dg keluhan bayi?
7. Apa hubungan KK belum pecah dan jumlah cairan ketuban cukup, keruh dan bau khas dg keluhan
bayi?
8. Apa etiologi dan patogenesis dari skenario?

Hiperbilirubinemia pada neonatus/ikterus neonatorum  keadaan klinis pada neonatus yang


ditandai pewarnaan kuning pada kulit, mukosa, sklera akibat dari akumulasi bilirubin (indirek maupun direk) di
dalam serum/darah yang secara klinis akan mulai tampak di daerah muka, apabila kadarnya mencapai 5-
7mg/dL.

Kejadian hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sekitar 60-70%, bahkan pada bayi kurang bulan
(BKB)/bayi berat lahir rendah (BBLR) jauh lebih tinggi.

Walaupun hiperbilirubinemia pada neonatus kejadiannya tinggi, tetapi hanya sebagian kecil yang
bersifat patologis yang mengancam kelangsungan hidup neonatus tersebut baik akibat peninggian bilirubin
indirek (hiperbilirubinemia ensefalopati) maupun hiperbilirubinemia direk akibat hepatitis neonatal ataupun
atresia biliaris (penyempitan dari duktus billiaris-d. Chloeodocus, hepaticus comunis, hepatica dextra sin).

Bilirubin baik indirek maupun direk berasal dari degradasi, penghancuran/proses hemolisis dari
eritrosit (heme eritrosit) maupun dari mioglobin dan katalase (heme protein) di dalam sistem retikulo
endotelial (RES) oleh enzim haem oksigenase menjadi biliverdin (larut air), yang selanjutnya oleh enzim
bilirubin reduktase dirubah menjadi bilirubin indirek (hidrofobik). Secara difusi bilirubin indirek ini akan masuk
ke dalam sistem sirkulasi darah yang selanjutnya akan diikat oleh albumin serum (albumin-bilirubin binding) 
bisa melewati membran membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah
otak, yang dapat mengarah ke neurotoksisitas

Kemudian bilirubin ini dibawa ke dalam ke dalam hepatosit melalui membran sinusoid, dimana
bilirubin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan terjadinya
peningkatan konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan
meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan. Bilirubin indirek oleh protein Y dan Z, selanjutnya
ditransfer ke retikulum endoplasmi halus/kasar. Di sini akan dimetabolisir oleh enzim uridine diphosphate
glucuronosyl transferase (UDPG-T) menjadi bilirubin mono dan diglukoronid yang larut dalam air.

Setelah diekskresikan bilirubin direk ini dirubah menjadi garam empedu dan disalurkan ke kandung
empedu untuk digunakan dalam proses pencernaan lemak di usus yang selanjutnya direduksi menjadi
tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil
proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke
dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Pada tahap akhir produk bilirubin ini akan
dikeluarkan menjadi sterkobilin melalui feses dan urobilin/urobilinogin melalui ginjal dalam urin. Siklus
absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik.

Bayangkan bila tdk ada


sirkulasi enterohepatik! Sifat bile salt
dalam feses adalah menarik air&Na
shg menyebabkan watery diarrhea, so
harus ada reabsorbsi bile salt kembali
ke hepar!

Mekanisme hiperbilirubinemia fisiologis pada neonatus

Pada janin, tugas mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh plasenta, dan bukan oleh hati. Setelah
bayi lahir, tugas ini langsung diambil alih oleh hati, yang memerlukan sampai beberapa minggu untuk
penyesuaian. Selama selang waktu tersebut, hati bekerja keras untuk mengeluarkan bilirubin dari darah.
Walaupun demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih menumpuk di dalam tubuh. Oleh karena bilirubin
berwarna kuning, maka jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi warna pada kulit, sklera, dan
jaringan-jaringan tubuh lainnya

Bilirubin merupakan produk utama pemecahan sel darah merah oleh sistem retikuloendotelial. Neonatus akan
memproduksi bilirubin dua kali lipat dari produksi bilirubin orang dewasa yaitu 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan
pada orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada neonatus disebabkan
masa hidup eritrosit lebih pendek (70-90 hari) dibandingan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan
degradasi heme dan turn over sitokrom, dan juga peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik.

# Ikterus fisiologis apabila onsetnya setelah 24 jam pertama dan memuncak kadar bilirubinnya pada hari ke 3 –
5, dan menurun setelah hari ke 7#

Etiologi

Menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi;

 peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia)

CAUSES of UNCONJUGATED (INDIRECT) HYPERBILIRUBINEMIA:

1. Increased lysis of RBCs (i.e., increased hemoglobin release)

 Isoimmunization (blood group incompatibility: Rh, ABO and minor blood groups)
 RBC enzyme defects (e.g., G6PD deficiency, pyruvate kinase deficiency)
 RBC structural abnormalities (hereditary spherocytosis, elliptocytosis)
 Infection (sepsis, urinary tract infections)
 Sequestered blood (e.g., cephalohematoma, bruising, intracranial hemorrhage)
 Polycythemia
 Shortened life span of fetal RBCs (80 vs. 120 d)

