Anda di halaman 1dari 10

Seorang bayi laki-laki baru dilahirkan sekitar 15 menit yang lalu oleh seorang ibu dengan G1P0A0 yang

berusia
28 tahun, berat badan 80 kg, tinggi badan 160 cm, pada usia kehamilan 38 minggu. Bayi tersebut dilahirkan
melalui operasi sectio caesaria di VK Rumah Sakit dan ditolong oleh dokter kandungan atas indikasi bayi besar.
Ketika lahir, bayi tidak langsung menangis, BBL 4500 gram, dan plasenta lahir manual, kotiledon lengkap, tidak
ada tanda infark maupun hematom. Dokter anak melakukan tindakan resusitasi karena adaptasi intra uterine
ke ekstra uterine bayi tersebut dinilai kurang baik. Setelah dilakukan resusitasi, APGAR Score bayi 6-7-8. Hasil
pemeriksaan GDS 32 mg/dL. Bayi tersebut mendapatkan perawatan di bangsal perawatan bayi risiko tinggi
dengan diberi oksigen dan infus. Bayi masih mendapatkan asupan ASI melalui nasogastric tube. Pada saat
masuk perawatan bayi belum dilakukan penilaian skor Ballard dan Dubowitz, serta belum dilakukan evaluasi
dengan kurva Lubschenko dan Nelhause. Pada hari pertama perawatan dilakukan foto thoraks dan didapatkan
hasil hyaline membrane disease grade 2.

Pertanyaan

1. Apa hubungan riwayat paritas ibu, usia ibu, dan usia kehamilan dengan kejadian tsb?

2. Apa hubungan ibu obesitas dengan kejadian tersebut?

3. Apa hubungan operasi sectio caesar dengan kejadian tersebut?

4. Apa hubungan bayi makrosomia dengan kejadian tersebut?

5. Bagaimana adaptasi BBL normal?

6. Interpretasi dari: bayi tidak langsung menangis, BBL 4500 gram, dan plasenta lahir manual,
kotiledon lengkap, tidak ada tanda infark maupun hematom.

7. Bagaimana adaptasi BBL yang kurang baik? Apa penanganan? Mengapa dokter melakukan
resusitasi setelah bayi lahir?

8. Bagaimana penanganan dan pemeriksaan fisik BBL?

9. Apa tujuan dari APGAR SCORE? Interpretasi dari APGAR Score bayi 6-7-8?

10. Mengapa dilakukan pemeriksaan GDS? Interpretasi dari GDS 32 mg/dL?


Bayi normal (tepat lahir/aterm) dapat mempertahankan kadar gula darah sekitar 50-60 mg/dl selama 72 jam pertama

11. Apa indikasi bayi resiko tinggi? Bagaimana penanganannya?

12. Mengapa bayi diberikan asupan ASI melalui nasogastric tube?

13. Apa fungsi penilaian skor Ballard dan Dubowitz dan evaluasi dengan kurva Lubschenko dan
Nelhause? Kapan maksimal pelaksanaan penilaian?

14. Mengapa dilakukan pemeriksaan foto thoraks? Bagaimana gambaran dari hyaline membrane
disease grade 2?

#nyanyian dari PMH udah ada dibawah semua, fighting!


BAYI BARU LAHIR  merupakan individu yang baru saja tumbuh dan mengalami trauma kelahiran serta
harus dapat menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin. Bayi Baru lahir
normal adalah bayi yang lahir dengan berat badan 2500-4000 gram, cukup bulan, lahir langsung
menangis dan tidak ada kelainan congenital (cacat bawaan yang berat)

Ciri-ciri BBL Normal


lahir aterm ( 37 sampai 42 minggu), berat badan 2500 - 4000 gram, panjang badan 48 - 52 cm, lingkar dada 30
-38 cm, lingkar kepala 33 - 35 cm, lingkar lengan 11- 12 cm, frekuensi denyut jantung 120 - 160 kali per menit,
pernapasan 40-60 kali per menit, kulit kemerahan-merahan, rambut lanugo tidak terlihat dan rambut kepala
telah sempurna, kuku agak panjang dan lemas, nilai APGAR lebih dari 7, gerakan aktif, bayi lahir langsung
menangis kuat, refleks sudah baik, genetalia pada laki-laki ditandai dengan testis yang sudah turun dalam
skrotum, dan penis berlubang, pada perempuan ditandai dengan vagina dan uretra yang berlubang, serta labia
mayora sudah menutupi labia minora, eliminasi pada bayi baru lahir normal ditandai dengan keluarnya
mekonium dalam 24 jam pertama dan berwarna hitam kecoklatan.

