Anda di halaman 1dari 6

Seorang laki-laki berumur 67 Tahun datang ke rumah sakit diantar oleh keluarganya dengan keluhan : gelisah,

agresif, bicaranya kacau dan lupa dengan keluarganya, bahkan mengabaikan kebersihan tubuhnya. Sebelumnya pasien
selalu bingung terhadap waktu dan tempat. Pasien dalam keadaan sadar. Pada saat alloanamnesa pasien tidak pernah
mengalami Trauma Kepala ataupun Stroke, dan tidak punya riwayat gangguan Ginjal, Hepar, DM, maupun Hipertensi.
Pemeriksaan neurologis : Motorik dalam batas normal, dan Sistem Ekstra Piramidal dalam batas normal. Didapatkan
Sucking Refleks dan Refleks Palmomental positif. Pasien mempunyai skor MMSE 20/30.

Definisi demensia menurut WHO,

 sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progesifitas disertai dengan
gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada
demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan
motivasi.

Penyebab demensia

Demensia juga dapat muncul pada individu yang mengalami delirium, dan hal ini sering bertumpang tindih dengan
demensia. Delirium adalah sindrom otak organik karena gangguan fungsi atau metabolisme otak secara umum atau karena
keracunan yang menghambat metabolisme otak

Faktor resiko demensia

 Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi


 USIA (meningkat 2x lipat @5th setelah usia > 65 th dan 50% individu >85 terkena demensia), JENIS KELAMIN
(lebih tinggi wanita), GENETIK DAN RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA (otosomal dominan  EOAD (early onset
alzheimer disease) yg tjd < 60th), DISABILITAS INTELEKTUAL, DOWN SINDROM
 Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
 FR Kardiovaskuler (meningkatkan resiko DV dan PA = hipertensi, hiperkolesteromia, DM, stroke)

Subtipe demensia

 Penyakit Alzheimer

Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang tersering ditemukan (60-80%).
Karateristik klinik berupa berupa penurunan progresif memori episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak
ditemukan kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam aktivitas hidup keseharian
menyusul gangguan memori episodik mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai terutama lansia (>65 tahun)
walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih muda.

Diagnosis klinis dapat dibuat dengan akurat pada sebagian besar kasus (90%) walaupun diagnosis pasti tetap
membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan adanya plak neuritik (deposit βamiloid40 dan β-amiloid42) serta
neurofibrilary tangle (hypertphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan pemeriksaan
biomarka neuroimaging (MRI struktural dan fungsional) dan cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah
akurasi diagnosis

 di AD tu ada 2 lesi utama; senile plaques/alzheimer plaques (SP) dan neurofibrilary tangle (NFTs). Kalo AD biasannya
ada 22nya tapi bisa juga tanpa NFT jadi AD pasti ada SP [primer]. NFT juga bisa ditemuin di subtipe yg lain [sekunder]
(frontotemporal dementias, chronic traumatic encephalopathy, myotonic dystrophy, and prion diseases)

PATFIS dari skenario  genetic (The gene for APP is on chromosome 21. Trisomy 21 (Down syndrome) and ApoE
lipoproteins) and environmental risks (main risk factor for AD is old age genotype ApoE/penyakit yg lain) for AD 
extracellular deposition of beta amyloid-Aβ and intracellular accumulation of tau protein. The hallmarks of AD pathology
are accumulation of extracellular amyloid-b (Ab) plaques in the brain followed by intracellular neurofibrillary tangle (NFT)
growth. Ab upregulates the generation of NFTs, leading to the phosphorylation of tau that self-assembles to form NFTs.
Accumulation of Ab plaques, soluble Ab oligomers and NFTs leads to damage of the hippocampus  cause severe
disconnection, loss of neurons and synapses, brain atrophy, and dilatation of the lateral ventricles due to loss of brain
tissue  impairment of memory, and involvement of association cortex correlates with the loss of higher intellectual
functions.

#Old age without clinical dementia is associated with some loss of neurons and synapses and an overall reduction
of brain weight by 200 gm. The remaining neurons are enough to carry out neurological function. Some compensatory
dendritic sprouting is also seen. Neuronal plasticity (the ability to make new synapses) is enhanced by trophic factors
(neurotrophins). The best known neurotrophin, nerve growth factor, is important for growth and maintenance of
cholinergic neurons that are depleted in AD. Neuronal activity also enhances plasticity.