2. Decreased hepatic uptake and conjugation of bilirubin

 Immature glucuronyl transferase activity in all newborns: term infants have 1% of adult activity,
preterm infants have 0.1%.
 Gilbert Syndrome
 Crigler Najjar Syndrome (Non-hemolytic Unconjugated Hyperbilirubinemia): inherited conjugation
defect (very rare)
 Pyloric stenosis (mechanism is unknown)
 Hypothyroidism
 Infants of Diabetic Mothers (polycythemia is also common)
 Breastmilk Jaundice (pregnanediol inhibits glucuronyl transferase activity)

3. Increased enterohepatic reabsorption

 Breast feeding jaundice (due to dehydration from inadequate milk supply)


 Bowel obstruction
 No enteric feedings

#BILIRUBIN ENSEFALOPATI

Proses hemolitik yang meningkat/hebat yang terjadi akibat keadaan-keadaan seperti inkomtabilitas ABO, Rh,
defisiensi enzim G6PD, polisitemia, sefal hematom, sepsis, asfiksia, hipoalbunemia, hipotermia, hipoglikemia,
prematuritas dll  produski bilirubin indirek dalam hari-hari pertama kehidupan meningkat tajam  Bilirubin
indirek bebas tersebut akan menembus sawar darah otak (blood brain barrier)  dideposit di dalam sel-sel
neuron syaraf yang akan menimbulkan efek toksik terhadap susunan saraf pusat (SSP).

Pada keadaan trauma serebral (brain injury) bilirubin indirek terikat pun dapat menembus sawar darah otak
dan bersifat toksik terhadap SSP. Akhirnya ancaman bilirubin ensefalopati tidak terhindarkan.

 peningkatan bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia/kolestasis)

 Secara umum penyebab utama dibagi menjadi 2 golongan besar; kelainan intrahepatik (hepatoseluler)
serta kelainan ekstrahepatik (obstruktif).

 Disertai kadar bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari 5 mg, sedangkan bila kadar bilirubin
total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% kadar bilirubin total dan biasanya terjadi pada usia
90 hari kehidupan.
 Akibat penumpukan empedu di sel hati, secara klinis bayi terlihat ikterik, urin berwarna lebih gelap, dan
tinja berwarna lebih pucat sampai seperti dempul.

 Kolestasis harus dipikirkan sebagai salah satu penyebab ikterus pada bayi baru lahir bila ikterus menetap
setelah bayi berusia 2 minggu. Untuk menentukan diagnosis kolestasis sering kali tidak sederhana. Diagnosis
dini kolestasis sangat diperlukan untuk mencegah progesivitas penyakit terutama pada atresia biliaris.
Diagnosis dini atresia biliaris sangat menentukan prognosisnya, oleh karena bila ditegakkan dan tindakan
operasi dilakukan sebelum usia 8 minggu maka angka keberhasilannya 80%. Bila operasi pada usia lebih dari
12 minggu maka angka keberhasilannya hanya 20% dan apabila tidak dilakukan operasi penderita hanya bisa
bertahan hidup sampai 2 tahun

#ATRESIA BILIARIS

Pada infeksi TORCH khususnya CMV yang fase


lanjut/desiminata di dalam organ hati, dapat menimbulkan atresia
biliaris yang akan menyebabkan peninggian bilirubin direk baik di
dalam darah maupun di dalam hati sendiri.

Faktor Resiko

 ASI yang kurang  tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke


usus jdnya << memroses pembuangan bilirubin dari dalam
tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi prematur yang ibunya
tidak memroduksi cukup ASI.
 Peningkatan jumlah sel darah merah  bayi yang memiliki
jenis golongan darah yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan anemia akibat abnormalitas eritrosit
(antara lain eliptositosis), atau mendapat transfusi darah; kesemuanya berisiko tinggi akan mengalami
hiperbilirubinemia.
 Infeksi/ inkompabilitas ABO-Rh  Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan
dari ibu ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat
meliputi infeksi kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan sepsis.

Patogenesis

Ikterus dapat terjadi karena:

1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan


2. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Defek konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin
5. Gabungan antara peningkatan kadar bilirubin yang terjadi karena produksi yang berlebihan dan
penurunan sekresi

Manifestasi Klinis

Sebagai manisfestasi klinis akibat peninggian


bilirubin (indirek maupun direk) di dalam darah akan
memberikan warna kuning pada kulit mukosa dan
sklera yang akan menyebar secara sefalo caudal
dan dapat di nilai secara klinis dengan pemeriksaan
Kremer (I, II, III, IV, V), selain itu kencing dan berak
bayi akan berwarna kuning.
#Jika kadar bilirubin indirek tinggi akan berbahaya karena
menimbulkan efek toksik pada sel-sel syaraf pusat 
kerusakan otak (Kern icterus. Klinis bayi menjadi tidak
mau menetek, letarkhi, kejang, koma, dan lain-lain.