Penanganan BBL Normal


Menurut Kementrian Kesehatan RI (2010) dan Saifuddin (2009),
 Membersihkan jalan napas  Segera setelah lahir, sambil meletakkan bayi pada kain bersih dan
kering di atas perut bawah ibu lakukan penilaian apakah bayi menangis atau bernapas/tidak megap-
megap dan apakah tonus otot baik/bayi bergerak aktif.
 Memotong dan merawat tali pusat (MANAJEMEN AKTIF KALA 3)
 Menjaga agar bayi tetap hangat  meletakkan bayi tengkurap di dada ibu kemudian menyelimuti ibu
dan bayi dengan selimut dan memastikan bahwa kepala bayi telah terlindung atau memakaikan topi
untuk mencegah keluarnya panas tubuh.
 Melakukan Inisiasi menyusu dini  Meletakkan kepala bayi diantara payudara ibu. Biarkan bayi
mencari, menemukan puting dan mulai menyusu.
 Menyuntikkan Vitamin K1 mencegah terjadinya perdarahan bayi baru lahir akibat
defisiensi vitamin K, semua bayi baru lahir harus diberikan vitamin K1 (Phytomenadione) 1 mg
intramuskuler di paha kiri.
 Memberikan obat tetes atau salep mata antibiotika profilaksis. Obat tetes mata atau salep mata
dianjurkan untuk mencegah penyakit mata karena penyakit menular seksual dan diberikan 1 jam
pertama setelah persalinan  salep mata antibiotik tetrasiklin 1%
 Melakukan pemeriksaan fisik
Pemeriksaan bayi baru lahir paling kurang 3 kali yaitu:
1. Pada saat lahir  dilakukan segera stelah lahir (APGAR SCORE)
2. Pemeriksaan yg dilakukan 24 jam di ruang perawatan  menemukan kelainan yg luput dr pemeriksaan
pertama, sebaiknya di lampu pemanas untuk cegah hipotermi (PENILAIAN BALLARD DUBOWITZ)
3. Pemeriksaan pada waktu pulang
 Melakukan identifikasi  memberikan alat pengenal yang efektif sampai bayi pulang
 Memberikan imunisasi  Imunisasi Hepatitis B p ertama (HB 0) diberikan 1-2 jam di paha kanan
setelah pemberian Vitamin K1 secara intramuskular

APGAR Score  a test given to newborns soon after birth. This test checks a baby's heart rate, muscle tone,
and other signs to see if extra medical care or emergency care is needed.

The test is usually given twice: once at 1 minute after birth, and again at 5 minutes after birth. Sometimes, if
there are concerns about the baby's condition, the test
may be given again.

Apgar stands for "Appearance, Pulse, Grimace, Activity,


and Respiration."

In the test, five things are used to check a baby's health.


Each is scored on a scale of 0 to 2, with 2 being the best
score:
1. Appearance (skin color)
2. Pulse (heart rate)
3. Grimace response (reflexes)
4. Activity (muscle tone)
5. Respiration (breathing rate and effort)

Doctors, midwives, or nurses add up these five factors for the Apgar score. Scores are between 10 and 0. Ten is
the highest score possible, but few babies get it. That's because most babies' hands and feet remain blue until
they have warmed up.

Interpretasi: apabila skornya 7 keatas brarti considered in a good health, tapi kalau yang rendah bukan berarti
unhealthy tapi bayi butuh immediate medical care (suctioning of the airways/oksigen untuk bernafas lebih
baik)  TANDA2 ASIFIKSIA LIAT DI BAGIAN SINDROM GAWAT NAFAS DIBAWAH

A slightly low score (especially at 1 minute) is common, especially in babies born:

 after a high-risk pregnancy (<20/>35, underweight/overweight sblm kehamilan, twins/triplets/other


multiples, hipertensi, diabetes, depresi, smoking, alcoholic, dll)
 through a C-section
 after a complicated labor and delivery
 prematurely

https://kidshealth.org › parents › apgar

PENILAIAN BALLARD DAN DUBOWITZ (dulu pake dubowitz tapi ternyata ada kelemahan jdnya skg pake
ballard)

It's important to assess if gestational age is uncertain or if your baby is smaller or larger than expected. Many
premature infants are born to mothers with an unreliable menstrual history or no prenatal care; the clinical
assessment of fetal maturation is thus frequently the only available measure of gestational age. Assessment of
gestational age can be made postnatally by either Dubowitz Score or New Ballard Scoring system. Dr Jeanne L
Ballard developed a scoring system based on neurological maturity and physical maturity to assess gestational
age of babies.