#The brain, in AD, shows a loss of cholinergic neurons in the basal forebrain, decreased acetylcholine (Ach)
levels, and a decrease in the acetylcholine synthesizing enzyme choline acetyltransferase (CHAT) in the cerebral cortex.
Animal models show that Ach plays a crucial role in information processing and memory. Although other
neurotransmitter systems (noradrenalin, serotonin, somatostatin and other peptides) are also deficient in AD, the
cognitive impairment correlates best with the loss of cholinergic input. Acetylcholinesterase inhibitors (tacrine) and Ach
receptor agonists, including nicotine, have been used to treat AD. The marginal success of this approach suggests that, in
addition to Ach deficiency, there are other profound alterations that contribute to the cognitive dysfunction.

#kalo yg karena etiologi neuroinflamasi,radikal bebas,DM,traumatic brain injury, homosistein ada di


http://neuropathology-web.org/chapter9/chapter9bAD.html

 Demensia vaskuler

Vascular cognitive impairment (VCI) merupakan terminologi yang memuat defisit kognisi yang luas mulai dari
gangguan kognisi ringan sampai demensia yang dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler. Penuntun praktik klinik ini
hanya fokus pada demensia vaskuler (DV). DV adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas termasuk
infark tunggal strategi, demensia multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan
hipoksik dan demensia tipe campuran (PA dan stroke / lesi vaskuler). Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan
dengan kejadian ateroskerosis dan DV. Faktor risiko vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang merupakan
faktor risiko untuk terjadinya DV. CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and
leucoensefalopathy), adalah bentuk small vessel disease usia dini dengan lesi iskemik luas white matter dan stroke
lakuner yang bersifat herediter

 Demensia Lewy Body dan penyakit Parkinson

Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan. Sekitar 15-25% dari kasus otopsi
demensia menemui kriteria demensia ini. Gejala inti demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi
visual yang nyata (vivid) dan terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism. Gejala yang mendukung
diagnosis berupa kejadian jatuh berulang dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi dan atau halusinasi
modalitas lain yang sistematik. Juga terdapat tumpang tindih temuan patologi antara DLB dan PA. Namun secara klinis
orang dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi eksekutif dan visuospasial sedangkan performa memori
verbalnya relatif baik jika dibanding dengan PA yang terutama mengenai memori verbal.

Demensia Penyakit Parkinson (DPP) adalah bentuk demensia yang juga sering ditemukan. Prevalensi DPP 23-32%,
enam kali lipat dibanding populasi umum (3-4%). Secara klinis, sulit membedakan antara DLB dan DPP. Pada DLB, awitan
demensia dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada DPP gangguan fungsi motorik terjadi
bertahun-tahun sebelum demensia (10-15 tahun)

 Demensia frontoremporal

Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari Demensia Lobus Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada
usia muda (early onset dementia/EOD) sebelum umur 65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8 - 56 tahun. Karakteristik
klinis berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi atau riwayat penyakit. Gejala yang
menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan
simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau perlaku kompulsif/ritual, hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi
eksekutif tanpa gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan neuropsikologi.

Pada pemeriksaan CT/MRI ditemukan atrofi lobus frontal dan atau anterior temporal dan hipoperfusi frontal atau
hipometabolism pada SPECT atau PET. Dua jenis DLFT lain yaitu Demensia Semantik (DS) dan Primary Non-Fluent
Aphasia (PNFA), dimana gambaran disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan perilaku lainnya. Kejadian DFT dan
Demensia Semantik (DS) masing-masing adalah 40% dan kejadian PNFA sebanyak 20% dari total DLF

 Demensia tipe campuran

Patologi Penyakit Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan PA dan 50% orang dengan DLB memiliki patologi PA

Gejala demensia

Secara umum gejala demensia dapat dibagi atas dua kelompok =


 Gangguan kognisi:
 Gangguan memori terutama kemampuan belajar materi baru yang sering merupakan keluhan paling dini.
Memori lama bisa terganggu pada demensia tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami disorientasi di sekitar
rumah atau lingkungan yang relatif baru. Kemampuan membuat keputusan dan pengertian diri tentang penyakit
juga sering ditemukan.
 Gangguan non-kognisi:
 Keluhan neuropsikiatri atau kelompok behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD).
Komponen perilaku meliputi agitasi, tindakan agresif dan nonagresif seperti wandering, disihibisi, sundowning
syndrome dan gejala lainnya. Keluhan tersering adalah depresi, gangguan tidur dan gejala psikosa seperti delusi
dan halusinasi. Gangguan motorik berupa kesulitan berjalan, bicara cadel dan gangguan gerak lainnya dapat
ditemukan disamping keluhan kejang mioklonus.