#Jika bilirubin direk yang tinggi dan adanya atresia


biliaris, selain bayi tampak kuning yang menetap
(cholestatic joundice), juga berak bayi menjadi putih
seperti dempul dan pembesaran hati.

Diagnosis

Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

 Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari)
karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat
pada pencahayaan yang kurang.
 Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan
subkutan.
 Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
(pemeriksaan Kremer)

Dalam menegakan diagnosis hiperbilirubinemia pada neonatus harus ditentukan apakah


patologis/fisiologis.

Hiperbilirubinemia patologis adalah:

 Kuning terjadi sebelum/dalam 24 jam pertama


 Setiap peningkatan bilirubin serum memerlukan foto terapi.
 Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.
 Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,letargi, malas
menetek, BB turun cepat, apnea, tahipnea, suhu labil/demam).
 Terdapat faktor resiko.
 Ikterus bertahan setelah 8 hari pada BCB, setelah 14 hari BKB.
 Bilirubin direk >2mg/dL.
Diluar kriteria tersebut di atas adalah batasan fisiologis.

Pemeriksaan penunjang

EVALUATION of JAUNDICE (UNCONJUGATED)


1. Initial evaluation:
 Total and direct bilirubin
 Blood type and Rh (infant & mother)
 Hematocrit/Hemoglobin
 Direct Antiglobulin (Coombs) Test on infant
2. Later evaluation (as indicated):
 RBC smear, reticulocyte count (if evidence or suspicion of hemolytic disease)
 Blood culture, urinalysis, urine culture
 Thyroid function tests, G6PD assay, Hgb electrophoresis

Jika mungkin, konfirmasi kesan kuning dengan pemeriksaan bilirubin. Pemeriksaan lain tergantung dugaan
diagnosis dan pemeriksaan apa saja yang tersedia, meliputi:
 Hemoglobin atau hematokrit.
 Hitung darah lengkap untuk mencari tanda infeksi bakteri berat (hitung neutrofil tinggi atau rendah
dengan batang > 20%) dan tanda hemolisis.

Untuk menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia (indirek dan direk) pada neonatus diperlukan
pemeriksaan penunjang: darah tepi, gol darah, Rh, coombs tes direk indirek, bil total dan direk GOLD
STANDAR, enzim G6PD, kultur darah, TORCH, USG abdomen.

Diagnosis Banding
Sebagai diagnosis banding dari ikterus yaitu: atresia bilier, breast milk jaundice, kolestasis, anemia hemolitik
pada bayi baru lahir, hepatitis B, dan hipotiroid
Tatalaksana
Terapi sinar jika:

 Ikterus pada hari ke-1


 Ikterus berat, meliputi telapak tangan dan telapak kaki
 Ikterus pada bayi kurang bulan
 Ikterus yang disebabkan oleh hemolisis.

# Bila neonatus dipapar dengan cahaya berintensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan bilirubin dalam
kulit. Beberapa pakar mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi
berisiko tinggi dan berat badan lahir rendah.

Lanjutkan terapi sinar hingga kadar bilirubin serum di bawah nilai ambang atau sampai bayi terlihat baik
dengan telapak tangan dan kaki tidak kuning.
Jika kadar bilirubin sangat meningkat (lihat Tabel 6) dan dapat dilakukan transfusi tukar dengan aman,
pertimbangkan untuk melakukan hal tersebut.

Tabel 6 : Pengobatan ikterus yang didasarkan pada kadar bilirubin serum

Antibiotik

 Jika diduga terdapat infeksi atau sifilis (lihat bagian 3.13) obati untuk infeksi bakteri berat (lihat bagian
3.7)

Antimalaria
 Jika terdapat demam dan bayi berasal dari daerah endemis malaria, periksa apus darah untuk mencari
parasit malaria dan berikan antimalaria jika positif.
 Anjurkan ibu untuk memberikan ASI.

http://www.ichrc.org/3121-ikterus

Intravena immunoglobulin (IVIG)  pada kasus yang berhubungan dengan faktor imunologik. Pada
hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat
menurunkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar.

Transfusi pengganti  mengatasi anemia akibat eritrosit yang rentan terhadap antibodi erirtosit maternal;
menghilangkan eritrosit yang tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin serum; serta meningkatkan albumin yang
masih bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatannya dangan bilirubin.

Terapi medikamentosa  Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif diberikan pada ibu hamil selama
beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan phenobarbital post natal masih
menjadi pertentangan oleh karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan
mengeluarkannya melalui urin sehingga dapat menurunkan kerja siklus enterohepatika

Mathindas, Stevry, Rocky Wilar, and Audrey Wahani. "Hiperbilirubinemia pada neonatus." Jurnal Biomedik 5.1
(2013).

https://www.ucsfbenioffchildrens.org/pdf/manuals/41_Jaundice.pdf

Anda mungkin juga menyukai