Maturity rating  Score/weeks:

(-10/20),(5/22),(0/24),(5/26),(10/28),(15/30),(20/32),(25/34),(30/36),(35/38),(40/40),(45/42),(50/44).

 If weeks by exam fall within 2 weeks of KNOWN maternal dates, preferably confirmed by early ultrasound,
then the maternal dates are more likely correct.

 If weeks by exam are greater than 2 weeks outside of maternal dates in either direction, then the clinical
gestational assessment is more likely correct.

https://epomedicine.com/clinical-medicine/new-ballard-score-how-to-use-it-correctly/
Kurva Lubchenco

Penyesuaian antara umur kehamilan dengan berat badan bayi baru lahir disebutkan dalam batas normal

apabila berada dalam percentile 10 sampai persentil 90 dalam kurva Battaglia dan Lubchenco.

Berdasarkan kurva tersebut, maka berat badan menurut usia kehamilan dapat digolongkan sebagai berikut:  

a. Kecil Masa Kehamilan (KMK) yaitu jika bayi lahir dengan BB dibawah persentilke-10.

b. Sesuai Masa Kehamilan (SMK) yaitu jika bayi lahir dengan BB diantara persentilke-10 dan ke-90.  

c. Besar Masa Kehamilan (BMK) yaitu jika bayi lahir dengan BB diatas persentil ke-90 pada kurva

pertumbuhan janin

Bayi KMK bisa mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin simetris atau asimetris.

 Retardasi pertumbuhan simetris menandakan bahwa gangguan terletak pada otak dan tubuh dan terjadi di

awal kehidupan janin  karena faktor intrinsik (anomali kromosom, infeksi TORCH kongenital, sindrom dwarf,

beberapa inborn errors of metabolism, dan obat-obatan)

 Retardasi pertumbuhan asimetris menandakan bahwa pertumbuhan tubuh lebih terhambat dibandingkan

otak, dimana ukuran hepar dan timus mengalami penurunan, dan terjadi mulai trimester kedua  karena

faktor ekstrinsik (ketika nutrien janin= glukosa dan lipid berperan dalam penyimpanan energi dalam bentuk

glikogen dan lemak (baik lemak coklat dan putih).

KURVA NELLHAUS

MAKROSEFALI

SINDROM GAWAT NAFAS NEONATUS

MIKROSEFALI
Etiologi  hipoksia  adaptasi dengan melakukan metabolisme anaerob  hipoksia berat dan lama maka
metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat  asidosis dan penurunan aliran darah ke otak 
kerusakan otak dan organ lain  kematian neonatus

Etiologi

 Asfiksia
 Respiratory Distress Syndrome/Penyakit Membran Hialin
 Meconial Aspiration Syndrome
 BBLR dan neonatus prematur
 Sepsis

# Asfiksia neonatorum adalah keadaan ketika bayi


tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur
segera setelah di lahirkan, sehingga dapat menurunkan
O2 (HIPOKSIA PROGRESIF) dan meningkatkan CO2
(PENIMBUNAN CO2 DAN ASIDOSIS) yang dapat
mengakibatkan kerusakan otak atau kematian bila
berlangsung terlalu jauh.