INTRO  Penurunan fungsi kognitif ringan dibagi mild cognitif impairment (MCI) dan vascular cognitif
impairment (VCI), yang sebagian berkembang menjadi demensia. Demensia dapat dibagi dalam demensia reversibel dan
tidak reversibel. Kerusakan yang merata pada neuron-neuron kortikal kedua belah hemisferium, yang mencakup
daerah persepsi primer, korteks motorik, dan semua daerah asosiatif menimbulkan demensia. Apabila manifestasi
gangguan korteks piramidal dan ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik masih dapat ditimbulkan.
Pada umumnya tanda-tanda tersebut mencerminkan gangguan pada korteks premotorik atau prefrontal . Tanda
tersebut diungkapkan dengan jalan membangkitkan reflek-reflek, yang disebut reflek regresi (yang merupakan petanda
keadaan regresi/kemunduran kualitas fungsi)

REFLEKS REGRESI

Refleks regresi disebut juga refleks demensia muncul akibat terjadinya kerusakan sel saraf pusat di otak, baik
yang bersifat terlokalisir maupun difus. Penyebab kerusakan tersebut bisa berasal dari kelainan vaskuler, trauma,
gangguan metabolik, infeksi, dan sebagainya. Selain itu, refleks regresi juga merupakan tanda proses degeneratif di
otak. Beberapa penyakit yang berhubungan dengan proses degeneratif tersebut adalah demensia vaskuler dan
demensia Alzheimer, pasca hipoksia serebri, pasca meningitis, dll. Pemeriksaan reflek regresi ini bisa dilakukan pada
posisi penderita duduk atau berbaring.

Beberapa pemeriksaan refleks regresi yang penting adalah:

1. Sucking Reflex : dilakukan dengan menyentuhkan benda seperti ujung pena, palu refleks atau jari pemeriksa
secara ringan dan lembut pada bibir penderita. Jawaban refleks berupa gerakan bibir seolah-olah akan
menetek atau menyusu.
2. Grasping Reflex : dilakukan dengan meletakkan jari pemeriksa secara lembut pada telapak tangan
penderita, dimana secara refleks tangan penderita akan menggenggam jari pemeriksa tersebut.
3. Palmomental Reflex : dilakukan dengan menggores telapak tangan penderita pada bagian otot hipotenar.
Goresan dilakukan dengan cepat dari proksimal (bagian pergelangan tangan penderita) menuju ke distal
(bagian pangkal ibu jari). Jawaban dari rangsangan ini berupa gerakan otot-otot mental (dagu).
4. Glabellar Reflex : dilakukan dengan mengetuk glabella (pertengahan dahi diantara kedua alis mata)
penderita dengan ujung jari atau palu refleks. Pada orang normal, respon berkedip hanya timbul dua
sampai tiga kali saja. Sedangkan pada penderita demensia, kedipan mata akan timbul setiap kali glabella
diketuk.
Catatan: pengetukan glabella dilakukan dari arah belakang pasien, sehingga tidak diartikan sebagai refleks
ancam oleh pasien.
5. Snout Reflex : dilakukan dengan mengetuk bibir atas penderita secara lembut dengan menggunakan ujung
jari pemeriksa atau palu refleks. Jawaban dari rangsangan ini berupa kontraksi otot orbikularis oris, sehingga
sudut bibir penderita akan tertarik padadaerah yang diketuk.
6. Refleks Kaki Tonik (Foot Grasping Reflex) : dilakukan dengan menggores telapak kaki penderita
menggunakan ujung palu refleks. Pada penderita demensia, penggoresan telapak kaki menyebabkan
kontraksi tonik telapak kaki berikut jari-jarinya.
7. Corneomandibular Reflek : Positif bila penggoresan kornea menimbulkan pemejaman mata ipsilateral dan
disertai gerakan mandibula kesisi kontralateral.

Diagnosis demensia

Pedoman diagnostik demensia menurut PPDGJ III.