KLASIFIKASI 

FAKTOR PREDISPOSISI

PATOGENESIS

Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yg


bersifat sementara, hal ini diperlukan untuk merangsang
kemoreseptor pusat pernapasan  apneu primer  usaha
bernapas pertama (primary grasping) yg nanti jd
pernapasan teratur

Pada asfiksia berat usaha napas bayi tidak tampak (apneu


sekunder) disertai bradikardi dan penurunan TD  karena
peningkatan CO2 (asidosis respiratorik)  lama kelamaan
tjd kompensasi berupa metab anaerob  asam laktat
berlebih  asidosis dan gangguan pd sel otak
Hyaline Membrane Disease (HMD)/Penyakit membran hialin (PMH)/ Respiratory distress syndrome (RDS)

Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi kurang bulan dengan tanda klinis takipnea ( frekuensi napas > 60
kali/menit), retraksi dinding dada dan sianosis pada udara kamar. Kelainan ini menetap atau bertambah
parah selama 48 – 96 jam pertama kehidupan. Pada foto thoraks akan didapatkan gambaran khas berupa
gambaran retikulogranuler yang seragam dan air bronchograms. Kejadian penyakit ini akan menurun apabila
terjadi perangsangan pematangan paru, misalnya dengan pemberian steroid (Behrman dkk, 1994 dan Polin &
Spitzer, 2001).

Faktor ResIko

 ibu diabetes mellitus


 ibu dengan kehamilan kembar
 kelahiran dengan pembedahan seksio
sesar
 partus presipitatus setelah perdarahan
antepartum
 asfiksia
 adanya riwayat sebelumnya ibu yang
melahirkan bayi dengan PMH

Diagnosis Banding

aspirasi mekonium, perdarahan paru, pneumoni


aspirasi, pneumotoraks, fistula trakheosofagus, dan
hernia diafragma, payah jantung, asidosis dan
dehidrasi, hipoglikemia, sepsis, perdarahan intrakranial, oedema otak, anemia

Patogenesis

#Surfaktan diproduksi oleh sel-sel epitel saluran


napas yang disebut pneumosyt tipe II. Sel-sel epitel ini
mulai timbul pada kehamilan 22–24 minggu dan mulai
mengeluarkan surface active lipids pada kehamilan 24-26
minggu, mencapai maksimum pada kehamilan 35 minggu,
mulai berfungsi pada kehamilan 32–36 minggu.
Konsentrasi surfaktan akan bertambah sejalan dengan
bertambahnya umur kehamilan.

Surfaktan terdiri dari fosfolipid (90%), protein


(10%) dengan komponen utama lesitin. Campuran ini
terselip di antara molekul-molekul air di cairan yang
melapisi bagian dalam alveolus dan menurunkan
tegangan permukaan alveolus (surfaktan berasal dari
"surface active agent").

Surfaktan paru memberi dua manfaat penting:


(1) bahan ini meningkatkan daya regang paru,
mengurangi kerja untuk mengembangkan paru; dan (2)
bahan ini memperkecil kecenderungan paru untuk rekoil
sehingga paru tidak mudah kolaps.
Situasi ini analog dengan meniup sebuah balon baru. Diperlukan upaya yang lebih keras pada
beberapa tiupan pertama ketika balon masih kempis daripada tiupan selanjutnya untuk memperbesar balon
tersebut.

Beneran Patogenesis

(1) keadaan asfiksia selama masa perinatal, hipotermi dan penurunan pH darah  penurunan jumlah sel
pneumosit tipe II

(2) keadaan fetal, hiperinsulinemia, stress intra uterin yang kronik seperti hipertensi pada kehamilan, Intra
Uterine Growth Retardation (IUGR) dan kehamilan kembar  immaturitas sel pneumosit tipe II

(3) kelahiran preterm  kemampuan paru mensintesis surfaktan blm sempurna

(1) (2) (3)  kurangnya surfaktan paru  peningkatan tegangan permukaan alveoli  gangguan ventilasi 
alveoli kolaps pada setiap akhir ekspirasi (udara terperangkap pada bagian distal)  (1) bising ekspirasi yang
khas (merintih) (2) kejadian ateletaksis bertambah  berkurangnya volume paru  secara fisik terlihat
adanya konkafitas yang nyata di daerah aksila, daya regang rongga dada menurun  usaha inspirasi lebih
besar dg cara takipnea (pernapasan lebih 60x /menit), retraksi di daerah interkostal dan supraternal 
hipoksia, peningkatan CO2 dan asidosis respiratorik (oksigen ke jaringan menurun)  katabolisme anaerob 
penimbunan asam laktat dan asam organik  asidosis metabolik  kerusakan endotel kapiler dan duktus
alveolaris kemudian terjadi transudasi dalam alveoli  terbentuk fibrin dan jaringan epitel yg selanjutnya
mengalami nekrotik selanjutnya terjadi lapisan-lapisan yang disebut membran hialin.

Secara klinis gejala lain yang dapat diamati adanya bradikardi, hipotensi, hipotermi, tonus otot menurun dan
apnea

Manifestasi Klinis

Pada bentuk akut gejala klinis mulai kelihatan pada beberapa jam setelah bayi lahir, terutama dispnea dan
takipnea (pernapasan lebih 60x / menit), retraksi dinding dada dan merintih, seterusnya meningkat dalam 48–
72 jam pertama, keadaan ini akan tetap bertahan sampai kira-kira satu minggu, kemudian menurun dan
hilang.

Pada bentuk kronis kesulitan bernapas baru dijumpai setelah 24–36 jam kelahiran, ditandai dengan sesak
nafas, sianosis dan apnea. Gejala ini terlihat jelas pada hari ke 4–7 dan menetap 2–3 minggu.

Diagnosis

Diagnosis Penyakit membran hialin ditegakkan melalui prosedur pemeriksaan dari klinis sampai pemeriksaan
penunjang

A. Anamnesis

Pada anamnesis harus dicari faktor risikonya meliputi: usia kehamilan yang preterm, ibu diabetes mellitus,
kehamilan kembar, seksio cesar, partus presipitatus setelah perdarahan antepartum, asfiksia pada masa
perinatal dan adanya riwayat sebelumnya ibu yang melahirkan bayi dengan PMH. Bayi ini akan menunjukkan
gejala kesulitan bernapas pada waktu lahir dan berkembang menjadi lebih parah (Gomella dkk, 2004).

B. Pemeriksaan Fisik

Sianosis pada udara kamar, napas cuping hidung, takipnea, merintih dan retraksi dinding dada (Gomella dkk,
2004).

C. Pemeriksaan Laboratorium

1. Analisis Gas Darah (AGD) sangat penting dalam penatalaksanaan PMH. Nilai yang dapat diterima
adalah untuk PO2: 50 –70 mmHg, PCO2: 45 – 60 mmHg, pH: 7,25 atau diatasnya SaO2: 88 – 95%.
2. Pemeriksaan hematokrit atau hemoglobin diperlukan untuk pemilihan jenis cairan apabila bayi
menderita syok.
3. Kadar gula darah harus dimonitor secara ketat untuk menentukan adekuasi dari pemberian infus
dekstrose.
4. Pemeriksaan penanda infeksi meliputi pemeriksaan sel darah lengkap, trombosit, kultur darah,
kultur cairan amnion dan urin untuk menyingkirkan adanya early onset sepsis.
5. Kadar elektrolit diperiksa setiap 12 sampai 24 jam untuk menentukan pemberian cairan elektrolit
parenteral.
6. Kadar calsium darah diperiksa setiap hari karena hipocalsemia biasa terjadi pada bayi yang sakit,
tidak diberi makan, preterm atau yang menderita asfiksia.
7. Pemeriksaan golongan darah, Rh dan coomb’s test untuk keperluan tranfusi atau penanganan
apabila terjadi hiperbilirubinemia.
8. Foto thorak akan didapatkan gambaran retogranular yang seragam dan air bronchogram
9. Echocardiografi diperlukan untuk menyingkirkan kelainan pada jantung.
10. Pemeriksaan Patologi anatomi dari jaringan paru akan terlihat merah keunguan tua dan
konsistensinya seperti hati. Secara mikroskopik akan terlihat gambaran atelektasis yang luas yang
disertai dengan pelebaran pembuluh kapiler dan getah bening antar alveolar. Sejumlah duktus
alveolaris, alveolus dan bronkiolus respiratorius dilapisi oleh selaput asidofilik homogen atau
granular. Membran hialin jarang ditemukan pada bayi yang meninggal dunia sebelum usia 6 – 8
hari.

Selain prosedur pemeriksaan diatas yang mungkin hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar ada
pemeriksaan sederhana untuk menentukan kematangan paru dengan cara memeriksa adanya surfaktan dalam
paru. Beberapa pemeriksaaan mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Banyak cara pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk mengetahui kematangan paru antara lain: rasio lesitin-spingomielin (L:S), uji gelembung
mikro dan uji kocok cairan lambung.