1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang
( personal activities of daily living ) seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil
2. Tidak ada gangguan kesadaran ( clear consiousness ).
3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.

Pada orang yang diduga memiliki gangguan kognitif, diagnosis harus dibuat berdasarkan kriteria DSM-IV untuk demensia
dengan anamnesis yang didapatkan dari sumber yang terpercaya. Hal ini harus didukung oleh penilaian objektif melalui
bedside cognitive tests dan/atau penilaian neuropsikologis.

Pedoman Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders- IV (DSM-IV) sering digunakan sebagai gold standar
untuk diagnosis klinis dementia. Kriteria ini termasuk adanya gangguan memori dan tidak adanya salah 1 dari gangguan
kognitif seperti afasia, apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif.  TAHUN 2013 UDAH ADA YG DSM V

(Kriteria Klinis untuk Diagnosis Demensia berdasarkan DSM IV


halaman 14  http://www.neurona.web.id/paper/PPK%20demensia.pdf)

PEMERIKSAAN DI PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 1

kalo ada keluhan memori subjektif, INSTRUMEN =

 Mini Mental State Examination (MMSE) telah direkomendasikan karena penerimaan dan penggunaannya yang
luas.
 AD8 adalah tes penapisan praktis berupa 8 pertanyaan yang ditujukan kepada keluarga pasien mencakup aspek
kognisi dan fungsional dapat digunakan sebagai tes skrining sebelum dimulai pemeriksaan status mental lainnya.
 Versi pendek dari geriatric depression scale (GDS) memiliki efektifitas yang sama dengan versi panjang dalam
penapisan depresi pada lanjut usia

PEMERIKSAAN DI PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT 1

 Anamnesis

Anamnesis meliputi onset gejala, perjalanan penyakit, pola gangguan kognisi, serta keberadaan dan pola gejala non
kognisi. Riwayat penyakit dari informan yang dapat dipercaya sangat diperlukan.

 Pemeriksaan Fisik – dilakukan pemeriksaan neurologis ((ADA DI GEJALA-REFLEKS REGRESI))


 Pemeriksaan Kognisi Sederhana
- MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) (FOLSTEIN)  paling sering digunakan, dipengaruhi beberapa
faktor seperti tingkat pendidikan, usia dan etnis. ((ADA DI BAWAH))
- Clock drawing test (CDT)  dipengaruhi usia, jenis kelamin dan edukasi, pada subjek usia lanjut dengan tingkat
pendidikan kurang dari 4 tahun kurang valid
- Montreal Cognitive Assessment (MoCA) (NASREDDIN)  tes penapisan yang sederhana yang lebih baik dalam
mengidentifikasi MCI (Sn 90%, Sp 87%) dan awal DA (Sn 100%; Sp 87%) dibandingkan dengan MMSE, cukup
sensitif untuk mendeteksi MCI pada pasien dengan Penyakit Parkinson (PP), dipengaruhi oleh usia, tingkat
pendidikan dan jenis kelamin, Sebaiknya tes ini dipakai pada mereka dengan pendidikan > 6 tahun

Diagnosis banding X Pencegahan demensia


Pemeriksaan penunjang

Biomarka dapat dideteksi di otak (cairan serebrospinal (CSS) atau neuroimaging reseptor amyloid), darah, atau kombinasi
keduanya. Biomarka dari sistem saraf pusat (SSP) antara lain β-amyloid1-42, βamyloid1-40, total tau, dan
hyperphosphorylated tau (p-tau) dari CSS. Pada pasien DA didapatkan penurunan kadar β-amyloid dan peningkatan kadar
tau CS

Alasan merujuk ke Spesialis

Terapi demensia

Terapi farmakologi harus sejalan dengan intervensi spikososial untuk memperbaiki kognisi, fungsi dan perilaku. Hanya
spesialis yang menangani demensia (neurolog, psikiater, geriatrik) yang boleh memulai terapi.  SPESIFIK farmako tiap
subtipe liat http://www.neurona.web.id/paper/PPK%20demensia.pdf

Setelah terapi dimulai, pasien harus dinilai secara berkala setiap 6 bulan. Pemeriksaan kognisi, fungsi secara global dan
perilaku harus dilakukan berkala. Penilaian keluarga terhadap kondisi pasien baik saat sebelum mulai terapi dan saat follow
up harus diperhatikan

Anda mungkin juga menyukai