 Rasio L:S dapat diperiksa pada cairan ketuban. Pada kehamilan 31 –32 minggu rasio L:S adalah 1:1
dan pada usia kehamilan 35 minggu rasionya adalah 2:1. Berikut ini adalah petunjuk untuk
menentukan kematangan paru dengan rasio L:S

1. L:S = 2:1 paru sudah matur, hanya 2% bayi dalam kondisi ini yang akan menderita PMH

2. L:S = 1,5-1,9:1 50% bayi pada kondisi ini akan menderita PMH

3. L:S = <1,5:1 73% bayi akan menderita PMH

 Uji Kocok Cairan Lambung dilakukan agar dapat mengetahui di antara bayi yang menderita PMH
dengan yang tidak PMH. Uji kocok (shake test) adalah suatu uji diagnostik yang menggunakan cairan
lambung bayi baru lahir bersama etanol 96% dengan pengenceran tertentu untuk mengetahui
kematangan dan kemampuan paru dalam memproduksi surfaktan dengan terlihatnya gelembung
udara yang membentuk cincin menutupi permukaan cairan didalam tabung reaksi.

 Penggunaan cairan lambung sebagai bahan uji kocok karena surfaktan diproduksi sel-sel epitel saluran nafas
dan dilepas ke saluran napas (cairan paru), paru bayi berhubungan dengan air ketuban. Di dalam kandungan
bayi menelan air ketuban yang dibuktikan dengan kesamaan pH antara air ketuban dengan cairan lambung. 

Tata cara melakukan uji kocok paru adalah:

• Siapkan alat: sonde feeding Fr 5, panjang 40 cm, semprit 2,5 ml, tabung reaksi/botol, etanol 96%.

• Melakukan uji kocok: mencuci tangan, memasukkan sonde feeding melalui salah satu lubang hidung
sampai ke lambung, hisap cairan lambung dengan menggunakan semprit, masukkan cairan lambung kedalam
tabung reaksi, dan etanol (96%) dengan perbandingan 1 : 1, kocok selama 15 detik, diamkan selama 15 menit
dan baca hasil.

• Pembacaan hasil:
o Positif bila terlihat gelembung udara yang membentuk cincin di atas permukaan cairan dalam tabung
reaksi. Artinya surfaktan terdapat pada cairan dalam jumlah yang cukup.

o Negatif bila tidak terlihat gelembung artinya; tidak terdapat surfaktan didalam cairan dan
kemungkinan bayi untuk menderita PMH lebih besar.

o Ragu bila terdapat gelembung tetapi tidak terbentuk cincin artinya waspada terhadap kemungkinan
bayi PMH (Prawirohartono dkk, 1991).

Tatalaksana

Tata Laksana neonatus dengan PMH sangat kompleks yang meliputi terapi oksigen, nutrisi dan pemberian
surfaktan.

 Bantuan Napas

Pada bayi yang dicurigai menderita PMH dengan PO2 dibawah 50 mmHg dengan FiO2 70% merupakan indikasi
untuk pemakaian CPAP (Countinous Positive Airway Pressure ) dengan tekanan 6-10 cm H2O atau dapat
menggunakan kotak kepala atau CNCP (Countinouse Negative Chest Pressure) . Jumlah tekanan yang
dibutuhkan akan turun mendadak pada usia 72 jam kemudian bayi dapat disapih dari CPAP-nya (Behrman dkk,
1998).

Bayi memerlukan ventilasi mekanik apabila pada CPAP dengan FiO2 100% Po2 dibawah 50 mmHg. Ventilasi
mekanik biasanya dimulai dengan frekuensi 30-60 respirasi/menit dengan rasio inspirasi dan ekspirasi 1:2. PIP
yang digunakan biasanya 18-30 cmH2O. Dengan PEEP 4 cm H2O biasanya dapat memperbaiki oksigenasi
karena dapat meningkatkan tekanan jalan napas sehingga dapat menjaga terjadinya ventilasi dan oksigenasi
serta dapat meminimalkan kerusakan jaringan parenkim paru (Gomella dkk, 2004).

 Terapi cairan dan nutrisi

Kebutuhan cairan dan nutrisi sebaiknya diberikan secara parenteral. Pada 36-48 jam pertama diberikan
glukosa 10% dengan kecepatan 65-100 ml/kgBB/24 jam. Selanjutnya harus ditambahkan elektrolit dan
volume cairan ditingkatkan secara berangsur sampai 120-150 ml/KgBB/24 jam (Behrman dkk, 1998).

 Antibiotik

Antibiotik diberikan berdasarkan pola kuman setempat

 Sedasi

Obat-obat sedative biasanya diperlukan pada bayi yang dikontrol dengan ventilator. Fenobarbital biasanya
digunakan untuk menurunkan aktivitas bayi. Untuk analgesik dan sedative biasanya digunakan Morfin atau
Fentanil atau Lorazepam (Gomella dkk, 2004).

 Surfaktan

Surfaktan adalah multikomponen kompleks dari beberapa fosfolipid, neutral lipid, protein khusus, yang
disintese dan disekresikan ke alveoli oleh sel epitel tipe II. Komponen penting surfaktan terdiri atas fosfolipid
(85%) dan 10% protein. Fosfolipid yang ada terdiri dari Phosphatidylcholine (PC), dan 1 bagian PC molekul,
DPPC (dipalmitol phosphatidyl choline), yang merupakan komponen utama. Struktur DPPC membentuk satu
lapisan stabil dengan tegangan rendah pada permukaan alveolus untuk mencegah kolapsnya alveoli pada akhir
ekspirasi. Surfaktan eksoge terdiri dari 2 macam, yaitu Natural surfaktan (dari mamalia) dan sintetis
surfaktan. Nama dagang surfaktan yang ada adalah Exosurf , Survanta, Infrasurf, BLES, Curosurf dan Survaxin.

Pengaruh haemodinamik pemberian surfaktan tergantung cara pemberiannya bukan jenis surfaktannya.
Pengaruh haemodinamik surfaktan dibagi menjadi tiga, yaitu

1. Efek segera: sampai 10 menit pertama setelah pemberian


Efek yang terjadi pada fase ini tergantung cara pemberiannya, pada umumnya terjadi vasodilatasi pembuluh
darah cerebral dengan peningkatan aliran darah ke otak karena peningkatan PaCO2. Hal ini terjadi sebagai
respon terhadap obstruksi sementara saluran napas besar oleh adanya cairan. Pengaruhnya pada
haemodinamika paru belum banyak diketahui, tetapi terjadinya penurunan aliran duktus dari kiri ke kanan
kemungkinan berhubungan dengan peningkatan PaCO2.

2. Efek awal: 2 sampai 20 menit pertama

Efek ini berhubungan dengan manajemen pengaturan pernapasan selama perbaikan ventilasi dan parameter
gas darah secara cepat. Perbaikan ventilasi lebih cepat terjadi dengan menggunakan surfaktan alamiah. Ketika
terjadi peningkatan aliran darah paru efektif, total aliran darah paru masih belum berubah. Apabila terjadi
kegagalan untuk menurunkan ventilasi akan menyebabkan hiperoksia dan hiperkarbia sehingga terjadi
penurunan aliran darah otak bersamaan dengan peningkatan aliran darah paru.

3. Efek lambat: 12 – 48 jam setelah pemberian

Terjadinya perbaikan hipertensi pulmonal karena perbaikan gejala penyakit.

Pemberian surfaktan secara lambat (lebih dari 15 menit) tidak memberikan efek samping sistem pernapasan
dibantingkan dengan pemberian secara bolus. Pada penelitian dengan hewan coba pemberian surfaktan
secara cepat akan memberikan distribusi yang lebih bagus di paru tapi efek samping yang terjadi adalah
penurunan aliran darah aorta dan otak.

Cara pemberian surfaktan yang paling baik adalah dengan cara lambat (lebih dari 15 menit) dengan
menghindari overventilasi dan mem inimalkan perubahan oksigen arterial (Skinner, 1997 dan Gomella dkk,
2004).

Pencegahan

 Menghindari tindakan seksio sesar yang tidak diindikasikan


 Penanganan kehamilan risiko tinggi.
 Pemberian kortikosteroid sintetik pada wanita (injeksi betametason intramuskular 12 mg sekali
sehari selama dua hari atau injeksi deksametason intramuskular sehari 2 kali selama dua hari) yang
tidak mengalami toksemia, diabetes dan penyakit ginjal 48-72 jam sebelum melahirkan janin yang
berusia 32 minggu atau kurang. (Behrman dkk, 1998 dan Leviton dkk, 1999).

Anda mungkin juga menyukai